Asal Mula Kerajaan Panjalu

Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di kaki Gunung Sawal. Secara geografis pada abad ke-15 kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Galuh sementara di selatan juga berbatasan dengan Galuh dan Galunggung, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung.

Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, dan diawali dengan awalan pa(n). Kata Panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: petarung, pasukan perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira). Nama Panjalu mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Ranggagumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah kebataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kebataraan Galunggung. Belum diketahui apakah ada kaitan antara Kerajaan Panjalu ini dengan Kerajaan Panjalu (Kediri atau Daha) di Jawa Timur.


Pendiri kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah kebataraan sama halnya dengan Kebataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja. Daerah kebataraan lebih menitikberatkan pada hal keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat penting karena seorang Batara mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.

Kekuasaan Kebataraan

Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kebataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).

Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kebataraan di Galunggung itu kekuasaan kebataraan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangagumilang, putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kebataraan menjadi sebuah daerah kerajaan. Diperkirakan kekuasaan kebataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sejaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kebataraan menjadi kerajaan.

Kekuasaan kebataraan kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.


Ibukota Panjalu

Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan jaman, beberapah lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah :


1. Karantenan Gunung Sawal.

Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m. Batu ini kemungkinan digunakan sebagai sarana upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.


2. Dayeuhluhur Maparah.

Dayeuhluhur menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Ranggagumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Tidak jauh dari dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan.


3. Nusa Larang.

Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kediaman raja dari Dayeuhluhur ke Nusalarang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada jaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Istana Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kepatihan untuk Patih Panji Barani.


4. Dayeuh Nagasari.

Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Hariang Kancana sampai dengan pemerintahan bupati Raden Arya Wirabaya.


5. Dayeuh Panjalu.

Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang.

Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:

  1. Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
  2. Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
  3. Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
  4. Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
  5. Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindanghernag
  6. Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
  7. Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
  8. Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
  9. Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah

Hubungan dengan Kerajaan Sunda

Panjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan kerajaan Sunda karena wilayah kerajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Kali Cipamali di sebelah timur. Lokasinya yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan kerajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.

Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari kerajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang, Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa, dan Cimanuk (Armando Cortesao, 1944:196).

Kaitan lain yang menarik antara kerajaan Sunda dengan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora (1357-1371) digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Hariang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.

Sementara sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.


Masuknya Islam dan Pengaruh Cirebon

Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali R.A. Dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Maulid dalam upacara Nyangku di Panjalu.

Penyebaran Islam secara teratur di tatar Sunda dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon bergelar Gusti Susuhunan Jati dan menyatakan melepaskan diri dari kerajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuk Tunggal (1475-1482) di Pakwan dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Puteri Susuk Tunggal yang berbama Nyai Ambet Kasih kemudian dinikahkan dengan putera Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, seperti mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan (Sunda)dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.

Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama, satu persatu daerah bawahan Sunda ditaklukan Cirebon.

Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang dan menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedanglarang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam. Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi bagian dari Cirebon. Di kerajaan Galuh, Prabu di Galuh Cipta Permana (1610-1618) yang menjadi raja Galuh terakhir juga mengakui kekuasaan Cirebon serta memeluk Islam. Demikian juga yang terjadi di kerajaan Sindang Kasih. Berdasarkan rentetan peristiwa tersebut diperkirakan kerajaan Panjalu juga mengalami keadaan yang sama, menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.

Pengaruh Mataram

Pada tahun 1595, Panembahan Senopati (1586-1601) memperluas wilayah kekuasaan Mataram dan berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya. Untuk mempererat hubungan Mataram-Cirebon, Senopati menikahkan salah seorang keluarganya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (1570-1649). Panembahan Senopati mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana bernama Sanghiang Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai Bupati Galuh karena Galuh bukan lagi sebuah kerajaan melainkan sebuah kabupaten dibawah Mataram. Untuk mengatur daerah-daerah taklukkannya di Parahyangan atau Priangan, Senopati juga mengangkat Sanghiang Adipati Panaekan sebagai Wedana Bupati yang mengepalai bupati-bupati Priangan.

Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada masa pemerintaha Prabu Hariang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini menunjukkan tanda bahwa Panjalu juga sudah menjadi sebuah kabupaten di bawah Mataram.

Pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645), Arya Suryadiwangsa (1620-1624) diangkat sebagai Bupati Sumedanglarang bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata sekaligus sebagai Wedana Bupati Priangan. Rangga Gempol kemudian diangkat sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah Sampang, Madura. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedanglarang dan Wedana Bupati Priangan dipegang adik tirinya Adipati Rangga Gede.

