Hosti (bahasa Latin: hostia, bahasa Belanda: hostie), yang juga disebut Roti Sakramen, Roti Altar, Roti Komuni, atau Anak Domba (bahasa Yunani: άμνος, amnos), adalah roti atau wafer yang digunakan dalam ritual Ekaristi agama Kristen. Baik tradisi Gereja Timur maupun tradisi Gereja Barat mewajibkan agar hosti diolah dari gandum.

Menurut teologi Katolik Roma, roti ini berubah menjadi Tubuh Kristus pada saat pendarasan kisah institusi (lihat transubstansiasi), sementara menurut teologi Kristen Timur, perubahan tersebut terjadi pada saat epiklesis. Sejumlah kalangan Protestan percaya bahwa transignifikasi berlangsung pada saat pendarasan kisah institusi.

Etimologi

Kata "hosti" dalam bahasa Indonesia[1] yang diserap dari bahasa Belanda, "hostie", berasal dari kata "hostia" dalam bahasa Latin yang berarti "kurban". Kata ini dijadikan sebutan bagi roti yang digunakan dalam perayaan Ekaristi, baik yang belum maupun yang sudah dikonsekrasi, namun sebenarnya lebih tepat bagi roti yang sudah dikonsekrasi. Sebelum dikonsekrasi, roti ini lebih tepat disebut "roti altar". Menurut teologi Kristen, kurban Yesus Kristus mengakhiri kebutuhan akan kurban hewan yang lazim dipersembahkan di Kenisah Yerusalem, dan segala macam kurban darah, sekali untuk selama-lamanya. Meskipun demikian, kata "hosti" tetap dipertahankan sebagai sebutan bagi roti Ekaristi selaku representasi liturgis dari kurban Kristus.

Tradisi Gereja Timur

 
Anak Domba dan potongan-potongannya diletakkan pada diskos dalam Liturgi Persiapan untuk perayaan Liturgi Ilahi

Kecuali Gereja-Gereja Ritus Armenia, Gereja-Gereja Ortodoks dan Gereja-Gereja Katolik Timur menggunakan roti beragi dalam perayaan Ekaristi. Roti sakramen yang beragi melambangkan Kristus yang telah bangkit. Hosti atau roti sakramen dalam Gereja-Gereja Timur dikenal dengan sebutan prosforon (bahasa Yunani: πρόσφορον), yang berarti "persembahan". Prosforon diolah dari empat bahan saja: tepung gandum putih, air bersih, ragi, dan garam. Kadang-kadang air suci dipercikkan ke atas adonan yang sudah atau sedang diuleni.

Ritus Armenia

Karena ragi adalah lambang dosa, Gereja Katolik Armenia dan Gereja Apostolik Armenia secara tradisional menggunakan roti tak beragi (wujudnya berbeda dari roti tak beragi yang digunakan Gereja Katolik Roma) sebagai lambang Kristus yang tak berdosa.

Gereja-Gereja Ortodoks Timur

Pemanggangan roti Ekaristi hanya boleh dilakukan oleh seorang pemeluk agama Kristen Ortodoks yang berkelakuan baik, sesudah melakukan pengakuan dosa, sambil berdoa dan berpuasa. Sebelum dipanggang, dua bungkah adonan ditumpuk, satu di atas yang lain, kemudian ditera dengan tera liturgi khusus. Prosforon harus masih baru, belum kering atau berjamur, pada saat disajikan di atas altar dalam perayaan Liturgi Ilahi. Seringkali ada beberapa ketul prosforon yang dipanggang dan dipersembahkan oleh umat. Imam memilih prosforon terbaik untuk dikonsekrasi menjadi anak domba (hosti), sementara prosforon selebihnya diberkati dan dibagi-bagikan kepada umat seusai perayaan Liturgi Ilahi (Ekaristi). Roti yang diberkati dan dibagi-bagikan ini disebut antidoron (bahasa Yunani: αντίδωρον, antídōron), yakni "persembahan kembalian" atau "sulih persembahan".

Gereja-Gereja Katolik Timur

Sama seperti Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Katolik Timur Ritus Bizantin menggunakan roti beragi sebagai prosforon.

Gereja Suriah Malabar dan Gereja Maronit telah mengadopsi penggunaan roti tak beragi sebagai akibat dari latinisasi liturgi.

Tradisi Gereja Barat

Gereja Katolik Roma

 
Detail perkakas pemanggang hosti

Hosti adalah roti yang digunakan untuk Perjamuan Kudus dalam agama Kristen. Dalam agama Kristen mazhab barat, hosti seringkali berwujud wafer tak beragi, bundar, dan pipih.

