Rāhula (Pāli dan Sanskerta) adalah putra tunggal dari pasangan Siddhārtha Gautama (umum dikenal sebagai sang Buddha) (c. 563 atau 480 – 483 atau 400 SM), dan istrinya dan putri Yaśodharā. Ia disebutkan dalam sejumlah teks Buddha, dari periode awal dan seterusnya. Catatan-catatan tentang Rāhula mengindikasikan dampak menguntungkan antara kehidupan Pangeran Siddhārtha dan kehidupan para anggota keluarganya. Menurut tradisi Pāli, Rāhula lahir pada hari penarikan Pangeran Siddhārta, dan sehingga dinamai Rāhula, yang artinya lapisan pada wadah menuju pencerahan. Namun, menurut tradisi Mūlasarvāstivāda, dan sejumlah sumber-sumber berikutnya lainnya, Rāhula baru dikandung pada hari penarikan Pangeran Siddhartha, dan lahir enam tahun kemudian, saat Pangeran Siddhārtha menjadi tercerahkan sebagai sang Buddha. Masa kandungan yang lama diakibatkan oleh karma buruk dari kehidupan sebelumnya dari Yaśodharā dan Rāhula sendiri, meskipun alasan yang lebih naturalistik juga diberikan. Akibat kelahiran yang lama tersebut, Yaśodharā perlu memastikan bahwa Rāhula benar-benar merupakan putra Pangeran Siddhārtha, yang kemudian diteruskan dengan tindakan bajik. Sejarawan H.W. Schumann berpendapat bahwa Pangeran Siddhārtha melirik Rāhula dan menunggu kelahirannya, agar dapat meninggalkan istana dengan ijin raja dan ratu, namun Orientalis Noël Péri menganggapnya lebih nampak bahwa Rāhula lahir setelah Pangeran Siddhārtha meninggalkan istana.

Sang Tetua

Rāhula
Berkas:Prince Rahula and Buddha.jpg
Rāhula meminta warisan kepada ayahnya, Buddha Gautama
GelarPatriark Dharma (Buddhisme Asia Timur)
Nama lain1. bahasa Pali: Rāhula-bhadda, har. 'Rāhula si Beruntung', Sanskerta: Rāhula-bhadra;
2. Romaji: chōshi; arti harfiah: "Anak Sulung"
Informasi pribadi
Lahir
Meninggal
Sumber-sumber berbeda
AgamaBuddhisme
Orang tuaPangeran Siddhārtha (ayah), Princess Yaśodharā (ibu)
Dikenal sebagai1. bahasa Pali: sikkhākāmanaṃ, har. 'Hasrat untuk belajar';
2. Pinyin: mixing diyi; harfiah: 'Praktek dengan tekun'
Kedudukan senior
GuruGautama Buddha, Śariputra Tua
PendahuluĀryadeva
PenerusSanghānandi
Inisiasi7–15 tahun dalam pelayanan Buddha
Taman Nigrodha
oleh Śāriputra

Antara tujuh dan lima belas tahun usai Rāhula lahir, sang Buddha kembali ke kampung halamannya, dimana Yaśodharā meminta Rāhula untuk membujuk sang Buddha agar menduduki takhta klan Śākya. Sang Buddha menanggapinya dengan menobatkan Rāhula menjadi samanera Buddha pertama. Ia mengajarkan samanera tersebut soal kebajikan, refleksi diri, dan ketidakegoisan, kemudian berujung pada pencerahan Rāhula. Meskipun catatan awal menyatakan bahwa Rāhula wafat mendahului sang Buddha, tradisi berikutnya menyatakan bahwa Rāhula adalah salah satu murid yang masih hidup usai sang Buddha wafat, memandu Dispensasi Buddha sampai kebangkitan Buddha berikutnya. Rāhula dikenal dalam teks-teks Buddha karena ketekunannya untuk belajar, dan dihormati oleh para biksu dan biksuni sepanjang sejarah Buddha. Catatannya berujung pada sudut pandang dalam Buddhisme dalam memandang anak-anak sebagai pewaris kehidupan spiritual di satu sisi, dan sebagai orang dengan potensi tercerahkan pada sisi lain.

