Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dimulai dari dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945. BKR kemudian berkembang menjadi beberapa divisi, dimana BKR Laut, salah satu divisi awalnya, meliputi wilayah bahari / laut.

Logo TNI-AL

Warisan Jiwa Bahari Nenek Moyang Bangsa Indonesia

1. Latar Belakang.

Dalam evolusi pembentukan dunia sudah ditakdirkan rupanya bahwa hampir 75% dari permukaan bumi ini terdiri dari lautan. Lautan ini pulalah dengan segala kekayaannya baik yang terpendam di dasarnya maupun yang berada di badannya itu sendiri, semenjak manusia berusaha mempetahankan hidupnya selalu menentang atau mengikat perhatian manusia untu memperolah kehidupan dari padanya dan biasanya dengan resiko yang sangat besar. Peristiwa dan cerita mengenai hal ini sudah cukup banyak diketahui dan dapat pula di baca dalam literatur baik barat maupun timur. Dari zaman bahari sudah diketahui bahwa manusia telah mempergunakan lautan ini bagi perkembangan umat manusia dan membawa peradaban, agama dan hukum dari suatu benua ke benua yang lain dan dengan demikian peranan lautan sejak masa silam itu telah merupakan alat komunikasi yang sangat vital dalam hubungan antar manusia. Bahkan hingga dewasa ini dalam frekuensi yang lebih †inggi dengan didampingin oleh ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang bertaraf tinggi serta kapital yang yang cukup besar memungkinkan adanya eksploitasi-eksploitasi baru bagi keadaan maritim ini untuk mendapatkan cara-cara baru bagi pertumbuhan kemakmuran, mempertahankan martabatnya, meningkatkan ilmu pengetahuan, menarik kegairahan petualangan dan paling akhir merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Sebagaimana ikan di laut harus dapat bertahan dengan lingkungan sekitarnya, berlaku pula bangsa pelaut ditambah usaha melindungi diri terhadap gelombang dan taufan serta karang-karang di laut yang senantiasa merupakan ancaman yang tidak dapat diramalkan bagaimana kesudahannya apabila manusia pelaut ini tidak mempunyai semangat untuk menaklukkan setiap rintangan dan tabah menghadapi segala sesuatunya yang datang dari alam dan laut sekitarnya. Kekayaan dan hasil lautan yang akan memberikan keperluan hidup dan mata pencaharian bagi bangsa nelayan dan bangsa pelaut pada umumnya mempunyai benteng pertahanan atau "safety precautions" masing-masing, sebelum dapat dijamah oleh manusia pelaut itu, yang dapat dikatakan didirikan oleh alam itu sendiri dan dapat berwujud seperti telah disinggung di atas, berupakan gelombang dahsyat, arus yang keras dan deras, taufan dengan guntur yang mengerikan serta kilat yang sambung menyambung.

Halangan dan rintangan banyak yang harus diatasi oleh manusia pelaut, tetapi justru semua halangan ini pulalah yang akan dapat membentuk dan menciptakan sifat-sifat ketabahan, kelincahan, penuh aktivitas dan dinamika, posift aktif dan semangat tidak mudah menyerah (nrimo) kepada keadaan, suatu gambaran jiwa ambivalent atau sifat ambiguous yang senantiasa akan melekat pada setiap orang yang berjiwa pelaut dan berkecimpung dalam dunia bahari. Lautan akan membentuk jiwa seseorang menjadi lincah dan bergolak senantiasa, seperti keadaan lautan itu sendiri yang tidak pernah diam bahkan dikatakan orang akan kembali kepada arus asal setelah berkeliling beberapa waktu lamanya.

