Perang Tiga Puluh Tahun

artikel daftar Wikimedia

Perang Tiga Puluh Tahun adalah sebuah konflik yang terjadi antara tahun 1618 hingga 1648, khususnya di wilayah yang sekarang menjadi negara Jerman, dan melibatkan sebagian besar kekuatan-kekuatan di kawasan tersebut. Ada beberapa sebab mengapa perang ini terjadi. Meskipun tampak sebagai konflik keagamaan antara kaum Protestan dan Katolik, persaingan antara dinasti Habsburg dan kekuatan lainnya juga merupakan salah satu motif penting terjadinya perang ini, hal ini dapat terlihat dari fakta kaum Katolik Perancis mendukung pihak Protestan, yang meningkatkan persaingan Perancis dan Habsburg.

Akibat dari Perang Tiga Puluh Tahun yang disertai musibah kelaparan dan wabah penyakit sangat mengerikan. Perang mungkin hanya berlangsung 30 tahun, tetapi konflik yang memicunya tetap berlanjut hingga waktu yang lama. Perang ini diakhir melalui Perjanjian Westfalen.

Ikhtisar

Secara umum, perang tiga puluh tahun terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah fase Bohemia (1618-1625) yang ditandai perang saudara di wilayah Bohemia. Perang ini melibatkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand II melawan Serikat Protestan yang dipimpin Pangeran Friedrich V dari Palatine. Kemudian Raja Ferdinand II diberhentikan dari jabatan rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya, Friedrich V diangkat menjadi raja Bohemia pada tahun 1618. Naiknya Ferdinand II sebagai Kaisar Agung Romawi di tahun 1620 menjadikannya benar-benar menghapus Protestanisme dari Bohemia.[1]

Fase kedua adalah fase Denmark (1625-1630) di mana Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum Protestan. Jenderal perang Liga Katolik, Albert dari Wallenstein, terlalu kuat bagi Christian IV sehingga kekalahan terjadi di pihak Protestan. Kedua fase ini berlangsung selama 10 tahun, di mana Bohemia sepenuhnya menjadi Katolik di bawah kekuasaan Ferdinand II.[1]

Fase ketiga diawali dengan kedatangan Raja Swedia (1625-1635), Gustavus Adolphus di tanah Jerman. Fase ini disebut dengan fase Swedia. Negara seperti Denmark (lagi), Polandia, Finlandia, dan beberapa negara kecil di kawasan Baltik, serta Raja Gustavus membantu Protestan, khususnya menolong saudaranya, Adipati Mecklenburg, yang sedang diasingkan. Fase ini ditandai dengan keterlibatan Perancis, melalui Perdana Menteri Kardinal Richelieu, yang membantu Swedia secara finansial.[a] Gustavus berhasil melawan Katolik di Pertempuran Breitenfield dan Lützen, yang terjadi di tahun 1631 dan 1632. Namun, Gustavus ternyata harus tewas dalam pertempuran di Nördlingen pada tahun 1634. Hal ini membuat Perancis campur tangan membela protestan (lebih tepatnya melawan wangsa Habsburg).[1]

Fase keempat ditandai dengan kedatangan Perancis pada perang ini (1635-1648), yang sekaligus menandai "internasionalisasi" Perang Tiga Puluh Tahun, dengan bergabungnya Belanda (yang merupakan bentuk balas budi ketika berperang melawan Spanyol di tahun 1622), Skotlandia, dan sejumlah tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja Protestan Jerman, yang memperkuat kubu Serikat Protestan. Perang pada fase ini berlangsung lama, bahkan bisa disebut 'stalemate' (imbang), di mana tidak ada pihak yang memenangkan peperangan. Hal ini disebabkan keterbatasan logistik di kedua belah pihak. Situasi 'stalemate' membuat para raja atau ratu tidak memiliki pilihan lain selain membuat perjanjian damai untuk menghentikan perang, setidaknya untuk sementara waktu. Perang ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Westfalen, dengan dua traktat utamanya: Traktat Münster yang mendamaikan Perancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi serta Traktat Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi.[1]

Asal mula perang

Permulaan perang (1618-1625)

