Sejarah Dinasti Han (206 SM – 220 M) dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu Han Barat (206 SM – 9 M) dan Han Timur (25–220 M). Penyebutan ini didasarkan pada letak ibu kota di kedua periode tersebut, yaitu Chang'an pada periode Han Barat dan Luoyang pada periode Han Timur. Ibu kota ketiga dan terakhir Dinasti Han adalah Xuchang. Pusat pemerintahan dipindah ke kota tersebut pada tahun 196 Masehi di tengah gejolak politik dan perang saudara. Periode Han Barat dan Timur diselangi oleh Dinasti Xin (9–23 M) yang dibentuk oleh Wang Mang.

Dinasti Han pada tahun 2 Masehi (coklat), dengan garnisun-garnisun militer (titik kuning), negara-negara dependen (titik hijau), dan negara-negara pembayar upeti (titik jingga) hingga Cekungan Tarim di bagian barat Asia Tengah

Dinasti Han merupakan dinasti kekaisaran Tiongkok yang kedua. Dinasti ini didirikan oleh seorang pemimpin pemberontakan petani yang bernama Liu Bang (secara anumerta dikenal dengan sebutan Kaisar Gaozu).[note 1] Dinasti Han menggantikan Qin (221–206 SM), yang sebelumnya telah mengalahkan dan menyatukan Negara-negara Perang di Tiongkok. Pada masa Han, Tiongkok mengalami konsolidasi kebudayaan, uji coba politik, kesejahteraan ekonomi, dan kemajuan teknologi. Wilayah Tiongkok juga meluas ke tempat yang belum pernah dijangkau oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, dan hal ini dimulai dari konflik dengan suku-suku asing, terutama suku nomaden Xiongnu dari Stepa Eurasia. Kaisar Han awalnya terpaksa mengakui para Chanyu (penguasa) Xiongnu sebagai penguasa yang setara, walaupun kenyataannya Han membayar upeti kepada mereka dan juga telah menikahkan putri Han dengan chanyu (hubungan pernikahan ini disebut heqin). Hubungan ini berakhir setelah Kaisar Wu (berkuasa 141–87 SM) mengobarkan perang melawan Xiongnu yang akhirnya berhasil mengakibatkan perpecahan di pihak lawan dan memperluas batas wilayah Tiongkok. Jangkauan Han meluas hingga ke Koridor Hexi di Provinsi Gansu, Cekungan Tarim di Xinjiang, serta wilayah Yunnan, Hainan, Vietnam Utara, Korea Utara, dan Mongolia Luar bagian selatan. Pemerintah Han juga membina hubungan dagang dengan negara-negara lain dan menerima upeti dari mereka. Seorang utusan dari Han bahkan pernah dikirim hingga ke wilayah Kekaisaran Parthia. Sementara itu, agama Buddha pertama kali masuk ke Tiongkok pada masa Han. Agama ini disebarkan oleh misionaris dari Parthia dan Kekaisaran Kushan.

Sedari awal kekuasaan kaisar di Han terancam oleh pemberontakan dari kerajaan-kerajaan yang ada di bawahnya. Pada akhirnya penguasa kerajaan-kerajaan ini digantikan oleh anggota keluarga Liu yang setia. Pada mulanya, bagian timur kekaisaran diperintah secara tidak langsung oleh kerajaan-kerajaan semiotonom semacam ini yang memberikan sebagian dari pendapatan pajaknya kepada kaisar. Sementara itu, kaisar berkuasa secara langsung di wilayah barat. Secara perlahan pemerintahan pusat mengurangi luas dan kekuatan kerajaan-kerajaan ini, hingga akhirnya program reformasi pada pertengahan abad ke-2 SM menghapuskan kekuasaan semiotonom dan mengisi istana raja-raja dengan pejabat-pejabat pemerintahan pusat. Namun, hal yang lebih berdampak terhadap keberlangsungan Dinasti Han adalah konflik perebutan kekuasaan antara keluarga maharani atau ibu suri dengan para kasim di istana. Pada tahun 92 M, para kasim untuk pertama kalinya ikut campur dalam menentukan penerus kaisar dan memicu krisis politik yang berujung pada kejatuhan dan pembantaian para kasim di Luoyang pada tahun 189 M. Selain itu, Pemberontakan Serban Kuning juga meletus pada tahun 184 M, dan para panglima perang yang membantu pemerintah pusat selama konflik ini menjadi sangat kuat di daerahnya masing-masing. Akhirnya, pada tahun 220 M, Cao Pi (putra Kanselir Cao Cao) memaksa Kaisar Xian untuk turun takhta. Menurutnya, sang kaisar sudah tidak lagi mendapatkan Mandat Surgawi. Setelah itu Tiongkok pun terpecah menjadi tiga negara: Cao Wei, Shu Han, dan Dong Wu. Ketiga negara ini akhirnya disatukan oleh Dinasti Jin (265–420 M).

Jatuhnya Qin

Dinasti Zhou (sekitar 1050–256 SM) telah menjadikan Negara Qin di Tiongkok Barat sebagai tempat untuk mengembangbiakkan kuda. Qin juga berfungsi sebagai pembatas dengan suku-suku nomaden Rong, Qiang, dan Di.[1] Setelah berhasil menaklukkan enam Negara Perang (Han, Zhao, Wei, Chu, Yan, dan Qi) pada tahun 221 SM,[1] Raja Qin Ying Zheng berhasil menyatukan Tiongkok dan membaginya menjadi 36 jun yang dikendalikan secara terpusat. Ia kemudian semakin meningkatkan derajatnya dengan mengambil gelar huangdi (皇帝) atau "kaisar", dan semenjak itu ia dikenal dengan nama "Qin Shi Huang".[2] Sejarawan-sejarawan pada masa Han menganggap rezim Qin lalim.[3]

 
Pasukan Terakota di makam Qin Shi Huang di dekat Xi'an, peninggalan Dinasti Qin.

Qin Shi Huang meninggal dunia pada tahun 210 SM.[4] Pada tahun 209 SM, dua petugas yang bertanggung jawab dalam program wajib militer, Chen Sheng dan Wu Guang, memimpin 900 orang yang telah diwamilkan di tengah hujan, tetapi mereka tidak berhasil memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan. Dua Puluh Empat Sejarah mengklaim bahwa hukuman yang diganjar oleh pemerintah Qin terhadap kegagalan ini adalah hukuman mati.[5] Untuk menghindari hukuman ini, Chen dan Wu memberontak melawan Qin, dan peristiwa ini disebut Pemberontakan Dazexiang. Namun, pemberontakan ini digagalkan oleh panglima Qin Zhang Han pada tahun 208 SM; Wu dan Chen kemudian dibunuh oleh prajurit mereka sendiri.[5] Walaupun begitu, ada pula pihak lain yang ikut memberontak. Salah satunya adalah Xiang Yu (meninggal 202 SM) dan pamannya Xiang Liang (項梁/项梁). Mereka berasal dari keluarga ningrat di Chu. Selain itu, Liu Bang juga ikut membangkang. Ia sendiri memiliki latar belakang petani dan berperan sebagai pengawas tahanan di Pei Xian.[6] Mi Xin (cucu Raja Huai I dari Chu) dinyatakan sebagai "Raja Huai II dari Chu" di pusat kekuasaan mereka di Pengcheng (kini Xuzhou) dengan dukungan dari Xiang Yu dan Xiang Liang, sementara kerajaan-kerajaan lain juga ikut memberontak melawan Qin. Walaupun begitu, pada tahun 208 SM, Xiang Liang tewas dalam pertempuran melawan pasukan Zhang Han. Panglima Zhang kemudian menyerang Zhao Xie (Raja Zhao) di ibu kotanya di Handan, sehingga ia terpaksa melarikan diri ke Julu. Kota ini lalu dikepung oleh pasukan panglima Zhang. Namun, kerajaan Chu, Yan, dan Qi memutuskan untuk membantu Zhao. Xiang Yu akhirnya berhasil mengalahkan Zhang di Julu, dan pada tahun 207 SM Zhang terpaksa menyerah.[7]

Saat Xiang sedang disibukkan di Julu, Raja Huai II mengirim Liu Bang guna merebut wilayah utama Qin di Guanzhong. Mereka sebelumnya telah membuat perjanjian bahwa perwira pertama yang berhasil merebut wilayah ini akan menjadi rajanya.[8][9] Pada akhir tahun 207 SM, penguasa Qin, Ziying (yang telah mengklaim gelar yang lebih rendah dari kaisar, yaitu Raja Qin) memerintahkan pembunuhan kasim utamanya, Zhao Gao, karena sang kasim terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kanselir Li Si pada tahun 208 SM dan Kaisar Qin yang kedua, Qin Er Shi, pada tahun 207 SM. Ziying lalu menyatakan tunduk kepada Liu Bang, sehingga Liu Bang dapat menguasai ibu kota Qin di Xianyang.[10] Penasihat utama Liu Bang, Zhang Liang (meninggal 189 SM), memberikan wejangan agar Liu Bang tidak membiarkan pasukannya menjarah kota tersebut. Oleh sebab itu, Liu Bang memutuskan untuk menyegel perbendaharaan Xianyang.[11]

Perang Han-Chu

 
Penghangat minuman anggur dari masa Han Barat. Alat dari perunggu ini berasal dari Provinsi Shanxi atau Henan, abad ke-1 SM.

Menurut Dua Puluh Empat Sejarah, ketika Xiang Yu tiba di Xianyang dua bulan kemudian pada awal tahun 206 SM, ia menjarahnya, membumihanguskannya, dan menghukum mati Ziying.[10][12] Pada tahun yang sama, Xiang Yu menawarkan gelar "Kaisar Yi dari Chu" kepada Raja Huai II dan juga mengirimnya ke wilayah perbatasan yang terpencil. Di wilayah tersebut Kaisar Yi tewas dibunuh. Xiang Yu lalu mengambil gelar Raja Chu Barat (西楚霸王) dan menjadi pemimpin konfederasi yang terdiri dari 18 kerajaan.[13] Ketika Kenduri Gerbang Hong tengah diselenggarakan, Xiang Yu mempertimbangkan untuk membunuh Liu Bang, tetapi Liu sadar dan melarikan diri di tengah-tengah pesta.[11][14] Xiang Yu kemudian membagi Guanzhong menjadi tiga kerajaan. Zhang Han dan dua bawahannya dijadikan raja, sementara Liu Bang diberikan Kerajaan Han yang terletak di daerah perbatasan di Hanzhong untuk mengurangi ancaman politik darinya.[12][13]

Pada musim panas tahun 206 SM, Liu Bang mendengar kabar mengenai nasib Kaisar Yi dan memutuskan untuk menggerakkan kerajaan-kerajaan dalam upaya untuk melawan Xiang Yu. Akibatnya meletuslah perang selama empat tahun yang disebut Perang Chu-Han.[15] Liu mula-mula melancarkan serangan langsung ke Pengcheng dan berhasil merebutnya ketika Xiang sedang sibuk melawan raja lain, yaitu Tian Guang (田廣) sang Raja Qi. Namun, pasukan Liu mengalami kekalahan setelah Xiang kembali ke Pengcheng. Liu sendiri berhasil lolos karena badai menghalangi pasukan Chu, tetapi ayahnya Liu Zhijia (劉執嘉) serta istrinya Lü Zhi ditangkap oleh pasukan Chu.[15] Liu kembali kalah di Xingyang, tetapi ia selamat karena Xiang Yu harus berurusan dengan Ying Bu (英布), Raja Huainan, yang memberontak melawannya. Setelah Liu berhasil menduduki Chenggao dan sebuah lumbung Qin yang besar, Xiang mengancam akan membunuh ayah Liu jika ia tidak menyerah, tetapi Liu tidak menggubris ancaman tersebut.[16]

Berkat keberhasilan Liu, pasukan Chu kehilangan persediaan makanannya, sementara panglima Liu yang bernama Han Xin (meninggal 196 SM) berhasil menaklukkan Zhao dan Qin di sebelah utara Chu. Maka dari itu, pada tahun 203 SM, Xiang memberikan tawaran kepada Liu. Ia akan melepaskan kerabat-kerabat Liu dan membagi Tiongkok menjadi dua: bagian barat akan diberikan kepada Han, sementara wilayah timur akan dikuasai Chu.[16] Walaupun Liu menerima tawaran ini, perdamaian tidak berlangsung lama. Pada tahun 202 SM, Pertempuran Gaixia meletus di wilayah Anhui modern. Menurut catatan sejarah pada masa itu, Liu Bang memimpin 300.000 prajurit, sementara Xiang Yu hanya punya 100.000 pasukan. Saat pasukan Chu mulai melemah, pasukan Han terus menyerang mereka dan akhirnya pasukan Chu mundur ke perkemahan mereka. Pada malam harinya, Xiang Yu mengumpulkan 800 pasukan berkuda dan pergi dari perkemahannya. Pada pagi harinya, Liu Bang mendengar kabar mengenai hal tersebut dan mengirim 5.000 pasukan berkuda untuk mengejarnya.[17] Xiang akhirnya terkepung di tepi Sungai Yangtze, dan di situ ia bunuh diri.[18] Liu lalu mengambil gelar kaisar dan kini dikenal dengan nama Kaisar Gaozu (berkuasa 202–195 SM).[18]

Catatan

  1. ^ Dari Dinasti Shang hingga Sui, para penguasa Tiongkok disebut dalam catatan-catatan yang dibuat setelah masa kekuasaan mereka dengan nama anumerta, sementara kaisar-kaisar Dinasti Tang sampai Yuan disebut dengan nama kuil mereka, dan kaisar-kaisar Ming dan Qing disebut dengan nama era pemerintahan mereka. Lihat Wilkinson 1998, hlm. 106–107.