 
Hosti tak beragi untuk selebran misa dan penerima komuni dalam Gereja Katolik Roma

]]

Berkas:Escriva at Mass.jpg
Santo Josemaría Escrivá, seorang imam Katolik, mempersembahkan kurban misa.

Dalam Ritus Romawi, roti yang digunakan adalah roti tak beragi, yakni jenis roti yang digunakan oleh umat Yahudi dalam perayaan Paskah atau Hari Raya Roti Tidak Beragi. Kitab Hukum Kanonik, Kanon 924, mewajibkan agar hosti diolah dari tepung gandum dan air saja, serta sehingga terhindar dari pembusukan.

Hosti seringkali diolah oleh para biarawati sebagai salah satu sumber pendapatan bagi paguyuban mereka. Akan tetapi di Selandia Baru, Serikat Santo Vinsensius de Paul mempekerjakan para tunagrahita untuk memanggang, memotong, dan memilah roti tersebut, sehingga membuka lapangan kerja bagi orang-orang yang tidak berpeluang mendapatkan pekerjaan di bidang lain.[2]

Institutio Generalis Missalis Romani (Petunjuk Umum Misa Romawi) §321 menganjurkan agar "roti ekaristi ... diolah sedemikian rupa sehingga imam dalam misa yang dihadiri umat dapat memecah-mecahkannya untuk dibagi-bagikan kepada sekurang-kurangnya beberapa orang di antara umat yang hadiri. ... Tindakan pemecahan roti, yakni nama perayaan Ekaristi pada zaman para rasul, akan secara lebih jelas mengungkap daya dan arti penting dari tanda keesaan seluruh umat dalam satu roti, dan tanda kasih melalui fakta bahwa roti yang satu itu dibagi-bagikan di antara saudara dan saudari".

Pada 1995, Kardinal Joseph Ratzinger, selaku Prefek Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen kala itu, menyurati konferensi-konferensi Wali Gereja, memperluas Kitab Hukum Kanonik dengan mengeluarkan pernyataan bahwa roti rendah gluten dapat dianggap “bahan sahih” untuk dijadikan hosti selama tidak ada zat-zat tambahan yang “mengubah sifat zat dari roti itu.”[3] Sejak era 2000-an, hosti rendah gluten telah dibuat di Amerika Serikat, terutama di sejumlah daerah dalam wilayah negara bagian Missouri dan wilayah negara bagian New York.[3] Hosti termasuk salah satu penyebab sukar pulihnya para penderita penyakit seliak yang harus menjalani diet bebas gluten[4] secara ketat seumur hidupnya demi memulihkan mukosa saluran cerna dan mengurangi risiko berkembangnya komplikasi-komplikasi kesehatan yang berbahaya.[5].

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ "arti kata hosti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring". Diakses tanggal 2 Februari 2018. 
  2. ^ http://vinnies-wellington.org.nz/altar-breads/
  3. ^ a b "Low-Gluten Diet Alternatives Have Reached A New Frontier: The Catholic Church". 
  4. ^ Ciacci C, Ciclitira P, Hadjivassiliou M, Kaukinen K, Ludvigsson JF, McGough N; et al. (2015). "The gluten-free diet and its current application in coeliac disease and dermatitis herpetiformis". United European Gastroenterol J (Review). 3 (2): 121–35. doi:10.1177/2050640614559263. PMC 4406897 . PMID 25922672. 
  5. ^ See JA, Kaukinen K, Makharia GK, Gibson PR, Murray JA (Oct 2015). "Practical insights into gluten-free diets". Nat Rev Gastroenterol Hepatol (Review). 12 (10): 580–91. doi:10.1038/nrgastro.2015.156. PMID 26392070. Tidak adanya gejala-gejala dan/atau penanda-penanda serologi negatif tidak dapat diandalkan sebagai indikator-indikator dari tanggapan mukosa terhadap diet tersebut. Selain itu, lebih dari 30% pasien tetap mengalami gejala-gejala pendarahan saluran cerna meskipun menjalani diet bebas gluten (Gluten Free Diet) GFD.122,124 secara ketat. Jika ketaatan pada program diet tersebut yang dipertanyakan, suatu wawancara terstruktur oleh seorang pakar diet dapat membantu mengidentifikasi sumber-sumber gluten yang dikonsumsi pasien, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. 

Kepustakaan

  • Tony Begonja, Eucharistic Bread-Baking As Ministry, San Jose: Resource Publications, 1991, ISBN 0-89390-200-4.

Pranala luar