Lautan akan senantiasa mengajar seseorang berlaku tabah dan secara berlanjut berusaha meneruskan hidupnya antara pergolakan dan ketenangan atau secara nyata antara kemungkinan hidup dan ancaman maut. Ketabahan seorang pelaut adalah sikap dan ketenangan jiwa dalam menghadapi cobaan dan ancaman maut. Ketabahan seorang pelaut adalah sikap dan ketenangan jiwa dalam menghadapi cobaan can ancaman maut di lautan luas dan buas dengan hasil yang belum dapat ditentukan. Pada waktu yang bersamaan dia juga tidak akan merasa cepat tunduk kepada situasi dan kondisi dikarenakan perjuangan mempertahankan hidup baik secara aktif maupun pasif, lebhi-lebih kalau sudah berada di tengah lautan dan mempertahankan haluan dan keselamatan kapal dan awaknya di waktu saat genting mengancam. Oleh karena itulah semangat dan jiwa pelalut sedikit banyak memang mengandung unsur-unsur spekulatif dan petualangan dan dapat dikatakan sifat adu untung. Seorang pelaut di tengah laut tidak akan dapat meminta nasehat pada orang lain, dia adalah berdiri sendiri dan dia harus daspat melaksanakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak dalam waktu singkat, karena aksi yang terlambat akan berarti jiwa dan beda sebagai penggantinya. Bagi orang yang berjiwa pelaut akan selalu mengambil pedoman hidup "better a wrong decision than no decision at all" atau " lebih baik mengambil keputusan yang salah daripada tidak ada keputusan sama sekali".

Lebih jauh lagi karena faktor-faktor tersebut di atas dia menjadi cinta sekali kepada kapalnya sehingga apabila ia dalam keadaan gawat di tengah laut selalu mempunyai pedoman bahwa ia akan tenggelam bersama kapalnya. Ini yang merupakan ciri khas dari jiwa pelaut, sehingga sering diungkapkan dalam syair atau pantun yang menggambarkan betapa melekatnya jiwa pelaut bagi seseorang yang selalu berkecimpung di laut, bahkan dengan perahu layar dan alat-alat yang sangat sederhana mereka mengarungi lautan luas dan penuh bahaya dalam perantauannya ke berbagai pulau. Mereka menjadi pelaut yang berani dan pedagang yang ulet. Aspek kelautan telah begitu mempengaruhi insan di sekitarnya untuk menggerakkannya dan mempergunakannya sebagai salah satu kehidupan dan penghidupannya, sehingga tidak jarang hal ini tercermin dalam syair, pepatah atau pantun. Di samping ketangkasan mereka menguasai lautan, mereka juga mengembangkan hukum pelayaran dan ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan laut itu sendiri.

Kalau di atas telah disinggung tentang lautan yang membawa perubahan dari suatu benua ke benua lain maka timbul pertanyaan dari manakah adanya waisan jiwa bahari pada bangsa Indonesia dewasa ini. Untuk itu marilah ditinjau sejenak tentang asal mula bangsa Indonesia yang juga membawa peradaban dan kebudayaan ke bumi Indonesia ini. Tidask terlepas pula dari teori asal mula bangsa Indonesia yang dikemukakan oleh sarjana bersaudara Sarasin bahwa datangnya nenek moyang bangsa Indonesia kira-kira 3000 tahun SM sebagai akibat terjadinya suatu perpindahan bangsa secara besar-besaran di Asia Tenggara. Bangsa yang mengadakan perpindahan dari ASia Tenggara termasuk dalam Ras Mongoloid yang m epunyai ciri kulit kuning, berambut lurus hitam. Merka menyebar sampai di Indonesia dan bangsa pendatang ini disebut Proto Melayusambil membawa kebudayaan Neolithik. Lebih lanjut teori itu menyebutkan bahwa kemudian kira-kira 300 tahun S.M. ada gelombang migrasi lagi dari Asia Tenggara. Pendatang baru ini di Indonesia disebut dengan Deutro Melayu yang mendesak Proto Melayu.

Migrasi ini tentu berlangsung dengan menyebarangi lautan yang maha luas dan pada mas dulu hanya dipergunakan perahu berbentuk sederhana dengan cadik di sisi kanan kiri. Dan memang sampai kini perahu bercadik menjadi ciri khas dari bentuk perahu Indonesia. Pada permulaan abad pertama tahun Masehi, kebudayaan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia seperti di China, India, Indonesia sudah tinggi, sudah ada hubungan perdagangan antara negara-negara tersebut melalui selat Malaka dan laut China, bahkan Bangsa Indonesia sendiri telah berlayar jauh sampai ke Madagaskar di sebelah Barat dan sampai pulau Paskah di sebelah timur. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mengerti benar peranan laut sebab dengan melalui lautan mereka dapat mengadakan kontak dengan suku bangsa lin di pulau yang jauh, sehingga mereka mempunyai kebudayaan yang sama sebagai kaum Bahari. Mereka telah mengamalkan watak dan sifat Bahari dalam tata cara kehidupannya, seperti sifat berani, ulet, tegas, sederhana, mempunyai pandangan jauh dan berjiwa besar serta gemar merantau. Sifat dan watak tersebut yang harus menjadi bekal nenek moyang bangsa Indonesia dalam membina bangsanya untu mencapai kejayaan dan kemakmuran serta yang pada dewasa ini dikenal sebagai pewarisan jiwa bahari.

Setelah nenek moyang Bangsa Indonesia menyebar akhirnya mereka mendiami Indonesia sebagai tempat tinggalnya yang terletak paling selatan dari daratan Asia Tenggara. Di tempat yang baru ini mereka mulai menetap dan memilih tempat yang dekat dengan air sehingga pada waktu pertama-tama timbul "daerah pantai" kemudian berubah menjadi "kota pantai" karena banyak kegiatan yang dilakukan diantaranya mengadakan kontak secara langsung melalui laut dengan daerah atau pulau lain. Lebih-lebih setelah mengetahi bahwa kepulauan Indonesia penuh dengan sumber daya alam yang dibutuhkan orang, sehingga hasil sumber daya alam sebagai hasil produksi harus ditukar dengan barang kebutuhan lain. Lama kelamaan tukar menukar itu berubah sifatnya menjadi perdangan luas. Mengingat keadaan geografi dan alam sekitar Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan lkaut dalam dan selat yang membatasi antar pulau maka untuk mencapai perdagangan yang luas membutuhkan sarana laut sebagai penghubung dan pengangkutan barang produksi tersebut. Jadi perdagangan waktu itu banyak dilakukan melalui laut. Kemudian dirasakan bahwa iringi-iringan kapal pengangkut barang dagangan itu harus mendapat penjagaan terhadap serangan kapal bangsa lain yang ingin memiliki hasil laut yang dibawa, sehingga memerlukan pembangunan suatu armada yang dieprsenjatai. Armada ini mempunyai tugas untuk mengawal armada niaga bahkan mengamankan dan menjaga alur pelayaran yang selalu digunakan atau dianggap penting dan strategis.

Berkat adanya perdagangan antar daerah tersebut maka masuk pulalah segala macam pengaruh dari luar yang mempunyai pengaruh pada tata kehidupan bangsa Indonesia. Pertumbuhan masyarakat lama-lama berkisar kepada apa yang datang dari luar dan membawa stempel luar terutama pada daerah pantai, karena tiap migrasi selama ini selalu mendesak msayrakat terdahulu di darah pantai masuk ke pedalaman dan pegunungan. Lama kelamaan struktur masyarakat kian berkembang dan pada umumnya timbullah pada tingkat akhir beberapa kerajaan yang hampir semuanya terbentuk karena pengaruh dari luar. Dari faktor sejarah jaman keemasan jelas dapat diikuti sebagai nenek moyang bangsa Indonesia bekerja membangun dan mengembangkan masing-masing kerajaannya untuk kesejahteraan rakyatnya. Tidak jarang mereka sangat menggantungkan kekuatannya pada perdagangan melalui laut, karena dengan bertambah ramainya dan majunya perdagangan berarti ekonomi kerajaan menjadi baik dan mempunyai efek lebih lanjut pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Untuk memajukan perdagangan laut laut di samping dibutuhkan sumber produksi juga sarana baik sebagai penghubung dan pegangkut barang, maupun sebagai penunjang pengangkutannya dan keselamatannya seperti unsur armada perang, pengkalan, pembuatan kapal. Peranan laut pada waktu itu sangat penting dan vital sekali karena hubungan atau komunikasi melalui darat tidak memungkinkan menginta faktor geografi Indonesia sebagai suatu kepulauan.

Secara sepintas lalu dapatlah disampaikan bahwa dengan adanya migrasi dari zaman ke zaman serta perpindahan nenek moyang dari satu pulau ke pulau lain disebabkan karena adanya gelombang baru maka dapatlah dipastikan bahwa perpindahan itu selalu dilaksanakan melalui laut, terkecuali pendesakan suku-suku bangsa dari pantai ke pedalaman sampai ke pegunungan baik melalui sungai maupun melalui daratan. Tetapi suatu hal yang nyata bahwa bekas-bekas dari unsur kelautan hingga dewasa ini masih tetap dapat dilihat dan diikuti dalam bentuk benda atau penjelmaan kebudayaan dari suku-suku bangsa yang dewasa ini berdiam di pegunungan. Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antar suku-suku bangsa itu sendiri dari migrasi pertama sampai gelombang yang terakhir dalam perkembangan kehidupan antar pulau dari suku-suku bangsa Indonesia selalu dilaksanakan dengan pegamalan dari pertumbuhan teknologi menguasai lautan walaupun dia bersifat secara sederhana didorong oleh mempertahankan keutuhan dari suatu kelompok masyarakat maupun disebabkan oleh perkembangan dari kebutuhan untuk saling mengembangkan kehidupan dan melepaskan diri dari isolasi lingkungan sendiri atau penguasaan daerah lain. Dengan demikian sampai adanya pengaruh dan kedatangan bangsa Asia lainnya dapatlah dikatakan bahwa satusatunya jalan dalam mepertahankan komunikasi antar suku/daerah telah berlangsung melalui laut dengan kibat yang logis perkembangan secara wajar dari teknologi menguasai alur pelayaran di satu pihak dan lain pihak perkembangan dari sarana dan wahana untuk dapat bertahan di lautan itu sendiri.


2. Masa Kejayaan Indonesia.

a. Kerajaan Sriwijaya.

Setelah kerajaan Funan sebagai negara maritim yang berkuasa selama empat abad di Asia Tenggara pudar dan digantikan oleh kerajaan Kamboja yang berdasarkan pada pola agraria disebabkan manpower yang besar, maka praktis hegemoni di lautan Asia Tenggara terbengkalai. Kamboja tidak mempunyai armada niaga dan Angkatan Laut yang kuat, tetapi dengan manusia yang banyak akhirnya Funan dapat dikalahkan karena satu demi satu pangkalan-pangkalan, benteng-benteng serta istana Funan dapat dikuasai melalu daratan. Kekosongan hegemoni di alur pelayaran Asia Tenggara secara praktis berlaku selama tiga abad, yang berarti pula dengan pembebasan lautan oleh Kamboja maka perairan Indonesia juga tidak ada yang menguasai secara mutlak.

Sementara itu pada permulaan abad VII (683) timbullah suatu kerajaan yang didirikan oleh seorang raja dari Muara Tamwan di daerah Kampar yang bertolak dengan kapal diikuti oleh dua laksa tentaranya serta kurang lebih 1300 pengiring lainnya menuju ke selatan dan sampai di sekitar kota Palembang yang sekarang. Perjalanan melalui Selat Malaka, melalui Jambi yang ditaklukkannya dan akhirnya mendarat di Palembang. (Keadaan geografi pada waktu itu berlainan sekali dengan sekarang. Kepulauan Lingga Riau, Singkep masih bersatu dengan Pulau Bintan, selat Singapura terlalu dangkal dan sempit. Selat Bangka terlalu lebar, sedangkan kota Palembang berada di tepi/muara sungai Musi, jadi berada di pantai dan berhadapan dengan laut bebas. Jambi juga terletak di muara sungai dan di tepi pantai tetapi lautnya sangat dangkal). Kerajaan ini kemudian diberi nama Sriwijaya. Keadaan Pemerintah Sriwijaya selain diketahui dari batu tulis, juga dapat diketahui dari berita-berita asing antara lain berita dari pujangga China beragama Budha bernama I-TSHING yang pernah tinggal selama kira-kira empat tahun di Sriwijaya bahwa di kerajaan Sriwijaya semua berjalan dengan teratur dan rapi baik organisasi dan susunan pemerintahannya dan kebudayaannya sudah tinggi, agama yang berkembang di kerajaan ini ialam agama Budha Mahayana dan rakyatnya mematuhi perintah-perintah dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan.

Pada waktu Sriwijaya menegakkan kekuasannya di muara sungai Musi terbentanglah di hadapannya perairan Asia Tenggara yang merupakan urat nadi jalan pelayaran perdagangan antara China-India dan dunia sebelah barat. Pantai Timur Sumatera tidak seluas sekarang, kota-kota Jambi, Palembang ada di tepi pantai. Selat Bangka lebih lebar dari pada sekarang, sedangkan Selat Singapura masih teralu sempit untuk dilalui kapal-kapal serta belum terkenal seperti sekarang ini. Maka pelayaran perniagaan antara dunia barat ke China atau sebaliknya harus melalui Selat Malaka, Pelambang dan Selat Bangka.

Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya harus dapat menguasai daerah-daerah yang dianggap mempunyai kedudukan yang sangat strategis sebagai Pangkalan Angkatan Lautnya. Dari batu bertulis Kota Kapur yang bertahun 608 Caka atau 686 Masehi yang terdapat di Pulau Bangka, di sebelah utara sungai Menduk dapat diketahui bahwa pulau Bangka dan Selat Sunda telah dikuasai oleh Sriwijaya untuk dipergunakan sebagai batu loncatan ke arah penguasan lautan di sebelah utara dan selatan. Kekuatan inti Sriwijaya bukanlah wilayah-wilayah seperti halnya kerajaan-kerajaan yang mendasarkan kehidupannya pada bidang agraris, tetapi pada pangkalan-pangkalan Angkatan Laut di sepanjang jalan p erdagangan atau alur pelayaran. Pangkalan-pangkalan atau benteng-benteng adalah pusat-pusat kekuasaan untuk menjaga dan menguasai laut, karena politik negara Sriwijaya mendasarkan kehidupannya pada perniagaan dan penguasaan jalan pelayaran internasional antara lain : Jambi, Palembang, Pulau Bintan (Tanjung Pinang), Pulau Bangka dan Perairan China Selatan, Selat Sunda telah dikuasai. Angkatan Laut Sriwijaya ditempatkan di pangkalan-pangkalan untuk mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut bea cukai dan membinasakan setiap usaha pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal niaga asing.

Pada akhir abad VII, Sriwijaya sudah menguasai jalan pelayaran internasional antar Ujung Utara dan Selatan Sumatera. Dlaam melebarkan sayap pengaruh dan kekuasaannya itu Sriwijaya belum puas dengan hanya menguasai pantai-pantai Sumatera, tetapi juga menguasai

Sekitar Proklamasi Kemerdekaan RI

1.Situasi Umum pada akhir Pendudukan Bala Tentara Jepang di Indonesia.

Situasi terakhir menjelang keruntuhan Jepang pada umumnya khususnya Perang Pasifik tidak terlalu jelas diketahui oleh masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan pihak Jepang yang sangat mengawasi sarana dan peralatan komunikasi dan media. Tindakan tersebut dilakukan Jepang untuk kepentingan kerahasiaan militer sehingga merasa perlu untuk tidak menyebarkan berita-berita terkait dengan perang di Mandala Pasifik. Namun demikian para pejuang selalu berusaha untuk mencari-cari berita melalui radio gelap dengan cara mendekati/menghubungi para pegawai kantor berita dan radio pemerintah Jepang. Berdasarkan berita radio gelap dan dari para pegawai kantor berita dan dan radio tersebut serta dihubungkan dengan situasi internasional maka tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia dapat mengetahui keadaan Jerman dan Jepang walaupun tidak lengkap.

Baik Jerman maupun Jepang dengan ikut terlibatnya Amerika Serikat dalam Perang Dunia II di medan barat (Afrika - Eropa) dan medan timur (Asia - Pasifik) masing-masing mengharapkan tekanan dari Amerika Serikat akan berkurang. Rupa-rupanya harapan Jerman ini tidak terkabul, karena menurut konsepsi strategi sekutu "Europe First", Hitler dan Mussolini di Eropa harus dihancurkan terlebih dahulu, dan baru kemudian Jepang di Pasifik. Sesuai dengan strategi tersebut, cuma 15% dari semua sumber tenaga Sekutu diberikan pada medan Perang Pasifik, dan 85% selebihnya diborong oleh medan perang melawan Jerman-Italia di Eropa. Amerika Serikat yang pada mulanya tidak siap, tetapi berkat industri raksasanya mengakibatkan negara tersebut dengan cepat sekali siap dalam kancah peperangan. Juga keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia II akhirnya tak dapat dihindarkan lagi, sehingga harapan Jerman bahwa Rusia tidak akan bangkit gagal. Dengan demikian Jerman yang pada mulanya dapat bergerak secara cepat (blitzkrieg) dan berhasil menduduki negara-negara tetangganya kemudian gerakan tadi terhenti, bahkan akhirnya Jerman menjadi pihak defensif. Ofensif Jerman ke Eropa TImur telah tertahan di Stalingrad pada tanggal 19 November 1942 tidak saja disebabkan oleh cuaca buruk dan logistik yang kurang tetapi juga pertahanan Rusia yang kuat. Demikian pula di Afrika tentara tentara Jerman mulai mendapat pukulan hebat dari pihak Sekutu yakni di El Alamein pada tanggal 12 November 1942, dengan dilancarkannya peperangan tank-tank oleh Inggris.

