Suku Buton
Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sulawesi Tenggara: 650.000. Maluku Utara: 58.859. Kalimantan Timur: 38.946. | |
Bahasa | |
Wolio, dan Indonesia. | |
Agama | |
Islam, kristen, Hindu | |
Kelompok etnik terkait | |
Tolaki, Muna |
Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.
Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.
Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.
Dalam Riwayat H. J. Van Den Berg, ia menuliskan antara lain:
Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatera kerapkali disebut juga melayu.
Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah jambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan Jawa di Sumatera tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. Kerajaan Jawa yang di Sumatera itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu.
Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka. Sebagian dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia). Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.
Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, Ia mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton.
Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.
Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.
Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari.
Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.
Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa.
Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.
Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim.
Karena di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya
Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya. Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa.
Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga +7 Kilometer.
Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkusangia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “fari” asal “peri”. Menurut Pak La Hude (Sejarawan) dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga).