Tiongkok (istilah)

wilayah yang saat ini diperintah oleh Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok

Tiongkok (Hanzi tradisional: 中國; Hanzi sederhana: 中国; Hanyu Pinyin: Zhōngguó; Tongyong Pinyin: Jhongguó; Wade-Giles: Chung1kuo², bahasa Hokkien: Tiong-kok) adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk merujuk pada daerah budaya, dan pemukiman turun temurun dari budaya kuno sejak dahulu kala hingga kini, dan merupakan 2 negara secara de facto di Asia Timur bernama Republik Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok, walaupun secara de jure hanya satu negara, tergantung pengertian sesuai asas Kebijakan Satu Tiongkok. Peradaban Tiongkok adalah salah satu peradaban tertua di dunia, yang terdiri dari sejarah dan budaya beberapa negara yang ada sejak 6 milenia yang lalu. Tiongkok memiliki sistem penulisan yang konsisten sejak dahulu dan masih digunakan hingga kini. Banyak penemuan-penemuan penting bersumber dari peradaban Tiongkok kuno, seperti kertas, kompas, serbuk mesiu, dan materi-materi cetak.

Penulisan Tiongkok dalam aksara Han tradisional - 中國 Penulisan Tiongkok dalam aksara Han tradisional - 中國
Penulisan Tiongkok dalam aksara Han tradisional - 中國
Penulisan Tiongkok dalam aksara Han sederhana - 中国 Penulisan Tiongkok dalam aksara Han sederhana - 中国
Penulisan Tiongkok dalam aksara Han sederhana - 中国

Kata "zhongguo" merupakan nama endonim negara tersebut. Ejaan dalam bahasa Indonesia, "Tiongkok", berasal dari dialek Hokkian ("Tiong-kok"). Dalam bahasa-bahasa lain terdapat pula varian-variannya, misalnya bahasa Jepang: Chūgoku; bahasa Korea: Jungguk/Chungguk; bahasa Vietnam: Trung Quốc; bahasa Tibet: Krung-go; bahasa Uighur: Junggo; bahasa Zhuang: Cunghgoz, dll. (selengkapnya, lihat Nama Tiongkok.)

Pada perang saudara terakhir di Tiongkok, perang ini berakhir dengan jalan buntu dan mengakibatkan adanya dua negara yang memiliki dua nama Tiongkok yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT, Hanzi sederhana: 中华人民共和国; Hanzi tradisional: 中華人民共和國), dan Republik Tiongkok (Hanzi sederhana: 中华民国; Hanzi tradisional: 中華民國) -- yang lebih umum dikenal sebagai “Taiwan”.

Arti nama Tiongkok

Nama "Tiongkok" dapat memiliki beberapa makna yang penting untuk dibedakan supaya menghindari keambiguan. Sumbernya adalah dari bahasa Hokkian "Tiong Kok" yang bermakna "negara tengah", dan juga merupakan nama endonim dari negara yang menguasai Tiongkok Daratan.

Arti politis

 
Paspor Republik Rakyat Tiongkok.
 
Berita di koran Kompas menggunakan istilah Tiongkok, berisi tentang MH370

Makna pertama dari kata "Tiongkok" berarti keseluruhan Republik Rakyat Tiongkok, yaitu negara modern yang berdiri tahun 1949 hingga sekarang. Dalam hal ini, "orang Tiongkok" berarti warga negara RRT, seperti tertulis dalam paspor Tiongkok: “国籍/Nationality: 中国/CHINESE”, yang berbeda pengertiannya dengan orang Tionghoa; "seni dan budaya Tiongkok" merujuk pada budaya modern di RRT, yang berbeda dengan seni dan budaya Tionghoa dalam pengertian kebudayaan bangsa Tionghoa secara umum; "masakan Tiongkok" merujuk pada kuliner yang saat ini khas di RRT, alih-alih masakan Tionghoa yang lebih umum.

Dalam pengertian inilah nama Tiongkok digunakan dalam berita-berita modern di Indonesia, misalnya pada tajuk berita Kompas 26 Maret 2014 yang menuliskan "Rakyat Tiongkok Marah". (gambar)

Dalam lingkup definisi ini, Tiongkok mencakup Hong Kong, Makau, dan klaim mereka atas provinsi Taiwan, serta wilayah-wilayah lain yang dipersengketakan.