Juga pihak Jepang harapan akan bebasnya dari tekanan Amerika Serikat dengan adanya peranan Amerika Serikat di Eropa ternyata tidak berhasil karena Amerika Serikat dengan cepat sekali dalam keadaan siap terutama berkat industrinya. Sedasng JEpang dalam berperang harus berhemat terhadap kapal perangnya karena industri Jepang tidak dapat membuat kapal baru dengan cepat dan banyak. Dengan demikian Jepang yang semula seperti kawannya di Eropa (Jerman) dapat bergerak cepat dan merebut beberapa daerah kemudian offensifnya terhenti.

Situasi Perang Pasifik menjelang kekalahan Jepang kususnya yang menyangkut Indonesia tak dapat dilepaskan dari Perang Pasifik sebagai keseluruhan, dan hal ini erat hubungannya dengan strategi jepang dalam perang tersebut. Jepang sebagai negara industrialis kekurangan bahan-bahan mentah yang vital bagi industrinya seperti minyak, kapas, karet, bijih besi dan lain-lainnya. Juga jepang memerlukan daerah-daerah pasaran hasil industrinya seperti China dan negara-negara Asia Tenggara. Mengingat letak geografis Jepang, maka logis jika Jepang mengidam-idamkan Manchuria, China, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Daerah sasaran utama pendudukan Jepang adalah Indonesia karena Indonesia kaya minyak dan karet dan bahan tersebut sangat penting artinya guna melanjutkan peperangannya melawan Sekutu dalam jangka panjang.

Badan Keamanan Rakyat Laut

Dibentuknya Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut) pada tanggal 10 September 1945 oleh administrasi kabinet awal Soekarno menjadi tonggak penting bagi kehadiran Angkatan Laut di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Terbentuknya BKR Laut ini dipelopori tokoh-tokoh bahariawan veteran yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine selama masa penjajahan Belanda dan veteran Kaigun selama masa pendudukan Jepang. Faktor lain yang mendorong terbentuknya badan ini adalah adanya potensi yang memungkinkan untuk menjalankan fungsi Angkatan Laut seperti kapal-kapal dan pangkalan, meskipun pada saat itu Angkatan Bersenjata Indonesia belum terbentuk.

Tentara Keamanan Rakyat Laut

Terbentuknya organisasi militer Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) turut memacu keberadaan TKR Laut yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya. Sejumlah Pangkalan Angkatan Laut terbentuk, kapal - kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepang diperdayakan, dan personel pengawaknya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai penjaga laut Republik yang baru terbentuk itu. Kekuatan yang sederhana tidak menyurutkan ALRI untuk menggelar Operasi Lintas Laut dalam rangka menyebarluaskan berita proklamasi dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Disamping itu mereka juga melakukan pelayaran penerobosan blokade laut Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri.

Kepahlawanan prajurit samudera tercermin dalam berbagai pertempuran laut dengan Angkatan Laut Belanda di berbagai tempat seperti Pertempuran Selat Bali, Pertempuran Laut Cirebon, dan Pertempuran Laut Sibolga. Operasi lintas laut juga mampu menyusun pasukan bersenjata di Kalimantan Selatan, Bali, dan Sulawesi. Keterbatasan dalam kekuatan dan kemampuan menyebabkan ALRI harus mengalihkan perjuangan di pedalaman, setelah sebagian besar kapal ditenggelamkan dan hampir semua pangkalan digempur oleh kekuatan militer Belanda dan Sekutu. Sebutan ALRI Gunung kemudian melekat pada diri mereka. Namun tekad untuk kembali berperan di mandala laut tidak pernah surut. Dalam masa sulit selama Pereang Kemerdekaan ALRI berhasil membentuk Corps Armada (CA), Corps Marinier (CM), dan lembaga pendidikan di berbagai tempat. Pembentukan unsur - unsur tersebut menandai kehadiran aspek bagi pembentukan Angkatan Laut yang modern.

