Penyatuan Jerman
Penyatuan Jerman menjadi sebuah negara bangsa yang bersatu dalam politik dan pemerintahan diproklamasikan pada 18 Januari 1871 di Balai Cermin Istana Versailles di Prancis. Sejumlah pangeran Jerman yang sebelumnya berdaulat atas negaranya masing-masing berkumpul untuk menobatkan Raja Prusia, Wilhelm I sebagai Kaisar Jerman pertama. Penobatan ini terjadi setelah aliansi negara-negara berbahasa Jerman mengalahkan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia. Transisi de facto sebagian besar penduduk berbahasa Jerman menjadi negara-negara yang tergabung dalam konfederasi telah berlangsung secara tidak resmi melalui aliansi resmi dan tidak resmi para penguasa — tetapi tanpa kemajuan yang berarti, karena kepentingan pribadi penguasa menghambat proses penyatuan selama hampir satu abad setelah pembubaran Kekaisaran Romawi Suci (1806) dan kebangkitan nasionalisme Jerman selama era peperangan Napoleon.
Penyatuan ini menimbulkan ketegangan akibat perbedaan religius, linguistik, sosial, dan budaya penduduk Kekaisaran Jerman, sehingga peristiwa tahun 1871 hanya merupakan satu momen dalam serangkaian proses penyatuan yang lebih besar. Sebelumnya, Kaisar Romawi Suci sering kali disebut "Kaisar seluruh Jerman ", dan di Kekaisaran, anggota bangsawan tinggi disebut "Pangeran-Pangeran Jerman", sebab wilayah-wilayah berbahasa Jerman yang sebelumnya disebut Francia Timur terorganisasi menjadi kerajaan-kerajaan kecil sebelum bangkitnya Karel yang Agung (800 M). Karena wilayah tersebut memiliki relief yang bergunung-gunung, muncul perbedaan budaya, pendidikan, bahasa, dan agama di antara warga yang saling terisolasi. Namun, Jerman pada abad ke-19 menikmati kemajuan transportasi dan komunikasi yang menghubungkan rakyatnya dalam budaya yang lebih besar.
Kekaisaran Romawi Suci, yang meliputi lebih 500 negara merdeka, secara resmi dibubarkan ketika Kaisar Franz II turun dari tahta (6 Agustus 1806) selama Perang Koalisi Ketiga. Walaupun pembubaran Kekaisaran mengakibatkan gangguan hukum, administratif, dan politik, penduduk wilayah berbahasa Jerman di Kekaisaran tersebut memiliki bahasa, budaya, dan tradisi hukum bersama yang semakin diperkuat oleh pengalaman bersama selama Perang Revolusi Prancis dan Peperangan Napoleon. Namun, masing-masing negara merdeka tersebut memiliki kelas penguasa, asosiasi feudal, tradisi, dan hukum tersendiri. Selain itu, terdapat kecenderungan untuk menolak perubahan karena para bangsawan ingin mempertahankan kekuasaan mereka. Liberalisme Eropa menjadi dasar intelektual penyatuan Jerman karena menentang model organisasi politik dan sosial yang absolutis dan dinastik; liberalisme Jerman menekankan pentingnya kesatuan tradisi, pendidikan, dan bahasa. Sementara itu, dalam bidang ekonomi, pendirian Zollverein (serikat pabean) Prusia pada tahun 1818 yang meliputi negara-negara Konfederasi Jerman mengurangi kompetisi di dalam dan antar negara. Kemajuan transportasi memfasilitasi kunjungan bisnis dan wisata, sehingga mendorong kontak dan juga konflik antar penutur bahasa Jerman.
Lingkup pengaruh diplomatik yang ditetapkan oleh Kongres Wina pada tahun 1814–15 setelah Peperangan Napoleon mendukung dominasi Austria di Eropa Tengah. Namun, negosiator di Wina tidak mempertimbangkan pertumbuhan kekuatan Prusia dan tidak memperkirakan bahwa Prusia akan bangkit dan menantang kepemimpinan Austria atas negara-negara Jerman. Akibat dualisme Jerman ini, terdapat dua solusi untuk masalah penyatuan: Kleindeutsche Lösung, solusi Jerman kecil (Jerman tanpa Austria), dan Großdeutsche Lösung, solusi Jerman Raya (Jerman dengan Austria).
Sejarawan memperdebatkan apakah Otto von Bismarck — Presiden Menteri Prusia — memiliki rencana untuk menyatukan negara-negara Jerman dengan Konfederasi Jerman Utara menjadi satu negara atau hanya ingin memperkuat Kerajaan Prusia. Mereka menyimpulkan bahwa kekuatan Realpolitik Bismarck dan faktor-faktor lain memicu reorganisasi politik, ekonomi, militer, dan diplomatik negara-negara Jerman pada abad ke-19. Tanggapan terhadap nasionalisme Denmark dan Prancis menjadi pendorong bagi upaya penyatuan Jerman. Kemenangan Prusia dalam tiga perang regional menghasilkan antusiasme dan kebanggaan yang dapat dimanfaatkan oleh politikus untuk mendorong penyatuan. Pengalaman ini mengingatkan rakyat Jerman akan pencapaian bersama dalam Peperangan Napoleon, terutama Perang Pembebasan pada tahun 1813–14. Dengan mendirikan Jerman tanpa Austria, penyatuan politik dan administratif pada tahun 1871 menyelesaikan masalah dualisme untuk sementara.
Rentang waktu
- 1801: Napoleon Bonaparte, kaisar Prancis, memulai kampanye penaklukannya ke negara-negara Jermanik di timur sungai Rhein.
- 1804: Pembubaran Kekaisaran Romawi Suci. Franz I dari Austria mendeklarasikan kekaisaran baru, Kekaisaran Austria.
- 1815: Setelah kekalahan Napoleon, Kongres Wina menyatukan negara-negara Jermanik dalam Konfederasi Jerman di bawah kepemimpinan Kekaisaran Austria.
- 1819: Dekret Carlsbad menekan gerakan-gerakan pan-Jermanik yang berusaha menciptakan sebuah 'negara Jerman'; namun demikian, Kerajaan Prusia berhasil mendirikan serikat dengan negara-negara Konfederasi lainnya.
- 1834: Serikat yang dipimpin Prusia tersebut kemudian berkembang menjadi Zollverein yang mencakup seluruh negara Konfederasi kecuali Kekaisaran Austria.
- 1848: Revolusi terjadi di wilayah-wilayah Konfederasi Jerman, seperti Berlin, Dresden, dan Frankfurt, dan memaksa Raja Prusia Friedrich Wilhelm IV untuk membiarkan Konfederasi membuat konstitusinya sendiri. Pada tahun yang sama, Parlemen Frankfurt didirikan dan berusaha memproklamasikan Jerman bersatu, namun ditolak oleh Friedrich Wilhelm IV. Muncul diskusi tentang mana yang lebih baik antara membangun negara Jerman bersatu tanpa Austria di dalamnya (solusi ini disebut sebagai Solusi Kleindeutsch) atau membangun negara Jerman bersatu dengan memasukkan Austria ke dalamnya (solusi ini disebut sebagai Großdeutsch)
- 1861: Raja Wilhelm I menjadi Raja Prusia dan menunjuk Otto von Bismarck sebagai Kanselir. Otto von Bismarck condong pada pendekatan 'darah-dan-besi', yaitu pendekatan lewat perang dan kekerasan, untuk menciptakan negara Jerman bersatu di bawah kepemimpinan Prusia.
- 1864: Perang antara bangsa Denmark dan Prusia terjadi karena Denmark memasukkan Schleswig sebagai bagian dari Kerajaan Denmark. Kekaisaran Austria terlibat dalam perang atas dorongan Otto von Bismarck. Pasukan gabungan Austria dan Prusia berhasil memenangkan pertempuran dan mendapatkan wilayah Schleswig yang berada di Utara dan Holstein yang berada di Selatan. Dua wilayah ini kemudian dibagi dua, Prusia mendapatkan Schleswig sementara Austria mendapatkan Holstein dalam Perjanjian Wina (1864).
- 1866: Bismarck menuduh Kekaisaran Austria berada di balik kekacauan yang terjadi di Schleswig. Tentara Prusia kemudian merangsek masuk ke wilayah Holstein dan mengambil alih kekuasaan di sana. Austria marah dan mendeklarasikan perang terhadap Prusia, sehingga memicu Perang Austria-Prusia (atau biasa disebut sebagai Perang Tujuh Minggu). Austria kalah dalam perang ini. Dalam Perjanjian Praha (1866), Konfederasi Jerman secara resmi dibubarkan. Prusia membentuk Konfederasi Jerman Utara yang mencakup seluruh negara Jerman kecuali negara-negara pro-Prancis seperti Bayern, Baden, dan Württemberg.
- 1870: Ketika Kaisar Prancis Napoleon III meminta paksa kekuasaan atas wilayah Rheinland sebagai balas jasa atas sikap netralnya dalam perang Austria-Prusia, Bismarck malah memasukkan negara-negara Jerman di selatan ke dalam konfederasinya. Ini menimbulkan kemarahan Prancis yang segera menyatakan perang terhadap Prusia.
- 1871: Perang Prancis-Prusia berakhir dengan kemenangan tentara Prusia yang berhasil menguasai Paris, ibu kota Kekaisaran Prancis Kedua. Bayern, Baden, dan Württemberg yang semula di bawah pengaruh Paris pun dipaksa bergabung dengan Konfederasi Jerman Utara melalui Perjanjian Frankfurt (1871). Bismarck memproklamirkan Raja Wilhelm I sebagai pemimpin negara Jerman bersatu yang baru, yang disebut sebagai Reich Jerman. Karena ibu kotanya dikuasai pasukan asing, Napoleon III membubarkan Kekaisaran Prancis dan sebuah republik baru, Republik Prancis Ketiga, berdiri di bawah kepemimpinan Adolphe Thiers.
Eropa Tengah berbahasa Jerman pada awal abad ke-19
Sebelum tahun 1806, terdapat lebih dari 300 entitas politik di wilayah Eropa Tengah yang berbahasa Jerman. Sebagian besar merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci atau dominion Wangsa Habsburg. Luas entitas-entitas tersebut bervariasi dari yang kecil dan kompleks (seperti wilayah keluarga Hohenlohe) hingga yang besar seperti Kerajaan Bayern dan Prusia. Sistem pemerintahan entitas-entitas tersebut juga bermacam-macam. Beberapa merupakan kota kekaisaran merdeka dengan luas yang berbeda-beda (seperti Augsburg yang kuat dan Weil der Stadt yang sangat kecil). Terdapat pula wilayah-wilayah keuskupan dengan luas dan pengaruh yang bermacam-macam pula, seperti Biara Reichenau yang kaya dan Keuskupan Agung Köln yang kuat. Selain itu terdapat negara-negara bersistem dinasti seperti Württemberg. Wilayah-wilayah tersebut (atau sebagian — Wangsa Habsburg dan Hohenzollern Prusia juga memiliki wilayah di luar Kekaisaran) merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci, yang pada saat itu meliputi lebih dari 1.000 entitas. Semenjak abad ke-15, dengan beberapa pengecualian, elektor-pangeran Kekaisaran Romawi Suci memilih kepala Wangsa Habsburg sebagai pemegang gelar Kaisar Romawi Suci. Di antara negara-negara berbahasa Jerman, mekanisme administratif dan hukum Kekaisaran Romawi Suci mewadahi penyelesaian sengketa antara petani dan tuan tanah, baik antar jurisdiksi maupun di dalam jurisdiksi. Melalui lingkar kekaisaran (Reichskreise), sekelompok negara menggabungkan sumber daya dan mendorong kepentingan regional dan organisasional, termasuk kerja sama ekonomi dan perlindungan militer.[1]
Dalam Perang Koalisi Kedua (1799–1802), Napoleon Bonaparte berhasil mengalahkan tentara kekaisaran. Traktat Lunéville (1801) dan Amiens (1802) serta Mediatisasi 1803 menyerahkan banyak wilayah Kekaisaran Romawi Suci kepada negara-negara dinasti dan wilayah keuskupan yang disekulerisasi. Sebagian besar kota kekaisaran dibubarkan, dan penduduk di wilayah-wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan adipati dan raja. Perubahan ini terutama memperluas wilayah Württemberg dan Baden. Pada tahun 1806, setelah Napoleon berhasil menyerang Prusia dan mengalahkan tentara gabungan Prusia dan Rusia dalam Pertempuran Jena-Auerstedt, Napoleon menetapkan Traktat Pressburg, yang memaksa Kaisar membubarkan Kekaisaran Romawi Suci.[2]
Kebangkitan nasionalisme Jerman di bawah sistem Napoleonik
Di bawah hegemoni Kekaisaran Prancis (1804–1814), nasionalisme Jerman berkembang pesat di negara-negara Jerman yang telah direorganisasi oleh Napoleon. Akibat pengalaman bersama, muncul berbagai justifikasi untuk mengidentifikasi "Jerman" sebagai satu negara. Bagi filsuf Jerman Johann Gottlieb Fichte,
Batas pertama, awal, dan alamiah suatu negara tanpa diragukan lagi adalah batas internal mereka. Mereka yang menuturkan bahasa yang sama saling tergabung dalam banyak sekali ikatan tak tampak, jauh sebelum seni manusia pertama dibuat; mereka memahami satu sama lain dan memiliki kekuatan untuk lebih dapat dipahami dengan lebih jelas; mereka terikat bersama dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.[3]
Bahasa bersama dipandang sebagai dasar suatu bangsa, namun menurut sejarawan dibutuhkan lebih dari kesamaan bahasa untuk menyatukan ratusan entitas berbahasa Jerman.[4] Pengalaman Eropa Tengah yang berbahasa Jerman selama periode hegemoni Prancis mendorong munculnya semangat bersama untuk mengusir Prancis dan menegaskan kembali kekuasaan atas tanah mereka sendiri. Kampanye militer Napoleon di Polandia (1806–07), Semenanjung Iberia, dan Jerman barat, serta kegagalan invasi Prancis ke Rusia tahun 1812 mengecewakan banyak orang Jerman, baik penguasa maupun petani. Sistem Kontinental Napoleon hampir menghancurkan ekonomi Eropa Tengah. Invasi ke Rusia yang diikuti oleh hampir 125.000 tentara dari tanah Jerman dan kehancuran angkatan bersenjata tersebut mendorong keinginan banyak orang Jerman (baik yang berstatus tinggi maupun rendah) untuk menghilangkan pengaruh Napoleon dari Eropa Tengah.[5] Pendirian milisi pelajar seperti Korps Bebas Lützow merupakan salah satu contoh hasrat tersebut.[6]