Arti geografis

Arti kedua "Tiongkok" adalah Tiongkok Daratan (Hanzi: 大陆, lit. "benua"), yaitu hanya wilayah Tiongkok yang berada di benua Asia. Lingkup definisi ini tidak mencakup Hong Kong, Makau, dan Taiwan (bandingkan dengan istilah Eropa Daratan yang tidak mencakup Britania Raya, Islandia, dan negara-negara non-kontinental lainnya). Dalam hal ini dibedakan antara orang Hong Kong, orang Makau, orang Taiwan, dan orang Tiongkok. Tiga yang pertama dalam pengertian politis di bagian pertama juga disebut sebagai orang Tiongkok, tetapi karena status keistimewaan dan lokasi geografis mereka, maka mereka dapat berpartisipasi dalam ajang-ajang olahraga internasional di bawah bendera masing-masing, oleh karena itu, seorang pemain bulu tangkis Hong Kong dapat berlaga dengan seorang pemain bulu tangkis Tiongkok (Daratan), misalnya yang terjadi dalam pertandingan final tunggal putri 2008 Hong Kong Super Series antara Xie Xingfang (Tiongkok [RRT]) melawan Wang Chen (Hong Kong, Tiongkok) yang dimenangkan oleh Wang Chen. Demikian pula dengan beberapa pertandingan dalam edisi 2007 yang mempertemukan kedua tim. Pemain Hong Kong tentu saja juga adalah pemain Tiongkok (berkewarganegaraan RRT), tetapi dalam konteks ini dia bukan orang Tiongkok Daratan. (bandingkan dengan pemain sepak bola Inggris, Wales, Skotlandia, Irlandia Utara yang berlaga sebagai negara masing-masing, bukan sebagai entitas politik Britania Raya)

Arti sejarah

Dalam makna ketiga, kata "Tiongkok" merujuk pada entitas-entitas politik lain yang menguasai Tiongkok Daratan sebelum 1949, terutama sejarah sebelum 1911, ketika Tiongkok Daratan masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan dan dinasti dan diperintah oleh Kaisar-kaisar Tiongkok. Berita-berita surat kabar Hindia Belanda, misalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut pemerintahan Dinasti Qing dan Republik Tiongkok mula-mula. Untuk membedakan dengan kedua pengertian di atas, maka biasanya disematkan kata "kuno" (Tiongkok kuno). Hal-hal yang tercakup dalam pengertian ini antara lain wilayah geografis Tiongkok, bangsa Tiongkok, yaitu bangsa yang mendiami wilayah geografis tersebut, dan sejarah Tiongkok, yang membahas sejarah 5.000 tahun sejarah bangsa tersebut, serta tokoh Tiongkok, yang mendaftarkan tokoh-tokoh sepanjang sejarah Tiongkok.

Republik Tiongkok

 
Wilayah yang dikuasai oleh Republik Rakyat Tiongkok (ungu) dan Republik Tiongkok (jingga).

Mungkin kebingungan yang paling besar dalam penggunaan kata "Tiongkok" disebabkan karena pada saat ini ada dua entitas politik yang bernama sama, yaitu Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa Republik Tiongkok merupakan entitas yang pertama menggunakan nama Tiongkok, sejak 1912-1949, dan merupakan anggota PBB dari tahun 1945 hingga 1971. Berbeda dengan negara-negara lain dengan nama yang sama yang sama-sama berdaulat (mis. Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo, Dominika dan Republik Dominika, Korea Utara dan Selatan, Sudan dan Sudan Selatan, dan beberapa negara bernama Guinea), status kedaulatan Republik Tiongkok dipertentangkan oleh Republik Rakyat Tiongkok (kedua entitas tersebut saling tidak mengakui), dan syarat negara lain dapat menjalin hubungan diplomatik dengan RRT adalah dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Tiongkok (lihat Kebijakan Satu Tiongkok). Oleh sebab itu, sejak 1949 Republik Rakyat Tiongkok secara de facto menjadi pemerintah Tiongkok Daratan, sedangkan Republik Tiongkok hanya memerintah di provinsi Taiwan, yang hingga kini masih diklaim RRT, dan sejak 1971 RRT secara de jure diakui oleh dunia internasional dengan bergabung ke PBB. Bergabungnya RRT ke PBB juga berarti dikeluarkannya (atau tidak diakuinya lagi) kedaulatan Republik Tiongkok oleh PBB, karena hanya ada satu wakil "Tiongkok" di PBB, yang juga merupakan satu dari 5 anggota Dewan Keamanan PBB, oleh karena itu sejak 1971 istilah "Tiongkok" resmi menunjuk kepada RRT, baik secara de facto maupun de jure.

