Ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan

Ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan adalah ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan dipraktikkan pada masa Zaman Kejayaan Islam di bawah Umayyah Kórdoba, Abbadiyah Sevilla, Samaniyah, Ziyariyah, Buwayhiyah di Persia, Kekhalifahan Abbasiyah dan seterusnya, dengan rentang waktu sekitar tahun 800 hingga 1250. Prestasi ilmiah Islam mencakup berbagai bidang disiplin ilmu, terutama astronomi, matematika, dan kedokteran. Disiplin ilmu lain untuk pengkajian ilmiah termasuk alkimia dan kimia, botani, geografi dan kartografi, oftalmologi, farmakologi, fisika, dan zoologi.

Tandem Tusi, sebuah peranti matematika yang ditemukan oleh Nashiruddin ath-Thusi pada tahun 1247 untuk memodelkan pergerakan planet-planet yang tidak bundar sempurna

Ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan memiliki maksud praktis serta tujuan pemahaman. Sebagai contoh, astronomi berguna untuk menentukan Kiblat, arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan salat, botani memiliki penerapan praktis dalam pertanian, seperti dalam karya-karya Ibnu Bassal dan Ibnu al-'Awwam, dan geografi memungkinkan Abu Zayd al-Balkhi membuat peta yang akurat. Matematikawan Islam seperti al-Khwarizmi, Ibnu Sina, dan Jamshid al-Kāshī mengembangkan metode dalam aljabar, geometri, dan trigonometri. Para dokter Islam menjabarkan penyakit seperti cacar dan campak dan menantang teori medis Yunani klasik. Al-Biruni, Ibnu Sina, dan yang lainnya menjabarkan preparasi ratusan obat yang terbuat dari tumbuhan obat dan senyawa kimia. Fisikawan Islam mempelajari optika dan mekanika (serta astronomi) dan mengkritik pandangan Aristoteles tentang gerak.

Arti penting ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan telah diperdebatkan oleh para sejarawan. Pandangan tradisionalis berpendapat bahwa ilmu pengetahuan Islam kurang inovasi, dan terutama penting untuk menyampaikan pengetahuan kuno kepada Eropa abad pertengahan. Pandangan revisionis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Islam merupakan revolusi ilmiah. Apa pun argumennya, ilmu pengetahuan berkembang di seluruh daerah yang luas di sekitar Laut Tengah dan lebih jauh lagi, selama beberapa abad, di berbagai pranata.

Konteks

 
Ekspansi Islam:
  di bawah Muhammad, 622–632
  di bawah khalifah Rasyidin, 632–661
  di bawah khalifah Umayyah, 661–750
 
Kekhalifahan Abbasiyah, 750–1261 (dan kemudian di Mesir) pada puncaknya, sekitar tahun 850

Era Islam dimulai pada tahun 622. Tentara Islam menaklukkan Arab, Mesir, dan Mesopotamia, yang pada akhirnya menggusur Kekaisaran Persia dan Romawi Timur dari wilayah tersebut. Dalam satu abad, Islam telah mencapai daerah yang saat ini merupakan Portugal di barat dan Asia Tengah di timur. Zaman Kejayaan Islam (kira-kira antara tahun 692 dan 945) dengan rentang waktu dari Kekhalifahan Umayyah (661-750) dan khususnya, fase awal dari penggantinya, Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258), dengan struktur politik yang stabil dan perdagangan yang berkembang. Karya-karya keagamaan dan kebudayaan utama dari kerajaan-kerajaan Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Budaya Islam mendapat pengaruh Yunani, India, Asyur, dan Persia. Peradaban bersama yang baru terbentuk, berdasarkan Islam. Era budaya elegan dan inovasi pun terjadi kemudian, dengan pertumbuhan populasi dan kota yang pesat. Revolusi Pertanian Arab di pedesaan menghasilkan panen yang lebih banyak dan meningkatkan teknologi pertanian, terutama irigasi. Ini mendukung populasi yang lebih besar dan memungkinkan budaya berkembang.[1][2] Sejak abad ke-8 dan seterusnya, para cendekiawan seperti Al-Kindi,[3] menerjemahkan ilmu pengetahuan bangsa India, Asyur, Sasaniyah (Persia), dan Yunani, termasuk karya-karya Aristoteles, ke dalam bahasa Arab. Terjemahan-terjemahan ini mendukung kemajuan para ilmuwan di seluruh dunia Muslim.[4]

Ilmu pengetahuan Islam bertahan dari penaklukan kembali Spanyol Kristen awal, termasuk jatuhnya Sevilla pada tahun 1248, ketika karya berlanjut di pusat-pusat timur (seperti di Persia). Setelah selesainya penaklukan kembali Spanyol pada tahun 1492, dunia Islam mengalami kemunduran ekonomi dan budaya.[2] Kekhalifahan Abbasiyah diikuti oleh Kesultanan Utsmaniyah (ca tahun 1299–1922), berpusat di Turki, dan Kekaisaran Safawiyah (1501–1736), berpusat di Persia, tempat karya dalam seni dan ilmu pengetahuan terus berlanjut.[5]

