Kopi di Indonesia

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 8 Februari 2019 12.12 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis))

Kopi Indonesia, yaitu kopi yang diekspor dari Indonesia, saat ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia dari segi hasil produksi sebanyak 648.000 ton, setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia.[1]

Kopi pada saat digoreng di Bandung, Indonesia

Biji kopi yang tumbuh di Indonesia, pada dasarnya hanya terdiri atas tiga macam, yaitu : biji kopi Arabika, biji kopi Robusta dan biji kopi Liberika[2]. Kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat di Indonesia. Indonesia diberkati dengan letak geografisnya yang sangat cocok difungsikan sebagai lahan perkebunan kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi.

Sejarah

Abad 18

 
Tanaman kopi Arabika yang tidak terawat dengan baik pada jaman pendudukan Belanda

Benih kopi Arabika, untuk pertama kalinya ditanam di pulau Jawa, tepatnya di daerah Kedawung, sebuah perkebunan berlokasi dekat dengan Batavia/Jakarta oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1696[3] [4], dibawa langsung oleh pimpinan kapal dagang Belanda, Adrian van Ommen dari Malabar, India. Usaha ini mengalami kegagalan, karena bencana gempa bumi dan banjir, yang terjadi pada masa itu.[5] Pemerintahan Belanda melakukan usaha penanaman kedua dengan mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar, Jawa Barat, dan mengalami kesuksesan, dimana kopi yang dihasilkan berkualitas sangat baik sehingga dijadikan bibit bagi semua perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Pemerintah Belanda akhirnya meluaskan areal budidayanya ke Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.[4]

Pada tahun 1706, saat kopi tumbuh dengan lambak di Jawa, oleh pemerintah Belanda, benih kopi yang tumbuh di bantaran Ciliwung, dikirimkan ke kebun botani di Amsterdam untuk dilakukan penelitian, dimana hasilnya, kopi tersebut berkualitas bagus.[3]

Lima belas tahun kemudian, atau kurang lebih pada tahun 1711, Bupati Cianjur, Raden Aria Wira Tanu III, mengapalkan sekitar 4 kuintal kopi ke Amsterdam, dan ekspor kopi perdana tersebut memecahkan rekor harga lelang disana. Pada tahun 1714, Raja Louis XIV dari Prancis, meminta benih Coffea arabica var. Arabica atau disebut sebagai Coffea arabica L. var. typica yang untuk selanjutnya disebut sebagai tipika dari walikota Amsterdam Nicolaes Witsen. Hal ini dikarenakan raja Prancis tersebut mendapatkan fakta bahwasanya Kopi asal pulau Jawa mendapatkan harga tertinggi dalam lelang di Amsterdam, Belanda. Sehingga ia menginginkan varietas kopi itu dapat menjadi bagian dari kebun raya Jardin des Plantes di kota Paris, Prancis. [3]Benih kopi Jawa yang ada di kebun raya Jardin des Plantes dibawa oleh perwira angkatan laut Prancis ke Martinique, salah satu koloni Prancis di Karibia.

Tahun 1726, tidak kurang dari 2.145 ton kopi yang berasal dari pulau Jawa, membanjiri benua Eropa, mengalahkan kopi Mocha dari Yaman yang sebelumnya menjadi penguasa pasar. Dan karena itu pula, kopi yang berasal dari pulau Jawa mulai dikenal dengan nama Java Coffee [3]

Benih yang diberikan oleh Nicolaes Witsen, aslinya tumbuh di bantaran Ciliwung, seperti Kampung Melayu dan Jatinegara atau dulu dikenal dengan nama Meester Cornelis, yang merupakan area awal perkebunan kopi di Jawa, dimana bibitnya dibawa orang Belanda dari Sri Lanka.

Selain itu di awal tahun 1720-an, Belanda juga mengirimkan benih kopi Jawa ke Suriname, karena tergiur dengan harganya yang tinggi, untuk membuka perkebunan di sana. Dari dua tempat tersebut, benih kopi Jawa menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jejaknya terlihat di Amerika Latin, yaitu di Ethiopia. Disana ada tipika yang sekarang sudah memiliki merek Blue Mountain yang ditanam di Jamaika dan Geisha atau Gesha, dimana nama itu mengacu pada nama dusun penghasil kopi di Ethiopia yang tumbuh di Panama. [6]


Abad 19

 
Biji kopi yang telah digoreng

Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel sekitar tahun (18301870) di masa penjajahan pemerintah Belanda di Indonesia, mereka membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.

Pada tahun 1878 di hampir semua area perkebunan kopi Indonesia, terutama yang terletak di dataran rendah, rusak terkena hama penyakit karat daun (Hemileia vastatrix - HV), dimana pada masa itu kopi-nya berjenis kopi Arabika. Penyakit ini berupa jamur yang memakan daun layaknya karat yang menggerus besi, sehingga para petani kemudian menyebutnya sebagai penyakit karat daun.[6] Sekitar tahun 1880-an tersebut, Jawa kehilangan potensi untuk mengirimkan kopi ke luar negeri hingga 120.000 ton dan mengakibatkan pasar kopi dunia menjadi panik.[6]

Pemerintah Belanda menanggulanginya dengan mendatangkan spesies kopi Liberika (Coffea Liberica) yang diharapkan lebih tahan terhadap hama ini. Namun upaya ini juga mengalami kegagalan, karena mereka juga terkena hama yang sama.[4]

Baru pada tahun 1907, pemerintahan Belanda mendatangkan spesies lainnya, yaitu kopi Robusta (Coffea Canephora). Dan usaha mereka kali ini berhasil, dimana hampir semua perkebunan yang terletak di dataran rendah tidak terkena lagi hama penyakit karat daun.[4]

Di pasar dunia, kopi ‘’Blue Mountain’’ yang berasal dari Gesha, yang sesungguhnya keturunan dari kopi Jawa, sempat menjadi primadona. Satu kilogramnya bisa mencapai harga di atas US$ 1.000 atau setara dengan Rp 13.000.000,- dalam kurs yang berlaku saat ini. [6] Bahkan salah satu cafe di Los Angeles, Amerika Serikat, sempat menjual secangkir Geisha hingga US$ 55 atau Rp 750.000,- Dimana Geisha ini sendiri merupakan persilangan antara kopi tipika dan varietas lainnya. Biji ini seringkali juga menjadi andalan para baracik dalam ajang kompetisi para peracik kopi internasional.

Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya dengan jenis kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan disana juga kopi Arabica.

Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta.

Sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.

Status industri

 
Pengolahan kopi di Sumatra, Indonesia.

Kopi dari Indonesia diekspor ke berbagai negara di dunia, antara lain:

Di Indonesia, kopi Robusta merupakan kopi yang terbanyak diproduksi, dan Lampung merupakan gudang kopi utama di Indonesia.[7] Robusta menggantikan kopi Liberika. Walaupun ini bukan kopi yang khas bagi Indonesia, kopi ini menjadi bahan ekspor yang penting di Indonesia.

Bencana alam, Perang Dunia II dan perjuangan kemerdekaan - semuanya mempunyai peranan penting bagi kopi di Indonesia. Pada awal abad ke-20 perkebunan kopi berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Infrastruktur dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh dan tembakau ke Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabika. Kopi Arabika juga banyak diproduksi di kebun-kebun seperti (Kayumas, Blawan, Kalisat/Jampit) di Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan kopi Robusta di Jawa Timur, banyak diproduksi dari kebun - kebun seperti Ngrangkah Pawon (Kediri), Bangelan (Malang), Malangsari, Kaliselogiri (Banyuwangi). Di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabika dan Robusta. Kopi Robusta tumbuh di daerah rendah sedangkan kopi Arabika tumbuh di daerah tinggi.

Setelah kemerdekaan banyak perkebunan kopi yang diambil alih oleh pemerintah yang baru atau ditinggalkan. Saat ini sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

Kebiasaan masyarakat minum kopi di Indonesia masih belumlah sebesar bangsa Barat, dan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, serupa Singapura dan Filipina, yang merupakan negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia saat ini.[8] Kisaran konsumsi kopi di negara ini umumnya antara 1-3 cangkir sehari.[8]

Jenis-jenis kopi di Indonesia

Kopi Gayo

Kopi Gayo (bahasa Inggris: Gayo coffee) merupakan salah satu varietas kopi Arabika yang ditanam di daerah Dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Indonesia.[9]

Kopi Luwak

Berkas:Civetcoffee large.jpg
Salah satu produk kopi luwak

Kopi Luwak adalah seduhan kopi menggunakan biji kopi yang diambil dari sisa kotoran luwak/musang kelapa. Biji kopi ini diyakini memiliki rasa yang berbeda setelah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak. Kemasyhuran kopi ini di kawasan Asia Tenggara telah lama diketahui, namun baru menjadi terkenal luas di peminat kopi gourmet setelah publikasi pada tahun 1980-an. Biji kopi luwak adalah yang termahal di dunia, mencapai USD100,00 per 450 gram.

Kopi Jawa

Kopi jawa (Java coffee) adalah kopi yang berasal dari Pulau Jawa di Indonesia. Kopi ini sangatlah terkenal sehingga nama Jawa menjadi nama identitas untuk kopi ini. Kopi Jawa Indonesia tidak memiliki bentuk yang sama dengan kopi asal Sumatra dan Sulawesi, cita rasa juga tidak terlalu kaya sebagaimana kopi dari Sumatra atau Sulawesi karena sebagian besar kopi Jawa diproses secara basah (wet process). Meskipun begitu, sebagian kopi Jawa mengeluarkan aroma tipis rempah sehingga membuatnya lebih baik dari jenis kopi lainnya. Kopi Jawa memiliki keasaman yang rendah dikombinasikan dengan kondisi tanah, suhu udara, cuaca, serta kelembaban udara.

Kopi Jawa yang paling terkenal adalah Jampit dan Blawan. Biji kopi Jawa yang tua (disebut old-brown) berbentuk besar, dan rendah kadar asam.[10]

Kopi ini dengan rasa kuat, pekat, rasa kopi manis. Produksi Kopi Jawa Arabika dipusatkan di tengah pegunungan Ijen, di bagian ujung timur pulau Jawa, dengan ketinggian pegunungan 1.400 meter. Kopi ini dibudidayakan pertama kali oleh kolonial Belanda pada abad 18 pada perkebunan besar.

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b Taufiqurohman 2018, hlm. 59.
  2. ^ Wira, Ni Nyoman (2018-01-20), "Crazy about Indonesian coffee? Here are the basics of java", The Jakarta Post 
  3. ^ a b c d Taufiqurohman 2018, hlm. 8.
  4. ^ a b c d [Rusman] (2018-03-17), "Asal Mula Masuknya Kopi di Indonesia", sindonews.com  Periksa nilai |author-link1= (bantuan);
  5. ^ Taufiqurohman 2018, hlm. 33.
  6. ^ a b c d Taufiqurohman 2018, hlm. 9.
  7. ^ Astawan 2004, hlm. 64.
  8. ^ a b Astawan 2004, hlm. 63.
  9. ^ Market Brief Kopi di Pasar Jerman (PDF), Januari, diakses tanggal 2018-12-26 
  10. ^ "Perbandingan Kopi Jawa". 30 March 2013. 

Daftar pustaka

Pranala luar