Dalam praktiknya saat ini terdapat dua negara yang bernama Tiongkok, oleh sebab itu, untuk membedakan keduanya, digunakan nama panjangnya untuk membedakannya. Dalam bahasa Inggris, kependekan nama lengkap kedua negara juga digunakan (PRC untuk People's Republic of China, dan ROC untuk Republic of China), tetapi biasanya dalam bahasa Indonesia hanya RRT yang disingkat, sedangkan Republik Tiongkok tidak memiliki singkatan. Cara lain untuk membedakannya, biasanya adalah dengan menyebut Republik Tiongkok sebagai Taiwan, karena merekalah yang secara de facto menguasai pulau tersebut, atau dengan menyebutkan ibu kota masing-masing: Beijing (RRT) dan Taipei (Taiwan).

Karena tekanan diplomasi RRT, maka Taiwan tidak dapat berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional. Dalam Olimpiade, Taiwan diperbolehkan berpartisipasi asalkan menggunakan nama yang disetujui oleh Tiongkok sebelumnya, yaitu sebagai Tionghoa Taipei, dan diperlakukan sebagai wilayah administratif khusus dari negara Tiongkok (bandingkan dengan Hong Kong, Tiongkok, dan Makau, Tiongkok).

Di pihak lain, pemerintah Republik Tiongkok sendiri masih mengklaim sebagai penguasa secara sah seluruh Tiongkok Daratan, dan belum melepaskan klaim tersebut hingga saat ini, meskipun di bawah tekanan RRT. Ketika organisasi-organisasi internasional menurunkan kedudukan atau bahkan mengeluarkan Taiwan dari keanggotaannya pada tahun 1970-an dan 1980-an, Republik Tiongkok yang dikuasai oleh Kuomintang (KMT) menolak untuk dinamakan "Taiwan, Tiongkok" oleh karena nama tersebut mengimplikasikan Taiwan sebagai bagian dari pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok, oleh karenanya, KMT memilih nama yang dianggap netral, "Tionghoa Taipei" (Hanzi tradisional: 中華臺北; Hanzi Sederhana: 中华台北; Hanyu Pinyin: Zhōnghuá Táiběi; Tongyong Pinyin: Jhonghua Táiběi; Bahasa Inggris: Chinese Taipei) yang tidak mengandung kata "Tiongkok" maupun "Taiwan", yang diakui oleh Komite Olimpiade Internasional sejak tahun 1979. (Untuk konsekuensi dari pemakaian istilah ini, lihat Tionghoa Taipei#Konsekuensi)

Ketika PBB merujuk pada Taiwan, PBB selalu menggunakan nama "Taiwan, provinsi Tiongkok" (Bahasa Inggris: Taiwan, Province of China). Beberapa program alamat pos berbasis web juga menggunakan label yang sama untuk merujuk pada Taiwan.

Dalam organisasi-organisasi tertentu seperti Organisasi Perdagangan Dunia, nama "Wilayah Bea Cukai Terpisah Taiwan, Penghu, Kinmen dan Matsu" (Bahasa Inggris: Separate Customs Territory of Taiwan, Penghu, Kinmen and Matsu) digunakan. Namun "Tionghoa Taipei" secara tidak resmi juga digunakan. Sebagai anggota pendiri Bank Pembangunan Asia, Taiwan berpartisipasi dalam organisasi tersebut sebagai "Republic of China" sampai pada keanggotaan RRT pada tahun 1986; oleh karena tekanan RRT, Bank Pembangunan Asia sekarang menggunakan nama "Taipei, China" untuk merujuk ROC.

Organisasi Gerakan Kepramukaan Dunia adalah salah satu dari sebagian kecil organisasi internasional yang masih merujuk Taiwan sebagai "Tiongkok" dan pramuka dari Taiwan sebagai "Pramuka Tiongkok". Sekutu diplomatik Taiwan, misalnya Vatikan, juga merujuk ROC (Taiwan) sebagai "Tiongkok" pada acara-acara resmi. Sebagai contoh, dalam acara upacara pemakaman Paus Yohanes Paulus II, Presiden Republik Tiongkok Chen Shui-bian menduduki tempat sebagai kepala negara "Tiongkok".