Catatan

Beberapa teks-teks awal seperti tradisi Pāli tak menyebutkan Rāhula secara keseluruhan;[1][2] namun ia disebutkan dalam teks-teks Pāli berikutnya seperti Apadāna dan komentar-komentarnya, serta dalam teks-teks pada disiplin monastik tradisi-tradisi Mūlasarvāstivāda dan Mahāsaṇghika.[3] Teks-teks terawal tak mendeskripsikan Rāhula secara lebih mendetil, namun ia masuk menjadi figur ideal tanpa kedalaman lebih dalam karakter.[4] Karena kurangnya detil, khususnya setelah penahbisan Rāhula, beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Rāhula tak memiliki peran penting dalam agama Buddha.[5] Selain teks-teks awal, terdapat beberapa teks-teks Buddha pasca-kanonik yang berisi catatan tentang Rāhula.[1] Catatan soal Rāhula menyatakan bahwa saat Pangeran Siddhārtha meninggalkan istananya untuk menjadi biksu; keputusannya dan pertanyaan spiritual berikutnya tak sekadar materi pribadi, namun juga berdampak pada setiap kekerabatan keluarga pada masa itu, karena mereka menanggapi dan memberi dampak pada pangeran tersebut pada wadahnya menuju pencerahan. Sehingga, kehidupan pangeran tersebut sebelum pencerahan terdapat pada sekitar dua kehidupan spiritual paralel, baik Buddha maupun keluarganya.[6]

Kelahiran

Tradisi Pāli

 
Tepat sebelum pangeran meninggalkan istana untuk kehidupan spiritual, ia sempat melirik istrinya Yaśodharā dan anaknya yang baru lahir.

Rāhula lahir pada hari yang sama saat Pangeran Siddhārtha Gautama menarik takhtanya dengan meninggalkan istana,[7] saat pangeran berusia 29 tahun,[8][9][note 1] pada bulan pertama dari delapan bulan candra dari kalender India kuno.[13] Pada hari itu, Pangeran Siddhārtha mempersiapkan diri untuk meninggalkan istana. Catatan Pāli mengklaim bahwa saat ia mendapatkan kabar kelahiran putranya, ia menjawab "rāhulajāto bandhanaṃ jātaṃ", artinya "Seorang rāhu lahir, sebuah hambatan telah muncul",[14][13] sehingga ini merupakan penghalang pencarian untuk pencerahan. Dikisahkan, Śuddhodana, ayah Pangeran Siddhārtha dan raja klan Śākya, menamai anak tersebut dengan nama Rāhula,[13] karena ia tak ingin putranya menjalani kehidupan spiritual sebagai seorang pertapa.[9] Dalam beberap versi, Pangeran Siddhārtha adalah orang yang menamai putranya demikian, karena menghalangi keinginan spiritualnya.[5] Tepat sebelum pangeran meninggalkan istana untuk kehidupan spiritual, ia melirik istrinya Yaśodharā dan anaknya yang baru lahir. Khawatir menimbulkan halangan lainnya, Pangeran Siddhārtha enggan memegang putranya dan meninggalkan istana seperti yang ia rencanakan.[7] Sehingga, Rāhula menjadi putra sulung dan tunggal dari Pangeran Siddhārtha.[15][14]

Tradisi lainnya

Teks-teks mengartikan rāhu secara berbeda. Contohnya, kitab Pāli Apadāna, serta catatan lain yang ditemukan dalam teks-teks disiplin monastik tradisi Mūlasarvāstivāda, rāhu diartikan berasal dari gerhana bulan, yang secara tradisional dipandang disebabkan oleh asura (iblis) Rāhu.[16][17] The Apadāna menyatakan bahwa seperti halnya bulan dihalangi pemandangannya oleh Rāhu, Pangeran Siddhārtha dihalangi oleh kelahiran Rāhula.[17][18] Namun, tradisi Mūlasarvāstivāda menyatakan bahwa Rāhula dikandung pada sore penarikan Pangeran Siddhārtha, dan lahir enam tahun kemudian, pada hari dimana ayahnya mencapai pencerahan,[7] yang terjadi pada gerhana bulan.[19][18] Penjelasan lebih lanjut ditujukan kepada teori astrologi dari nama Rāhula dengan pengamatan bahwa para putra Buddha sebelumnya diberikan nama serupa, berkaitan dengan rasi-rasi bintang.[5]

