Hosti (bahasa Latin: hostia, bahasa Italia: ostia, bahasa Belanda: hostie), yang disebut pula Roti Sakramen, Roti Altar, Roti Komuni, atau Anak Domba (Templat:Lang-gre), adalah roti atau wafer yang digunakan dalam ritual perayaan Ekaristi agama Kristen. Baik tradisi Gereja Timur maupun tradisi Gereja Barat mengharuskan hosti dibuat dari gandum.

Menurut teologi Kristen Katolik Roma, roti ini berubah menjadi Tubuh Kristus pada saat pendarasan kisah institusi didaraskan (lihat transubstansiasi), sementara menurut teologi Kristen Timur, perubahan tersebut terjadi pada saat epiklesis. Sebagian kaum Protestan percaya bahwa transignifikasi berlangsung pada saat pendarasan kisah institusi.

Etimologi

Kata "hosti" dalam bahasa Indonesia[1] yang diserap dari bahasa Belanda, "hostie", berasal dari kata "hostia" dalam bahasa Latin yang berarti "kurban". Kata ini dapat digunakan sebagai sebutan bagi roti Ekaristi, baik sebelum maupun sesudah dikonsekrasi, namun sebenarnya lebih tepat digunakan sebagai sebutan bagi roti yang sudah dikonsekrasi. Sebelum dikonsekrasi, roti ini lebih tepat disebut "roti altar". Menurut teologi Kristen, kurban Yesus mengakhiri kebutuhan akan kurban hewan sebagaimana yang lazim dilakukan di Bait Allah Yerusalem, dan segala macam kurban darah, sekali untuk selama-lamanya. Meskipun demikian, kata "hosti" tetap dipertahankan sebagai sebutan bagi roti Ekaristi selaku representasi liturgis dari kurban Kristus.

Pembuatan Hosti dalam Gereja katolik Roma

 
cetakan-cetakan untuk memanggang hosti
 
detail cetakan untuk memanggang hosti
 
alat-alat pembuatan hosti

Dalam Gereja Katolik Roma, pembuatan hosti biasanya dikerjakan oleh para biarawati sebagai salah satu sumber penghasilan mereka. Hosti diharuskan diolah dari tepung gandum dan air saja (Kitab Hukum Kanonik, Kanon 924). Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa pada saat kalimat konsekrasi diucapkan, roti tersebut berubah menjadi Tubuh Kristus melalui transubstansiasi.

Petunjuk Umum Misa Romawi, 321 merekomendasikan "agar roti ekaristi ... dibuat sedemikian rupa sehingga imam, dalam misa yang dihadiri oleh umat, dapat dengan mudah memecah-mecahkannya menjadi potongan-potongan untuk didistribusikan sekurang-kurangnya kepada beberapa umat beriman. ... Tindakan pemecahan roti, yang menjadi nama perayaan Ekaristi pada zaman apostolik, akan memperlihatkan dengan lebih jelas kekuatan dan makna mendalam dari tanda kesatuan semua orang dalam satu roti, dan dari tanda amal-kasih oleh karena roti yang satu itu dibagi-bagikan antar saudara-saudari."

Gereja Roma, pada puncak kejayaannya, sungguh-sungguh cermat dalam segala hal yang berhubungan dengan roti sakramental. Menurut Steevens, dalam bukunya Monasticon, pertama-tama orang mimilih gandum, biji demi biji, lalu mencucinya dengan sangat berhati-hati. Kemudian biji-bijian tersebut, dibawa dalam sebuah kantong ke tempat penggilingan oleh seorang pelayan, yang dikenal sebagai orang baik-baik dan yang khusus ditunjuk untuk mengerjakan hal tersebut. Pelayan itu menggiling biji-biji gandum tadi dengan batu penggilingan, setelah menutupi baik bagian atas maupun bawahnya dengan tabir-tabir; dan dia sendiri telah mengenakan selembar alba serta menutupi seluruh wajahnya kecuali di bagian mata dengan selembar kerudung. Pengolahan rotinya juga dilakukan dengan cermat. Adonan tidak dipanggang sebelum dibasuh terlebih dahulu; pejabat gereja, jika dia seorang imam atau diakon, merampungkan pekerjaan itu dengan bantuan dua rohaniwan, yang berasal dari ordo yang sama, serta seorang bruder, yang khusus ditunjuk untuk melakukan tugas tersebut. Seusai matin (sembahyang subuh), keempat rahib tersebut membasuh wajah dan tangan mereka. Tiga di antaranya mengenakan alba; salah satu dari mereka membasuh adonan dengan air bersih yang murni, lalu yang lain memanggangnya dalam panggangan dari besi. Begitu besar pengabdian dan hormat, kata sejarawan tersebut, yang diberikan para rahib Cluni kepada Ekaristi! Bahkan sekarang ini pun, di daerah itu, tukang roti yang mempersiapkan wafer sakramental tersebut, harus mendapatkan penunjukan dan izin pembuatan dari uskup Katolik setempat.

Tradisi Timur dan Barat

Ritus Latin menggunakan roti tidak beragi. Gereja-Gereja Katolik Timur dan Gereja-Gereja Ortodoks Timur menggunakan roti yang beragi sebagai Prosfora (kata Yunani untuk roti altar ekaristi), kecuali dalam Gereja Apostolik Armenia, Gereja Katolik Armenia, Gereja Katolik Siro-Malabar dan Gereja Maronit yang, akibat latinisasi liturgis dalam sejarahnya, telah menerima (atau terpaksa menerima) penggunaan roti tidak beragi. Beberapa tradisi melarang penggunaan hosti yang dibubuhi rempah-rempah, perasa atau pemanis, sedangkan beberapa tradisi lain memperbolehkannya. Sekalipun demikian, baik tradisi Barat maupun Timur bersikukuh bahwa roti tersebut harus terbuat dari gandum.

Lihat pula

Keterangan

Kepustakaan

  • Tony Begonja, Eucharistic Bread-Baking As Ministry, San Jose: Resource Publications, 1991, ISBN 0-89390-200-4.

Pranala luar