Pascapengakuan kedaulatan

Berakhirnya Perang Kemerdekaan menandai pembangunan ALRI sebagai Angkatan Laut modern. Sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), sejak tahun 1949, ALRI menerima berbagai peralatan perang berupa kapal - kapal perang beserta berbagai fasilitas pendukungnya berupa Pangkalan Angkatan Laut. Langkah ini bersamaan dengan konsilidasi di tubuh ALRI, pembenahan organisasi, dan perekrutan personel melalui lembaga pendidikan sebelum mengawaki peralatan matra laut. Selama 1949-1959 ALRI berhasil menyempurnakan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Di bidang Organisasi ALRI membentuk Armada, Korps Marinir yang saat ini disebut sebagai Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL), Penerbangan Angkatan Laut dan sejumlah Komando Daerah Maritim sebagai komando pertahanan kewilayahan aspek laut. Peralatan tempur ALRI pun bertambah baik yang berasal dari penyerahan Angkatan Laut Belanda maupun pembeliandari berbagai negara. Penyiapan prajurit yang profesional pun mendapatkan perhatian yang besar dengan pendirian lembaga pendidikan untuk mendidik calon - calon prajurit strata tamtama, bintara, dan perwira, serta pengiriman prajurit ALRI untuk mengikuti pendidikan luar negeri.

Dengan peningkatan kekuatan dan kemampuan tersebut, ALRI melai menyempurnakan strategi, taktik, maupun teknik operasi laut yang langsung diaplikasikan dalam berbagai operasi militer dalam rangka menghadapi gerakan separatis yang bermunculan pada tahun - tahun 1950 hingga 1959. Dalam operasi penugasan PRRI di Sumatra, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan RMS di Maluku, ALRI memperoleh pelajaran dalam penerapan konsep operasi laut, operasi amfibi, dan operasi gabungan dengan angkatan lain.

Penambahan kekuatan

Pada saat kondisi negara mulai membaik dari ancaman desintegrasi, pada tahun 1959 ALRI mencanangkan program yang dikenal sebagai Menuju Angkatan Laut yang Jaya. Sampai tahun 1965 ALRI mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh politik konfrontasi dalam rangka merebut Irian Barat yang dirasa tidak dapat diselesaikan secara diplomatis. Berbagai peralatan tempur Angkatan Laut dari negara Eropa Timur memperkuat ALRI dan menjadi kekuatan dominan pada saat itu. Beberapa mesin perang yang terkenal di jajaran ALRI antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal perusak (destroyer) klas 'Skory', fregat klas 'Riga', Kapal selam klas 'Whisky', kapal tempur cepat berpeluru kendali klas 'Komar', pesawat pembom jarak jauh Ilyushin IL-28, dan Tank Amfibi PT-76. Dengan kekuatan tersebut pada era tahun 1960-an ALRI disebut - sebut sebagai kekuatan Angkatan Laut terbesar di Asia.

Trikora

Ada beberapa operasi laut selama operasi pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan sebutan Operasi Trikora itu. Pada awal Trikora digelar, kapal -kapal cepat torpedo ALRI harus berhadapan dengan kapal- kapal perusak, fregat, dan pesawat Angkatan Laut Belanda di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962. Komodor Yos Soedarso beserta RI Macan Tutul tenggelam pada pertempuran laut tersebut. Peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Hari Dharma Samudera itu memacu semangat untuk merebut Irian Barat secara militer. Pada saat itu ALRI mampu mengorganisasikan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar kekuatan tersebut memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan dicapai kesepakatan untuk menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI.

Dwikora

Politik konfrontasi RI dalam melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dilanjutkan pada Operasi Dwikora untuk menentang pembentukan negara Malaysia. Meskipun unsur - unsur Angkatan Bersenjata RI telah disiapkan dalam operasi tersebut, namun operasi hanya sebatas pada operasi infiltrasi. Prajutir - prajurit ALRI dari kesatuan KKO-AL terlibat dalam tahap ini. Sementara unsur - unsur laut menggelar pameran bendera dalam rangka mengimbangi provokasi oleh kekuatan laut negara - negara sekutu. Operasi Dwikora tidak dilanjutkan seiring dengan suksesi pemerintahan di Indonesia pasca Pemberontakan G 30 S/PKI.

