Banjir lumpur panas Sidoarjo

Peristiwa menyemburnya lumpur panas di Sidoarjo, Indonesia

Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo (Lula) atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa tahun ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Lokasi

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pengeboran.

Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan permukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Perkiraan penyebab kejadian

Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu. Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.[butuh rujukan]

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.[butuh rujukan]

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inci pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inci pada 1.195 kaki, casing (liner) 16 inci pada 2.385 kaki, dan casing 13 3/8 inci pada 3.580 kaki (Lapindo Press Release ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3.580 kaki sampai ke 9.297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9 5/8 inci yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan formasi Kujung (8.500 kaki).[butuh rujukan]

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pengeboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pengeboran mereka di zona Rembang dengan target pengeborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpur Lapindo (Medici).[butuh rujukan]

Berkas:Ubo.jpg
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)

Setelah kedalaman 9.297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (berlubang-lubang). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.[butuh rujukan]

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standar, operasi pengeboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pengeboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah telanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inci. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi dan berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.[butuh rujukan] Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pengeboran migas di Indonesia setiap tindakan harus seizin BPMIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BPMIGAS.[butuh rujukan]

Dalam AAPG 2008 International Conference and Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa Bantul 2006 sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pengeboran.[butuh rujukan]

Volume lumpur

Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bledug Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik per hari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil "pengeboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia maupun Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.

Hasil uji lumpur

Beberapa hasil pengujian

Parameter

Hasil uji maks

Baku Mutu
(PP Nomor 85/1999)

Arsen

0,045 mg/L

5 mg/L

Barium

1,066 mg/L

100 mg/L

Boron

5,097 mg/L

500 mg/L

Timbal

0,05 mg/L

5 mg/L

Raksa

0,004 mg/L

0,2 mg/L

Sianida Bebas

0,02 mg/L

20 mg/L

Trichlorophenol

0,017 mg/L

2 mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
400 mg/L (2,4,4 Trichlorophenol)

Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab, dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti arsen, barium, boron, timbal, raksa, sianida bebas, dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti trichlorophenol, chlordane, chlorobenzene, kloroform, dan sebagainya. Hasil pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]

Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.

Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.

Namun kesimpulan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan hasil berbeda, dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas; dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbalnya sangat besar yaitu mencapai 146 kali dari ambang batas yang telah ditentukan.[2]

Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m³ atau setara dengan 0,23 mg/m³ atau setara dengan 0,23 mg/kg. Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung kadar chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7, 15, dan 20, yang kesemuanya di atas ambang batas.

Dengan fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2.000 kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan. Pada akibatnya terjadi:

Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, tetapi 5 hingga 10 tahun ke depan. Yang paling berbahaya akibat keberadaan PAH ini antara lain, dapat mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan.[butuh rujukan] Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur tersebut.

Hasil analisis logam pada materi.

Parameter Satuan Kep. Menkes No. 907/2002 Lumpur Lapindo Air Lumpur Lapindo Sedimen Sungai Porong Air Sungai Porong
Kromium (Cr) mg/L 0,05 nd nd nd nd
Kadmium (Cd) mg/L 0,003 0,3063 0,0314 0,2571 0,0271
Tembaga (Cu) mg/L 1 0,4379 0,008 0,4919 0,0144
Timbal (Pb) mg/L 0,05 7,2876 0,8776 3,1018 0,6949

Dampak

Berkas:Peta Semburan Lumpur.jpg
Peta Semburan

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.

  • Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
  • Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
  • Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
  • Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
  • Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
  • Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
  • Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
  • Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
  • Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah [3].
  • Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam [4].
  • Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
  • Tak kurang 600 hektare lahan terendam.
  • Sebuah SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Upaya penanggulangan

 
Rumah yang terendam lumpur panas

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. Namun, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektare, dengan mengungsikan 12.000 warga. Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342 hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober, diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.

Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal datang dua bulanan lagi. Jika perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya.

Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan jangka pendek.

Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim terdiri dari perwakilan Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar dari ITS, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang telah terhampar di atas tanah.

Skenario penghentian semburan lumpur

Ada pihak-pihak yang mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam.

Skenario pertama, menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu sistem peralatan bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang sudah ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal mendorongnya ke dalam dasar sumur.

Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (Persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara permanen sumur BJP-1.

Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini skenario ini masih dijalankan.

Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.

Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya, sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar. Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah melambungnya harga minyak.

Rovicky Dwi Putrohari, seorang geolog independen, menulis bahwa di lokasi sumur Porong-1, tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1, terlihat tanda-tanda geologi yang menunjukkan luapan lumpur pada zaman dulu, demikian analisisnya. Rovicky mencatat sebuah hal yang mencemaskan: semburan lumpur di Porong baru berhenti dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun.

Dalam dokumen Laporan Audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 disebutkan temuan-temuan bahwa upaya penghentian semburan lumpur tersebut dengan teknik relief well tidak berhasil disebabkan oleh faktor-faktor nonteknis, diantaranya: peralatan yang dibutuhkan tidak disediakan. Senada dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, Rudi Rubiandini juga menyatakan bahwa upaya penghentian semburan lumpur dengan teknik relief well tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan kekurangan dana.