Kegagalan Prancis di Rusia melemahkan kontrol Prancis atas penguasa-penguasa Jerman. Pada tahun 1813, Napoleon melancarkan kampanye militer di negara-negara Jerman untuk mengembalikan mereka ke dalam hegemoni Prancis, sehingga Perang Koalisi Keenam bermula. Pada Oktober 1813, meletus pertempuran besar di Leipzig, yang melibatkan lebih dari 500.000 tentara selama tiga hari, sehingga menjadikannya pertempuran darat terbesar di Eropa pada abad ke-19. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh Koalisi Austria, Prusia, Rusia, Sachsen, dan Swedia, sehingga kekuasaan Prancis di sebelah timur sungai Rhein berakhir. Keberhasilan ini mendorong tentara Koalisi untuk mengejar Napoleon di seberang sungai Rhein; angkatan bersenjata dan pemerintahannya mengalami keruntuhan, dan Koalisi memenjarakan Napoleon di pulau Elba. Ketika Napoleon kembali ke Prancis dan memulai periode restorasi yang disebut periode 100 Hari pada tahun 1815, tentara Koalisi Ketujuh (yang meliputi angkatan bersenjata Britania dan sekutunya di bawah komando Adipati Wellington dan angkatan bersenjata Prusia di bawah komando Gebhard von Blücher) berhasil mengalahkan Napoleon di Waterloo (18 Juni 1815).[7] Peran penting yang dimainkan oleh tentara Blücher, terutama setelah harus mundur dari medan perang di Ligny sehari sebelumnya, membantu mengubah alur pertempuran. Kavaleri Prusia mengejar tentara Prancis pada sore hari tanggal 18 Juni, sehingga memastikan kemenangan Koalisi. Dari sudut pandang Jerman, tindakan tentara Blücher di Waterloo dan upaya gabungan di Leipzig menjadi kebanggaan tersendiri.[8] Interpretasi ini mendorong munculnya mitos Borussia yang dikemukakan oleh sejarawan nasionalis pro-Prusia pada akhir abad ke-19.[9]
Reorganisasi Eropa Tengah dan kemunculan dualisme Jerman
Setelah kekalahan Napoleon, Kongres Wina menetapkan sistem politik-diplomatik baru di Eropa berdasarkan keseimbangan kekuasaan. Sistem ini mereorganisasi Eropa menjadi lingkup pengaruh, yang kadang-kadang mengabaikan aspirasi beberapa bangsa, seperti bangsa Jerman dan Italia.[10] Secara umum, Prusia yang menjadi lebih besar setelah perang dan 38 negara Jerman lain tergabung dalam suatu konfederasi yang berada di bawah lingkup pengaruh Kekaisaran Austria. Konfederasi tersebut dinamai Konfederasi Jerman (1815–1866), yang dikepalai oleh Austria, dengan "Dewan Federal" (Bundestag atau Bundesversammlung) yang berkumpul di kota Frankfurt am Main dan terdiri dari para pemimpin negara-negara anggota berdaulat. Sebagai pengakuan akan posisi kekaisaran yang sebelumnya dipegang oleh Wangsa Habsburg, kaisar-kaisar Austria memegang gelar "presiden" di dewan tersebut. Namun, dominasi Austria yang ditetapkan oleh Kongres Wina gagal mempertimbangkan kebangkitan Prusia dalam politik Kekaisaran Romawi Suci pada abad ke-18. Semenjak elektor-pangeran Brandenburg menjadikan dirinya raja di Prusia pada awal abad tersebut, wilayah mereka terus meluas melalui perang dan pewarisan. Kekuatan Prusia semakin tampak dalam Perang Penerus Austria dan Perang Tujuh Tahun di bawah kepemimpinan Friedrich yang Agung.[11] Ketika Maria Theresa dan Joseph mencoba mengembalikan hegemoni Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci, Friedrich menandinginya dengan mendirikan Fürstenbund (Perserikatan Pangeran-Pangeran) pada tahun 1785. Dualisme Austria-Prusia telah mengakar di politik Kekaisaran Romawi Suci. Salah satu contoh persaingan tersebut adalah meletusnya Perang Penerus Bayern atau "Perang Kentang". Bahkan setelah Kekaisaran Romawi Suci dibubarkan, kompetisi ini masih memengaruhi perkembangan pergerakan nasionalis Jerman pada abad ke-19.[12]
Masalah reorganisasi
Meskipun disebut "Dewan", institusi ini tidak sama dengan perwakilan umum dalam konsep modern. Banyak negara-negara Jerman yang tidak memiliki konstitusi, dan negara dengan konstitusi (seperti Kadipaten Baden) mendasarkan hak suara pada kepemilikan, sehingga membatasi hak suara pada sejumlah laki-laki.[13] Selain itu, solusi ini tidak melambangkan status baru Prusia. Meskipun angkatan bersenjata Prusia dikalahkan dalam Pertempuran Jena-Auerstedt pada tahun 1806, Prusia kembali menunjukkan kemampuan tentaranya di Waterloo. Akibatnya, pemimpin Prusia berharap akan memainkan peran penting dalam politik Jerman.[14]
Kebangkitan nasionalisme Jerman, yang didorong oleh pengalaman bersama pada periode dominasi Napoleon, mengubah hubungan politik, sosial, dan budaya negara-negara Jerman.[15][16] Organisasi siswa Burschenschaft dan demonstrasi umum (seperti yang diadakan di Istana Wartburg pada Oktober 1817) membantu menimbulkan rasa kesatuan di antara penutur bahasa Jerman di Eropa Tengah. Selain itu, janji implisit (dan kadang-kadang eksplisit) selama Perang Pembebasan memunculkan harapan akan kedaulatan rakyat dan partisipasi publik dalam proses politik, meskipun janji ini tidak dipenuhi setelah perang dimenangkan. Pergolakan organisasi siswa menimbulkan ketakutan di antara pemimpin konservatif (seperti Klemens Wenzel, Pangeran von Metternich) akan kemunculan sentimen nasional; pembunuhan penulis drama Jerman August von Kotzebue pada Maret 1819 oleh siswa radikal yang menginginkan penyatuan diikuti oleh proklamasi Dekret Carlsbad pada 20 September 1819 yang menghambat kepemimpinan intelektual pergerakan nasionalis Jerman.[17]
Metternich berhasil menggunakan amarah konservatif terhadap pembunuhan tersebut untuk mengeluarkan undang-undang yang semakin membatasi media dan pergerakan liberal dan nasionalis. Akibatnya, dekret tersebut membuat Burschenschaften bergerak di bawah tanah, membatasi penerbitan karya-karya nasionalis, menyensor media dan korespondensi pribadi, dan membatasi pidato akademik oleh profesor universitas tertentu untuk menghambat diskusi nasionalis. Dekret tersebut kemudian menjadi subjek pamflet Johann Joseph von Görres Teutschland [archaic: Deutschland] und die Revolution (Jerman dan Revolusi) (1820), yang menyatakan bahwa pemerintah tidak akan bisa dan sebaiknya tidak membungkam opini publik dengan tindakan-tindakan reaksioner.[18]
Kerjasama ekonomi: uni pabean
Uni pabean yang disebut Zollverein membantu mendorong penyatuan dalam bidang ekonomi. Konsep ini awalnya digagas oleh Menteri Keuangan Prusia Hans, Count von Bülow, sebagai uni pabean Prusia pada tahun 1818. Zollverein menghubungkan berbagai wilayah Prusia dan Hohenzollern. Belakangan negara-negara Jerman lainnya juga ikut bergabung. Uni pabean ini membantu mengurangi hambatan proteksionis di antara negara-negara Jerman dan memperbaiki transportasi bahan baku dan barang jadi, sehingga barang lebih mudah dikirim dan biaya pun berkurang. Zollverein sangat penting bagi pusat-pusat industri baru yang kebanyakan terletak di daerah Rheinland, Saar, dan Ruhr.[19]
Jalan dan kereta api
Pada awal abad ke-19, kualitas jalan di Jerman sangat buruk. Pengelana asing dan lokal mengeluhkan keadaan Heerstraßen, jalan militer yang sebelumnya dipelihara untuk memudahkan pergerakan pasukan. Namun, karena negara-negara Jerman tidak lagi menjadi persimpangan militer, kualitas jalan mulai membaik; panjang jalan dengan permukaan keras di Prusia meningkat dari 3.800 kilometer pada tahun 1816 menjadi 16.600 kilometer pada tahun 1852, yang terbantu oleh penemuan macadam. Pada tahun 1835, Heinrich von Gagern menulis bahwa jalan-jalan merupakan "pembuluh darah badan politik..." dan memprediksi bahwa jalan-jalan akan mendorong kebebasan, kemerdekaan, dan kesejahteraan.[21] Berkat kemudahan pergerakan, orang-orang Jerman saling berinteraksi di berbagai tempat, seperti di kereta, hotel, restoran, atau bahkan resort terkenal seperti spa di Baden-Baden. Transportasi air juga membaik. Blokade di sungai Rhein sudah dicabut atas perintah Napoleon. Pada tahun 1820-an, dengan ditemukannya mesin uap, manusia dan hewan tidak harus lagi menarik kapal untuk melawan arus. Pada tahun 1846, 180 kapal uap mengarungi sungai-sungai di Jerman dan Danau Konstanz. Selain itu, jaringan kanal terbentang di Sungai Donau, Weser, dan Elbe.[22]
Meskipun kemajuan-kemajuan tersebut penting, jalur kereta api memiliki dampak yang paling besar. Ekonom Jerman Friedrich List menyatakan bahwa jalur kereta api dan uni pabean adalah "kembar siam".[23] Ia tidak sendiri: penyair August Heinrich Hoffmann von Fallersleben menulis puisi yang memuji Zollverein yang dimulai dengan daftar komoditas yang mendorong kesatuan Jerman.[24] Sejarawan Reich Kedua nantinya menganggap jalur kereta api sebagai indikator pertama negara yang telah bersatu; novelis patriotik Wilhelm Raabe menulis: "Kekaisaran Jerman didirikan saat pembangunan jalur kereta api pertama..."[25] Namun, tidak semua orang menyambut sang "monster besi" dengan antusiasme. Raja Prusia Friedrich Wilhelm III tidak melihat manfaat perjalanan dari Berlin ke Potsdam yang lebih cepat, dan Metternich bahkan menolak naik kereta api. Ada pula yang merasa jalur kereta api adalah "kejahatan" yang mengancam lanskap Jerman: puisi Nikolaus Lenau tahun 1838 An den Frühling (Untuk Musim Semi) meratapi bagaimana kereta api menghancurkan ketenangan hutan-hutan Jerman.[26]
Jalur Kereta Api Ludwig Bayern, yang merupakan jalur kereta penumpang atau kargo pertama di Jerman, menghubungkan Nürnberg dengan Fürth pada tahun 1835. Meskipun panjang jalurnya hanya 6 kilometer dan keretanya hanya beroperasi pada siang hari, jalur tersebut terbukti menguntungkan dan populer. Dalam waktu tiga tahun, 141 kilometer jalur kereta api telah dibangun, pada tahun 1840 462 kilometer, dan pada tahun 1860 11.157 kilometer. Jalur kereta api tersebut dibangun dalam jaringan yang menghubungkan kota-kota dan pasar-pasar di suatu wilayah, lalu wilayah dengan wilayah lain. Dengan meluasnya jalur kereta api, biaya pengangkutan barang pun berkurang: pada tahun 1840 biaya pengangkutan tercatat sebesar 18 Pfennig per ton per kilometer, sementara pada tahun 1870 menjadi lima Pfennig. Pengaruh jalur kereta api dapat dirasakan langsung. Jalur kereta api mendorong aktivitas ekonomi dengan menciptakan permintaan komoditas dan memfasilitasi perdagangan. Pada tahun 1850, jumlah barang yang diangkut kapal ke pedalaman tiga kali lebih besar daripada muatan kereta api; pada tahun 1870, kereta api mengangkut empat kali lebih banyak. Perjalanan kereta api mengubah penampilan kota dan cara orang berkelana. Dampaknya mencapai seluruh tatanan sosial, baik yang berstatus tinggi maupun rendah. Meskipun beberapa provinsi terpencil Jerman tidak terhubung oleh jalur kereta api hingga tahun 1890-an, sebagian besar penduduk dan pusat produksi telah terhubung oleh jalur kereta api pada tahun 1865.[27]
Geografi, patriotisme, dan bahasa
Karena perjalanan menjadi lebih murah, cepat, dan mudah, orang-orang Jerman mulai melihat faktor penyatu lain selain bahasa. Grimm Bersaudara, yang telah menyusun sebuah kamus besar yang disebut Der Grimm, juga mengumpulkan cerita rakyat dan fabel yang menunjukkan kemiripan di antara wilayah-wilayah berbahasa Jerman yang berbeda-beda.[28] Karl Baedeker menulis buku panduan berbagai kota dan wilayah di Eropa Tengah, menunjukkan tempat untuk tinggal dan dikunjungi, serta memaparkan sejarah singkat kastil, medan pertempuran, bangunan ternama, dan tokoh terkenal. Di panduannya juga terdapat jarak, jalan yang perlu dihindari, dan jalur hiking yang dapat dilewati.[29]
Penyair Jerman August Heinrich Hoffmann von Fallersleben tidak hanya mengekspresikan kesatuan linguistik bangsa Jerman, tetapi juga kesatuan geografisnya. Dalam karyanya Deutschland, Deutschland über Alles (yang secara resmi disebut Das Lied der Deutschen, "Lagu Bangsa Jerman"), Fallersleben menyerukan kepada penguasa-penguasa negara-negara Jerman untuk mengakui karakteristik penyatu bangsa Jerman.[30] Lagu-lagu patriotik lain seperti "Die Wacht am Rhein" ("Penjaga di Rhein") oleh Max Schneckenburger mulai memusatkan perhatian pada ruang geografis, dan tidak membatasi "kejermanan" pada bahasa bersama. Schneckenburger menulis "Penjaga di Rhein" sebagai tanggapan patriotik khusus terhadap pernyataan Prancis bahwa sungai Rhein adalah batas timur "alami" Prancis. Dalam refrainnya, ia menulis "kepada tanah air, istirahatkan pikiranmu / Penjaga berdiri di sungai Rhein". Puisi patriotik lain seperti "Das Rheinlied" ("Lagu Sungai Rhein") karya Nicholaus Becker menyerukan kepada bangsa Jerman untuk mempertahankan wilayah mereka. Pada tahun 1807, Alexander von Humboldt menyatakan bahwa karakter nasional mencerminkan pengaruh geografis, sehingga mengaitkan wilayah dengan rakyatnya. Bersamaan dengan gagasan ini, pergerakan untuk melestarikan benteng-benteng kuno dan situs bersejarah muncul, dan pergerakan ini berfokus di Rheinland, tempat terjadinya banyak konfrontasi dengan Prancis dan Spanyol.[31]
Vormärz dan liberalisme abad ke-19