Sejak tahun 1966 ALRI yang kemudian disebut dengan TNI AL mengalami babak baru dalam perjalanan sejarahnya seiring dengan upaya integrasi ABRI. Dengan adanya integrasi ABRI secara organisatoris dan operasional telah mampu menyamakan langkah pada pelaksanaan tugas di bidang pertahanan dan keamanan sehingga secara doktrinal, arah pengembangan kekuatan dan kemampuan setiap angkatan menjadi terpusat. Kegiatan operasi yang menonjol pada kurun waktu 1970-an adalah Operasi Seroja dalam rangka integrasi Timor Timur kepada RI. TNI AL berperan aktif dalam operasi pendaratan pasukan, operasi darat gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut.

Modernisasi

Mulai dasawarsa 1980-an TNI AL melakukan langkah modernisasi peralatan tempurnya, kapal - kapal perang buatan Eropa Timur yang telah menjadi inti kekuatan TNI AL era 1960 dan 1970-an dinilai sudah tidak memenuhi tuntutan tugas TNI AL. Memburuknya hubungan RI - Uni Sovyet pasca pemerintahan Presiden Soekarno membuat terhentinya kerja sama militer kedua negara. Oleh karena itu TNI AL beralih mengadopsi teknologi Barat untuk memodernisasi kekuatan dan kemampuannya dengan membeli kapal - kapal perang dan peralatan tempur utama lainnya dari berbagai negara, diantaranya Korvet berpeluru kendali kelas 'Fatahillah'dari Belanda, Fregat berpeluru kendali klas 'Van Speijk' eks- AL Belanda, Kapal selam klas 209/1300 buatan Jerman Barat, Kapal tempur cepat berpeluru kendali klas'Patrol Ship Killer' buatan Korea Selatan, dan Pesawat Patroli Maritim 'Nomad-Searchmaster'eks-Angkatan Bersenjata Australia.

Kegiatan non-tempur

Pada saat yang sama TNI AL mengembangkan militer non tempur yang berupa operasi bakti kemanusiaan Surya Bhaskara Jaya di berbagai daerah terpencil di Indonesia yang hanya bisa dijangkau lewat laut. Operasi ini berintikan kegiatan pelayanan kesehatan, pembangunan dan rehabilitasi sarana publik, dan berbagai penyuluhan dibidang kesehatan, hukum, dan bela negara. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun hingga sekarang. Sejumlah negara juga pernah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut antara lain Singapura, Australia dan Negara Amerika Serikat. TNI AL juga berupaya menggalakan pembangunan sektor kelautan jauh sebelum Departemen Kelautan terbentuk, khususnya yang berhubungan dengan aspek pertahanan dan keamanan di laut. Kegiatan - kegiatan nyata yang dilakukan TNI AL adalah mendirikan badan - badan pengkajian pembangunan kelautan bersama - sama dengan pemerintah dan swasta di beberapa daerah, program desa pesisir percontohan yangterangkum dalam Pembinaan Desa Pesisir (Bindesir), dan program Pembinaan Potensi Nasional menjadi KekuatanMaritim (Binpotnaskuatmar). Dalam rangka menggelorakan jiwa bahari bangsa, TNI AL menggelar event kelautan skala internasional yaitu Arung Samudera 1995 yang berintikan Lomba Kapal Layar Tiang Tinggi dan perahu layar. TNI AL juga menjadi pendukung utama dicanangkan Tahun Bahari 1996 dan Deklarasi Bunaken 1998 yang merupakan manifestasi pembangunan kelautan di Indonesia.

1990-an

Selama dasawarsa 1990-an TNI AL mendapatkan tambahan kekuatan berupa kapal - kapal perang jenis korvet klas 'Parchim', kapal pendarat tank (LST) klas 'Frosch', dan Penyapu Ranjau klas Kondor.Penambahan kekuatan ini dinilai masih jauh dari kebutuhan dan tuntutan tugas, lebih - lebih pada masa krisis multidimensional ini yang menuntut peningkatan operasi namun perolehan dukungannya sangat terbatas. Reformasi internal di tubuh TNI membawa pengaruh besar pada tuntutan penajaman tugas TNI AL dalam bidang pertahanan dan keamanan di laut seperti reorganisasi dan validasi Armada yang tersusun dalam flotila - flotila kapal perang sesuai dengan kesamaan fungsinya dan pemekaran organisasi Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat divisi Pasukan Marinir-I di Surabaya dan setingkat Brigade berdiri sendiri di Jakarta. Pembenahan - pembenahan tersebut merupakan bagian dari tekad TNI AL menuju Hari Esok yang Lebih Baik.

Lihat pula

Pranala luar