Daftar Raja Pagaruyung

artikel daftar Wikimedia

Raja-raja Pagaruyung, berdasarkan cerita adat Minangkabau dan beberapa prasasti yang ditemukan, adalah keturunan dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya. Di antara keturunan Tribhuwanaraja adalah Adityawarman, sang pendiri kerajaan Pagaruyung dan senapati Majapahit, dan ibunya Dara Jingga. Kerajaan Pagaruyung pernah diperintah oleh beberapa dinasti, tetapi mengenai nama-nama rajanya banyak yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan karena hanya berdasarkan legenda (bahasa Minang: tambo) adat Minangkabau.[1][2] Kekuasaan raja-raja ini dimulai dengan berdirinya kerajaan ini pada tahun 1347,[3] namun dari Prasasti Suruaso diketahui ada nama lain yang menjadi raja sebelumnya, dan kemudian dalam selang 300 tahun berikutnya, siapa yang menjadi raja di Pagaruyung seperti hilang ditelan angin, dan baru muncul kembali pada awal abad ke-17, dan kemudian berakhir dimasa Perang Padri.

Kerajaan Pagaruyung
Bekas Kerajaan
Cap mohor kerajaan
Penguasa pertama Adityawarman
(sebagai Raja)
Penguasa terakhir Bagagarsyah dari Pagaruyung
(sebagai Sultan)
Kediaman resmi Istana Pagaruyung
Istano Silinduang Bulan
Pendirian 1347
Pembubaran 12 Februari 1849

Tambo Alam Minangkabau secara spesifik menyebutkan beberapa orang yang diyakini sebagai penguasa Minangkabau,[2] meskipun keberadaan para penguasa ini belum pernah diverifikasi secara faktual.

  1. Puti Panjang Rambut II, ratu Minangkabau yang juga dikenal sebagai Bundo Kanduang, putri dari dari Yang Dipatuan Rajo Nan Sati;
  2. Dang Tuanku Sutan Rumandung, putra Puti Panjang Rambut II;
  3. Cindur Mato (Bujang Kacinduan) bergelar Rajo Mudo, putra dari Dayang Utama Istana yaitu Puti Kambang Bandahari;
  4. Sutan Lembak Tuah (Sutan Aminullah), putra Cindur Mato dengan Puti Reno Bulan, adik perempuan Puti Bungsu.

Bundo Kandung bersama Dang Tuanku dan Puti Bungsu, menurut legenda pergi menyelamatkan diri ke Nagari Lunang, sebuah nagari yang terletak dalam wilayah Kesultanan Inderapura. Mereka hijrah ke barat daya Minangkabau itu adalah demi menghindari ancaman Kerajaan Sungai Ngiang di Minangkabau Timur. Mande Rubiah dipercaya merupakan salah satu keturunan mereka di sana.

Zaman Hindu-Buddha

Berdasarkan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Amoghapasa yang bertarikh 1347, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja di Malayapura dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[4]. Adityawarman memerintah dari tahun 1347[5]dan pernah mengirim utusan ke Cina sebelum meninggal dunia pada tahun 1375. Berikutnya sebagai penganti adalah anaknya yang bernama Ananggawarman yang diketahui dari Prasasti Batusangkar. Dari Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut.[1]

Serangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1409 dan 1411, melemahkan pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap daerah jajahan atau (Rantau dalam Bahasa Minang). Sejak serangan terakhir Majapahit tidak diketahui siapa yang menjadi penganti dari Ananggawarman, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi raja di Pagaruyung.

Masuknya Islam

Yang Dipertuan Pagaruyung (atau Raja Alam) merupakan gelar yang dinobatkan kepada raja-raja Pagaruyung terutama semenjak periode Islam, dan merupakan salah seorang dari tiga raja Minangkabau atau dalam Bahasa Minang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo.

Maharajadiraja (1347-1417)

Raja-raja pada masa ini berasal dari dinasti Mauli yang sebelumnya memerintah kerajaan Malayapura di Dharmasraya.

Foto Nama Dari Sampai Keterangan Gelar
  Adityawarman 1347 1375  • Pendiri kerajaan Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa
Ananggawarman 1375 1417  • Putra Adityawarman dan Putri Reno Jalito Maharajadiraja Pagaruyung dan Malayapura

Dinasti Islam pertama yang memerintah, dan mulai menggunakan gelar sultan.