Periode negara polisi di Austria dan Prusia dan penyensoran besar-besaran sebelum meletusnya Revolusi 1848 di Jerman belakangan dikenal dengan sebutan Vormärz, "sebelum Maret", yang merujuk pada bulan Maret 1848. Selama periode ini, liberalisme memperoleh momentum di Eropa; agendanya meliputi isu ekonomi, sosial, dan politik. Sebagian besar kaum liberal Eropa pada periode Vormärz menginginkan penyatuan berdasarkan asas-asas nsionalis, mendukung transisi ke kapitalisme, dan menginginkan perluasan hak suara laki-laki. "Keradikalan" mereka bergantung pada posisi mereka terkait dengan hak suara laki-laki: semakin luas definisi hak suara yang diinginkan, semakin radikal mereka.[32]
Festival Hambach: nasionalisme liberal dan tanggapan konservatif
Meskipun menghadapi reaksi dari kaum konservatif, pendukung gagasan kesatuan bergabung dengan pendukung gagasan kedaulatan rakyat di wilayah berbahasa Jerman. Festival Hambach pada Mei 1832 dihadiri oleh lebih dari 30.000 orang.[33] Festival tersebut dipromosikan sebagai pekan raya daerah[34] dan hadirinnya merayakan persaudaraan, kebebasan, dan kesatuan nasional. Para hadirin berkumpul di kota di bawah bukit dan berjalan ke reruntuhan Istana Hambach di atas bukit dekat kota Hambach, provinsi Pfalz, Bayern. Dengan membawa bendera, menghentakkan drum, dan bernyanyi, para hadirin menghabiskan pagi dan siang hari berjalan ke istana, dan begitu sampai mereka mendengarkan pidato para orator nasionalis, baik yang konservatif maupun radikal. Isinya secara keseluruhan menunjukkan perbedaan antara nasionalisme Jerman pada tahun 1830-an dan nasionalisme Prancis pada saat Revolusi Juli: nasionalisme Jerman berfokus pada pendidikan rakyat; begitu rakyat telah terdidik, mereka akan mencapai tujuannya. Retorik Hambach menekankan nasionalisme Jerman yang damai: tujuannya bukanlah untuk membangun barikade seperti nasionalisme "Prancis", tetapi membangun ikatan emosional antar kelompok.[35]
Seperti yang ia lakukan setelah pembunuhan Kotzebue pada tahun 1819, Metternich menggunakan demonstrasi di Hambach untuk mendorong kebijakan sosial yang konservatif. "Enam Pasal" pada 28 Juni 1832 menegaskan kembali asas otoritas raja. Pada 5 Juli, Dewan Frankfurt menambah 10 pasal yang mengulang peraturan yang ada mengenai penyensoran, organisasi politik yang dilarang, dan pembatasan aktivitas umum lainnya. Selain itu, negara anggota sepakat untuk mengirim bantuan kepada pemerintahan yang terancam oleh pemberontakan.[36] Pangeran Wrede memimpin setengah angkatan bersenjata Bayern ke Pfalz untuk "menundukkan" provinsi tersebut. Beberapa pembicara di Hambach ditangkap, diadili, dan dipenjara; salah satu dari mereka, yaitu mahasiswa hukum dan perwakilan Burschenschaft rahasia Karl Heinrich Brüggemann (1810–1887), dikirim ke Prusia, dan di situ ia didakwa hukuman mati, tetapi kemudian diampuni.[33]
Liberalisme dan tanggapan terhadap masalah ekonomi
Beberapa faktor lain mempersulit kebangkitan nasionalisme di negara-negara Jerman. Faktor buatan manusia meliputi persaingan politik antar anggota konfederasi Jerman, terutama antara Austria dan Prusia, dan persaingan sosial-ekonomi antar kepentingan komersial, pedagang, aristokratik, dan pemilik tanah lama. Faktor alami meliputi kekeringan besar pada awal tahun 1830-an, dan lagi pada tahun 1840-an, dan krisis makanan pada tahun 1840-an. Kesulitan lain muncul akibat industrialisasi: ketika orang mencari pekerjaan, mereka meninggalkan desa dan kota kecil untuk bekerja di kota, dan hanya kembali selama satu setengah hari pada akhir pekan.[37]
Dislokasi ekonomi, sosial, dan budaya rakyat jelata, kesulitan ekonomi yang sedang bertransisi, dan tekanan dari bencana meteorologis mengakibatkan tumbuhnya masalah di Eropa Tengah.[38] Kegagalan sebagian besar pemerintahan dalam menangani krisis makanan pada pertengahan tahun 1840-an mengakibatkan terjadinya hawar kentang (terkait dengan Kelaparan Besar Irlandia), sehingga rakyat mengira mereka yang kaya dan berkuasa tidak peduli dengan masalah mereka. Mereka yang berkuasa merasa khawatir akan kerusuhan, pergolakan politik dan sosial di antara kalangan pekerja, dan ketidakpuasan kaum terpelajar. Penyensoran, denda, pemenjaraan, dan pengasingan tidak dapat membendung kritik. Selain itu, semakin jelas bahwa Austria dan Prusia sama-sama ingin menjadi pemimpin dalam penyatuan Jerman; masing-masing mencoba menghalangi upaya lawan mereka untuk melakukan penyatuan.[39]
Upaya pertama penyatuan
Reli di Wartburg ada tahun 1817 dan Festival Hambach pada tahun 1832 tidak memiliki program penyatuan yang jelas. Di Hambach, para pembicara memiliki agenda tersendiri. Walaupun mereka dikumpulkan oleh gagasan penyatuan, mereka tidak memiliki rencana spesifik untuk mewujudkan hal tersebut, tetapi malah menggantungkan diri kepada gagasan bahwa rakyat bila terdidik akan melakukan proses penyatuan dengan sendirinya. Pidato-pidato besar, bendera, siswa yang bersemangat, dan makan siang bersama tidak berubah menjadi apaarat politik, birokratik, dan administratif baru. Meski banyak yang mengungkapkan pentingnya konstitusi, tidak ada dokumen yang dihasilkan dalam diskusi tersebut. Pada tahun 1848, para nasionalis mencoba memperbaiki masalah ini.[40]
Revolusi Jerman 1848 dan Parlemen Frankfurt
Revolusi 1848-1849 di Jerman menginginkan penyatuan Jerman di bawah satu konstitusi. Para pendukung revolusi menekan pemerintahan berbagai negara, terutama di Rheinland, untuk mendirikan dewan parlementer yang bertanggung jawab untuk membuat naskah konstitusi. Pada akhirnya, banyak pendukung revolusi sayap kiri yang mengharapkan agar konstitusi ini akan menetapkan hak suara untuk semua laki-laki, mendirikan parlemen nasional permanen, dan menyatukan Jerman, kemungkinan di bawah kepemimpinan raja Prusia. Hal ini tampak sebagai pilihan yang paling masuk akal karena Prusia adalah negara Jerman terkuat, dan juga yang terbesar. Sementara itu, secara umum, para pendukung revolusi berhaluan tengah-kanan menginginkan perluasan hak suara di negara mereka dan kemungkinan penyatuan dengan sistem yang longgar. Akibat tekanan dari mereka, diadakan berbagai pemilihan umum berdasarkan kualifikasi pemilihan yang berbeda, seperti hak pilih tiga kelas Prusia, yang memberikan lebih banyak kekuasaan perwakilan kepada beberapa kelompok - terutama yang kaya dan berkepemilikan.[41]
Pada 27 Maret 1849, Parlemen Frankfurt menetapkan Paulskirchenverfassung (Konstitusi Gereja Santo Paulus) dan menawarkan gelar Kaiser (Kaisar) kepada Raja Prusia Friedrich Wilhelm IV pada bulan berikutnya. Namun, ia menolak untuk mengambil "mahkota dari selokan" karena beberapa alasan. Di muka umum, ia menyatakan tidak dapat menerima mahkota tanpa persetujuan negara-negara Jerman lainnya. Secara pribadi, ia takut menghadapi perlawanan dari penguasa-penguasa negara-negara Jerman lainnya dan tidak ingin terjadi intervensi militer dari Austria atau Rusia. Ia juga tidak suka menerima mahkota dari parlemen yang dipilih oleh rakyat: ia tidak akan menerima mahkota dari "tanah liat".[43] Pada akhirnya, Parlemen Frankfurt berhasil merumuskan konstitusi dan menyepakati solusi kleindeutsch. Meskipun kaum liberal gagal melakukan penyatuan, mereka berhasil bekerja sama dengan penguasa-penguasa Jerman dalam hal konstitusi dan reformasi.[44]
1848 dan Parlemen Frankfurt berdasarkan tinjauan sejarah
Ahli sejarah Jerman telah memperdebatkan bagaimana keberhasilan dan kegagalan Parlemen Frankfurt memengaruhi pembentukan bangsa Jerman. Menurut salah satu mazhab yang muncul setelah Perang Dunia I dan banyak diikuti setelah Perang Dunia II, kegagalan kaum liberal Jerman di Parlemen Frankfurt menciptakan kompromi antara kelas borjuis dengan konservatif (terutama pemilik tanah Junker konservatif), yang kemudian mengarahkan Jerman pada Sonderweg, atau jalan yang berbeda dari bangsa lain.[45] Menurut argumen ini, kegagalan penyatuan pada tahun 1848 mengakibatkan pembentukan negara-bangsa Jerman yang terlambat pada tahun 1871, sehingga memperlambat perkembangan nilai-nilai nasional positif. Hitler sering kali menyerukan kepada rakyat Jerman untuk mengorbankan semuanya demi negara mereka, tetapi rezimnya tidak menciptakan nasionalisme Jerman: rezim tersebut hanya memanfaatkan nilai budaya intrinsik masyarakat Jerman yang bahkan masih ada hingga kini.[46] Selain itu, menurut argumen ini, "kegagalan" tahun 1848 menegaskan kembali keinginan aristokratik terpendam di antara kelas menengah Jerman; akibatnya, kelompok ini tidak pernah mengembangkan program modernisasi.[47]
Para ahli saat ini cenderung menolak gagasan tersebut, dan mengklaim bahwa Jerman tidak memiliki "jalan yang berbeda" dari bangsa lain.[48] Malahan, sejarawan modern mengklaim bahwa pada tahun 1848 politikus liberal telah berhasil mencapai beberapa hal. Banyak gagasan dan program mereka yang nantinya dimasukkan ke dalam program sosial Bismarck (seperti asuransi sosial, program pendidikan, dan definisi hak suara yang lebih luas). Selain itu, gagasan jalan yang berbeda bergantung pada asumsi bahwa jalan negara lain (dalam kasus ini, Britania Raya) adalah jalan yang patut diterima.[49] Argumen ini juga menentang model perkembangan yang berpusat pada Britania: penelitian perkembangan nasional Britania dan negara "normal" lainnya (seperti Prancis dan Amerika Serikat) telah menunjukkan bahwa negara-bangsa modern tidak berkembang dengan cara yang sama. Mereka juga tidak berkembang awal sekali, tetapi merupakan fenomena pertengahan hingga akhir abad ke-19.[50] Semenjak tahun 1990-an, cara pandang ini banyak diterima, meskipun beberapa sejarawan masih menganggap analisis Sonderweg sebagai analisis yang tepat untuk memahami periode Nazisme di Jerman.[51][52]
Masalah lingkup pengaruh: Uni Erfurt dan Punktasi Olmütz
Setelah Parlemen Frankfurt dibubarkan, Friedrich Wilhelm IV di bawah pengaruh Jenderal Joseph Maria von Radowitz mendukung pendirian Uni Erfurt - federasi negara-negara Jerman yang tidak termasuk Austria - berdasarkan persetujuan antara penguasa-penguasa Jerman. Penyatuan terbatas di bawah dorongan Prusia ini akan menghapuskan pengaruh Austria di negara-negara Jerman lainnya. Tekanan diplomatik gabungan dari Austria dan Rusia (penjamin persetujuan tahun 1815 yang menetapkan lingkup pengaruh di Eropa) memaksa Prusia untuk membatalkan gagasan Uni Erfurt dalam sebuah pertemuan di kota kecil Olmütz di Moravia. Pada November 1850, orang-orang Prusia - terutama Radowitz dan Friedrich Wilhelm - menyetujui pemulihan Konfederasi Jerman di bawah kepemimpinan Austria. Peristiwa ini dijuluki Punktasi Olmütz, tetapi orang-orang Prusia menyebutnya "Penghinaan Olmütz."[53]
Walaupun tampak seperti peristiwa kecil, usulan Uni Erfurt dan Punktasi Olmütz mengangkat permasalahan lingkup pengaruh di negara-negara Jerman. Masalahnya tidak lagi berkisar pada apabila, tetapi pada kapan penyatuan akan berlangsung, dan kapan sendiri bergantung pada kekuatan negara. Salah satu mantan anggota Parlemen Frankfurt, Johann Gustav Droysen, menjelaskan permasalahan ini dengan gamblang:
Kita tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa seluruh permasalahan Jerman merupakan alternatif sederhana antara Prusia dan Austria. Di negara-negara tersebut, kehidupan Jerman punya sisi positif dan negatifnya-positifnya, semua kepentingan yang nasional dan reformatif, sementara negatifnya semua yang dinastik dan destruktif Permasalahan Jerman bukanlah permasalahan konstitusional, tetapi permasalahan kekuatan.[54]
Penyatuan di bawah kondisi tersebut memicu permasalahan diplomatik yang mendasar. Kemungkinan penyatuan Jerman (atau Italia) akan mengubah sistem lingkup pengaruh yang didirikan pada tahun 1815 oleh Kongres Wina. Perancang utama konvensi tersebut, Metternich, Castlereagh, dan Tsar Alexander (dengan sekretaris luar negerinya Karl Nesselrode), telah mengorganisasi Eropa berdasarkan keseimbangan di antara empat "kekuatan besar": Britania Raya, Prancis, Rusia, dan Austria, yang masing-masing memiliki lingkup pengaruh tersendiri. Lingkup Prancis meliputi Semenanjung Iberia dan sebagian negara-negara Italia. Rusia berpengaruh di wilayah-wilayah timur Eropa Tengah dan menjadi penyeimbang di Balkan. Lingkup Austria terdiri dari wilayah-wilayah Eropa Tengah yang sebelumnya menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Sementara itu, lingkup Britania meliputi wilayah dunia lainnya, terutama lautan.[55]
Sistem lingkup pengaruh ini bergantung pada perpecahan Jerman dan Italia. Akibatnya, Jerman yang bersatu memicu permasalahan baru. Pada saat itu belum ada definisi yang dapat memastikan siapa itu orang Jerman dan seberapa luas wilayahnya. Selain itu, masih belum pasti siapa yang dapat memimpin dan mempertahankan "Jerman". Berbagai kelompok mengusulkan solusi yang berbeda. Dalam solusi Kleindeutschland ("Jerman Kecil"), negara-negara Jerman akan disatukan di bawah kepemimpinan Hohenzollern Prusia, sementara usulan Grossdeutschland ("Jerman Raya") menginginkan agar negara-negara Jerman bersatu di bawah kepemimpinan Habsburg Austria. Kontroversi ini, yang merupakan fase akhir perdebatan dualisme Jerman yang mendominasi politik negara-negara Jerman dan diplomasi Austria-Prusia semenjak pendirian Kerajaan Prusia pada tahun 1701, akan semakin memanas dalam dua puluh tahun berikutnya.[56]
Harapan luar akan penyatuan Jerman
Nasionalis lain menaruh harapan yang tinggi pada gerakan penyatuan Jerman, dan rasa frustrasi terhadap penyatuan setelah tahun 1850 sepertinya mengakibatkan kemunduran gerakan-gerakan nasionalis. Para aktivis penyatuan mengaitkan penyatuan nasional dengan kemajuan. Seperti yang ditulis oleh Giuseppe Garibaldi untuk aktivis penyatuan Jerman Karl Blind pada 10 April 1865, "perkembangan kemanusiaan tampaknya telah terhambat, dan anda dengan kecerdasan anda yang unggul akan tahu kenapa. Alasannya adalah karena di dunia ini tidak ada bangsa yang memiliki kepemimpinan yang sesungguhnya. Kepemimpinan itu, tentu saja, bukan berarti mendominasi orang lain, tetapi memimpin mereka dalam kewajiban, memimpin mereka menuju persaudaraan bangsa-bangsa yang menghancurkan semua sekat-sekat yang didirikan oleh egoisme." Garibaldi mengharapkan dari Jerman "semacam kepemimpinan [yang], dalam tradisi kekesatriaan abad pertengahan, mengabdikan diri untuk membenarkan yang salah, mendukung yang lemah, mengorbankan perolehan sementara dan keunggulan materi untuk pencapaian yang lebih baik dan memuaskan dengan menghapuskan penderitaan sesama manusia. Kita perlu sebuah bangsa yang cukup berani untuk memimpin kita ke arah ini. Bangsa itu akan mengerahkan semua yang mengalami ketidakadilan atau yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan semua yang mengalami penindasan asing."[57]
Penyatuan Jerman juga dianggap sebagai pendahulu pendirian federasi Eropa, yang didukung oleh Giuseppe Mazzini dan patriot Eropa lainnya selama tiga dasawarsa:
Pada musim semi tahun 1834, saat berada di Berne, Mazzini dan selusin pengungsi dari Italia, Polandia, dan Jerman mendirikan asosiasi baru dengan nama besar Eropa Muda. Gagasan dasar yang juga besar seperti namanya adalah bahwa seperti Revolusi Prancis tahun 1789 berhasil menghasilkan konsep kebebasan individu, revolusi lain diperlukan demi kebebasan nasional; visinya mencapai lebih dari itu karena ia berharap bahwa suatu hari bangsa-bangsa bebas akan bergabung menjadi federasi Eropa yang longgar dengan semacam dewan federal dengan fungsi untuk mengatur kepentingan bersama. [...] Tujuannya tidak lebih adalah menjungkirbalikkan penetapan yang disepakati pada tahun 1815 oleh Kongres Wina, yang telah mendirikan kembali hegemoni penindasan oleh beberapa kekuatan besar dan mencegah kemunculan bangsa-bangsa yang lebih kecil. [...] Mazzini berharap, tetapi tanpa kepercayaan diri yang tinggi, bahwa visi liga atau masyarakat bangsa-bangsa independennya akan terwujud pada masa hidupnya. Pada praktiknya, Eropa Muda tidak memiliki uang dan dukungan rakyat selama masa berdirinya yang singkat. Akan tetapi, ia tetap setia pada gagasan benua bersatu yang mengharuskan pendirian bangsa-bangsa individu terlebih dahulu.[58]
Menguatnya Prusia: Realpolitik
Raja Friedrich Wilhelm IV menderita strok pada tahun 1857 dan tidak dapat lagi memerintah, sehingga saudaranya Wilhelm menjadi pangeran yang berkuasa di Prusia pada tahun 1858. Sementara itu, Helmuth von Moltke menjadi kepala Staf Umum Prusia pada tahun 1857, dan Albrecht von Roon diangkat sebagai Menteri Perang Prusia pada tahun 1859.[59] Perubahan kekuasaan dalam tubuh militer Prusia ini berdampak besar. Von Roon dan Wilhelm (yang tertarik akan struktur militer) mulai mereorganisasi angkatan bersenjata Prusia, sementara Moltke merancang ulang pertahanan strategis Prusia dengan melancarkan komando operasional. Reformasi angkatan bersenjata Prusia (terutama cara membayar gaji tentara) mengakibatkan krisis konstitusional pada awal tahun 1860 karena parlemen dan Wilhelm - melalui menteri perangnya - sama-sama ingin mengontrol anggaran militer. Wilhelm, yang dimahkotai sebagai Raja Wilhelm I pada tahun 1861, mengangkat Otto von Bismarck menjadi Presiden Menteri Prusia pada tahun 1862. Bismarck menyelesaikan krisis ini dengan solusi yang memihak menteri perang.[60]
Perang Krimea pada tahun 1854–55 dan Perang Italia 1859 mengacaukan hubungan antara Britania Raya, Prancis, Austria, dan Rusia. Setelah peristiwa tersebut, dampak dari perancangan ulang von Moltke, restrukturisasi angkatan bersenjata von Roon dan Wilhelm, serta diplomasi Bismarck memengaruhi penyusunan kembali keseimbangan kekuatan di Eropa. Agenda gabungan mereka menjadikan Prusia sebagai kekuatan Jerman utama melalui kemenangan diplomasi - yang didukung oleh kekuatan militer Prusia - dan konservatisme internal yang dibatasi oleh pragmatisme, yang dikenal dengan julukan Realpolitik.[61]
Bismarck menjelaskan inti dari Realpolitik dalam pidato "Darah dan Besi"nya pada 30 September 1862, segera setelah ia menjadi Presiden Menteri: "permasalahan-permasalahan besar saat ini tidak akan diselesaikan oleh pidato dan keputusan mayoritas-itu adalah kesalahan besar pada tahun 1848 dan 1849—tetapi oleh besi dan darah."[62] Kata-kata Bismarck, "besi dan darah" (atau "darah dan besi"), sering kali disalahartikan sebagai bukti bahwa Jerman haus akan darah dan kekuatan.[63] Frase dari pernyataan pertamanya "permasalahan-permasalahan besar saat ini tidak akan diselesaikan oleh pidato dan keputusan mayoritas" acapkali ditafsirkan sebagai penolakan akan proses politik - penolakan yang sebenarnya tidak didukung oleh Bismarck sendiri.[64] Penekanannya pada darah dan besi bukan berarti kekuatan militer Prusia yang tak tertandingi, tetapi dua aspek penting: kemampuan negara-negara Jerman untuk menghasilkan besi dan bahan baku perang lainnya dan kemauan untuk menggunakan bahan baku tersebut apabila diperlukan.[65]
Mendirikan negara bersatu
Dalam geografi politik, tidak ada yang disebut Jerman. Terdapat Kerajaan-Kerajaan dan Kadipaten-Kadipaten Agung, dan Kadipaten-Kadipaten dan Kepangeranan-Kepangeranan, yang dihuni oleh orang-orang Jerman, dan masing-masing diperintah oleh seorang penguasa independen dengan semua aparatur negara. Namun, terdapat perasaan yang mendasar yang mengarah pada rasa nasional dan penyatuan orang-orang Jerman menjadi satu bangsa besar, yang diperintah oleh satu penguasa bersama sebagai satuan nasional.
Kebutuhan akan besi dan darah tampak semakin mencuat. Pada tahun 1862, saat Bismarck mengutarakan pidatonya, gagasan sebuah bangsa-negara Jerman dalam jiwa Pan-Jermanisme yang damai telah bergeser dari karakter yang liberal dan demokratik pada tahun 1848 menjadi karakter yang mengakomodasi Realpolitik Bismarck yang lebih konservatif. Sebagai seorang pragmatis, Bismarck paham akan kemungkinan, hambatan, dan keuntungan sebuah negara yang bersatu. Ia juga memahami kepentingan mengaitkan negara tersebut dengan dinasti Hohenzollern, yang dianggap beberapa sejarawan sebagai kontribusi utama Bismarck terhadap pendirian Kekaisaran Jerman pada tahun 1871.[67] Walaupun traktat-traktat yang mengikat berbagai negara-negara Jerman melarang Bismarck untuk mengambil tindakan sepihak, jiwa politikus dan diplomat dalam diri Bismarck menyadari ketidakpraktisan tindakan tersebut.[68] Untuk menyatukan negara-negara Jerman, Bismarck memerlukan satu musuh dari luar yang akan menyatakan perang terhadap negara-negara Jerman terlebih dahulu, sehingga menjadi casus belli untuk mengerahkan semua orang-orang Jerman. Kesempatan ini muncul dengan meletusnya Perang Prancis-Prusia pada tahun 1870. Sejarawan telah lama memperdebatkan peran Bismarck dalam peristiwa-peristiwa yang mengarah pada perang tersebut. Menurut sudut pandang tradisional, yang didukung oleh sejarawan-sejarawan pro-Prusia akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sejak awal Bismarck memang bertujuan untuk menyatukan Jerman. Namun, sejarawan-sejarawan setelah tahun 1945 meyakini bahwa Bismarck bersifat oportunis dalam jangka pendek dan tidak memiliki skema besar untuk menyatukan Jerman.[69] Meskipun begitu, Bismarck bukan penjahat maupun santo: dengan memanipulasi peristiwa pada tahun 1866 dan 1870, ia menunjukkan kemampuan politik dan diplomatik yang membuat Wilhelm beralih padanya pada tahun 1862.[70]
Terdapat tiga peristiwa yang berperan penting dalam penyatuan politik dan administratif Jerman. Peristiwa pertama adalah kematian Frederik VII dari Denmark tanpa penerus laki-laki, sehingga mengakibatkan Perang Schleswig Kedua pada tahun 1864. Kemudian, penyatuan Italia memberikan sekutu baru bagi Prusia untuk berperang melawan Austria dalam Perang Austria-Prusia pada tahun 1866. Yang terakhir, Prancis - yang takut dikepung oleh Hohenzollern - menyatakan perang terhadap Prusia pada tahun 1870, sehingga memicu Perang Prancis-Prusia. Melalui gabungan diplomasi dan kepemimpinan politik Bismarck, reorganisasi militer von Roon, dan strategi militer von Moltke, Prusia menunjukkan bahwa tidak ada penandatangan perjanjian perdamaian tahun 1815 yang dapat menjamin lingkup pengaruh Austria di Eropa Tengah, sehingga Prusia memperoleh hegemoni di Jerman dan mengakhiri perdebatan dualisme.[71]
Permasalahan Schleswig-Holstein
Episode pertama dalam kisah penyatuan Jerman oleh Bismarck disebabkan oleh Permasalahan Schleswig-Holstein. Pada 15 November 1863, Raja Christian IX dari Denmark diangkat menjadi Raja Denmark dan Adipati Schleswig dan Holstein. Pada 18 November 1863, ia menandatangani Konstitusi November Denmark dan menyatakan Kadipaten Schleswig sebagai bagian dari Denmark. Konfederasi Jerman menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran Protokol London 1852 yang menekankan keterpisahan status Kerajaan Denmark dari kadipaten-kadipaten merdeka Schleswig dan Holstein. Selain itu, penduduk Schleswig dan Holstein menghargai pemisahan ini. Konfederasi Jerman dapat memanfaatkan isu etnis di kadipaten-kadipaten tersebut sebagai seruan perang: sebagian besar penduduk Schleswig dan Holstein merupakan etnis Jerman dan berbahasa Jerman dalam kehidupan sehari-hari (walaupun Schleswig juga memiliki minoritas Denmark yang cukup besar). Upaya diplomatik untuk membatalkan Konstitusi November telah gagal, dan peperangan dimulai ketika tentara Prusia dan Austria menyeberang perbatasan dan memasuki Schleswig pada 1 Februari 1864. Awalnya, orang-orang Denmark berusaha mempertahankan negara mereka dengan menggunakan tembok tanah kuno yang disebut Danevirke, namun tindakan ini tidak berhasil. Denmark tidak dapat mengalahkan tentara gabungan Prusia dan Austria, dan mereka tidak dapat meminta bantuan dari sekutu mereka di Skandinavia karena Denmark telah membatalkan hak aliansinya dengan melanggar Protokol London. Senapan Jarum, salah satu senapan bolt-action pertama yang digunakan dalam perang, membantu Prusia dalam perang ini dan Perang Austria-Prusia dua tahun kemudian. Senapan ini memungkinkan tentara Prusia menembak lima kali sembari berbaring, sementara senapan jenis sebelumnya hanya dapat menembak satu kali dan perlu diisi ulang saat berdiri. Perang Schleswig Kedua berhasil dimenangkan oleh tentara gabungan Prusia dan Austria, dan kedua negara memperoleh wilayah Schleswig dan Holstein berdasarkan Traktat Wina yang ditandatangani pada 30 Oktober 1864.[72]
Perang Austria-Prusia 1866
Episode kedua dalam upaya penyatuan oleh Bismarck berlangsung pada tahun 1866. Bersamaandengan Italia yang baru dibentuk, Bismarck menciptakan keadaan diplomatik yang membuat Austria menyatakan perang pada Prusia. Sebelum perang meletus, di Frankfurt kedua negara mengklaim sebagai perwakilan semua negara-negara Jerman di parlemen. Pada April 1866, perwakilan Prusia di Firenze menandatangani perjanjian rahasia dengan pemerintah Italia. Mereka berjanji untuk membantu satu sama lain dalam perang melawan Austria. Pada hari berikutnya, perwakilan Prusia di dewan Frankfurt mempresentasikan rencana yang menyerukan pembuatan konstitusi nasional, dewan nasional yang dipilih secara langsung, dan hak pilih universal. Kaum liberal Jerman meragukan rencana ini karena telah menyaksikan hubungan Bismarck yang ambigu dan sulit dengan Landtag Prusia (Parlemen Negara): Bismarck sering kali membujuk dan memandang buruk para anggota perwakilan. Mereka yang ragu menganggap rencana tersebut sebagai upaya untuk memperkuat Prusia dan bukan agenda reformasi yang progresif.[73]
Mendukung Austria atau Prusia
Perdebatan mengenai usulan konstitusi nasional menjadi buntu setelah berita pergerakan tentara Italia di Tirol dan di dekat perbatasan Venesia mencapai Wina pada April 1866. Pemerintah Austria memerintahkan mobilisasi sebagian di wilayah-wilayah selatan; Italia membalas dengan melancarkan mobilisasi penuh. Meskipun diminta untuk berpikir dan bertindak secara rasional, Italia, Prusia, dan Austria langsung melancarkan perang. Pada 1 Mei, Wilhelm memberikan komando atas angkatan bersenjata Prusia kepada von Moltke, dan pada hari berikutnya ia memulai mobilisasi berskala penuh.[74]