Catatan kaki

  1. ^ a b Ebrey 1999, hlm. 60.
  2. ^ Ebrey 1999, hlm. 61.
  3. ^ Cullen 2006, hlm. 1–2.
  4. ^ Ebrey 1999, hlm. 63.
  5. ^ a b Loewe 1986, hlm. 112–113.
  6. ^ Loewe 1986, hlm. 113.
  7. ^ Loewe 1986, hlm. 114.
  8. ^ Loewe 1986, hlm. 114-115.
  9. ^ Loewe 2000, hlm. 254.
  10. ^ a b Loewe 1986, hlm. 115.
  11. ^ a b Loewe 2000, hlm. 255.
  12. ^ a b Davis 2001, hlm. 44.
  13. ^ a b Loewe 1986, hlm. 116.
  14. ^ Loewe 1986, hlm. 117.
  15. ^ a b Davis 2001, hlm. 44–45.
  16. ^ a b Davis 2001, hlm. 45.
  17. ^ Davis 2001, hlm. 45–46.
  18. ^ a b Davis 2001, hlm. 46.

Referensi

  • Akira, Hirakawa. (1998). A History of Indian Buddhism: From Sakyamani to Early Mahayana. Translated by Paul Groner. New Delhi: Jainendra Prakash Jain At Shri Jainendra Press. ISBN 978-81-208-0955-0.
  • An, Jiayao. (2002). "When Glass Was Treasured in China," in Silk Road Studies VII: Nomads, Traders, and Holy Men Along China's Silk Road, 79–94. Edited by Annette L. Juliano and Judith A. Lerner. Turnhout: Brepols Publishers. ISBN 978-2-503-52178-7.
  • Ball, Warwick (2016). Rome in the East: Transformation of an Empire, 2nd edition. London & New York: Routledge, ISBN 978-0-415-72078-6.
  • Beck, Mansvelt. (1986). "The Fall of Han," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 317-376. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Barbieri-Low, Anthony J. (2007). Artisans in Early Imperial China. Seattle & London: University of Washington Press. ISBN 978-0-295-98713-2.
  • Bielenstein, Hans. (1986). "Wang Mang, the Restoration of the Han Dynasty, and Later Han," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 223–290. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Chang, Chun-shu. (2007). The Rise of the Chinese Empire: Volume II; Frontier, Immigration, & Empire in Han China, 130 B.C. – A.D. 157. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-11534-1.
  • Csikszentmihalyi, Mark. (2006). Readings in Han Chinese Thought. Indianapolis and Cambridge: Hackett Publishing Company, Inc. ISBN 978-0-87220-710-3.
  • Cullen, Christoper. (2006). Astronomy and Mathematics in Ancient China: The Zhou Bi Suan Jing. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-03537-8.
  • Davis, Paul K. (2001). 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-514366-9.
  • de Crespigny, Rafe. (2007). A Biographical Dictionary of Later Han to the Three Kingdoms (23-220 AD). Leiden: Koninklijke Brill. ISBN 978-90-04-15605-0.
  • Demiéville, Paul. (1986). "Philosophy and religion from Han to Sui," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 808–872. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Deng, Yingke. (2005). Ancient Chinese Inventions. Translated by Wang Pingxing. Beijing: China Intercontinental Press (五洲传播出版社). ISBN 978-7-5085-0837-5.
  • Di Cosmo, Nicola. (2002). Ancient China and Its Enemies: The Rise of Nomadic Power in East Asian History. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-77064-4.
  • Ebrey, Patricia. (1986). "The Economic and Social History of Later Han," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 608-648. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Ebrey, Patricia (1999). The Cambridge Illustrated History of China. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-66991-7.
  • Hansen, Valerie. (2000). The Open Empire: A History of China to 1600. New York & London: W.W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-97374-7.
  • Hendrischke, Barbara. (2000). "Early Daoist Movements" in Daoism Handbook, ed. Livia Kohn, 134-164. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-11208-7.
  • Hinsch, Bret. (2002). Women in Imperial China. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. ISBN 978-0-7425-1872-8.
  • Huang, Ray. (1988). China: A Macro History. Armonk & London: M.E. Sharpe Inc., an East Gate Book. ISBN 978-0-87332-452-6.
  • Hulsewé, A.F.P. (1986). "Ch'in and Han law," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 520-544. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Kramers, Robert P. (1986). "The Development of the Confucian Schools," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 747–756. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Lewis, Mark Edward. (2007). The Early Chinese Empires: Qin and Han. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-02477-9.
