Tahun Baru Imlek

Hari Raya Tradisional Tionghoa
Revisi sejak 8 Februari 2019 02.12 oleh Sem Purba (bicara | kontrib) (Sunting ejaan, menanam tautan, dan menambahkan paragraf sesuai perkembangan terkini, yaitu ragam perayaan Imlek di kalangan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang beragam pula agama dan kepercayaannya.)

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama (Hanzi: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五暝 元宵節 pada tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī 除夕 yang berarti "malam pergantian tahun".

Tahun Baru Imlek
Hanzi tradisional: 農曆新年
Hanzi sederhana: 农历新年
Makna harfiah: tahun baru kalender pertanian
nama alternatif
Hanzi tradisional: 春節
Hanzi sederhana: 春节
Makna literal: perayaan musim semi

Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan tahun baru Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam tahun baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok sering kali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2017 Masehi, "Tahun Tionghoa" dapat jadi tahun 4715, 4714, atau 4654.

Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi suku Han yang signifikan, Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.

Tanggal Perayaan

 
Sambutan Tahun Baru Imlek di Chinatown, London.
Hewan Cabang bumi Tanggal
Tikus 19 Februari 1996 7 Februari 2008
Sapi chǒu 7 Februari 1997 26 Januari 2009
Macan yín 28 Januari 1998 14 Februari 2010
Kelinci mǎo 16 Februari 1999 3 Februari 2011
Naga chén 5 Februari 2000 23 Januari 2012
Ular 24 Januari 2001 10 Februari 2013
Kuda 12 Februari 2002 31 Januari 2014
Kambing wèi 1 Februari 2003 19 Februari 2015
Monyet shēn 22 Januari 2004 8 Februari 2016
Ayam yǒu 9 Februari 2005 28 Januari 2017
Anjing 29 Januari 2006 16 Februari 2018
Babi hài 18 Februari 2007 5 Februari 2019
 
Lampion merah digantung selama perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan.

Kalender suryacandra Tionghoa menentukan tanggal tahun baru Imlek. Kalender tersebut juga digunakan di negara-negara yang telah mengangkat atau telah dipengaruhi oleh budaya Han (terutama di Korea, Jepang, dan Vietnam) dan mungkin memiliki asal yang serupa dengan perayaan Tahun Baru di luar Asia Timur (seperti Iran, dan pada zaman dahulu kala, daratan Bulgar).

Dalam kalender Gregorian, tahun baru Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi di bulan 11, yang berarti tahun baru Imlek biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat). Di budaya tradisional di Tiongkok, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari.

Tanggal untuk tahun baru Imlek dari 1996 sampai 2019 (dalam penanggalan Gregorian) dapat dilihat di tabel di atas, bersamaan dengan shio hewan untuk tahun itu dan cabang duniawinya. Bersamaan dengan daur 12-tahun masing-masing dengan shio hewan ada daur 10-tahun batang surgawi. Setiap surgawi dikaitkan dengan salah satu dari lima elemen perbintangan Tionghoa, yaitu: kayu, api, tanah, logam, dan air. Unsur-unsur tersebut diputar setiap dua tahun sekali, sementara perkaitan yin dan yang silih berganti setiap tahun. Unsur-unsur tersebut dengan itu dibedakan menjadi: kayu yang, kayu yin, api yang, api yin, dan seterusnya. Hal ini menghasilkan sebuah daur gabungan yang berulang setiap 60 tahun. Sebagai contoh, tahun dari Tikus Api Yang terjadi pada 1936 dan pada tahun 1996.

Banyak orang mengacaukan tahun kelahiran Tionghoa dengan tahun kelahiran Gregorian mereka karena tahun baru Imlek dapat dimulai pada akhir Januari sampai pertengahan Februari, tahun Tionghoa dari 1 Januari sampai hari imlek pada tahun baru Gregorian tetap tidak berubah dari tahun sebelumnya. Sebagai contoh, tahun ular 1989 mulai pada 6 Februari 1989. Tahun 1990 dianggap oleh beberapa orang sebagai tahun kuda. Namun, tahun ular 1989 secara resmi berakhir pada 26 Januari 1990. Ini berarti bahwa barang siapa yang lahir dari 1 Januari ke 25 Januari 1990 sebenarnya lahir pada tahun ular, alih-alih tahun kuda.

Sejarah

Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan suatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalender Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun Tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang. Tujuannya agar perayaan tahun baru bisa sesuai dengan masyarakat Tiongkok yang pada umumnya adalah masyarakat agraris. Pada masa Dinasti Zhou, perayaan tahun baru dilaksanakan pada saat winter solistice atau dongzhi.[butuh rujukan]

Pada masa Dinasti Qing, Kang Youwei (1858-1927) , seorang reformis Ruisme menyarankan agar menggunakan Kongzi era yang dihitung dari tahun kelahiran Kongzi. Sedangkan Liu Shipei (1884-1919) menolak hal itu dan mengusulkan agar tahun kalender Tionghoa dihitung dari tahun kelahiran Huang Di. Yang menjadi suatu masalah adalah kapan Huang Di dilahirkan untuk dijadikan patokan perhitungan penanggalan Huang Di.

Liu Shipei memperkirakan tahun 2711 SM adalah tahun kelahiran Huang Di, jadi tahun 2008 M adalah tahun 4719 HE. Song Jiaoren (1882-1913) memperkirakan tahun 2697 SM adalah tahun kelahiran Huang Di, dan akhirnya banyak orang yang sepakat untuk menerima tahun 2697 SM sebagai awal penanggalan Huang Di. Dari angka inilah sekarang tahun baru Imlek ini bisa disebut tahun baru Imlek 4708 HE. Selain masyarakat luas, penganut Taoisme juga menyebutkan bahwa penanggalan Huang Di adalah tahun yang mereka gunakan dan menyebutnya Daoli atau kalender Tao.

Sebagian besar masyarakat Tionghoa di luar negeri dan penganut Taoisme lebih suka menggunakan penanggalan Huang Di karena Huang Di atau Kaisar Kuning ini dalam sejarah Tiongkok dianggap sebagai bapak bangsa etnis Han atau orang Tionghoa pada umumnya. Dan para Taois menggunakan penanggalan Huang Di, karena dalam kepercayaan Taoisme kaisar Kuning ini adalah pembuka ajaran agama Tao. Alasan inilah yang membuat timbulnya penanggalan Huang Di Era dan penanggalan Dao. Keduanya sama, hanya saja istilah penanggalan Dao Era atau Daoli digunakan oleh para Taois[1].

Mitos

 
Puisi Tahun Baru Imlek tulisan tangan ditempel pada pintu ke rumah orang, di Lijiang, Yunnan, Tiongkok.

Menurut legenda, dahulu kala, Nián () adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak, dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa dengan melakukan hal itu, maka Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh 鸿钧老祖 atau 鸿钧天尊 Hongjun Laozu, dewa Taoisme dalam kisah Fengsheng Yanyi, dan dijadikan kendaraan Honjun Laozu. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengusiran Nian ini kemudian berkembang menjadi perayaan tahun baru. Guò nián (Hanzi tradisional: 過年; Hanzi: 过年), yang berarti "menyambut tahun baru", secara harafiah berarti "mengusir Nian".[2][3]

Mitos tentang Nian juga dapat ditemukan dalam buku Jingchu Sui Shi Ji 荊楚歲時記, catatan kebiasaan tahun baru Jingchu yang dibuat di zaman Dinasti Selatan dan ditulis oleh Zong Lin (498–561).

Ucapan Salam

Pada sekitar masa tahun baru, orang-orang memberi selamat satu sama lain dengan kalimat:

Tahun Baru Imlek di Indonesia

Sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia

Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.

Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari Raya” tertanggal 18 Juni 1946. Penetapan Pemerintah tersebut ditandatangani oleh Presiden Sukarno, dan diketahui oleh Menteri Agama H. Rasjidi, dan diumumkan pada tanggal 18 Juni 1946 oleh Sekretariat Negara A.G. Pringgodigdo. Penetapan Pemerintah mengenai "Aturan tentang Hari Raya" tersebut ditetapkan karena pertimbangan perlunya diadakan aturan tentang hari raya, dan setelah mendengar masukan dari Badan Komite Nasional Pusat. Penetapan Pemerintah tersebut terdiri dari 8 (delapan) pasal yang dibagi ke dalam Aturan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5), Aturan Khusus (Pasal 6 dan Pasal 7), dan Aturan Tambahan (Pasal 8).

Yang dimaksud dengan Aturan Umum adalah aturan yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh golongan rakyat Indonesia. Aturan Khusus adalah aturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku untuk golongan tertentu saja sebagaimana yang disebutkan dalam Penetapan Pemerintah ini. Pasal 1 mengatur mengenai Hari Raya Umum yang terdiri dari dua hari raya sebagai-berikut: 1. Tahun Baru, 1 Januari; dan 2. Hari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus. Pasal 2 mengatur mengenai Hari Raya Islam (terdiri dari 8 (delapan) hari raya). Pasal 3 untuk Hari Raya Kristen (terdiri dari 5 (lima) hari raya). Pasal 4 mengatur hari raya khusus untuk etnis Tionghoa sebagai-berikut: Hari Raya Tiong Hwa (ejaan baru adalah Tionghoa) ialah, terdiri dari: 1.Tahun Baru (Catatan: Tahun Baru orang Tiong Hwa yaitu tahun baru Imlek); 2. Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu (Catatan: 至聖忌辰 18 bulan 2 Imlek. 'N.' adalah singkatan dari 'Nabi'); 3. Tsing Bing (Catatan: Qingming (清明) / Cheng Beng (Bahasa Hokkian); dan 4. Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu (Catatan: 至聖誕, 27 bulan 8 Imlek).

Pasal 5 menyatakan sebagai berikut: "Pada Hari Raya Umum, Islam dan Kristen, maka semua kantor Pemerintah ditutup, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari atau setengah hari. Pada hari Raya Tiong Hwa, maka semua kantor Pemerintah dibuka setengah hari, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari, sedangkan pegawai bangsa Tiong Hwa diwajibkan masuk kantor". Aturan Khusus, Pasal 6 menetapkan tanggal dan hari yang dirayakan untuk Tahun 1946, yang terdiri dari hari dan tanggal untuk Hari Raya Umum, Hari Raya Islam, Hari Raya Kristen, dan Hari Raya Tiong Hwa. Untuk tahun 1946, "Hari Raya Tiong Hwa ditetapkan sebagai-berikut: 1.Tahun Baru 2 Februari 1946 (Catatan: Tahun Masehi); 2. Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu 29 Maret 1946 (Catatan: Tahun Masehi); 3. Tsing Bing 5 April 1946 (Catatan: Tahun Masehi); dan 4. Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu 22 September 1946 (Catatan: Tahun Masehi)". Aturan Khusus, Pasal 7 menyatakan bahwa "untuk seterusnya, buat tiap-tiap tahun, Hari Raya tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama". Aturan Tambahan, Pasal 8 menyatakan bahwa "Peraturan ini mulai berlaku pada hari diumumkan". Dengan demikian berdasarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari Raya” tertanggal 18 Juni 1946 secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa yang ditujukan khusus hanya kepada etnis Tionghoa."