Baik Austria-Jerman, maupun kawasan Eropa yang lebih luas, terlibat dalam perang yang bermula dari masa pemerintahan Kaisar Maximilian I dan, yang lebih khusus lagi, semenjak Reformasi dan pemilihan Karl V, Raja Spanyol, ke tahta kekaisaran tahun 1519. Maximilian memulai, dan Karl V melanjutkan kekuasaan Katolik yang membangkitkan ketakutan universalisme Habsburg yang tak terpadamkan, serta konflik normal Abad Pertengahan Jerman yang terancam akibat keragaman agama, juga mengacaukan sistem politiknya hingga sekitar tahun 1648. Permintaan dan klaim kebebasan beragama diliputi oleh pembelaan kebebasan konstitusional, yaitu sebuah tujuan yang agak esoteris.[2] Klaim historis Prancis terhadap Kekaisaran Jermanik, atau kepada beberapa vikariat terbatas, telah tertanam dalam jiwa Prancis dan bertahan dalam pemerintahan Louis XIV. Kehadiran Prancis, yang siap di sayap, tidak akan pernah bisa diabaikan. Periode pertama ini juga menyaksikan asal mula dan perkembangan obsesi Perancis dengan Italia - berasal dari invasi pertama Italia pada tahun 1494 yang merupakan bahan dasar dalam persaingan Perancis-Habsburg. Karl merebut kembali Milan dari Perancis pada tahun 1535, dan menahannya. Perancis secara efektif dikelilingi oleh wilayah Habsburg, beberapa kawasan yang diklaimnya, di antaranya: Flanders, Artois, Franche-Comte dan Milan. Perancis juga berusaha untuk mempertahankan rute invasi utara-timur dan timur ke Prancis dan untuk menjaga hubungan dengan Swiss dan Venesia, dan rute turun ke Italia tengah. Sementara tema Italia sebagian besar tidak aktif pada periode kedua, ia terulang sekitar tahun 1600 dan menjadi menonjol lagi pada periode ketiga, di abad tujuh belas. Masuknya resmi Perancis ke dalam perang dengan Spanyol.[2]

Campur tangan Denmark (1625-1630)

Campur tangan Swedia (1630-1635)

Campur tangan Perancis dan bergabung kembali dengan Swedia (1635-1648)

Perdamaian Westfalen (1648)

 
Eropa setelah Perdamaian Westfalen, 1648.

Selama periode empat tahun, partai-partai yang bertikai (Kekaisaran Romawi Suci, Perancis, dan Swedia) secara aktif melakukan negosiasi di Osnabrück dan Münster di Westfalen.[3] Akhir perang tidak hanya berakhir dengan satu perjanjian, namun oleh satu kelompok perjanjian seperti Perjanjian Hamburg. Pada tanggal 15 Mei 1648, Perdamaian Münster ditandatangani, serta mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Lebih dari lima bulan kemudian, pada tanggal 24 Oktober, Perjanjian Münster dan Osnabrück ditandatangani.[4]

Korban perang dan penyebaran penyakit

Perang Tiga Puluh Tahun merupakan malapetaka terburuk, juga bencana medis terbesar dalam sejarah Eropa modern.[5][6] Karena tidak memiliki data sensus yang baik, para sejarawan mengekstrapolasi pengalaman di daerah yang diteliti.[7] John Theibault setuju dengan kesimpulan dalam Der Dreissigjährige Krieg und das Deutsche Volk (1940) karya Günther Franz, bahwa telah terjadi penurunan populasi yang signifikan, namun bervariasi secara regional (berkisar 50%) dan menurutnya, hasil temuannya adalah yang terbaik dari yang pernah ada. [8] Perang secara langsung telah membunuh tentara dan warga sipil, menyebabkan kelaparan, menghancurkan penghidupan, mengganggu perdagangan, menunda pernikahan dan persalinan, serta memaksa banyak orang untuk pindah. Penurunan populasi di negara bagian Jerman sekitar 25% hingga 40%.[9] Beberapa daerah lebih banyak terkena dampak daripada yang lain.[10] Sebagai contoh, Württemberg kehilangan tiga perempat dari penduduknya selama perang.[11] Di wilayah Brandenburg, penurunan populasi hingga setengahnya, sementara di beberapa daerah, diperkirakan dua pertiga penduduknya meninggal.[12] Populasi laki-laki di negara bagian Jerman berkurang hampir setengahnya.[13] Penduduk di wilayah Ceko mengalami penurunan sepertiga akibat perang, penyakit, kelaparan, dan pengusiran penduduk Ceko Protestan.[14][15] Sebagian besar penghancuran kehidupan sipil dan harta benda disebabkan oleh kekejaman dan keserakahan tentara bayaran.[16] Desa-desa sangat mudah menjadi mangsa tentara perampok. Mereka yang bertahan, seperti desa kecil Drais dekat Mainz, membutuhkan waktu sekitar seratus tahun untuk pulih kembali. Tentara Swedia sendiri mungkin telah menghancurkan hingga 2.000 istana, 18.000 desa, dan 1.500 kota di Jerman, atau sepertiga dari seluruh kota di Jerman.[17]

