Raden Abdul Jalil

penyebar agama Islam di Indonesia
Revisi sejak 15 Maret 2019 02.09 oleh Fathanasrib (bicara | kontrib) (Peringkasan dan koreksi tentang ajaran Manunggaling Kawula Gusti sesuai buku Akidah Akhlaq di Indonesia)

Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara.[1] Asal usul serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.

Raden Abdul Jalil
LahirRaden Abdul Jalil
1404 M.
Iran Persia (Iran)
Meninggal1517 M
Indonesia Jepara (Indonesia)
Tempat tinggalIndonesia Lemah Abang/Lemahbang, Balong, Kembang, Jepara, Jawa Tengah, Indonesia
Nama lainSunan Jepara
Syekh Siti Jenar
Syekh Lemah Abang
Sitibrit
Pekerjaan
Tempat kerjaKekhalifahan Islam Demak
Dikenal atasAnggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul Ilmi)
GelarWaliyyul Ilmi
Anggota dewanMajelis Dakwah Walisongo

Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti (penjawaan dari wahdatul wujud). Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti.[butuh rujukan]

Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.[butuh rujukan]

Nama dan julukan

Syaikh Siti Jenar (menurut KH. Shahibul Faraji Ar-Rabbani) beliau memiliki nama asli Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini (masih memiliki garis darah / keturunan Rasulullah SAW) dan setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Dan pada saat berdakwah di Caruban (sebelah tenggara Cirebon), beliau mendapat beberapa julukan Syaikh Siti Jenar, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Lemah Brit dan lainnya yang belum kita ketahui. Adapun makna julukan itu adalah:

1. Syaikh Siti Jenar

Ada beberapa asumsi mengenai julukan ini, yang diambil dari kata menurut beberapa bahasa, "Syaikh" berasal dari bahasa arab شيخ bisa ditulis Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh adalah sebuah gelar bagi seorang ahli atau pemimpin atau tetua dalam lingkup muslim, "Siti" dalam bahasa jawa berarti tanah, namun ada yang berasumsi kata Siti berasal dari kata Sayyidi/Sidi (yang berarti Tuanku/Junjunganku), dan "Jenar" dalam bahasa Indonesia berarti merah, dalam bahasa Jawa berari Kuning Kemerahan, dan ada pula yang berasumsi dari bahasa arab "Jinnar" dengan tafsiran ilmu yang dimilikinya selalu membara (semangat akan ilmu) seperti api. Namun ada juga yang memudahkan dengan menganggap hayalan yang terbakar dari kata Jin (ghaib) - Nar (api). Bahkan ada pula yang mungkin setelah melihat film Walisongo dan menghubungkannya dengan kata Jenar (dalam kehidupan masyarakat jawa, kata Jenar disebutkan untuk sebuah binatang Cacing dengan ukuran sangat besar).

2. Sunan Jepara

Gelar ini muncul karena kedudukan Syeh Siti Jenar sebagai seorang sunan yang tinggal di Kadipaten Jepara.

3. Syeh Lemah Abang / Lemah Brit

Sebutan yang diberikan masyarakat Jepara karena ia tinggal di Dusun Lemah Abang, Kecamatan Keling. Lemah Brit dalam bahasa jawa berarti tanah yang berwarna merah (Brit = Abrit = Merah).

Kontroversi ajaran

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.[butuh rujukan]


Manunggaling Kawula Gusti

Para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan dianggap sebagai bercampurnya Dzat Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan sifat-sifat Tuhan yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan proses fana' (hancurnya sifat-sifat buruk pada manusia) [2]

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan sifat-sifat Tuhan dikala manusia sudah melakukan proses fana' (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan.

Masa Pendidikan

Naskah Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 77, menyebutkan bahwa Abdul Jalil sewaktu dewasa pergi menuntut ilmu ke Persia dan tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Ia berguru kepada seorang mullah Syiah Muntadhar (Syiah Imamiyah) dan menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan agama. Menurut cerita tutur di kalangan penganut tarekat Akmaliyah, orang Syiah Muntadhar itu bernama Abdul Malik Al-Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Rupanya, selama menuntut ilmu di Baghdad, Abdul Jalil lebih berminat mendalami ilmu tasawuf sehingga ia sangat mendalam penguasaannya atas ilmu tersebut. Bahkan karena kesukaannya pada ilmu tasawuf tersebut, ia berguru pada Syaikh Ahmad yang menganut aliran Tarekat Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Silsilah Tarekat Akmaliyah yang diperoleh Syaikh Datuk Abdul Jalil dari Syaikh Ahmad Baghdady. Selain menganut Tarekat Akmaliyah, Syikh Lemah Abang juga menganut tarekat Syathariyah yang diperoleh dari saudara sepupunya, yang juga guru ruhaninya, Syaikh Datuk Kahfi.