Hari Raya khusus etnis Tionghoa yang terdiri dari 4 (empat) hari raya sebagaimana yang dijelaskan di atas hanya berlaku dari periode 18 Juni 1946 sampai dengan 1 Januari 1953. Hari Raya khusus etnis Tionghoa tersebut dihapuskan seluruhnya secara resmi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tentang "Hari-Hari Libur" tertanggal 1 Januari 1953, yang ditanda-tangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta dengan masa jabatan sebagai Wakil Presiden dari tanggal 18 Agustus 1945 - 1 Desember 1956). Catatan: Walaupun menggunakan judul surat "Keputusan Presiden Republik Indonesia", keputusan ini tidak ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia. Besar Kemungkinan Presiden Soekarno tidak mengetahui isi surat Keputusan Presiden yang diterbitkan oleh Wakil Presiden. Pasal 1 dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tersebut hanya menetapkan Hari Raya Umum (Catatan: Terdiri dari 2 hari raya), Hari Raya Islam (Catatan: Terdiri dari 6 hari raya ditambah 1 hari untuk Id’l Fitri hari kedua) dan Hari Raya Kristen (Catatan: Terdiri dari 5 hari raya) serta 1 (satu) Hari Raya Buruh (yang dirayakan setiap tanggal 1 Mei), sebagai hari libur nasional. Dengan demikian mulai 1 Januari 1953, hari libur umum yang berlaku berjumlah seluruhnya 14 hari libur. Sesuai dengan isi paragraph Penjelasan dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953, paragraph ke-4 menyatakan sebagai berikut: "Hari-hari libur fakultatif ditiadakan. Pada hari-hari Santa Maria (15 Agustus), Natal Kedua (26 Desember), permulaan Ramadhan, Peringatan Angkatan Perang (5 Oktober), Pahlawan (10 November) dan Tahun Baru Imlek, bagi yang berkepentingan diberi kebebasan untuk menjalankan peribadatannya dengan lebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor yang bersangkutan". Paragraf ke-4 tersebut dengan tegas meniadakan hari libur yang bersifat fakultatif. Bagi pegawai etnis Tionghoa yang berkepentingan untuk merayakan Hari Raya Tahun Baru Imlek diberi kebebasan untuk menjalankan peribadatannya dengan syarat harus lebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor yang bersangkutan.

Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan, dan tetap mengizinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga Tionghoa dan di tempat yang tertutup, hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres No. 14/1967.

Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian barongsai dan liong dilarang dipertunjukkan.

Pada tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan Tionghoa yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).

LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar :

- Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.

- Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.

- Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek.

Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah Bakin (kini BIN) yang menerbitkan tak kurang dari tiga jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3. Dalam hal ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Tionghoa dan kebiasaan serta kebudayaan Tionghoa, termasuk agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas.

Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978 tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang berisi antara lain, bahwa pemerintah menolak untuk mencatat perkawinan bagi yang Beragama Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang didukung dengan adanya kondisi sejak tahun 1965-an atas penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal ini menyebabkan terjadi eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar orang-orang Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik, Buddha bahkan ke Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual kepercayaaan, agama dan adat istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun Baru baru Imlek menjadi surut dan pudar.

Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 menyatakan larangan merayakan Imlek di wihara dan cetiya. Kemudian Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong dan acara barongsai.

Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.

Pada Imlek 2551 Kongzili pada tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.

Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.

Pada saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang diselenggarakan Matakin dibulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek yang mulai berlaku sejak tanggal 9 April 2002 ditetapkan karena adanya pertimbangan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, dan bahwa Tahun Baru imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dirayakan secara turun-temurun di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, maka ditetapkanlah Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia telah melakukan inventarisasi hari-hari penting di Indonesia, dan mengelompokkannya ke dalam 5 (lima) kelompok, yaitu: 1. Hari-Hari Besar Nasional yang Ditetapkan oleh Presiden; 2. Hari-Hari yang Ditetapkan oleh Masing-Masing Menteri/Kepala Lembaga; 3. Hari-Hari yang Ditetapkan/Disepakati oleh Masing-Masing Lembaga/Komunitas Tertentu; dan 4. Hari-Hari Besar Keagamaan. Hari Tahun Baru Imlek masuk ke dalam kelompok Hari-Hari Besar Nasional, dan kelompok Hari-Hari Besar Keagamaan. Hari Tahun Baru Imlek merupakan 1 (satu) dari 42 (empat puluh dua) Hari-Hari Besar Nasional yang Ditetapkan oleh Presiden, dan merupakan 1 (satu) dari 11 (sebelas) Hari-Hari Besar Keagamaan di Indonesia. Di dalam kolom keterangan yang disusun oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia mengenai Hari-Hari Besar Keagamaan di Indonesia dinyatakan bahwa Hari Tahun Baru Imlek dirayakan hanya oleh Umat Tionghoa.

