Kedwibahasaan
Permasalahan yang sering dihadapi dalam proses komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat adalah adanya bilingual atau kedwibahasaan sebagai suatu kenyataan dan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.[1][2] Kedwibahasaan adalah perihal pemakaian dua bahasa seperti bahasa daerah dan bahasa nasional dalam berkomunikasi untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang suatu informasi tertentu.[2][3] Setiap masyarakat yang di dalamnya terdapat kedwibahasaan sebagi pola sistem komunikasi masyarkatnya mempunyai variable tertentu yang menentukan tipe masyrakat dwibahasaan.[1]
Faktor-faktor Pengaruh Kedwibahasaan
Adanya kedwibahasaan karena dipengaruhi beberapa faktor ekstern yaitu pergaulan hidup di keluarga, pergaulan di masyarakat, serta kemajuan teknologi, komunikasi, dan transportasi.[1] Sedangkan faktor intern yang mempengaruhi ragam kedwibahasaan seseorang adalah tahapan usia pemeroleh, usia belajar B2 (bahasa ke dua), berdasarkan konteks, berdasarkan hakikat tanda dalam kontak bahasa, tingkat pendidikan, keresmian komunikasi, dan kesosialan.[3]
Tipe-tipe Pemerolehan Kedwibahasaan
Kedwibahasaan mempunyai tipe dan klasifikasi dalam persebarannya antara lain adalah tipe ketersebaran perorangan dalam masyarakat, karena jika seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang baru akan membawa dialek yang baru juga.[1] Kedua adalah tipe horizontal dan vertical dimana suatu bahasa yang sama tetapi digunakan oleh kelompok penutur yang sama dalam kehidupannya sehari-sehari untuk berkomunikasi dengan penutur yang berbeda.[1] Ketiga, cara terjadinya tipe kedwibahasaan dapat dibedakan dari kedwibahasaan alamiah dan kedwibahasaan utama.[1] Terakhir, adalah tipe kemampuan memahami dan mengungkapkan suatu informasi yang diperoleh dari orang lain, baik secara aktif maupun pasif.[1]
Tindaklanjut Kedwibahasaan
Kedwibahsaan mengalami perkembangan dalam berbagai bentuk, secara umum perkembangan kelanjutan kedwibahasaan dapat diimplementasikan dengan konsep tetap berdwibahasa.[3] Tetap berdwibahasa yang dimaksud adalah tetap mempertahankan adanya dua bahasa tersebut yang dikenal sebagi bahasa daerah dan bahasa ibu.[1] Menjadikan kebiasaan kedwibahasaan dalam proses berkomunikasi s menjadi ala dan kebiasaan yang berbudaya .[3]
Rujukan
- ^ a b c d e f g h Drs. Kamaruddin, MA (1989). Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 1. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "rujukan1" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b Kamaruddin (1989). Panduan Mengajar Buku Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 2.
- ^ a b c d Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1988). Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa. hlm. 6. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "rujukan2" didefinisikan berulang dengan isi berbeda