Justus Heurnius (lahir di Utrecht, Belanda, 1587 – meninggal di Belanda, 1652, pada umur 65 tahun) adalah seorang pendeta Belanda yang dikenal karena pelayanannya di Saparua dan partisipasinya dalam penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal Alkitab bahasa Indonesia.

Justus Heurnius
Lahir1587
Utrecht, Belanda
Meninggal1652
Belanda
KebangsaanBelanda
PekerjaanPendeta, penerjemah Alkitab
Karya terkenalInjil, Kisah Para Rasul dan Kitab Mazmur dalam bahasa Melayu
Kiprah di bidang teologi
Eraabad ke-16 dan ke-17
Tradisi atau gerakanProtestan
Minat utamaAlkitab bahasa Melayu

Kehidupan

Justus Heurnius lahir di Utrecht, Belanda, pada tahun 1587. Setelah belajar ilmu kedokteran dan kemudian ilmu teologi, berangkatlah ia dalam usia 36 tahun ke Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) pada tahun 1624. Sesudah bekerja 8 tahun di Batavia (sekarang: Jakarta), iapun dipindahkan ke Saparua dimana ia tinggal sampai tahun 1638. Pada tahun itu ia kembali ke Belanda dan meninggal di sana pada tahun 1652.[1]

Pelayanan

Heurnius adalah seorang pendeta yang sudah menunjukkan perhatian besar terhadap penginjilan, selagi ia masih di Belanda. Sebenarnya ia telah menyelesaikan pendidikan kedokteran ketika ia merasa dirinya terpanggil untuk mengabarkan Injil di Indonesia. Ia masuk sekolah tinggi lagi untuk menuntut ilmu teologi dan menghasilkan sebuah karangan yang di dalamnya ia membangunkan perhatian jemaat-jemaat Belanda untuk mengusahakan tugas Pekabaran Injil. Ketika tahun 1624 Heurnius tiba di Jakarta, dengan segera ia dapat membereskan suatu pertengkaran antara Gubernur-Jenderal dengan majelis-gereja.[2]

Penerjemahan

 
Den Psalter, Ofte de hondert en vijftigh Psalmen Des Konincklijcken Prophete Davids (1652)
 
Het Heylige Euangelium (1646)

Bahasa yang dipakai dalam semua tulisan untuk pembinaan gereja ialah bahasa Melayu (di daerah-daerah jajahan VOC lainnya dipakai juga bahasa Portugis, bahasa Tamil dan Singhala, dan beberapa bahasa-suku di Taiwan). Tetapi khususnya di Ambon tidak segera tercapai kepastian tentang bahasa yang akan dipilih menjadi bahasa-pengantar di gereja dan di sekolah. Mula-mula orang-orang Belanda ingin memasukkan bahasa Belanda. Mereka mengharap supaya dengan cara itu ikatan antara orang-orang Indonesia dengan VOC bisa diperkuat. Ada juga alasan agamawi: bahasa Melayu oleh sementara orang dianggap terlalu miskin sehingga tidak cocok untuk dipakai sebagai bahasa-pengantar bagi kebenaran ilahi. Selama sepuluh tahun pertama, pengajaran di sekolah diberikan dalam bahasa Belanda. Sejumlah anak Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik menjadi pendeta berbahasa Belanda. Tetapi usaha-usaha ini ternyata gagal. Lalu tinggal pilihan antara bahasa Melayu dan bahasa Ambon-asli. Pada zaman itu, hanya sedikit orang-orang Ambon yang mengerti bahasa Melayu, apalagi bahasa Melayu-tinggi. Tetapi bahasa Ambon sulit untuk dipelajari, dan hanya bisa dipakai di Ambon sendiri, padahal para pendeta sering dipindahkan ke daerah lain. Sebaliknya bahasa Melayu bisa mereka gunakan di mana-mana. Lagipula, orang-orang Ambon sendiri menganggap bahasa mereka terlalu miskin, dan mereka merasa malu terhadap orang-orang Islam yang menggunakan bahasa Melayu dalam menjelaskan isi Al-Quran. Dengan demikian, yang dipilih ialah bahasa Melayu. Dan karena bahasa itu adalah bahasa gereja dan sekolah, bahasa Ambon-asli lama-lama terdesak olehnya dan hilang.[3]

Hanya satu orang yang memihak kepada bahasa Ambon-asli, yaitu Heurnius (di Ambon 1633-1638). Tadinya ia hendak dikirim ke Seram, tapi Gubernur menganggap tempat itu terlampau berbahaya dan mengutus dia ke Saparua. Di sini Heurnius belajar bahasa Lease, karena itu dianggapnya "bahasa hati", yang mesti digunakan kalau benar-benar hendak menarik minat orang-orang yang terdapat di sana. Ia berkhotbah dalam bahasa itu, dan malah mulai menterjemahkan Kitab Injil ke dalamnya. Hernius mempersiapkan juga bahan-bahan dalam bahasa Lease untuk guru-guru jemaat dan mulai mendidik beberapa pemuda dari pulau-pulau Lease supaya nanti bisa memberitakan Firman Tuhan kepada teman-teman sebangsanya. Ternyata orang-orang Saparua tertarik oleh ibadah dalam bahasa mereka sendiri.[3]

Tetapi kemudian Heurnius kena racun, dan terpaksa meninggalkan pulau itu. Di kemudian hari, ketika ia sudah menjadi pendeta di Belanda, ia menerbitkan beberapa tulisan untuk dipakai di Ambon, tetapi semuanya dalam bahasa Melayu Ambon. Bahasa itulah yang menjadi bahasa masyarakat Kristen-Ambon. Begitu terikat orang-orang Ambon kepadanya, sehingga di kemudian hari guru-guru mereka yang bekerja di daerah-daerah lain enggan memakai bahasa setempat dan mau menggunakan bahasa Melayu saja di sekolah dan di gereja.[3]

Seorang pegawai VOC bernama Jan van Hasel (atau Jan van Hazel), Direktur United East India Company yang pernah belajar bahasa Melayu ketika ia tinggal di Timur, menerjemahkan Injil Lukas dan Injil Yohanes ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1646.[4] Versinya disiapkan untuk dicetak oleh Heurnius yang saat itu sudah kembali ke Belanda.[4] Hernius sendiri menerjemahkan Kisah Para Rasul.[4][5] Selanjutnya, Injil Matius dan Markus terjemahan Ruyl, beserta Injil Lukas dan Yohanes terjemahan van Hasel, kemudian direvisi oleh Heurnius berdasarkan naskah bahasa Yunaninya.[5] Lalu keempat Kitab Injil itu digabung dengan Kisah Para Rasul terjemahan Heurnius sendiri dan dicetak di Amsterdam sebagai "Empat Injil dan Kisah Rasul-rasul" di Amsterdam pada tahun 1651, juga dalam bentuk dwibahasa Belanda dan Melayu.[5] Buku "Empat Injil dan Kisah Rasul-rasul" (1651) yang juga dikenal sebagai "Kitab Ruyl-Van Hasel-Heurnius" ini sekarang disimpan antara lain di Perpustakaan Universitas Amsterdam Di Amsterdam, Belanda, dan di Perpustakaan Universitas Cambdrige di Cambridge, Inggris.[5]

Selain menerjemahkan kitab-kitab tersebut di atas, Jan van Hasel dan Justus Heurnius juga menerjemahkan Kitab Mazmur yang diterbitkan pada tahun 1652.[5]

Karya

Referensi

  1. ^ Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta. Halaman 51-52.
  2. ^ Berkhof, Dr. H. dan Dr. I. H. Enklaar. 2001. Sejarah Gereja. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 239-241.
  3. ^ a b c End, Dr. Th. van den. 1980. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 71.
  4. ^ a b c Kilgour, Rev. R, D.D. Alkitab di Tanah Hindia Belanda. Halaman 171.
  5. ^ a b c d e Soesilo, Dr. Daud H., Ph.D. 2001. Mengenal Alkitab Anda. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta. Halaman 47-48.

Pustaka

  • Berkhof, Dr. H. dan Dr. I. H. Enklaar. 2001. Sejarah Gereja. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 239-241.
  • End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 65-79.
  • Kilgour, Rev. R, D.D. Alkitab di Tanah Hindia Belanda. Halaman 171-176.
  • Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta. Halaman 46-52.
  • Soesilo, Dr. Daud H., Ph.D. 2001. Mengenal Alkitab Anda. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta. Halaman 46-48.

Pranala luar