Di dewan legislatif di Frankfurt, sekelompok negara-negara berukuran sedang yang disebut Mittelstaaten (Bayern, Württemberg, Baden, Hesse, Sachsen–Weimar, Sachsen–Meiningen, Sachsen–Coburg, dan Nassau), mendukung demobilisasi penuh dalam konfederasi. Masing-masing pemerintahan negara-negara ini menolak janji dan ancaman Bismarck dalam upayanya untuk mengajak mereka melawan Habsburg. Kabinet perang Prusia sadar bahwa hanya ada dua negara-negara Jerman yang mendukung Prusia melawan Habsburg, yaitu Mecklenburg-Schwerin dan Mecklenburg-Strelitz, dan keduanya tidak memiliki kekuatan militer atau politik yang berarti. Mereka juga tahu bahwa satu-satunya sekutu Prusia di luar negeri adalah Italia.[75]
Perlawanan terhadap taktik kekuatan fisik Prusia bermunculan di berbagai kelompok sosial dan politik. Di negara-negara Jerman, dewan kota, anggota parlemen liberal yang mendukung negara bersatu, dan kamar dagang - yang akan memperoleh keuntungan besar dari penyatuan - menentang perang antara Prusia dan Austria. Mereka yakin bahwa konflik tersebut hanya memenuhi kepentingan dinasti-dinasti kerajaan. Kepentingan mereka, yang dianggap oleh mereka sebagai kepentingan "sipil" atau "borjuis", seolah menjadi tidak relevan. Pendapat publik juga menentang dominasi Prusia. Penduduk Katolik di sepanjang sungai Rhein - terutama di wilayah kosmopolitan seperti Köln dan wilayah padat di Lembah Ruhr - terus mendukung Austria. Pada akhir musim semi, negara-negara Jerman yang paling penting menentang upaya Berlin untuk mereorganisasi negara-negara Jerman dengan paksa. Kabinet Prusia memandang kesatuan Jerman sebagai permasalahan kekuatan dan pertanyaan mengenai siapa yang memiliki kekuatan dan kemauan untuk memegang kekuatan tersebut. Sementara itu, kaum liberal di dewan Frankfurt menganggap kesatuan Jerman sebagai proses negosiasi yang akan mengarah pada pembagian kekuasaan oleh berbagai pihak.[76]
Austria terisolasi
Walaupun beberapa negara Jerman awalnya mendukung Austria, mereka memilih untuk bertahan dan gagal melancarkan serangan yang efektif terhadap tentara Prusia. Akibatnya, tentara Austria menghadapi tentara Prusia yang memiliki teknologi yang lebih unggul dengan dukungan dari Sachsen saja. Prancis menjanjikan bantuan, tetapi terlambat dan bantuannya sendiri tidak cukup.[77] Lebih lagi, mobilisasi Italia di perbatasan selatan Austria mengharuskan Austria untuk membagi pasukannya untuk berperang di front kedua di Venesia dan Laut Adriatik.[78] Pada akhirnya, Pertempuran Königgrätz yang berlangsung sepanjang hari di desa Sadová memberikan Prusia kemenangan yang menentukan jalannya perang.[79]
Realpolitik dan Konfederasi Jerman Utara
Perjanjian perdamaian perlu segera ditandatangani agar Rusia tidak campur tangan untuk membantu Austria.[80] Prusia mencaplok Hannover, Hesse-Kassel, Nassau, dan Frankfurt. Hesse Darmstadt kehilangan sebagian wilayahnya, tetapi kedaulatannya masih tetap ada. Negara-negara di sebelah selatan sungai Main (Baden, Württemberg, dan Bayern) menandatangani perjanjian terpisah yang mengharuskan mereka membayar ganti rugi dan membentuk persekutuan dengan Prusia, sehingga memasukkan mereka ke dalam lingkup pengaruh Prusia. Austria dan sebagian besar sekutunya dikecualikan dari Konfederasi Jerman Utara.[81]
Berakhirnya dominasi Austria atas negara-negara Jerman mengalihkan perhatian Austria ke wilayah Balkan. Pada tahun 1867, kaisar Austria Franz Joseph menerima penetapan (Kompromi Austria-Hungaria 1867) yang memberi wilayah Hungaria status yang sama dengan wilayah Austria, sehingga berdirilah Dwimonarki Austria-Hungaria[82] Perdamaian Praha (1866) menawarkan syarat-syarat yang lebih ringan kepada Austria, yang merestrukturisasi hubungan Austria denganItalia; walaupun tentara Austria lebih berhasil dalam peperangan melawan Italia, Austria kehilangan provinsi Venesia. Habsburgs menyerahkan Venesia kepada Prancis, yang kemudian secara resmi menyerahkan wilayah tersebut kepada Italia.[83] Rakyat Prancis tidak menyukai kemenangan Prusia dan meminta Revanche pour Sadová ("balas dendam untuk Sadova"). Hal ini menggambarkan sentimen anti-Prusia di Prancis - masalah yang akan semakin menguat dalam bulan-bulan menjelang Perang Prancis-Prusia.[84] Perang Austria-Prusia juga merusak hubungan Prusia dengan pemerintahan Prancis. Dalam sebuah pertemuan di Biarritz pada September 1865 dengan Napoleon III, Bismarck membiarkan Napoleon mengira (atau Napoleon III mengira) bahwa Prancis boleh menganeksasi sebagian dari Belgia dan Luksemburg sebagai ganti atas kenetralannya dalam perang. Aneksasi tersebut tidak berlangsung, sehingga Napoleon menjadi bermusuhan kepada Bismarck.
Kekalahan Austria mengakibatkan peninjauan kembali divisi internal, otonomi lokal, dan liberalisme.[85] Konfederasi Jerman Utara yang baru memiliki konstitusi, bendera, dan struktur pemerintahan dan administratifnya sendiri. Melalui kemenangan militer, Prusia di bawah pengaruh Bismarck telah mengalahkan perlawanan Austria terhadap gagasan penyatuan Jerman. Pengaruh Austria terhadap negara-negara Jerman telah dihancurkan, tetapi perang ini juga memecah semangat persatuan pan-Jerman: sebagian besar negara-negara Jerman tidak menyukai politik kekuatan Prusia.[86]
Perang melawan Prancis
Pada tahun 1870, Perang Austria-Prusia telah memberikan tiga pelajaran penting. Pelajaran pertama adalah bahwa melalui kekuatan senjata, suatu negara yang kuat dapat menantang persekutuan dan lingkup pengaruh lama yang ditetapkan pada tahun 1815. Kedua, melalui manuver diplomatik, seorang pemimpin yang cakap dapat membuat suatu keadaan yang membuat negara lawan menyatakan perang terlebih dahulu, sehingga mendorong negara yang bersekutu dengan "korban" agresi untuk membantu negara tersebut. Terakhir, kapasitas militer Prusia jauh melebihi Austria, sehingga Prusia adalah satu-satunya negara dalam Konfederasi (atau di antara negara-negara Jerman secara umum) yang mampu melindungi semua negara Jerman dari kemungkinan campur tangan atau agresi. Pada tahun 1866, kebanyakan negara-negara berukuran sedang menentang Prusia, tetapi pada tahun 1870 negara-negara tersebut telah ditundukkan dan dibujuk untuk bersekutu dengan Prusia. Dengan memanipulasi politik Eropa, Bismarck menciptakan situasi yang membuat Prancis berperan sebagai penyerang, sementara Prusia menjadi "pelindung" hak-hak dan kebebasan Jerman.[87]
Keruntuhan lingkup pengaruh di Spanyol
Di Kongres Wina pada tahun 1815, Metternich dan sekutu-sekutu konservatifnya mendirikan kembali monarki Spanyol di bawah kepemimpinan Raja Ferdinand VII. Dalam waktu empat puluh tahun, kekuatan-kekuatan besar masih mendukung monarki Spanyol, tetapi peristiwa pada tahun 1868 menguji sistem lama. Revolusi di Spanyol menjatuhkan Ratu Isabella II, dan tahta kerajaan tetap kosong sementara Isabella hidup dalam pengasingan di Paris. Bangsa Spanyol yang sedang mencari penerus Katolik yang tepat menawarkan jabatan raja kepada tiga pangeran Eropa, namun semuanya ditolak oleh Napoleon III sebagai tokoh berpengaruh kuat di tingkatan regional. Akhirnya, pada tahun 1870 mahkota ditawarkan kepada Leopold dari Hohenzollern-Sigmaringen, pangeran Katolik dari garis keturunan Hohenzollern.[88]
Dalam beberapa minggu, tawaran Spanyol menjadi topik perbincangan di Eropa. Bismarck mendorong Leopold agar menerima tawaran tersebut.[89] Apabila seseorang dari wangsa Hohenzollern-Sigmaringen diangkat menjadi raja Spanyol, di kedua sisi perbatasan Prancis akan terdapat raja-raja Jerman dari garis keturunan Hohenzollern. Hal ini mungkin menyenangkan Bismarck, tetapi tidak dapat diterima oleh Napoleon III atau Agenor, duc de Gramont, Menteri Luar Negeri Prancis. Gramont menulis ultimatum kepada Wilhelm sebagai kepala keluarga Hohenzollern dan menyatakan bahwa apabila seorang pangeran Hohenzollern menerima mahkota Spanyol, pemerintah Prancis akan menanggapinya-walaupun ia tidak menjelaskan tanggapan apa yang akan diberikan. Pangeran Leopold mengundurkan diri dari pencalonan, sehingga meredakan krisis, tetapi duta besar Prancis untuk Berlin tidak membiarkan isu tersebut hilang.[90] Ia mendekati Raja Prusia secara langsung saat sang raja sedang berlibur di Bad Ems, dan meminta agar Raja mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa ia tidak akan memperbolehkan pemasangan seorang Hohenzollern di tahta Spanyol. Wilhelm menolak memberi pernyataan tersebut, dan mengirimkan berita tertulis kepada Bismarck melalui telegram yang mendeskripsikan permintaan Prancis. Bismarck menggunakan telegram raja, yang disebut berita tertulis Ems, sebagai templat untuk pernyataan singkat di media. Setelah Bismarck menyingkat dan mempertajam kata-kata raja - ditambah dengan perubahan yang dibuat dalam proses penerjemahan oleh instansi Prancis Havas — berita tertulis Ems menimbulkan kemarahan di Prancis. Rakyat Prancis, yang masih marah akan kekalahan di Sadová, meminta perang.[91]
Operasi militer
Napoleon III mencoba memperoleh kompensasi wilayah dari kedua belah pihak sebelum dan sesudah Perang Austria-Prusia. Namun, meskipun berperan sebagai mediator dalam negosiasi perdamaian, ia tidak mendapatkan apa-apa. Ia berharap bahwa Austria akan ikut serta dalam perang untuk membalas dendam. Selain itu, ia juga ingin agar mantan sekutu Austria - terutama negara-negara Jerman di selatan seperti Baden, Württemberg, dan Bayern — turut membantu Prancis. Harapan ini pupus setelah traktat tahun 1866 diberlakukan dan menyatukan negara-negara Jerman secara militer untuk berperang melawan Prancis. Alih-alih melancarkan perang pembalasan dendam melawan Prusia yang didukung oleh sekutu-sekutu Jerman, Prancis malah berperang melawan negara-negara Jerman tanpa sekutu sama sekali.[92] Reorganisasi militer oleh von Roon dan strategi operasional Moltke berdampak besar dalam perang melawan Prancis. Kecepatan mobilisasi Prusia membuat kagum Prancis, dan kemampuan Prusia untuk memusatkan kekuatan di tempat-tempat tertentu - yang mirip dengan strategi Napoleon tujuh puluh tahun sebelumnya - mengalahkan mobilisasi Prancis. Dengan menggunakan jaringan rel yang dibuat secara efisien, tentara Prusia dikirim ke medan pertempuran dengan kondisi siap untuk bertempur, sementara tentara Prancis harus berjalan menempuh jarak yang jauh untuk mencapai tempat pertempuran. Setelah sejumlah pertempuran meletus, terutama Spicheren, Wörth, Mars la Tour, dan Gravelotte, tentara Prusia berhasil mengalahkan angkatan bersenjata utama Prancis dan maju ke kota Metz dan ibu kota Prancis di Paris. Mereka menawan Napoleon III dan seluruh angkatan bersenjata Prancis di Sedan pada 1 September 1870.[93]
Proklamasi Kekaisaran Jerman
Penangkapan kaisar Prancis yang memalukan dan penawanan seluruh angkatan bersenjata Prancis mengacaukan pemerintahan Prancis; musuh-musuh Napoleon menjatuhkan pemerintahannya dan memproklamirkan Republik Prancis Ketiga.[94] Komando Tinggi Jerman memperkirakan tawaran perdamaian dari Prancis, namun republik baru menolak menyerah. Angkatan bersenjata Prusia mengepung Paris hingga pertengahan Januari, dan kota tersebut "dibombardir secara tidak efektif"".[95] Pada 18 Januari 1871, pangeran-pangeran Jerman dan komandan militer senior memproklamirkan Wilhelm sebagai "Kaisar Jerman" di Balai Cermin Istana Versailles.[96] Berdasarkan Traktat Frankfurt yang ditandatangan sesudahnya, Prancis menyerahkan wilayah berbahasa Jermannya (Alsace dan wilayah Lorraine yang berbahasa Jerman); membayar ganti rugi (berdasarkan populasi) yang disesuaikan dengan jumlah yang ditetapkan oleh Napoleon Bonaparte terhadap Prusia pada tahun 1807;[97] dan menerima pemerintahan Jerman atas Paris dan sebagian besar Prancis utara, dan "tentara Jerman akan mundur bertahap setiap kali pembayaran ganti rugi dicicil".[98]
Kepentingan dalam proses penyatuan
Kemenangan Prusia atas Prancis merupakan pencapaian penting dalam upaya untuk menyatukan Jerman. Pada awal tahun 1860-an, Austria dan Prusia sama-sama mengklaim sebagai perwakilan negara-negara Jerman; keduanya meyakini bahwa mereka dapat mendukung dan melindungi kepentingan Jerman. Dalam menanggapi Permasalahan Schleswig-Holstein, keduanya terbukti dapat melakukannya dengan baik. Setelah kemenangan atas Austria pada tahun 1866, Prusia mulai menekankan otoritasnya sebagai perwakilan negara-negara Jerman dan pelindung kepentingan Jerman, sementara Austria mulai mengalihkan perhatiannya pada wilayahnya di Balkan. Kemenangan atas Prancis pada tahun 1871 memperluas hegemoni Prusia atas negara-negara Jerman di tingkatan internasional. Dengan proklamasi Wilhelm sebagai Kaiser, Prusia menjadi pemimpin kekaisaran baru. Negara-negara Jerman di selatan secara resmi tergabung dalam negara Jerman yang bersatu berdasarkan Traktat Versailles 1871 (ditandatangani 26 Februari 1871; nantinya diratifikasi dalam Traktat Frankfurt pada 10 Mei 1871), yang secara resmi mengakhiri perang.[99] Meskipun Bismarck telah memimpin transformasi Jerman dari konfederasi yang longgar menjadi negara-bangsa federal, ia tidak melakukannya sendiri. Penyatuan didasarkan pada tradisi kolaborasi hukum di bawah Kekaisaran Romawi Suci dan kolaborasi ekonomi melalui Zollverein. Kesulitan Vormärz, dampak aktivitas liberal pada tahun 1848, reorganisasi militer von Roon, dan strategi von Moltke turut berperan dalam penyatuan politik.[100]