Perbedaan penggunaan

Karena banyaknya makna yang terkandung dalam kata "Tiongkok", maka tidak jarang media massa melakukan kesalahan dalam merujuk pada salah satu makna di atas. Secara umum dapat dibedakan berdasarkan konteks waktunya:

  • Untuk konteks setelah 1949, kata "Tiongkok" merujuk kepada RRT, untuk menyebut Republik Tiongkok harus dituliskan "Republik Tiongkok", "Taiwan", "Tionghoa Taipei", atau kombinasinya. Sebaliknya, RRT tidak perlu dieja dengan nama panjangnya apabila dari konteksnya sudah jelas yang dimaksud bukan Taiwan.
  • Untuk konteks antara 1912 dan 1949, kata "Tiongkok" merujuk pada Republik Tiongkok. Karena pada zaman itu hanya ada satu "Tiongkok", dan belum ada entitas RRT, maka tidak diharuskan menulis lengkap nama Republik Tiongkok. Selain itu entitas ini tidak dapat disebut sebagai Taiwan, karena akan menimbulkan salah kaprah. Tapi apabila konteksnya dapat membingungkan orang yang tidak memahami sejarah, maka dapat diperjelas dengan tanda kurung maupun catatan kaki.
  • Untuk konteks sebelum 1911, kata "Tiongkok" merujuk pada dinasti yang saat itu menguasai Tiongkok, misalnya konteks tahun 1644–1912, Tiongkok ekuivalen dengan Dinasti Qing, orang Tiongkok pada masa itu adalah kawula Qing, dsb. Walaupun demikian, penyebutan yang paling tepat adalah dengan nama dinasti masing-masing, karena konsep nasionalisme "Tiongkok" belum ada pada zaman dahulu.
  • Untuk konteks yang tidak terikat oleh waktu, kata "Tiongkok" dapat digunakan dengan memperhatikan makna-makna yang terkandung di atas. Apabila dalam satu kalimat kedua entitas tersebut disebut bersama-sama, maka kedua-duanya harus disebutkan dengan nama panjangnya, atau singkatannya (RRT dan Taiwan), atau dapat juga ibu kotanya (Beijing dan Taipei).
  • Dalam konteks yang lintas era, misalnya tokoh yang hidup dalam dua zaman, hal tersebut harus dilihat kasus per kasus. Misalnya Mao Zedong lahir di zaman Dinasti Qing, besar di era Republik Tiongkok, walaupun demikian, ia lebih dikenal sebagai tokoh (yang lahir di) Tiongkok, atau tokoh (presiden pertama) Republik Rakyat Tiongkok, dan tidak pernah sebagai tokoh Republik Tiongkok (walaupun ia memiliki peran besar pada era itu) maupun tokoh Qing, karena akan menimbulkan konotasi politis yang berbeda. (bandingkan dengan sejarah Hindia Belanda dan Indonesia awal).

Untuk pembahasan mengenai lokasi geografis yang tidak berkenaan dengan waktu, biasanya cukup dengan menggunakan kata "Tiongkok", misalnya "Tembok Besar Tiongkok", tidak perlu "Tembok Besar Republik Rakyat Tiongkok".

Apabila konteks kalimat menyangkut aspek politik dua entitas di atas, maka perlu digunakan nama lengkap negara tersebut. Tidak cukup disebut "Presiden Tiongkok" saja, tetapi harus disebut jabatan resmi dan nama lengkap negaranya, yaitu Presiden Republik Rakyat Tiongkok (atau Presiden RRT), atau Presiden Republik Tiongkok (atau Presiden Taiwan). Contoh lainnya adalah bendera, pembagian administratif, hubungan diplomatik, dll.

Perbedaan Tiongkok dan Tionghoa

Dari pengertian-pengertian di atas, maka terdapat beberapa poin perbedaan antara istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa", yang seringkali rancu penggunaannya dalam bahasa Indonesia, antara lain:

