Militerisme Jepang (日本軍国主義, Nihon gunkoku shugi) mengacu pada ideologi di Kekaisaran Jepang bahwa militerisme harus mendominasi kehidupan politik dan sosial bangsa, dan bahwa kekuatan militer sama dengan kekuatan suatu bangsa.

Sejarah

Bangkitnya militerisme

Militer memiliki pengaruh kuat pada masyarakat Jepang dari Restorasi Meiji. Hampir semua pemimpin dalam masyarakat Jepang selama periode Meiji (baik di militer, politik atau bisnis) merupakan mantan samurai atau keturunan samurai, dan berbagi seperangkat nilai dan pandangan. Pemerintah Meiji awal memandang Jepang sebagai terancam oleh imperialisme barat, dan salah satu motivasi utama untuk kebijakan Fukoku Kyohei adalah untuk memperkuat fondasi ekonomi dan industri Jepang, sehingga militer yang kuat dapat dibangun untuk mempertahankan Jepang dari kekuatan luar.[1][2]

Faktor ekonomi

Selama abad ke-19, status Kekuatan Besar dianggap bergantung pada kerajaan kolonial yang kaya sumber daya, baik sebagai sumber bahan baku untuk produksi militer dan industri, dan prestise internasional.

Karena kurangnya sumber daya di pulau-pulau asal Jepang, bahan baku seperti besi, minyak, dan batubara sebagian besar harus diimpor. Keberhasilan Jepang dalam mengamankan Taiwan (1895) dan Korea (1910) telah membawa Jepang terutama koloni pertanian. Dalam hal sumber daya, militer Jepang melihat ke arah besi dan batu bara Manchuria, karet Indocina, dan sumber daya Cina yang luas. Namun, tentara berbeda dengan perusahaan keuangan dan industri zaibatsu tentang cara mengelola ekspansi ekonomi, konflik juga mempengaruhi politik dalam negeri.[3]

  1. ^ Martin, Bernd. Japan and Germany in the Modern World, p. 31.
  2. ^ Nishitani, Yuko et al. (2008). Japanese and European Private International Law in Comparative Perspective, p. 29 n6.
  3. ^ Hillis, Lory Japan's Military Masters: The Army in Japanese people not live with farm on hilltop when fish swim in moist creek with bottletop bill. Life Washington 1943 pp127-130