Pergumulan menguasai berbagai disiplin keilmuan di Baghdad yang dewasa itu merupakan pusat peradaban, telah menjadikan pandangan-pandangan Syaikh Datuk Jalil berbeda dari kelaziman. Ilmu tasawuf yang berdiri tegak di atas fenomena pengetahuan intuitif yang bersumber dari kalbu, oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil diformulasikan sedemikian rupa dengan ilmu filsafat dan manthiq (logika). Sehingga, ajarannya menimbulkan ketidaklaziman dalam pengembangan ilmu tasawuf - yang merupakan pengetahuan intuitif - yang bersifat rahasia, yang serta merta berubah menjadi ilmu, yang terbuka untuk dijadikan bahasan filosofis. Sebab, Syaikh Datuk Abdul Jalil beranggapan bahwa pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat suprarasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara masuk akal. Sebaliknya, pengetahuan gnostik harus bisa dijelaskan secara rasional yang bisa diterima akal.[3]

Kehidupan

Serat Centhini

Serat Centhini jilid 1 menuliskan kisah Syeh Siti Jenar pada pupuh 38 (1-44). Karya sastra ini tidak menyebut asal mula Syeh Siti Jenar melainkan langsung pada peristiwa yang menyebabkan dirinya dihukum mati. Pada suatu ketika, Prabu Satmata (Sunan Giri) memanggil delapan wali yang lain untuk menghadap ke Giri Gajah, di istana Argapura. Kedelapan wali tersebut adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ngampeldenta, Sunan Kudus, Syeh Siti Jenar, Syekh Bentong, Pangeran Palembang, dan Panembahan Madura. Masing-masing wali menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki hingga giliran Syeh Siti Jenar yang berkata, "Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang meyembah maupun yang disembah. Dengan demikian hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun hamba juga." Semua yang hadir terkejut sehingga menuduhnya sebagai pengikut aliran Qadariyah, menyamakan dirinya dengan Allah, serta keterangannya terlalu jauh. Syeh Siti Jenar membela diri dengan berkata bahwa ''biar jauh tetapi benar sementara yang dekat belum tentu benar''. Hal tersebut membuat Prabu Satmata hendak menghukumnya mati supaya kesalahan prinsip ajaran Syeh Siti Jenar jangan sampai tersebar.[4]

Setelah itu diadakan pertemuan kedua untuk menghakimi tindakan Syeh Siti Jenar. Pertemuan hanya dihadiri tujuh orang wali dengan dihadiri Syekh Maulana Magribi. Saat Syekh Maulana menegaskan nama Siti Jenar, ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada." Hal tersebut membuatnya dihukum penggal bersama dengan tiga orang sahabatnya. Dikisahkan pula seorang anak penggembala kambing yang mendengar hal tersebut segera berlari datang ke pertemuan dengan mengatakan bahwa masih ada allah ketinggalan karena sedang menggembalakan kambing. Prabu Satmata mengatakan bahwa anak itu harus dipenggal pula dan jenasahnya diletakkan di dekat jenasah Siti Jenar. Pernyataan tersebut disetujui oleh suara Siti Jenah yang terdengar dari langit.[4]

Tiga hari kemudian, Prabu Satmata melihat jasad Siti Jenar masih utuh. Ia mendengar suara Siti Jenar memberinya salam, mengucapkan selamat tinggal, kemudian menghilang.[4]

Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah

Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah ("Sekelumit Hikmah tentang Wali Ke Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori, Tuban. Dalam versi ini, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena ajarannya, melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di Jepara, di samping makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.[5]

Setelah Raden Abdul Jalil di eksekusi, para santrinya tidak ikut dieksekusi. Ageng Pengging alias Kebo Kenanga merupakan salah satu santri dari Raden Abdul Jalil, ia berhasil mendidik muridnya bernama Joko Tingkir dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil menyelesaikan konflik antara proyek besar Negara Islam di Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara). Hal ini yang mengharumkan kembali nama Raden Abdul Jalil.[butuh rujukan]

Berikut ini merupakam silsilah Raden Abdul Jalil menurut Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah:[5]

Syekh Jumadil Kubra, berketurunan:
1. Syekh Maulana Ishak
dengan putri Pasa (istri pertama)
a. Sayyid Abdul Qodir/ Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) - murid Sunan Ampel
b. Siti Sarah >< Sunan Kalijaga
dengan Dewi Sekardadu
a. Raden Paku (Sunan Giri)
2. Syekh Ibrahim Asmarakandi
dengan Dewi Condro Wulan (saudari Dewi Mathaningrum atau Putri Campa, istri Prabu Brawijaya)
a. Raja Pendita >< Maduretno
b. Raja Rahmat (Sunan Ampel) >< Condrowati
1) Sayyidah Ibrahim (Sunan Bonang)
2) Sayyidah Qosim (Sunan Drajat)
3) Sayyidah Syarifah
4) Sayyidah Mutmainah
3) Sayyidah Hafshah
c. Sayiddah Zaenah
3. Siti Afsah


Silsilah keluarga

Silsilah

Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW, berputeri

Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati

Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Putranya adalah Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar, memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Syekh Nurjati.[6][7]

Pranala luar

Catatan kaki

  1. ^ Syekh Siti Jenar: pergumulan Islam-Jawa, Abdul Munir Mulkhan
  2. ^ Kementerian Agama. 2015. Buku Akidah Akhlak Kelas XI. Jakarta:Kementerian Agama
  3. ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 306.
  4. ^ a b c Ngabei Ranggasutrasna, dkk (1991). Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, hal. 120-123. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-358-X. 
  5. ^ a b Husni Hidayat el-Jufri (16 Juni 2009). "Syeik Siti Jenar: Wali Kesepuluh". Diakses tanggal 4 Oktober 2015. 
  6. ^ (Indonesia) Biografi Syekh Nurjati Situs resmi IAIN Nurijati Cirebon.
  7. ^ (Indonesia) Biografi Syekh Nurjati Drh. H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon : Zulfana Cierbon.