  • Loewe, Michael. (1986). "The Former Han Dynasty," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 103–222. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Loewe, Michael. (1994). Divination, Mythology and Monarchy in Han China. Cambridge, New York, and Melbourne: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-45466-7.
  • Loewe, Michael. (2000). A Biographical Dictionary of the Qin, Former Han, and Xin Periods (221 BC — AD 24). Leiden, Boston, Koln: Koninklijke Brill NV. ISBN 978-90-04-10364-1.
  • Mawer, Granville Allen (2013). "The Riddle of Cattigara" in Robert Nichols and Martin Woods (eds), Mapping Our World: Terra Incognita to Australia, 38–39, Canberra: National Library of Australia. ISBN 978-0-642-27809-8.
  • Minford, John and Joseph S.M. Lau. (2002). Classical Chinese literature: an anthology of translations. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0-231-09676-8.
  • Morton, William Scott and Charlton M. Lewis. (2005). China: Its History and Culture: Fourth Edition. New York City: McGraw-Hill. ISBN 978-0-07-141279-7.
  • Needham, Joseph (1965). Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part II: Mechanical Engineering. Cambridge: Cambridge University Press. Reprint from Taipei: Caves Books, 1986. ISBN 978-0-521-05803-2.
  • Nishijima, Sadao. (1986). "The Economic and Social History of Former Han," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 545-607. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • O'Reilly, Dougald J.W. (2007). Early Civilizations of Southeast Asia. Lanham, New York, Toronto, Plymouth: AltaMira Press, Division of Rowman and Littlefield Publishers. ISBN 0-7591-0279-1.
  • Pai, Hyung Il. "Culture Contact and Culture Change: The Korean Peninsula and Its Relations with the Han Dynasty Commandery of Lelang," World Archaeology, Vol. 23, No. 3, Archaeology of Empires (Feb., 1992): 306-319.
  • Shi, Rongzhuan. "The Unearthed Burial Jade in the Tombs of Han Dynasty's King and Marquis and the Study of Jade Burial System", Cultural Relics of Central China, No. 5 (2003): 62–72. ISSN 1003-1731.
  • Suárez, Thomas (1999). Early Mapping of Southeast Asia. Singapore: Periplus Editions. ISBN 962-593-470-7.
  • Tom, K.S. (1989). Echoes from Old China: Life, Legends, and Lore of the Middle Kingdom. Honolulu: The Hawaii Chinese History Center of the University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-1285-0.
  • Torday, Laszlo. (1997). Mounted Archers: The Beginnings of Central Asian History. Durham: The Durham Academic Press. ISBN 978-1-900838-03-0.
  • Wagner, Donald B. (2001). The State and the Iron Industry in Han China. Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies Publishing. ISBN 978-87-87062-83-1.
  • Wang, Zhongshu. (1982). Han Civilization. Translated by K.C. Chang and Collaborators. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 978-0-300-02723-5.
  • Wilkinson, Endymion. (1998). Chinese History: A Manual. Cambridge and London: Harvard University Asia Center of the Harvard University Press. ISBN 978-0-674-12377-9.
  • Wood, Frances. (2002). The Silk Road: Two Thousand Years in the Heart of Asia. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. ISBN 978-0-520-24340-8.
  • Young, Gary K. (2001), Rome's Eastern Trade: International Commerce and Imperial Policy, 31 BC - AD 305, London & New York: Routledge, ISBN 0-415-24219-3.
  • Yü, Ying-shih. (1967). Trade and Expansion in Han China: A Study in the Structure of Sino-Barbarian Economic Relations. Berkeley: University of California Press.
  • Yü, Ying-shih. (1986). "Han Foreign Relations," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 377-462. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Zhang, Guanuda. (2002). "The Role of the Sogdians as Translators of Buddhist Texts," in Silk Road Studies VII: Nomads, Traders, and Holy Men Along China's Silk Road, 75–78. Edited by Annette L. Juliano and Judith A. Lerner. Turnhout: Brepols Publishers. ISBN 978-2-503-52178-7.

Bacaan tambahan

  • Dubs, Homer H. (trans.) The History of the Former Han Dynasty. 3 vols. Baltimore: Waverly Press, 1938-
  • Hill, John E. (2009) Through the Jade Gate to Rome: A Study of the Silk Routes during the Later Han Dynasty, 1st to 2nd Centuries CE. John E. Hill. BookSurge, Charleston, South Carolina. ISBN 978-1-4392-2134-1.

Pranala luar