Sewaktu tahta Mataram dipegang oleh Sunan Amangkurat I (1645-1677) jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram barat (Priangan) dibagi menjadi 12 Ajeg (daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya, Sindangkasih, Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), dan Banjar. Pada tahun 1677 Sunan Amangkurat II menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah kepada VOC dan menyusul tahun 1705 Cirebon beserta Priangan timur menjadi daerah kekuasaan VOC.

Dalam masa pendudukan Mataram selama 110 tahun ini, yang menjabat menjadi bupati Panjalu secara berturut-turut adalah:

  1. Raden Arya Sumalah
  2. Raden Arya Sacanata alias Pangeran Arya Sacanata
  3. Raden Arya Wirabaya
  4. Raden Tumenggung Wirapraja

Masa VOC dan Hindia Belanda

Berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1705 VOC mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai Opzigter atau Pemangku wilayah Priangan.

Pada masa kepemimpinan Pangeran Arya Cirebon ini, Raden Prajasasana (cucu Raden Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon diangkat sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara I menggantikan Raden Tumenggung Wirapraja.

Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Baron Van der Capellen (1816-1836) menggabungkan kabupaten Panjalu dan Kabupaten Kawali kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan sebagai bupati Panjalu, sementara di kabupaten Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh Adipati Adikusumah (1819-1839). Semenjak itu Panjalu menjadi daerah kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang Panjalu (Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh Cakranagara III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana Kawali.

Raden Demang Sumawijaya setelah mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang Aldakusumah sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Panjalu sekarang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat.

Dalem Tumenggung Cakranagara III, Demang Sumawijaya, Demang Aldakusumah dan Tumenggung Argakusumah dimakamkan di Nusalarang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi dengan pusara Prabu Hariang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

Dewasa ini Nusalarang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata ziarah utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sering ditemui sedang berziarah di Nusalarang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.

Silsilah Panjalu

1. Batara Tesnajati.

Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri kebataraan Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

2. Batara Layah.

Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

3. Batara Karimun Putih.

Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Ranggagumilang.

4. Prabu Sanghyang Ranggagumilang.

Prabu Sanghyang Ranggagumilang naik tahta sebagai Raja Panjalu, sejak saat itu periode kebataraan di Panjalu berakhir. Ia membangun keraton di Dayeuh luhur Maparah dan menikah dengan seorang puteri Galuh bernama Ratu Permana Dewi. Dari pernikahannya itu ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I.

5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I.

Lembu Sampulur I naik tahta sebagai raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Cakradewa.

6. Prabu Sanghyang Cakradewa.

Sanghyang Cakradewa mempunyai enam orang anak yaitu: 1) Sanghyang Lembu Sampulur II, 2) Sanghyang Borosngora, 3) Sanghyang Panji Barani (kelak menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Sanghyang Borosngora), 4) Sanghyang Anggarunting, 5) Ratu Mamprang Kancana, 6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda). Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa taerdapat di Cipanjalu.

7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II.

Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Cakradewa, akan tetapi ia kemudian hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Gunung Tampomas (Sumedang).

8. Prabu Sanghyang Borosngora.

Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusalarang. Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu: 1) Hariang Kuning dan 2) Hariang Kancana. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi).

9. Prabu Hariang Kuning.

Hariang Kuning menggantikan Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Hariang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Hariang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Hariang Kancana. Hariang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen, jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu.

10. Prabu Hariang Kancana.

Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, ia memindahkan keraton dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari. Hariang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu: 1) Hariang Kuluk Kukunangteko, dan 2) Hariang Ageung. Prabu Hariang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong.

11. Prabu Hariang Kuluk Kukunangteko

Kuluk Kukunangteko menggantikan Hariang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Hariang Ageung sebagai Patih Panjalu. Kuluk Kukunangteko mempunyai seorang putera bernama Hariang Kanjut Kadali Kancana. Pusara Hariang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.

12. Prabu Hariang Kanjut Kadali Kancana.

Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Hariang Kadacayut Martabaya. Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.

13. Prabu Hariang Kadacayut Martabaya.

Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Hariang Kunang Natabaya. Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.

14. Prabu Hariang Kunang Natabaya.

Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Nyai Apun Emas. Nyai Apun Emas adalah anak dari Nyai Tanduran di Anjung yang menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1610-1618), jadi Apun Emas adalah saudari dari Sanghiang Adipati Panaekan. Sementara Nyai Tanduran di Anjung adalah puteri Maharaja Kawali. Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Hariang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu : 1) Raden Arya Sumalah, 2) Raden Arya Sacanata, dan Raden Arya Dipanata. Pada masa kekuasaan Prabu Hariang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu.