Antisipasi kegagalan menghentikan semburan lumpur

Jika skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal maka tanggul yang disediakan tidak akan mampu menyimpan lumpur panas sebesar 126.000 m³ per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas yang tersedia pada pertengahan September 2006 hanya tinggal dua. Skenario ini dibuat kalau luapan lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur dianggap sebagai fenomena alam, maka skenario yang wajar adalah 'bagaimana mengalirkan lumpur ke laut' dan belajar bagaimana hidup dengan lumpur.

Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya tampungnya menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara semburan lumpur secara terus menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.

Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume penampungan lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian tengah kali tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoarjo, maka potensi penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300.000 m³ setiap kilometernya. Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur sekitar 5 juta m³, atau akan memberikan tambahan waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan ke Kali Porong tidak melebihi 50.000 m³ per hari. Bila yang akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan lumpur yang menyembur sejak awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali Porong mencapai 10 juta m³ pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang begitu besar membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar Kali Porong tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah pengembaraan koloida lumpur Sidoarjo di perairan Selat Madura, diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur tersebut di kawasan pantai Sidoarjo.

Para pakar yang melakukan simposium di ITS pada minggu kedua September, menyampaikan informasi bahwa kawasan pantai di Kabupaten Sidoarjo mengalami proses reklamasi pantai secara alamiah dalam beberapa dekade terakhir disebabkan oleh proses sedimentasi dan dinamika perairan Selat Madura. Setiap tahunnya, pantai Sidoarjo bertambah 40 meter. Sehingga upaya membentuk kawasan lahan basah di pantai yang terbuat dari lumpur panas Sidoarjo, merupakan hal yang selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai yang sudah berjalan beberapa dekade terakhir.

Dengan mengumpulkan lumpur panas Sidoarjo ke tempat yang kemudian menjadi lahan basah yang akan ditanami oleh mangrove, lumpur tersebut dapat dicegah masuk ke Selat Madura sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan tambak di kawasan pantai Sidoarjo dan nelayan penangkap ikan di Selat Madura. Pantai rawa baru yang akan menjadi lahan reklamasi tersebut dikembangkan menjadi hutan bakau yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi pemijahan ikan, daerah penyangga untuk pertambakan udang. Pantai baru dengan hutan bakau di atasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung yang menjadi sumber inspirasi dan sarana pendidikan bagi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian kawasan pantai.

Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur

Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yaitu Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas. Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudi Rubiandini ternyata gagal total walaupun telah menelan biaya 900 miliar rupiah.

Keputusan Pemerintah

Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoarjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50.000 meter kubik per hari menjadi 126.000 meter kubik per hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoarjo.

Pendapat Kontra pembuangan lumpur secara langsung

Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi [5] dan ITS [6]. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektare di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai. [7]

Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.

Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi. Sampai tahun 2009 ternyata teori itu tidak bisa membuktikan adanya dampak tersebut.

Penetapan tersangka

Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan tiga belas tersangka yakni:[8][9]

  1. Edi Sutriono selaku Drilling Manager PT Energi Mega Persada, Tbk.
  2. Nur Rochmat Sawolo selaku Vice President Drilling Share Services PT Energi Mega Persada, Tbk.
  3. Rahenod selaku Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa.
  4. Slamet B.K. selaku Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa.
  5. Subie selaku Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa.
  6. Slamet Riyanto selaku Project Manager PT Medici Citra Nusa.
  7. Yenny Nawawi selaku Dirut PT Medici Citra Nusa.
  8. Sulaiman bin H.M. Ali selaku Rig Superintendent PT Tiga Musim Mas Jaya.
  9. Sardianto selaku Tool Pusher PT Tiga Musim Mas Jaya.
  10. Lilik Marsudi selaku Driller PT Tiga Musim Mas Jaya.
  11. Willem Hunila selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
  12. Imam Pria Agustino selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc.
  13. Aswan Pinayungan Siregar selaku mantan General Manager Lapindo Brantas, Inc.

Namun perkara pidana tersebut dihentikan oleh penyidik Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa dalam perkara perdatanya gugatan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal. Selain itu, adanya perbedaan pendapat para ahli. Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama ahli tambahan, para ahli terkemuka Indonesia dan luar negeri yang tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung fakta kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, tetapi ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur (tidak ditanggapi).

Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa Timur, mengatakan bahwa UU pencemaran ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup.

Kritik

Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, karena mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah di bawah Rp100 ribu—dibeli oleh Lapindo sebesar Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta masing-masing per meter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak. Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.

Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara. [10][11]

PT Lapindo Brantas Inc. sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban. Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas. [12][13][14][15]

Referensi

Pranala luar

Lihat pula

7°31′47.28″S 112°42′49.16″E / 7.5298000°S 112.7136556°E / -7.5298000; 112.7136556