Mūlasarvāstivāda dan teks-teks Tionghoa pada masa berikutnya seperti Sūtra Abhiniṣkramaṇa memberikan dua jenis penjelasan untuk periode kandungan jangka panjang.[20][21] Jenis pertama melibatkan karma dari Putri Yaśodharā dan Rāhula itu sendiri. Menurut penafsiran tersebut, Yaśodharā mengalami kesakitan saat mengandung anaknya dalam janinnya selama enam tahun, karena pada kehidupan sebelumnya sebagai penggembala sapi enggan menolong ibunya membawa segentong susu dan membiarkan ibunya membawa gentong tambahan sepanjang enam yojana.[20][22] Sementara untuk Rāhula, karmanya adalah bahwa pada kehidupan sebelumnya sebagai raja, ia membiarkan orang bijak menunggu selama enam hari.[23][24] Pada kehidupan tersebut, ia merupakan seorang raja bernama Sūrya dan saudaranya, kehidupan Buddha pada masa sebelumnya,[5] merupakan seorang eremit bernama Candra atau Likhita yang mengambil sumpah bahwa ia hanya hidup dari apa yang diberikan oleh masyarakat. Pada suatu hari, saudaranya melanggar sumpahnya untuk mengambil beberapa air, dan merasa bersalah, meminta raja untuk menghukumnya.[note 2] Raja enggan memberikan hukuman hanya karena masalah sepele semacam itu, namun suadaranya menunggui keputusan akhirnya dan bertahan di taman istana. Setelah enam hari, raja mendadak menyadari bahwa ia melupakan perihal eremit tersebut dan langsung berniat membebaskannya, yang termasuk permintaan maaf dan hadiah-hadiah. Akibatnya, Rāhula menunggu selama enam tahun sebelum lahir.[26] Dalam beberapa versi, raja tak mengijinkan orang bijak untuk memasuki kerajaannya dan mendapatkan karma buruk yang sama yakni masa kandungan yang panjang.[27] Karya komentar Mahāyāna pada masa berikutnya Mahāprajñāpāramitāupadeśa (Hanzi: 大智度論; Pinyin: Dazhidulun) tak menghiraukan karma Yaśodharā untuk masa kandungan selama enam tahun, namun tak menyebut karma Rāhula yang sama sebagai raja. Namun, dalam teks devosional Jepang abad ke-13 Raun Kōshiki, kelahiran Rāhula dipandang sebagai bukti mukjizat, ketimbang buah karma.[28][29][note 3]

Jenis penjelasan kedua meliputi argumen naturalistik bahwa Yaśodharā menerapkan pertapaan relijius yang meliputi puasa dan tidur di kasur jerami, yang menyebabkan pertumbuhan Rāhula melambat. Ia menerapkan praktek tersebut ketika Siddhārtha menerapkan penarikan diri. Kemudian, Raja Śuddhodana mencegah Yaśodharā untuk mendengar kabar apapun dari mantan suaminya, dan perlahan ia menjadi sehat, sehingga kehakiman berlanjut dengan normal. Namun, beberapa waktu berikutnya, rumor palsu menyatakan bahwa mantan pangeran tersebut meninggal akibat pertapaannya. Yaśodharā menjadi sangat tertekan dan depresi, yang membahayakan kehamilannya sendiri. Saat kabar menjabat istana bahwa Siddhārtha telah mencapai pencerahan, Yaśodharā sangat gembira dan melahirkan Rāhula. Cendekiawan Kajian Buddhis John S. Strong menyatakan bahwa catatan tersebut mengaitkan antara pertanyaan untuk pencerahan dan peran Yaśodharā sebagai ibu, dan kemudian, keduanya disertai secara bersamaan.[23][30]

 
Sang Buddha kembali ke rumah usai pencerahannya, disambut oleh Rāhula. Sang Buddha diwakili oleh jejak kaki dan takhtanya. Amarāvatī, abad ke-3. Museum Nasional, New Delhi.