  • Tiongkok merujuk pada suatu entitas geografis negara di Asia Timur, dan hal-hal yang berkaitan dengan negara tersebut, termasuk sejarahnya, sementara Tionghoa merujuk pada suatu konsep, yang penggunaannya mirip dengan adjektiva dalam bahasa Inggris: Chinese (walaupun dalam bahasa Indonesia "Tiongkok" juga dapat digunakan sebagai adjektiva).
  • "Orang Tionghoa" merujuk pada jatidiri bangsa Tionghoa, sementara "orang Tiongkok" hanya bermakna suatu kewarganegaraan, bukan suatu kebangsaan.
  • Hanya ada bahasa Tionghoa, dan tidak ada "bahasa Tiongkok", karena bahasa bukan merupakan produk suatu negara, melainkan suatu bangsa. Namun hanya ada sejarah Tiongkok, dan tidak ada "sejarah Tionghoa"
  • Terdapat budaya Tionghoa yang umurnya jauh lebih tua daripada budaya Tiongkok (budaya di RRT), setua peradaban itu sendiri.
  • Beberapa pengertian yang lain dapat saling tumpang tindih, antara lain masakan Tiongkok, yang sebagian besar juga merupakan masakan Tionghoa, tetapi ada masakan Tionghoa tertentu, seperti misalnya masakan Tionghoa-Indonesia, yang bukan merupakan masakan Tiongkok.

Di Tiongkok, pembedaan istilah ini tidak serta-merta memiliki padanan istilah yang sama, karena dalam sudut pandang bahasa Tionghoa, istilah "Zhonghua" hanya digunakan dalam nama lengkap negara ("Zhonghua Remin Gongheguo"), dan konsep zhonghua minzu (kebangsaan Zhonghua), tetapi tidak digunakan sebagai adjektiva, seperti dalam bahasa Indonesia.

  • Negara disebut Zhongguo
  • Warganegaranya disebut "Zhongguo Ren (中国人)", orang keturunan Tiongkok yang bukan warganegara umumnya disebut "Hua Ren"
  • Bahasanya disebut "Zhongwen", sejarahnya disebut "Zhongguo Lishi (中国历史)"
  • Budaya, serta hal-hal seputarnya tercakup di dalamnya disebut "Zhongguo Wenhua (中国文化)", dan tidak ada pembedaan antara budaya RRT dan non-RRT
  • Hal-hal lain seputar Tiongkok menggunakan adjektiva "Zhongguo(中国)"

Dalam bahasa Inggris, walaupun ada perbedaan kata antara nomina China dan adjektiva Chinese, tetapi tidak ada pembedaan antara adjektiva Tiongkok dan Tionghoa, seperti dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu Chinese history (sejarah Tiongkok) dan Chinese language (bahasa Tionghoa) menggunakan istilah yang sama. Hal yang senada juga terjadi ketika Indonesia menggunakan istilah "Cina" pada periode waktu 1966 hingga 2014, karena tidak ada pembedaan istilah antara "sejarah Cina" dan "bahasa Cina", oleh sebab itu terjadi kesalahkaprahan bahasa, orang yang tidak memahami perbedaan tersebut dapat menggunakan adjektiva yang salah antara "Tionghoa" dan "Tiongkok", misalnya menyebut "orang Tionghoa" dalam konteks warga negara Tiongkok, "budaya Tiongkok" dalam konteks budaya Tionghoa-Indonesia, "bahasa Tiongkok", suatu istilah yang salah kaprah, dll.

Istilah Tiongkok di Indonesia

Istilah Tiongkok di Indonesia diperkirakan pertama kali digunakan sekitar awal abad ke-20 dan merupakan transliterasi Zhong guo (ejaan lain: Chung Kuo).

Tahun 1967 pemerintahan Orde Baru pada di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dalam salah satu tindakan pertamanya mengeluarkanSurat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 yang mengubah kata "Tionghoa"-"Tiongkok" menjadi "Cina"[1]

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok adalah salah satu pihak yang menyatakan keberatannya atas pemakaian istilah "Cina" di dalam bahasa Indonesia untuk merujuk kepada negara tersebut. Mereka keberatan dengan isi Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan Surat Edaran Nomor 06 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto yang dinilai memulihkan istilah yang mengandung konotasi negatif, dan bukan sebaliknya seperti yang digunakan sebagai alasan.

Setelah era Reformasi, maka satu per satu kebijakan rasialis tersebut dicabut. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 [2] namun Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 maupun Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 tidak turut dicabut, hingga tahun 2004 kelompok-kelompok etnis Tionghoa yang beranggapan bahwa istilah Tiongkok/Tionghoa yang seharusnya digunakan masih memperjuangkan dicabutnya surat edaran ini [3], antara lain Eddy Sadeli, anggota Komisi III DPR RI, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, dll.[4]

Pada tanggal 12 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan petisi tersebut, dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014[5], setelah sebelumnya judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidak dikabulkan, karena hal tersebut berada di luar kewenangan mereka.[6]

Catatan kaki

Lihat pula