Ruang lingkup pengkajian

Prestasi ilmiah Islam abad pertengahan mencakup berbagai bidang disiplin ilmu, terutama matematika, astronomi, dan kedokteran.[4] Disiplin ilmu lain untuk pengkajian ilmiah termasuk fisika, alkimia dan kimia, opftalmologi, dan geografi dan kartografi.[6]

Alkimia dan kimia

Alkimia, sudah mapan sebelum munculnya Islam, berasal dari keyakinan bahwa zat terdiri campuran dari empat unsur Aristotelian (api, bumi, udara, dan air) dalam proporsi yang berbeda. Para ahli alkimia menganggap emas sebagai logam termulia, dan berpendapat bahwa logam-logam lainnya membentuk serangkaian timbunan yang paling dasar, seperti timbal. Mereka juga percaya bahwa unsur kelima, eliksir, dapat mengubah logam dasar menjadi emas. Jabir bin Hayyan (abad ke 8—9) menulis tentang alkimia, berdasarkan eksperimennya sendiri. Dia menjelaskan teknik laboratorium dan metode eksperimental yang akan terus digunakan ketika alkimia telah berubah menjadi kimia. Ibnu Hayyan mengidentifikasi banyak zat, termasuk asam sulfat dan nitrat. Dia menjabarkan proses seperti sublimasi, reduksi, dan distilasi. Dia menggunakan peralatan seperti alembik dan tegakan retot.[7][8][9]

Astronomi dan kosmologi

 
Penjelasan al-Biruni mengenai fase-fase bulan

Astronomi menjadi disiplin utama dalam ilmu pengetahuan Islam. Para astronom mencurahkan upaya untuk memahami sifat kosmos maupun untuk tujuan praktis. Salah satu aplikasinya menyangkut penentuan Kiblat, arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan salat. Yang lainnya adalah astrologi, memprediksi peristiwa yang memengaruhi kehidupan manusia dan memilih waktu yang tepat untuk mengambil tindakan seperti pergi berperang atau membangun sebuah kota.[10] Al-Battani (850–922) secara akurat menentukan panjang tahun matahari. Dia berkontribusi pada Tabel Toledo, yang digunakan oleh para astronom untuk memprediksi pergerakan matahari, bulan, dan planet-planet di langit. Copernicus (1473-1543) kemudian menggunakan beberapa tabel astronomi Al-Battani.[11]

Al-Zarqali (1028-1087) mengembangkan sebuah astrolab yang lebih akurat, digunakan selama berabad-abad sesudahnya. Dia membangun sebuah jam air di Toledo, menemukan bahwa apsis Matahari bergerak perlahan relatif terhadap bintang-bintang tetap, dan memperoleh estimasi yang baik tentang gerakannya[12] untuk tingkat perubahannya.[13] Nashiruddin ath-Thusi (1201–1274) menulis suatu revisi penting untuk model langit abad ke-2 Ptolemaeus. Ketika Tusi menjadi astrolog Hulagu, dia disediakan sebuah observatorium dan memperoleh akses pada teknik dan observasi Tiongkok. Dia mengembangkan trigonometri sebagai sebuah bidang terpisah, dan menyusun tabel astronomi paling akurat yang tersedia hingga saat itu.[14]

Botani

 
Pohon quince, cypress, dan sumac, dalam Keajaiban Penciptaan karya Zakariya al-Qazwini abad ke-13

Studi tentang bidang ilmu alam diperluas pada pemeriksaan rinci tanaman. Karya yang dilakukan terbukti secara langsung bermanfaat dalam pertumbuhan farmakologi yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia Islam.[butuh rujukan] Al-Dinawari (815-896) memopulerkan botani di dunia Islam dengan Kitab al-Nabat (Kitab Tetumbuhan) enam jilidnya. Hanya jilid 3 dan 5 yang bertahan, dengan bagian dari jilid 6 direkonstruksi berdasarkan kutipan fragmen.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Hodgson, Marshall (1974). The Venture of Islam; Conscience and History in a World Civilisation Vol 1. University of Chicago. hlm. 233–238. ISBN 978-0-226-34683-0. 
  2. ^ a b McClellan and Dorn 2006, pp.103–115
  3. ^ "Al-Kindi". Stanford Encyclopedia of Philosophy. 17 March 2015. 
  4. ^ a b Robinson, Francis, ed. (1996). The Cambridge Illustrated History of the Islamic World. Cambridge University Press. hlm. 228–229. 
  5. ^ Turner 1997, p.7
  6. ^ Turner 1997, Table of contents
  7. ^ Masood 2009, pp.153–155
  8. ^ Lagerkvist, Ulf (2005). The Enigma of Ferment: from the Philosopher's Stone to the First Biochemical Nobel Prize. World Scientific Publishing. hlm. 32. 
  9. ^ Turner 1997, pp.189–194
  10. ^ Turner 1997, pp.59–116
  11. ^ Masood 2009, pp.74, 148–150
  12. ^ Linton (2004), p.97). Owing to the unreliability of the data al-Zarqali relied on for this estimate, its remarkable accuracy was fortuitous.
  13. ^ Masood 2009, pp.73–75
  14. ^ Masood 2009, pp.132–135

Sumber

Bacaan lebih lanjut

Pranala luar