Penyatuan politik dan administratif
Kekaisaran Jerman yang baru terdiri dari 25 negara bagian, dan tiga di antaranya merupakan kota-kota Hanza. Negara baru ini merupakan perwujudan Kleindeutsche Lösung ("solusi Jerman kecil" yang tidak termasuk Austria). Menyatukan berbagai negara menjadi satu negara membutuhkan lebih dari sekadar kemenangan militer, walaupun kemenangan tersebut mungkin meningkatkan moral. Penyatuan memperlukan peninjauan ulang perilaku politik, sosial, dan budaya, dan pembentukan metafor baru mengenai "kita" dan "mereka". Siapa anggota baru bangsa baru ini? Bangsa baru ini terdiri dari apa? Bagaimana bangsa baru ini diorganisasi?[101]
Negara bagian kekaisaran
Walaupun sering dikategorikan sebagai federasi monarki, Kekaisaran Jerman sesungguhnya merupakan federasi 25 negara, dengan tiga di antaranya merupakan republik.[102]
Negara | Ibu kota | |
---|---|---|
Kerajaan (Königreiche) | ||
Prusia (Preußen) | Berlin | |
Bayern | München | |
Sachsen | Dresden | |
Württemberg | Stuttgart | |
Keharyapatihan (Großherzogtümer) | ||
Baden | Karlsruhe | |
Hessen | Darmstadt | |
Mecklenburg-Schwerin | Schwerin | |
Mecklenburg-Strelitz | Neustrelitz | |
Oldenburg | Oldenburg | |
Sachsen-Weimar-Eisenach | Weimar | |
Kadipaten (Herzogtümer) | ||
Anhalt | Dessau | |
Braunschweig | Braunschweig | |
Sachsen-Altenburg | Altenburg | |
Sachsen-Coburg dan Gotha | Coburg, Gotha | |
Sachsen-Meiningen | Meiningen | |
Kepangeranan (Fürstentümer) | ||
Lippe | Detmold | |
Reuß-Gera | Gera | |
Reuß-Greiz | Greiz | |
Schaumburg-Lippe | Bückeburg | |
Schwarzburg-Rudolstadt | Rudolstadt | |
Schwarzburg-Sondershausen | Sondershausen | |
Waldeck dan Pyrmont | Arolsen | |
Kota Hansa Merdeka (Freie Hansestädte) | ||
Bremen | ||
Hamburg | ||
Lübeck | ||
Wilayah Kekaisaran (Reichsland) | ||
Elsaß-Lothringen | Straßburg |
Struktur politik kekaisaran
Konstitusi Jerman Utara pada tahun 1866 menjadi Konstitusi Kekaisaran Jerman pada tahun 1871 (dengan beberapa penyesuaian makna). Dengan konstitusi baru ini, Jerman memperoleh beberapa karakteristik demokratik: salah satunya adalah keberadaan Reichstag yang - berlawanan dengan Parlemen Prusia - merupakan dewan perwakilan rakyat yang dipilih langsung oleh laki-laki yang telah mencapai usia 25 tahun. Selain itu, pemilihan umum pada umumnya bebas dari kecurangan, sehingga menimbulkan rasa bangga akan parlemen nasional.[103] Namun, pengesahan undang-undang memerlukan persetujuan dari Bundesrat, dewan federal yang terdiri dari perwakilan dari negara bagian, yang sangat dipengaruhi oleh Prusia. Akibatnya, Prusia memiliki pengaruh yang kuat di kedua badan, dan kekuatan eksekutif berada di tangan Raja Prusia sebagai Kaiser, yang kemudian mengangkat kanselir federal. Kanselir bertanggang jawab hanya kepada kaisar. Secara resmi, kanselir berfungsi sebagai kabinet yang terdiri dari satu orang dan bertanggung jawab atas segala urusan negara; pada praktiknya, Sekretaris Negara (pejabat tinggi birokrasi yang mengatur keuangan, perang, urusan luar negeri, dll) bertindak sebagai menteri tidak resmi. Kecuali pada tahun 1872–1873 dan 1892–1894, kanselir kekaisaran juga menjabat sebagai perdana menteri di Prusia. Dewan Kekaisaran memiliki wewenang untuk menyetujui, mengamendemen, atau menolak rancangan undang-undang, tetapi tidak memiliki hak inisiatif undang-undang (wewenang ini ada di tangan kanselir). Negara-negara bagian tetap memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi angkatan bersenjata mereka berada di bawah kendali Prusia. Militer negara-negara yang lebih besar (seperti Bayern dan Sachsen) memiliki otonomi tertentu, tetapi kemudian direformasi agar dapat dikoordinasikan dengan asas militer Prusia. Selain itu, militer negara-negara tersebut berada di bawah kendali pemerintahan federal pada masa perang.[104]
Argumen sejarah dan anatomi sosial kekaisaran
Hipotesis Sonderweg mengaitkan keadaan Jerman pada abad ke-20 yang sulit dengan dasar politik, hukum, dan ekonomi kekaisaran baru yang lemah. Kaum elit Prusia yang disebut Junker masih memiliki kekuatan politik di Jerman yang baru dibentuk. Hipotesis Sonderweg mengaitkan kekuatan mereka dengan ketiadaan revolusi yang dikobarkan oleh kelas menengah atau petani bersamaan dengan pekerja kota pada tahun 1848 dan 1871. Penelitian terkini mengenai peran Borjuis Agung - yang meliputi bankir, pedagang, industrialis, dan wiraswasta - dalam pembentukan negara Jerman yang baru telah membantah klaim dominasi politik dan ekonomi Junker sebagai kelompok sosial. Ilmu yang baru ini menunjukkan pentingnya kelas pedagang dari kota-kota Hanza dan pemimpin industri (terutama di Rheinland) dalam pembangunan Kekaisaran Jerman.[105]
Penelitian tambahan mengenai Jerman pada masa Kaisar Wilhelm juga menambah sudut pandang baru. Meskipun kaum Junker masih mengendalikan korps perwira, mereka tidak mendominasi bidang sosial, politik, dan ekonomi seperti yang dihipotesiskan oleh pengusul teori Sonderweg. Kekuatan Junker timur diseimbangkan di provinsi-provinsi barat oleh kaum Borjuis Agung dan oleh kelas profesional yang berkembang seperti birokrat, guru, profesor, dokter, pengacara, ilmuwan, dll.[106]
Di luar mekanisme politik: pembentukan bangsa
Apabila reli Wartburg dan Hambach tidak memiliki konstitusi dan aparatur administratif, masalah tersebut diselesaikan pada tahun 1867 dan 1871. Namun, pidato besar, bendera, penonton yang antusias, konstitusi, reorganisasi pollitik, superstruktur kekaisaran, dan perubahan pada uni pabean pada tahun 1867-68 masih belum menghasilkan suatu bangsa.[107]
Salah satu unsur penting dalam suatu negara-bangsa adalah budaya nasional, yang sering kali - walaupun tidak harus - dibuat melalui kebijakan nasional.[108] Dalam bangsa Jerman yang baru, kebijakan Kulturkampf (1872–78) dilancarkan untuk membereskan beberapa perbedaan dalam masyarakat Jerman, walaupun pada akhirnya tidak berhasil. Khususnya, kebijakan ini berusaha mengatur masalah bahasa, pendidikan, dan agama. Kebijakan Jermanisasi orang-orang non-Jerman (seperti orang Polandia dan Denmark) dimulai dengan pengajaran bahasa Jerman, wajib belajar, dan pembuatan kurikulum standar yang mempromosikan dan merayakan gagasan masa lalu bersama. Pada akhirnya, kebijakan tersebut juga mengatur urusan agama.[109]
Kulturkampf
Bagi beberapa orang Jerman, definisi bangsa tidak meliputi pluralisme, dan agama Katolik berada di bawah pengawasan; beberapa orang Jerman, terutama Bismarck, takut bahwa keterkaitan Katolik dengan kepausan akan membuat mereka kurang setia kepada bangsa. Sebagai kanselir, Bismarck mencoba membatasi pengaruh Gereja Katolik Roma dan partainya, Partai Tengah Katolik, melalui kebijakan sekolah, pendidikan, dan bahasa. Namun, upaya ini tidak berhasil. Partai Tengah Katolik masih tetap kuat di wilayah-wilayah Katolik seperti Bayern dan Baden selatan, dan di wilayah perkotaan yang dihuni oleh banyak penduduk desa yang mencari kerja di bidang industri. Partai ini tidak hanya mencoba melindungi hak-hak orang Katolik, tetapi juga minoritas, seperti minoritas Prancis di Alsace dan Polandia.[110]
Sementara itu, berdasarkan Hukum Mei 1873, pengangkatan pendeta dan pendidikannya berada di bawah kendali negara. Akibatnya, banyak seminari yang ditutup, dan terjadi kekurangan pendeta. Selain itu, Hukum Kongregasi 1875 membubarkan ordo-ordo religius, mengakhiri subsidi negara untuk Gereja Katolik, dan menghapuskan perlindungan agama dari konstitusi Prusia.[111]
Integrasi komunitas Yahudi
Yahudi Ashkenazi merupakan salah satu minoritas yang rentan di Jerman. Semenjak tahun 1780, setelah diberlakukannya emansipasi oleh Kaisar Romawi Suci Joseph II, Yahudi di bekas wilayah Habsburg menikmati hak istimewa dalam bidang ekonomi dan hukum: misalnya, mereka boleh memiliki tanah, dan mereka tidak harus tinggal di daerah Yahudi (juga disebut Judengasse). Mereka juga dapat masuk universitas dan berprofesi. Selama era Napoleon, pembatas antara orang-orang Yahudi dan Kristen mulai sirna. Napoleon memerintahkan emansipasi Yahudi di wilayah yang dikuasai oleh Prancis. Yahudi yang kaya, seperti orang-orang Prancis lainnya, mensponsori perkumpulan "salon"; beberapa salonnières Yahudi mengadakan pertemuan penting di Frankfurt dan Berlin, dan di tempat tersebut kaum intelektual Jerman mengembangkan intelektualisme republikannya tersendiri. Dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, setelah kekalahan Prancis, tanggapan negatif terhadap percampuran orang Yahudi dan Kristen membatasi dampak intelektual salon-salon tersebut. Selain salon, Yahudi meneruskan proses Jermanisasi dengan menggunakan cara berpakaian dan berbicara Jerman, dan berusaha untuk masuk ke dalam ruang publik Jerman pada abad ke-19. Pergerakan reformasi religius di antara orang-orang Yahudi Jerman mencerminkan upaya ini.[112]
Pada saat penyatuan, Yahudi Jerman berperan penting dalam dasar intelektual Jerman. Pengusiran orang Yahudi dari Rusia pada tahun 1880-an dan 1890-an mempersulit integrasi ke ruang publik Jerman. Ribuan Yahudi Rusia tersebut tiba di kota-kota Jerman utara; mereka dianggap kurang berpendidikan dan kurang makmur, dan kemiskinan mereka sering kali mencemaskan Yahudi yang terjermanisasi. Banyak permasalahan yang terkait dengan kemiskinan (seperti penyakit, rumah yang terlalu padat, pengangguran, putus sekolah, penolakan belajar bahasa Jerman, dll) tidak hanya menekankan perbedaan mereka dengan orang Jerman yang Kristen, tetapi juga dengan penduduk Yahudi lokal.[113]
Proses penulisan sejarah
Karena dirasa perlu dalam membangun sebuah bangsa, proses penulisan sejarah bangsa Jerman dilakukan secara serius oleh beberapa sejarawan nasionalis Jerman, termasuk Friedrich Dahlmann (1785-1860) beserta muridnya, Heinrich von Treitschke (1834-1896), Theodor Mommsen (1817-1903), dan Heinrich von Sybel (1817-1895). Dahlmann sendiri meninggal sebelum penyatuan selesai, namun ia berjasa membangun dasar-dasar penulisan sejarah Jerman lewat karya sejarahnya tentang Revolusi Inggris dan Revolusi Prancis serta peran kedua revolusi tersebut terhadap sejarah Jerman.[114]
Buku Sejarah Jerman pada Abad Kesembilan Belas karya Heinrich von Treitschke yang diterbitkan pada tahun 1879 memiliki konten yang mungkin menyesatkan: von Treitschke mengkhususkan sejarah Prusia dibanding sejarah negara-negara Jerman lainnya, dan buku tersebut berkisah tentang orang-orang Jerman dan takdir Prusia untuk menyatukan mereka. Mitos yang disebut mitos Borussia ini (Borussia adalah nama latin Prusia) menggambarkan Prusia sebagai penyelamat Jerman.[115] Prusia dianggap berperan penting dalam menyatukan negara-negara Jerman; hanya Prusia yang dianggap dapat melindungi kebebasan Jerman dari ancaman Prancis atau Prusia. Selain itu, mitos ini mengisahkan bagaimana Prusia menyelamatkan Jerman dari Napoleon pada tahun 1815 di Waterloo, mendirikan kesatuan ekonomi melalui Zollverein, dan menyatukan semua orang Jerman di bawah satu bendera pada tahun 1871.[116]
Sementara itu, kontribusi Mommsen dalam Monumenta Germaniae Historica menjadi dasar keilmuan yang mempelajari bangsa Jerman, dan memperluas definisi "Jerman" dengan memasukkan wilayah di luar Prusia ke dalamnya. Sebagai seorang profesor, sejarawan, dan teolog yang liberal, Mommsen menjadi anggota Dewan Perwakilan Prusia dari tahun 1863–1866 dan 1873–1879; ia juga menjadi anggota Reichstag dari tahun 1881–1884 untuk Partai Kemajuan Jerman (Deutsche Fortschrittspartei) yang liberal, dan nantinya untuk Partai Liberal Nasional. Ia menentang program-program antisemit dalam Kulturkampf Bismarck dan teks pedas yang digunakan Treitschke dalam karyanya Studien über die Judenfrage (Studi Permasalahan Yahudi) yang menganjurkan asimilasi dan Jermanisasi Yahudi.[117]
Referensi
Catatan kaki
- ^ Sebagai contoh, lihat James Allen Vann, The Swabian Kreis: Institutional Growth in the Holy Roman Empire 1648–1715. Vol. LII, Studies Presented to International Commission for the History of Representative and Parliamentary Institutions. Bruxelles, 1975. Mack Walker. German home towns: community, state, and general estate, 1648–1871. Ithaca, 1998.