Kelahiran anak tersebut berujung pada keraguan dalam klan Śākya soal siapa ayahnya, seperti yang dikisahkan dalam tradisi Mūlasarvāstivāda, dalam Mahāprajñāpāramitāupadeśa dan kemudian Zabaozang jing (Hanzi: 雜寶藏經).[1] Karena kelahiran Rāhula tak diakui oleh umat Buddha sebagai kelahiran perawan atau mukjizat, tradisi menjelaskan bahwa Pangeran Siddhārtha sebenarnya adalah ayahnya.[19] Yaśodharā menanggapinya dengan menempatkan anaknya di atas batu di kolam air dan melakukan sacca-kiriya agar jika Rāhula benar-benar anaknya, maka Rāhula dan batut ersebut tidaklah tenggelam, namun mengambang. Usai ia menyatakan deklarasi tersebut, anak tersebut diambangkan sesuai dengan sumpahnya.[31][32] Strong menyatakan bahwa ini adalah persamaan simbolik dengan pencapaian pencerahan oleh sang Buddha—yang dideskripsikan sebagai "mendekat ketepian"—dan kembali untuk mengajari umat manusia.[23][32] Mahāprajñāpāramitāupadeśa berisi catatan lain, dimana Pangeran Siddhārtha memiliki banyak istri, dan seorang istri selain Yaśodharā adalah orang yang membelanya, menjadi saksi dari kemurnian penjelasannya.[33]

Selain itu, dalam teks-teks Mūlasarvāstivāda dan Mahāprajñāpāramitāupadeśa, terdapat catatan ketiga yang menyatakan soal pembuktian kemurnian penjelasan Yaśodharā: dalam versi ini, sang Buddha membuat setiap orang di sekitarnya melihat keidentikannya, melalui peran andil supranatural. Rāhula menyatakan bahwa sang Buddha adalah ayahnya yang sebenarnya saat ia mendekati sang Buddha yang sebenarnya menjauh.[32][34][note 4] Dalam cerita keempat soal pembuktian kemurnian Yaśodhara, muncul dalam teks-teks Tionghoa bergaya Avadāna sejak abad ke-5 M, ia dibakar hidup-hidup, namun selamat secara ajaib. Dalam catatan tersebut, Raja Śuddhodana memerintahkan agar ia dibinasakan dengan cara dibakar hidup-hidup sebagai hukuman atas dukaan ketidakmurniannya. Namun alih-alih tersakiti oleh percikan api, ia melakukan sacca-kiriya dan api berubah menjadi sekolam air. Śuddhodana menyambutnya dan putranya kembali ke klannya, dan Rāhula kemudian menjadi sangat digemari.[35] Beberapa Jātaka Tionghoa menyatakan bahwa ia mengakui putranya Siddhārtha pada masa kecil, dan memutuskan untuk lebih menyoroti kehilangan Pangeran Siddhārtha.[36] Cendekiawan agama Reiko Ohnuma memandang penghukuman dengan api tersebut sebagai kiasan yang menyamakan pencerahan sang Buddha, sebuah argumen serupa yang dibuat oleh Strong.[31]

Penahbisan

 
Penahbisan Rāhula, Museum India, Kolkata

Catatan-catatan berlanjut dan mengisahkan bahwa Rāhula dibesarkan oleh ibunya Yaśodharā dan kakeknya Raja Śuddhodana.[7] Saat Rāhula berusia antara tujuh dan lima belas tahun,[37] sang Buddha kembali ke kota tempat tinggalnya Kapilawastu atas permintaan Śuddhodana.[13] Teks Mahāvastu dari tradisi Lokottaravāda menyatakan bahwa para anggota kerajaan berupaya untuk mencegah Rāhula mengetahui kabar bahwa ayahnya telah kembali, namun ia mengetahui siapa "Pertapa Agung" yang bakal datang dan ia mengatakannya.[38][note 5] Pada bagian berikutnya, teks-teks Mahāvastu dan the Mūlasarvāstivāda menyatakan bahwa Yaśodharā berniat untuk mencobai sang Buddha untuk kembali hidup sebagai pangeran dengan meminta Rāhula membawakan afrodisiak kepada sang Buddha.[40][39] Teks-teks Mūlasarvāstivāda mengisahkan bahwa rencananya menjadi berbalik saat sang Buddha meminta Rāhula untuk menyantapnya sendiri. Sehingga, Rāhula menjadi memahami ayahnya dan meminta untuk mengikutinya.[41][40] Dalam versi Pāli dari cerita tersebut, pada hari ketujuh kepulangan sang Buddha, Yaśodharā membawa Rāhula untuk melihat ayahnya, sang Buddha. Ia berkata kepada Rāhula bahwa semenjak ayahnya menarik diri dari hidupan istana dan sehingga ia menjadi pangeran kerajaan berikutnya, ia harus meminta ayahnya untuk mewariskan mahkota dan harta. Peristiwa tersebut kelak menyeruak saat kakeknya tak lagi memerintah kerajaan.[7][39] Usai sang Buddha bersantap, Rāhula mengikuti sang Buddha dan menanyakan warisannya.[17] Samh Buddha tak berniat untuk mencegah Rāhula untuk mengikut kepadanya,[42] namun dalam beberapa versi cerita, beberapa dayang dari istana berniat untuk melakukannya, sehingga Rāhula tertekan.[43] Ia kemudian mendatangi ayahnya dan berkata, "Kesenangan adalah bayangmu, tariklah".[44] Usai Rāhula mencapai Taman Nigrodha, dimana sang Buddha singgah[44] sang Buddha menyatakan bahwa warisan takhta suatu hari akan lenyap, dan diisi dengan penderitaan dan tekanan: "Aku akan memberikannya kekayaan yang aku miliki di bawah pohon pencerahan sehingga menjadikannya seorang pewaris yang tak tertekan."[42]