15. Raden Arya Sumalah.

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai adipati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Adipati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu: 1) Ratu Latibrang Sari dan 2) Raden Arya Wirabaya.

16. Raden Arya Sacanata bergelar Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan.

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di kadipaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat sebagai adipati menggantikan kakaknya. Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara janda Arya Sumalah. Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya Ratu Tilarnagara maupun dari isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan. Dua belas diantara putera-puteri Arya Sacanata itu adalah: 1) Raden Jiwakrama (Cianjur), 2) Raden Ngabei Suramanggala, 3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu), 4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu), 5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur), 6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor), 7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu), 8) Nyi Raden Lenggang, 9) Nyi Raden Tilar Kancana, 10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi), 11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan 12) Raden Ngabei Dipanata. Arya Sacanata wafat ketika sedang bertapa (berkhalwat) di hutan-hutan dan gunung pesisir selatan Galuh dan dipusarakan di Nombo Dayeuhluhur (Cilacap).

17. Raden Arya Wirabaya.

Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mataram Barat dibagi menjadi dua belas ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya, Sindang Kasih, Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur) dan Banjar. Ketika itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Bupati Panjalu atau Ajeg Wirabaya menggantikan Arya Sacanata. Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu.

18. Raden Tumenggung Wirapraja.

Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari ke Dayeuh Panjalu. Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan.

19. Raden Tumenggung Cakranagara I.

Salah seorang putera Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, bersama kerabat dan kawulabaladnya dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu: 1) Raden Ardinata, 2) Raden Cakradijaya, 3) Raden Prajasasana, dan 4) Nyi Raden Ratna Gapura. Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja kepada Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk Wilayah Priangan dan karena kinerjanya yang baik, Raden Suragostika kemudian diangkat Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara I menggantikan Tumenggung Wirapraja. Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu: 1) Raden Cakranagara II, 2) Raden Suradipraja, dan 3) Raden Martadijaya. Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu: 1) Nyi Raden Panatamantri, 2) Nyi Raden Widaresmi. 3) Nyi Raden Karibaningsih, dan 4) Nyi Raden Ratnaningsih. Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Simpar.

20. Raden Tumenggung Cakranagara II.

Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja. Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah: 1) Nyi Raden Wijayapura, 2) Nyi Raden Natakapraja, 3) Nyi Raden Sacadinata, 4) Raden Cakradipraja, 5) Raden Ngabei Angreh, 6) Raden Dalem Cakranagara III, 7) Nyi Raden Puraresmi, 8) Nyi Raden Adiratna, 9) Nyi Raden Rengganingrum, 10) Nyi Raden Janingrum, 11) Nyi Raden Widayaresmi, 12) Nyi Raden Murdaningsih, 13) Raden Demang Kertanata, 14) Raden Demang Argawijaya, 15) Nyi Raden Adipura, dan 16) Nyi Raden Siti Sarana. Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Panjalu.

21. Raden Tumenggung Cakranagara III.

Tumenggung Cakranagara III menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu. Pada tahun 1819 Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Baron Van der Capellen (1816-1836) mengeluarkan kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu dan Kabupaten Kawali kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi daerah kademangan (setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh. Pada tahun yang sama Bupati Galuh Wiradikusumah digantikan oleh Adipati Adikusumah (1819-1839) sementara itu di tahun yang sama pula putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sedangkan putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu: 1) Raden Sumawijaya (Demang Panjalu), 2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu), 3) Raden Aldakanata, 4) Raden Wiradipa, 5) Nyi Raden Wijayaningrum, 6) Raden Jibjakusumah, 7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali), 8) Raden Cakradipraja, 9) Raden Baka, 10) Nyi Raden Kuraesin, 11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan 12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu). Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Hariang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

22. Raden Demang Sumawijaya.

Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: 1) Raden Aldakusumah, 2) Nyi Raden Asitaningsih, dan 3) Nyi Raden Sumaningsih. Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

23. Raden Demang Aldakusumah.

Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia mempunyai empat orang anak, yaitu: 1) Raden Kertadipraja (Reumalega, Panjalu), 2) Nyi Raden Wijayaningsih, 3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Panjalu), dan 4) Nyi Raden Sukarsa Karamasasmita (Reumalega, Panjalu). Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu. Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjadi Demang Panjalu karena Panjalu kemudian menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Galuh.

Bahan acuan

  • Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu: Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: CV Mekar Rahayu. 
  • Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO. 
  • Tim Peneliti Sejarah Galuh. 1972.
  • Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.