Perang tersebut menyebabkan pemindahan lokasi yang serius baik dalam ekonomi dan populasi di Eropa tengah, namun tidak lebih dari memperburuk perubahan yang telah terjadi sebelumnya.[18][19] Beberapa sejarawan berpendapat bahwa biaya perang, sebenarnya dapat memperbaiki standar hidup orang-orang yang selamat.[20] Menurut Ulrich Pfister, Jerman adalah salah satu negara terkaya di Eropa per kapita pada tahun 1500, namun berada pada peringkat yang jauh lebih rendah pada tahun 1600. Kemudian, pulih pada periode 1600-1660, sebagian berkat kejutan demografis Perang Tiga Puluh Tahun.

Galeri

Pranala luar

Catatan

  1. ^ Selepas Perang Habsburg-Valois, Perancis telah menanam kebencian pada Habsburg, meskipun kedua negara tersebut beragama Katolik.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal-usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik. ISBN 9786021426128. 
  2. ^ a b M., Sutherland, N. (1992-07-01). "The Origins of the Thirty Years War and the Structure of European Politics". The English Historical Review (dalam bahasa Inggris). CVII (CCCCXXIV). doi:10.1093/ehr/CVII.CCCCXXIV.587. ISSN 0013-8266. 
  3. ^ Bring, Ove (August 2000). "The Westphalian Peace Tradition in. International Law. From Jus ad Bellum to Jus contra Bellum". International Law Studies. 75: 58. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  4. ^ "Germany History Timeline". countryreports.org. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  5. ^ Parker, Geoffrey (2008). "Crisis and catastrophe: The global crisis of the seventeenth century reconsidered". American Historical Review. 113 (4): 1053–1079. doi:10.1086/ahr.113.4.1053. 
  6. ^ Outram, Quentin (2002). "The Demographic impact of early modern warfare". Social Science History. 26 (2): 245–272. doi:10.1215/01455532-26-2-245. 
  7. ^ Outram, Quentin (2001). "The socio-economic relations of warfare and the military mortality crises of the Thirty Years' War". Medical History. 45 (2): 151–184. doi:10.1017/S0025727300067703. PMC 1044352 . 
  8. ^ Theibault, John (1997). "The Demography of the Thirty Years War Re-revisited: Günther Franz and his Critics". German History. 15 (1): 1–21. doi:10.1093/gh/15.1.1. 
  9. ^ "History of Europe – Demographics". Encyclopædia Britannica.
  10. ^ Thirty Years' War: Battle of Breitenfeld, HistoryNet
  11. ^ "Germany  — The Thirty Years' War  — The Peace of Westphalia". About.com. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  12. ^ Prussia in the later 17th century, University of Wisconsin-Madison
  13. ^ Coins of the Thirty Years' War, The Wonderful World of Coins, Journal of Antiques & Collectibles January Issue 2004
  14. ^ "The Thirty Years' War  — Czech republic". czech.cz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 May 2008. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  15. ^ "Historical/Cultural Timeline – 1600s". College of Education, University of Houston. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  16. ^ "The Thirty Year War and its Consequences". Universitätsstadt Tübingen. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2008. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  17. ^ "Population". History Learningsite. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  18. ^ Germany after the Thirty Years' War Diarsipkan 17 February 2009 di Wayback Machine., Boise State University
  19. ^ "The Thirty Years' War". history-world.org. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  20. ^ German economic growth, 1500–1850, Pfister