"Pangeran Rāhula
Saat ia berusia sembilan tahun
Ingin pergi dari kehidupan rumahnya
Untuk mencapai Jalan Utama Berunsur Delapan.
Mari kita berlindung di dalam dan memberikan penghormatan tinggi kepada Yang Mulia Rāhula, yang lahir dan pergi dalam rangka membahagiakan para makhluk."

dikutip dalam (Sekiguchi 1998, hlm. 16), diterjemahkan oleh (Meeks 2016, hlm. 144), Raun Kōshiki

Kebanyakan tradisi menyatakan bahwa Buddha kemudian memanggil Śāriputra dan memintanya untuk menahbiskan Rāhula. Rāhula ditahbiskan, menjadi śrāmaṇera (biksu muda) pertama,[7] dan mungkin orang pertama dalam sangha yang menerima penahbisan dalam cara formal.[45] Dalam beberapa versi dari cerita tersebut, seperti karya Tionghoa abad ke-9 Weicengyou Yinyuan Jing (Hanzi: 未曾有因緣經), sekelompok anak muda ditahbiskan bersama dengannya.[46][47] Raja menyadari bahwa cucunya, putranya Nanda dan sejumlah orang muda lainnya dalam keluarga kerajaan ketika itu telah menerima penahbisan dan meninggalkan istana. Melihat putrinya bersedih hati, ia berkata kepada sang Buddha soal apa yang dilakukannya sekarang, ia hanya menahbiskan orang yang perhatian terhadap orangtuanya.[7][48] Śuddhodana menjelaskan bahwa penahbisan Rāhula sangat mengejutkannya. Sang Buddha pun membenarkan hal tersebut.[44] Aturan kemudian diperluas dalam kasus penahbisan wanita, agar kedua orangtua dan suaminya mula-mula memberikan ijin kepada wanita untuk bergabung dalam sangha biksu dan biksuni.[49] Dalam beberapa versi cerita penahbisan Rāhula, Yaśodharā juga melayangkan protes, namun mengalah pada akhirnya.[50] Namun, Mahāvastu menyatakan bahwa Rāhula sendiri yang meminta untuk ditahbiskan, dan kemudian menerima ijin dari Yaśodharā dan Śuddhodana.[39]

Arkeolog Maurizio Taddei menyatakan bahwa dalam kebanyakan penggambaran seni rupa Gandhāran, kehidupan Rāhula memiliki kaintan dengan kehidupan sebelumnya dari sang Buddha, yakni seorang pertapa bernama Sumedha. Sang Buddha memberikan warisan spiritual kepada putranya dan membandingkannya dengan Sumedha yang mengijinkan Buddha Dīpaṃkara untuk berjalan di atasnya, yang kemudian disusul dengan kisah bahwa Dipaṃkara memprediksi Sumedha akan menjadi sang Buddha pada kehidupan mendatang. Figur Buddha Gautama yang memberikan warisannya kepada putranya, dan figur Buddha Dīpaṃkara memberikan warisan gelar Buddha kepada Sumedha digambarkan dengan percikan api yang muncul dari raga mereka; kedua adepan tersebut adalah penggambaran warisan, kesetiaan murid dan sepenuh; keduanya dianggap oleh umat Buddha abad ke-5 sebagai perwakilan dari "penggerakan kaum muda".[51]