Nama Dari Sampai Keterangan Gelar
Ahmadsyah 1668 1674  • Tidak diketahui, muncul berdasarkan dari korespondensi surat-menyurat antara seorang regent VOC di Padang, Jacob Pits dengan raja Minangkabau, salah satunya surat tertanggal 9 Oktober 1668. Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, penguasa Minangkabau yang kaya akan emas
Indermasyah 1674 1730  • Putra dari Ahmadsyah, diketahui berdasarkan surat yang diterima regent VOC di Padang dan gubernur Belanda di Melaka, dimulai sejak tahun 1670. Raja Suruaso, Yang Dipertuan Inderma
Muningsyah 1780 1821  • Tidak diketahui secara pasti. Sultan Arifin Muningsyah, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah
Bagagarsyah 1821 1833  • Sultan terakhir Pagaruyung. Kemenakan Sultan Arifin Muningsyah, ia diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai regent Tanah Datar pada 1821. Wafat dalam tahanan Belanda di Batavia. Sultan Tunggal Alam Bagagar, Sultan Alam Bagagar Syah
Sultan Mohamad 20-10-1992

Regent Tanah Datar

Pada tanggal 10 Februari 1821, Sultan Bagagarsyah bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri.[6] Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Sultan Tangkal Alam Bagagar sebetulnya tidak berhak melakukan perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung,[7] yang kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung.[8] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda hanya sebagai Regent Tanah Datar, walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai Raja Alam, tetapi pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.[9]

Pada masa awal Perang Padri, setelah jatuhnya Pagaruyung ke tangan Kaum Padri, kawasan Batipuh termasuk basis terakhir Kaum Adat di Luhak Tanah Datar yang berhasil bertahan terhadap serangan Kaum Padri. Kemudian Datuk Pamuncak yang waktu itu menyandang gelar Tuan Gadang di Batipuh, bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda memerangi Kaum Padri. Setelah ditangkapnya Sultan Tangkal Alam Bagagar atas tuduhan pengkhianatan oleh Kolonel Elout, Datuk Pamuncak Tuan Gadang di Batipuh diangkat menjadi Regent oleh Belanda. Namun perubahan administrasi pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau serta ditolaknya permintaan Tuan Gadang untuk diakui sebagai raja di Minangkabau, mendorong rakyat Batipuh bersama Tuan Gadang pada tanggal 22 Februari 1841 melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Hindia Belanda yang dimulai dengan menyerang pos garnisun tentara Belanda yang berada di Padangpanjang. Pengaruh perlawanan rakyat Batipuh ini cepat menyebar ke kawasan lain, menebarkan huru-hara pada kawasan Fort de Kock dan Fort Van der Capellen, di mana beberapa pejabat Eropa dan pribumi terbunuh. Perlawanan rakyat ini juga tidak lepas dari penerapan cultuurstelsel di Minangkabau. Walau perlawanan ini dapat cepat diredam oleh Belanda, Tuan Gadang sendiri berhasil ditawan dan diasingkan ke Batavia.[10]

Setelah berakhirnya Pemberontakan Batipuh, kedudukan Tuan Gadang ini tidak lagi ada diisi oleh penghulu yang ada di Batipuh dan kemungkinan sistem pewarisan gelar tersebut diwariskan kepada pihak kemenakan sebagaimana halnya dalam sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minang.[11]

Pewaris

Setelah kematian sultan Bagagarsyah selaku sultan terakhir dalam pengasingan di Batavia, ada beberapa klaim berbeda mengenai pewarisan takhta kerajaan. Pada 2009, Muchdan Bakri yang mengaku sebagai pewaris sah kerajaan, hadir dalam upacara penobatan Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan, Muhriz ibni Munawir di Istana Besar Seri Menanti, Kuala Pilah.[12] Ia mengklaim bahwa Bagagarsyah diasingkan ke Batavia bersama anak pertamanya, Sultan Mangun Tuah. Berdasarkan silsilah tersebut, menurutnya, Sultan Mangun Tuah mempunyai enam orang anak dan ia merupakan merupakan cucu dari anak pertama Sultan Mangun Tuah yang bernama Raja Sabaruddin.[12] Ia mengklaim sebagai pewaris yang sah terhadap pemerintahan Raja Alam Minangkabau terakhir dan menyatakan sedang menjejaki cucu Sultan Jamin (anak Sultan Mangun Tuah) yang dipercayai berada di Batu Kikir, Kuala Pilah.[12]

Sementara itu, di Pagaruyung sendiri terdapat seorang "pemangku daulat raja alam" bernama Sutan Haji Muhammad Taufiq Thaib Tuanku Mudo Mahkota Alam.[13]

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6. 
  2. ^ a b Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  3. ^ Navis, Ali Akbar (1984). Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Grafiti Pers. 
  4. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  5. ^ Berg, C.C., 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  6. ^ Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (1850). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. 2. P.N. van Kampen. 
  7. ^ Amran, R. (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  8. ^ Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  9. ^ Dobbin, C.E., (1992), Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847, INIS, ISBN 979811612.
  10. ^ Dobbin, Christine E. (1992). Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784–1847. Inis. ISBN 9798116127. 
  11. ^ Pamuncak, Chatib (1871). Asal Usul Tuan Gadang di Batipuh.  Naskah tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.
  12. ^ a b c "Pewaris Pagaruyung cari keturunan Sultan Jamin". Utusan Malaysia, 22 Oktober 2009. Diakses 23 Juli 2013.
  13. ^ Rinaldi, Ingki. "Pagaruyung, Simbol Perekat Nusantara". Kompas, 22 Juni 2013. Diakses 23 Juli 2013.