Praktik Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia

Biasanya, perayaan tahun baru Imlek berlangsung sampai 15 hari. Satu hari sebelum atau pada saat hari raya Imlek, bagi warga Indonesia keturunan Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur seperti yang dilakukan pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur). Oleh sebab itu, satu hari sebelumnya atau pada saat hari raya Imlek para anggota keluarga akan datang ke rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang, atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang. Sebagai bentuk penghormatan dan sebagai tanda balas-budi maka pada saat acara sembahyang dilakukan pula persembahan jamuan makan untuk arwah para leluhur. Makna dari adanya jamuan makan untuk arwah leluhur adalah agar kegembiraan dan kebahagian saat menyambut hari raya Imlek yang dilakukan di alam manusia oleh keturunannya juga dapat turut serta dinikmati oleh para leluhur di alam lain. Selain jamuan makan juga dilakukan persembahan bakaran jinzhi (Hanzi= 金紙; sederhana=金纸; hanyu pinyin= jīnzhǐ; Hokkien= kimcoa; harafiah= kertas emas) yang umumnya dikenal sebagai uang arwah (uang orang mati) serta berbagai kesenian kertas (紙紮) zhǐzhā (pakaian, rumah-rumahan, mobil-mobilan, perlengkapan sehari-hari, dan pembantu). Makna persembahan bakaran jinzhi dan zhǐzhā yang dilakukan oleh keturunannya adalah agar arwah para leluhur tidak menderita kekurangan serta sebagai bekal untuk mencukupi kebutuhannya di alam lain. Praktik jamuan makan dan persembahan bakaran jinzhi dan zhǐzhā yang dilakukan oleh keturunannya untuk arwah para leluhur di alam lain merupakan bentuk perwujudan tanda bakti dan balas-budi atas apa yang telah dilakukan oleh orangtuanya saat masih hidup kepada anak-anaknya di alam manusia.

Pada malam tanggal 8 menjelang tanggal 9 pada saat cu si (jam 23:00-01:00) Umat melakukan sembahyang lagi. Sembahyang ini disebut Sembahyang “King Thi Kong” (Sembahyang Tuhan Yang Maha Esa) dan dilakukan di depan pintu rumah menghadap langit lepas dengan menggunakan altar yang terbuat dari meja tinggi berikut sesaji, berupa sam-poo (teh, bunga, air jernih), tee-liau (teh dan manisan tiga macam), mi swa, ngo koo (lima macam buah), sepasang tebu, dan tidak lupa beberapa peralatan seperti hio-lo (tempat dupa), swan-loo (tempat dupa ratus/bubuk), bun-loo (tempat menyempurnakan surat doa), dan lilin besar.

Pada hari Cap Go Meh, tanggal 15 Imlek saat bulan purnama, umat melakukan sembahyang penutupan tahun baru pada saat antara shien si (jam 15:00-17:00) dan cu si (jam 23:00-01:00). Upacara sembahyang dengan menggunakan thiam hio atau upacara besar ini disebut Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie). Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi dan malam, tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya.

Kini, tahun baru Imlek dirayakan dengan beragam cara, mengingat Indonesia memiliki beragam budaya dan warga Indonesia keturunan Tionghoa telah memeluk keberagaman dan menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Meski demikian, berkumpul bersama, makan kue keranjang, dan berbagi angpau menjadi benang merah dari perayaan tahun baru Imlek.[1]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/219-selamat-tahun-baru-imlek-2562-atau-4708-?-1
  2. ^ "Nian". About.com.  Dipetik 2008-01-21.
  3. ^ "春节[[Kategori:Artikel mengandung aksara Tionghoa]] CHUNJIE, Spring Festival (The Chinese New Year) (1st of the 1st month)". huayinet.org.  Konflik URL–wikilink (bantuan) Dipetik 2008-01-21.

Pranala luar