- ^ Robert A. Kann. History of the Habsburg Empire: 1526–1918,Los Angeles, 1974, hlm. 221. In his abdication, Francis released all former estates from their duties and obligations to him, and took upon himself solely the title of King of Austria, which had been established since 1804. Golo Mann, Deutsche Geschichte des 19. und 20. Jahrhunderts, Frankfurt am Main, 2002, hlm. 70.
- ^ Fichte, Johann Gottlieb (1808). "Address to the German Nation". www.historyman.co.uk. Diakses tanggal 2009-06-06.
- ^ James Sheehan, German History, 1780–1866, Oxford, 1989, hlm. 434.
- ^ Jakob Walter, and Marc Raeff. The diary of a Napoleonic foot soldier. Princeton, N.J., 1996.
- ^ Sheehan, hlm. 384–387.
- ^ Walaupun angkatan bersenjata Prusia menjadi terkenal karena Perang Tujuh Tahun, kekalahannya yang memalukan di Jena dan Auerstadt menghancurkan kebangaan orang Prusia akan militer mereka. Selama pembuangan di Rusia, beberapa perwira, termasuk Carl von Clausewitz, mempertimbangkan reorganisasi dan metode pelatihan baru, hlm. 323.
- ^ Sheehan, hlm. 322–23.
- ^ David Blackbourn, and Geoff Eley. The peculiarities of German history: bourgeois society and politics in nineteenth-century Germany. Oxford & New York, 1984, part 1; Thomas Nipperdey, German History From Napoleon to Bismarck, 1800–1871, New York, Oxford, 1983. Chapter 1.
- ^ Sheehan, hlm. 398–410; Hamish Scott, The Birth of a Great Power System, 1740–1815, US, 2006, hlm. 329–361.
- ^ Sheehan, hlm. 398–410.
- ^ Jean Berenger. A History of the Habsburg Empire 1700–1918. C. Simpson, Trans. New York: Longman, 1997, ISBN 0-582-09007-5. hlm. 96–97.
- ^ Lloyd Lee, Politics of Harmony: Civil Service, Liberalism, and Social Reform in Baden, 1800–1850, Cranbury, New Jersey, 1980.
- ^ Adam Zamoyski, Rites of Peace: The Fall of Napoleon and the Congress of Vienna, New York, 2007, hlm. 98–115, 239–40.
- ^ L.B. Namier, (1952) Avenues of History. London, ONT, 1952, hlm. 34.
- ^ Nipperdey, hlm. 1–3.
- ^ Sheehan, hlm. 407–408, 444.
- ^ Sheehan, hlm. 442–445.
- ^ Sheehan, pp. 465–67; Blackbourn, Long Century, hlm. 106–107.
- ^ Sheehan, hlm. 460–470. German Historical Institute
- ^ Sheehan, hlm. 465.
- ^ Sheehan, hlm. 466.
- ^ Sheehan, hlm. 467–468.
- ^ Sheehan, hlm. 502.
- ^ Sheehan, hlm. 469.
- ^ Sheehan, hlm. 458.
- ^ Sheehan, hlm. 466–467.
- ^ The Brothers Grimm online. Joint Publications.
- ^ (Jerman) Hans Lulfing, Baedecker, Karl Diarsipkan 2018-09-16 di Wayback Machine., Neue Deutsche Biographie (NDB). Band 1, Duncker & Humblot, Berlin 1953, p. 516 f.
- ^ (Jerman) Peter Rühmkorf, Heinz Ludwig Arnold, Das Lied der Deutschen Göttingen: Wallstein, 2001, ISBN 3-89244-463-3, hlm. 11–14.
- ^ Raymond Dominick III, The Environmental Movement in Germany, Bloomington, Indiana University, 1992, hlm. 3–41.
- ^ Jonathan Sperber, Rhineland radicals: the democratic movement and the revolution of 1848–1849. Princeton, N.J., 1993.
- ^ a b Sheehan, hlm. 610–613.
- ^ Sheehan, hlm. 610.
- ^ Sheehan, hlm. 612.
- ^ Sheehan, hlm. 613.
- ^ David Blackbourn, Marpingen: apparitions of the Virgin Mary in nineteenth-century Germany. New York, 1994.
- ^ Sperber, Rhineland radicals. hlm. 3.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 127.
- ^ Sheehan, hlm. 610–615.
- ^ Blackbourn, Long Century, pp. 138–164.
- ^ (Jerman) Badische Heimat/Landeskunde online 2006 Veit's Pauls Church Germania. Retrieved 5 June 2009.
- ^ Jonathan Sperber, Revolutionary Europe, 1780–1850, New York, 2000.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 176–179.
- ^ Contoh-contoh argumen ini muncul dalam: Ralf Dahrendorf, German History, (1968), hlm. 25–32; (Jerman) Hans Ulrich Wehler, Das Deutsche Kaiserreich, 1871–1918, Göttingen, 1973, hlm. 10–14; Leonard Krieger, The German Idea of Freedom, Chicago, 1957; Raymond Grew, Crises of Political Development in Europe and the United States, Princeton, 1978, hlm. 312–345; Jürgen Kocka and Allan Mitchell. Bourgeois society in nineteenth-century Europe. Oxford, 1993; Jürgen Kocka, "German History before Hitler: The Debate about the German Sonderweg." Journal of Contemporary History, Vol. 23, No. 1 (January, 1988), hlm. 3–16; Volker Berghahn, Modern Germany. Society, Economy and Politics in the Twentieth Century. Cambridge, 1982.
- ^ World Encyclopedia V.3 hlm. 542
- ^ Untuk melihat ringkasan argumen ini, lihat David Blackbourn, and Geoff Eley. The peculiarities of German history: bourgeois society and politics in nineteenth-century Germany. Oxford & New York, 1984, bagian 1.
- ^ Blackbourn and Eley. Peculiarities, Part I.
- ^ Blackbourn and Eley, Peculiarities, Chapter 2.
- ^ Blackbourn and Eley, Peculiarities, pp. 286–293.
- ^ Jürgen Kocka, "Comparison and Beyond.'" History and Theory, Vol. 42, No. 1 (February, 2003), hlm. 39–44, and Jürgen Kocka, "Asymmetrical Historical Comparison: The Case of the German Sonderweg", History and Theory, Vol. 38, No. 1 (February, 1999), hlm. 40–50.
- ^ Untuk melihat analisis dari sudut pandang ini, lihat Richard J. Evans, Rethinking German history: nineteenth-century Germany and the origins of the Third Reich. London, 1987.
- ^ A. J. P. Taylor, The Struggle for Mastery in Europe 1914–1918, Oxford, 1954, hlm. 37.
- ^ J.G.Droysen, Modern History Sourcebook: Documents of German Unification, 1848–1871. Diakses pada 9 April 2009.
- ^ Zamoyski, hlm. 100–115.
- ^ Blackbourn, The long nineteenth century, hlm. 160–175.
- ^ Sisa surat tersebut mendesak bangsa Jerman untuk bersatu: "This role of world leadership, left vacant as things are today, might well be occupied by the German nation. You Germans, with your grave and philosophic character, might well be the ones who could win the confidence of others and guarantee the future stability of the international community. Let us hope, then, that you can use your energy to overcome your moth-eaten thirty tyrants of the various German states. Let us hope that in the center of Europe you can then make a unified nation out of your fifty millions. All the rest of us would eagerly and joyfully follow you." Denis Mack Smith (editor). Garibaldi (Great Lives Observed), Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J., 1969, p. 76.
- ^ Mack Smith, Denis (1994). Mazzini. Yale University Press. hlm. 11–12.
- ^ Holt, hlm. 27.
- ^ Holt, hlm. 13–14.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 175–179.
- ^ Hollyday, 1970, hlm. 16–18.
- ^ Blackbourn, Peculiarities, Bagian I.
- ^ Bismarck had "cut his teeth" on German politics, and German politicians, in Frankfurt: a quintessential politician, Bismarck had built his power-base by absorbing and co-opting measures from throughout the political spectrum. He was first and foremost a politician, and in this lied his strength. Furthermore, since he trusted neither Moltke nor Roon, he was reluctant to enter a military enterprise over which he would have no control. Mann, Chapter 6, pp. 316–395.
- ^ Isabel V. Hull, Absolute Destruction: Military culture and the Practices of War in Imperial Germany, Ithaca, New York, 2005, hlm. 90–108; 324–333.
- ^ The Situation of Germany. (PDF) - The New York Times, 1 Juli 1866.
- ^ Michael Eliot Howard, The Franco-Prussian War: the German invasion of France, 1870–1871. New York, MacMillan, 1961, hlm. 40.
- ^ Mann, hlm. 390–395.
- ^ A.J.P. Taylor, Bismarck: The Man and the Statesman. Oxford, Clarendon, 1988. Bab 1, dan Kesimpulan.
- ^ Howard, hlm. 40–57.
- ^ Sheehan, hlm. 900–904; Wawro, hlm. 4–32; Holt, hlm. 75.
- ^ Holt, hlm. 75.
- ^ Sheehan, hlm. 900–906.
- ^ Sheehan, hlm. 906; Wawro, hlm. 82–84.
- ^ Sheehan, hlm. 905–906.
- ^ Sheehan, hlm. 909.
- ^ Geoffrey Wawro, The Austro Prussian War: Austria's War with Prussia and Italy in 1866. Cambridge, Cambridge University, 1996, hlm. 50–60; 75–79.
- ^ Wawro, hlm. 57–75.
- ^ Sheehan, hlm. 908–909
- ^ Taylor, Bismarck, hlm. 87–88.
- ^ Sheehan, hlm. 910.
- ^ Sheehan, hlm. 905–910.
- ^ Rosita Rindler Schjerve Diglossia and Power: Language Policies and Practice in the Nineteenth Century Habsburg Empire, 2003, ISBN 3-11-017653-X, hlm. 199–200.
- ^ Bridge and Bullen, The Great Powers and the European States System 1814–1914.
- ^ Sheehan, hlm. 909–910; Wawro, Chapter 11.
- ^ Blackbourn, Long Century, Chapter V: From Reaction to Unification, hlm. 225–269.
- ^ Howard, hlm. 4–60.
- ^ Howard, hlm. 50–57.
- ^ Howard, hlm. 55–56.
- ^ Howard, hlm. 56–57.
- ^ Howard, hlm. 55–59.
- ^ Howard, hlm. 64–68.
- ^ Howard, hlm. 218–222.
- ^ Howard, hlm. 222–230.
- ^ Taylor, Bismarck, hlm. 126
- ^ Die Reichsgründung 1871 (The Foundation of the Empire, 1871), Lebendiges virtuelles Museum Online, accessed 2008-12-22. German text translated: [...] on the wishes of Wilhelm I, on the 170th anniversary of the elevation of the House of Brandenburg to princely status on 18 January 1701, the assembled German princes and high military officials proclaimed Wilhelm I as German Emperor in the Hall of Mirrors at the Versailles Palace.
- ^ Taylor, Bismarck, hlm. 133.
- ^ Crankshaw, Edward. Bismarck. New York, The Viking Press, 1981, hlm. 299.
- ^ Howard, Chapter XI: the Peace, hlm. 432–456.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 255–257.
- ^ Alon Confino. The Nation as a Local Metaphor: Württemberg, Imperial Germany, and National Memory, 1871–1918. Chapel Hill, University of North Carolina Press, 1997.
- ^ Richard J. Evans, Death in Hamburg: Society and Politics in the Cholera Years, 1830–1910. New York, 2005, hlm. 1.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 267.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 225–301.
- ^ David Blackbourn and Geoff Eley. The peculiarities of German history: bourgeois society and politics in nineteenth-century Germany. Oxford [Oxfordshire] and New York, Oxford University Press, 1984. Peter Blickle, Heimat: a critical theory of the German idea of homeland, Studies in German literature, linguistics and culture. Columbia, South Carolina, Camden House; Boydell & Brewer, 2004. Robert W. Scribner, Sheilagh C. Ogilvie, Germany: a new social and economic history. London and New York, Arnold and St. Martin's Press, 1996.
- ^ Beberapa dari penelitian tersebut: Geoff Eley, Reshaping the German right: radical nationalism and political change after Bismarck. New Haven, 1980. Richard J. Evans, Death in Hamburg: Society and Politics in the Cholera Years, 1830–1910.New York, 2005. Evans, Richard J. Society and politics in Wilhelmine Germany. London and New York, 1978. Thomas Nipperdey, Germany from Napoleon to Bismarck, 1800–1866. Princeton, New Jersey, 1996. Jonathan Sperber, Popular Catholicism in nineteenth-century Germany. Princeton, N.J., 1984. (1997).
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 240–290.
- ^ Untuk mengetahui lebih banyak tentang gagasan ini, lihat Joseph R. Llobera, and Goldsmiths' College. The role of historical memory in (ethno)nation-building, Goldsmiths sociology papers. London, 1996; (Jerman) Alexandre Escudier, Brigitte Sauzay, and Rudolf von Thadden. Gedenken im Zwiespalt: Konfliktlinien europäischen Erinnerns, Genshagener Gespräche; vol. 4. Göttingen: 2001; Alon Confino. The Nation as a Local Metaphor: Württemberg, Imperial Germany, and National Memory, 1871–1918. Chapel Hill, 1999.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 243–282.
- ^ Blackbourn, Long Century, hlm. 283; 285–300.
- ^ Sperber, Jonathan. Popular Catholicism in nineteenth-century Germany, Princeton, N.J., 1984.
- ^ Marion Kaplan, The making of the Jewish middle class: women, family, and identity in Imperial Germany, New York, 1991.
- ^ Kaplan, in particular, hlm. 4–7 and Conclusion.
- ^ Blackbourn and Eley, Peculiarities, hlm. 241.
- ^ Karin Friedrich, The other Prussia: royal Prussia, Poland and liberty, 1569–1772, New York, 2000, hlm. 5.
- ^ Banyak sejarawan yang mendeskripsikan mitos ini tanpa mendukungnya. Lihat Rudy Koshar, Germany's Transient Pasts: Preservation and the National Memory in the Twentieth Century. Chapel Hill, 1998; Hans Kohn. German history; some new German views. Boston, 1954; Thomas Nipperdey, Germany history from Napoleon to Bismarck.
- ^ Josep R. Llobera and Goldsmiths' College. The role of historical memory in (ethno)nation-building. Goldsmiths sociology papers. London, Goldsmiths College, 1996.
Daftar pustaka
- Berghahn, Volker. Modern Germany: Society, Economy and Politics in the Twentieth Century. Cambridge: Cambridge University Press, 1982. ISBN 978-0-521-34748-8
- Beringer, Jean. A History of the Habsburg Empire 1700–1918. C. Simpson, Trans. New York: Longman, 1997, ISBN 0-582-09007-5.
- Blackbourn, David. Marpingen: apparitions of the Virgin Mary in Bismarckian Germany. New York: Knopf, 1994. ISBN 0-679-41843-1
- __. The long nineteenth century: a history of Germany, 1780–1918. New York: Oxford University Press, 1998. ISBN 0-19-507672-9
- __ and Geoff Eley. The peculiarities of German history: bourgeois society and politics in nineteenth-century Germany. Oxford & New York: Oxford University Press, 1984. ISBN 978-0-19-873057-6
- Blickle, Peter. Heimat: a critical theory of the German idea of homeland. Studies in German literature, linguistics and culture. Columbia, South Carolina: Camden House Press, 2004. ISBN 978-0-582-78458-1
- Bridge, Roy and Roger Bullen, The Great Powers and the European States System 1814–1914, 2nd ed. Longman, 2004. ISBN 978-0-582-78458-1
- Confino, Alon. The Nation as a Local Metaphor: Württemberg, Imperial Germany, and National Memory, 1871–1918. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1997. ISBN 978-0-8078-4665-0
- Crankshaw, Edward. Bismarck. New York, The Viking Press, 1981. ISBN 0-333-34038-8
- Dahrendorf, Ralf. Society and Democracy in Germany (1979)
- Dominick, Raymond III, The Environmental Movement in Germany, Bloomington, Indiana University, 1992. ISBN 0-253-31819-X
- Evans, Richard J. Death in Hamburg: Society and Politics in the Cholera Years, 1830–1910. New York: Oxford University Press, 2005. ISBN 978-0-14-303636-4
- __. Rethinking German history: nineteenth-century Germany and the origins of the Third Reich. London, Routledge, 1987. ISBN 978-0-00-302090-8
- Flores, Richard R. Remembering the Alamo: memory, modernity, and the master symbol. Austin: University of Texas, 2002. ISBN 978-0-292-72540-9
- Friedrich, Karin, The other Prussia: royal Prussia, Poland and liberty, 1569–1772, New York, 2000. ISBN 978-0-521-02775-5
- Grew, Raymond. Crises of Political Development in Europe and the United States. Princeton, Princeton University Press, 1978. ISBN 0-691-07598-0
- Hollyday, F. B. M. Bismarck. New Jersey, Prentice Hall, 1970. ISBN 978-0-13-077362-3
- Howard, Michael Eliot. The Franco-Prussian War: the German invasion of France, 1870–1871. New York, MacMillan, 1961. ISBN 978-0-415-02787-8
- Hull, Isabel. Absolute Destruction: Military culture and the Practices of War in Imperial Germany. Ithaca, New York, Syracuse University Press, 2005. ISBN 978-0-8014-7293-0
- Kann, Robert A. History of the Habsburg Empire: 1526–1918. Los Angeles, University of California Press, 1974 ISBN 978-0-520-04206-3
- Kaplan, Marion. The making of the Jewish middle class: women, family, and identity in Imperial Germany. New York, Oxford University Press, 1991. ISBN 978-0-19-509396-4
- Kocka, Jürgen and Allan Mitchell. Bourgeois society in nineteenth century Europe. Oxford, Oxford University Press, 1993. ISBN 978-0-85496-414-7
- __. "German History before Hitler: The Debate about the German Sonderweg." Journal of Contemporary History Vol. 23, No. 1 (January 1988), p. 3–16.
- __. "Comparison and Beyond.'" History and Theory Vol. 42, No. 1 (February 2003), p. 39–44.
- __. "Asymmetrical Historical Comparison: The Case of the German Sonderweg". History and Theory Vol. 38, No. 1 (February 1999), p. 40–50.
- Kohn, Hans. German history; some new German views. Boston: Beacon, 1954. OCLC 987529
- Koshar, Rudy, Germany's Transient Pasts: Preservation and the National Memory in the Twentieth Century. Chapel Hill, 1998. ISBN 978-0-8078-4701-5
- Krieger, Leonard. The German Idea of Freedom, Chicago, University of Chicago Press, 1957. ISBN 978-1-59740-519-5
- Lee, Lloyd. The politics of Harmony: Civil Service, Liberalism, and Social Reform in Baden, 1800–1850. Cranbury, New Jersey, Associated University Presses, 1980. ISBN 978-0-87413-143-7
- Llobera, Josep R. and Goldsmiths' College. "The role of historical memory in (ethno)nation-building." Goldsmiths Sociology Papers. London, Goldsmiths College, 1996. ISBN 978-0-902986-06-0
- Mann, Golo. The History of Germany Since 1789 (1968)
- Namier, L.B.. Avenues of History. New York, Macmillan, 1952. OCLC 422057575
- Nipperdey, Thomas. Germany from Napoleon to Bismarck, 1800–1866. Princeton, Princeton University Press, 1996. ISBN 978-0-691-02636-7
- Schjerve, Rosita Rindler, Diglossia and Power: Language Policies and Practice in the nineteenth century Habsburg Empire. Berlin, De Gruyter, 2003. ISBN 978-3-11-017654-4
- Schulze, Hagen. The course of German nationalism: from Frederick the Great to Bismarck, 1763–1867. Cambridge & New York, Cambridge University Press, 1991. ISBN 978-0-521-37759-1
- Scott, H. M. The Birth of a Great Power System. London & New York, Longman, 2006. ISBN 978-0-582-21717-1
- Scribner, Robert W. and Sheilagh C. Ogilvie. Germany: a new social and economic history. London: Arnold Publication, 1996. ISBN 978-0-340-51332-3
- Sheehan, James J. German history 1770–1866. Oxford History of Modern Europe. Oxford, Oxford University Press, 1989. ISBN 978-0-19-820432-9
- Sked, Alan. Decline and Fall of the Habsburg Empire 1815–1918. London, Longman, 2001. ISBN 978-0-582-35666-5
- Sorkin, David, The transformation of German Jewry, 1780–1840, Studies in Jewish history. New York, Wayne State University Press, 1987. ISBN 978-0-8143-2828-6
- Sperber, Jonathan. The European Revolutions, 1848–1851. New Approaches to European History. Cambridge, Cambridge University Press, 1984. ISBN 978-0-521-54779-6
- __. Popular Catholicism in nineteenth-century Germany. Princeton, Princeton University Press, 1984. ISBN 978-0-691-05432-2
- __. Rhineland radicals: the democratic movement and the revolution of 1848–1849. Princeton, Princeton University Press, 1993. ISBN 978-0-691-00866-0
- Stargardt, Nicholas. The German idea of militarism: radical and socialist critics, 1866–1914. Cambridge, Cambridge University Press, 1994. ISBN 978-0-521-46692-9
- Steinberg, Jonathan. Bismarck: A Life (2011)
- Taylor, A. J. P., The Struggle for Mastery in Europe 1914–1918, Oxford, Clarendon, 1954. ISBN 978-0-19-881270-8
- __. Bismarck: The Man and the Statesman. Oxford: Clarendon, 1988. ISBN 978-0-394-70387-9
- Victoria and Albert Museum, Dept. of Prints and Drawings, and Susan Lambert. The Franco-Prussian War and the Commune in caricature, 1870–71. London, 1971. ISBN 0-901486-30-2
- Walker, Mack. German home towns: community, state, and general estate, 1648–1871. Ithaca, Syracuse University Press, 1998. ISBN 978-0-8014-8508-4
- Wawro, Geoffrey. The Austro-Prussian War. Cambridge, Cambridge University Press, 1996. ISBN 0-521-62951-9
- ___. Warfare and Society in Europe, 1792–1914. 2000. ISBN 978-0-415-21445-2
- Wehler, Hans Ulrich. The German Empire, 1871-1918 (1997)
- Zamoyski, Adam. Rites of Peace: The Fall of Napoleon and the Congress of Vienna. New York, HarperCollins, 2007. ISBN 978-0-06-077519-3
Bacaan lanjut
- Bazillion, Richard J. Modernizing Germany: Karl Biedermann's career in the kingdom of Saxony, 1835–1901. American university studies. Series IX, History, vol. 84. New York, Peter Lang, 1990. ISBN 0-8204-1185-X
- Brose, Eric Dorn. German History, 1789–1871: From the Holy Roman Empire to the Bismarckian Reich. (1997) online edition
- Bucholz, Arden. Moltke, Schlieffen, and Prussian war planning. New York, Berg Pub Ltd, 1991. ISBN 0-85496-653-6
- ___. Moltke and the German Wars 1864–1871. New York, Palgrave MacMillan, 2001. ISBN 0-333-68758-2
- Clark, Christopher. Iron Kingdom: The Rise and Downfall of Prussia, 1600–1947. Cambridge, Belknap Press of Harvard University Press, 2006, 2009. ISBN 978-0-674-03196-8
- Clemente, Steven E. For King and Kaiser!: the making of the Prussian Army officer, 1860–1914. Contributions in military studies, no. 123. New York: Greenwood, 1992. ISBN 0-313-28004-5
- Cocks, Geoffrey and Konrad Hugo Jarausch. German professions, 1800–1950. New York, Oxford University Press, 1990. ISBN 0-19-505596-9
- Droysen, J.G. Modern History Sourcebook: Documents of German Unification, 1848–1871. Accessed April 9, 2009.
- Dwyer, Philip G. Modern Prussian history, 1830–1947. Harlow, England, New York: Longman, 2001. ISBN 0-582-29270-0
- Friedrich, Otto. Blood and iron: from Bismarck to Hitler the von Moltke family's impact on German history. New York, Harper, 1995. ISBN 0-06-016866-8
- Groh, John E. Nineteenth-century German Protestantism: the church as social model. Washington, D.C., University Press of America, 1982. ISBN 0-8191-2078-2
- Henne, Helmut, and Georg Objartel. German student jargon in the eighteenth and nineteenth centuries. Berlin & NY, de Gruyter, 1983. OCLC 9193308
- Hughes, Michael. Nationalism and society: Germany, 1800–1945. London & New York, Edward Arnold, 1988. ISBN 0-7131-6522-7
- Kollander, Patricia. Frederick III: Germany's liberal emperor, Contributions to the study of world history, no. 50. Westport, Conn., Greenwood, 1995. ISBN 0-313-29483-6
- Koshar, Rudy. Germany's Transient Pasts: Preservation and the National Memory in the Twentieth Century. Chapel Hill, University of North Carolina Press, 1998. ISBN 0-8078-4701-1
- Lowenstein, Steven M. The Berlin Jewish community: enlightenment, family, and crisis, 1770–1830. Studies in Jewish history. New York, Oxford University Press, 1994. ISBN 0-19-508326-1
- Lüdtke, Alf. Police and State in Prussia, 1815–1850. Cambridge, New York & Paris, Cambridge University Press, 1989. ISBN 0-521-11187-0
- Ogilvie, Sheilagh, and Richard Overy. Germany: A New Social and Economic History Volume 3: Since 1800 (2004)
- Ohles, Frederik. Germany's rude awakening: censorship in the land of the Brothers Grimm. Kent, Ohio, Ohio State University Press, 1992. ISBN 0-87338-460-1
- Pflanze Otto, ed. The Unification of Germany, 1848–1871 (1979), essays by historians
- Schleunes, Karl A. Schooling and society: the politics of education in Prussia and Bavaria, 1750–1900. Oxford & New York, Oxford University Press, 1989. ISBN 0-85496-267-0
- Showalter, Dennis E. The Wars of German Unification (2004)
- Showalter, Dennis E. Railroads and rifles: soldiers, technology, and the unification of Germany. Hamden, Connecticut, Hailer Publishing, 1975. ISBN 0-9798500-9-6
- Smith, Woodruff D. Politics and the sciences of culture in Germany, 1840–1920. New York, Oxford University Press, 1991. ISBN 0-19-506536-0
- Wawro, Geoffrey. The Franco-Prussian War: The German Conquest of France. Cambridge, Cambridge University Press, 2005. ISBN 0-521-61743-X
Pranala luar