Catatan

  1. ^ Menurut beberapa sumber tradisional, pangeran berusia enam belas tahun pada saat itu.[10] Selain itu, beberapa sumber berkata bahwa Rāhula lahir tujuh hari sebelum Pangeran Siddhārtha meninggalkan istana.[11][12]
  2. ^ Dalam teks-teks tradisi Mūlasarvāstivāda, saudaranya adalah eremit yang lain, bukan raja, namun ia mengirim saudaranya untuk melihat raja menghukumnya.[25]
  3. ^ Dalam teks-teks Pāli, tidak disebutkan periode kandungan yang lama dari Rāhula, namun motif serupa muncul dalam cerita Suppāvāsā, dengan karya serupa pada kehidupan masa lampau.[5]
  4. ^ Yaśodharā memberikan hadiah Rāhula kepada ayahnya yang sebenarnya, dan ia memutuskan untuk menjauhinya. Dalam satu versi dari cerita tersebut, hadiahnya adalah penanda cincin.[34] Dalam versi lain, hadiahnya adalah alat perangsang nafsu berahi.[32] (Lihat § Penahbisan, di bawah.)
  5. ^ Indologis Bhikkhu Telwatte Rahula berpendapat bahwa anak tersebut sadar tanpa seorang ayah.[39]

Referensi

Kutipan

  1. ^ a b c Meeks 2016, hlm. 139.
  2. ^ Strong 1997, hlm. 113.
  3. ^ Untuk Apadāna, lihat (Crosby 2013, hlm. 105). Informasi lainnya disebutkan dalam (Meeks 2016, hlm. 139).
  4. ^ Crosby 2013, hlm. 109.
  5. ^ a b c d e Rahula 1978, hlm. 136.
  6. ^ Strong 1997, hlm. 122–4.
  7. ^ a b c d e f g Buswell & Lopez 2013, Rāhula.
  8. ^ Keown 2004, hlm. 233.
  9. ^ a b Irons 2007, hlm. 400.
  10. ^ Keown 2004, hlm. 267.
  11. ^ Malalasekera 1960, Rāhulamātā.
  12. ^ Sarao 2017, Biography of the Buddha and Early Buddhism.
  13. ^ a b c d Saddhasena 2003, hlm. 481.
  14. ^ a b Powers 2013, Rāhula.
  15. ^ Violatti, Cristian (9 December 2013). "Siddhartha Gautama". Ancient History Encyclopedia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 August 2014. Diakses tanggal 29 October 2018. 
  16. ^ Gnoli 1977, hlm. 119.
  17. ^ a b c Malalasekera 1960, Rāhula.
  18. ^ a b Crosby 2013, hlm. 105.
  19. ^ a b Strong 1997, hlm. 119.
  20. ^ a b Meeks 2016, hlm. 139–40.
  21. ^ Sasson & Law 2008, hlm. 69.
  22. ^ Sasson & Law 2008, hlm. 69–70.
  23. ^ a b c Meeks 2016, hlm. 140.
  24. ^ Ohnuma 2012, hlm. 143.
  25. ^ Péri 1918, hlm. 8.
  26. ^ Lihat (Sasson & Law 2008, hlm. 69) dan (Strong 1997, hlm. 117). Untuk nama dua bersaudara tersebut, lihat (Deeg 2010, hlm. 59, 62).
  27. ^ Shirane 2013, hlm. 168–9.
  28. ^ Meeks 2016, hlm. 141.
  29. ^ Sergeevna 2019, hlm. 81.
  30. ^ Strong 1997, hlm. 118–9.
  31. ^ a b Ohnuma 2012, hlm. 142.
  32. ^ a b c d Strong 1997, hlm. 120.
  33. ^ Meeks 2016, hlm. 139–41.
  34. ^ a b Edkins 2013, hlm. 32–3.
  35. ^ Meeks 2016, hlm. 142.
  36. ^ Péri 1918, hlm. 22.
  37. ^ Teks-teks berbeda menyebut usia yang berbeda. Untuk tujuh tahun, lihat (Saddhasena 2003, hlm. 481); untuk sembilan tahun, lihat (Meeks 2016, hlm. 136) dan (Schumann 2004, hlm. 123); untuk lima belas tahun, lihat (Crosby 2013, hlm. 110).
  38. ^ Rahula 1978, hlm. 133–4.
  39. ^ a b c d Rahula 1978, hlm. 134.
  40. ^ a b Strong 1997, hlm. 121.
  41. ^ Ohnuma 2012, hlm. 145.
  42. ^ a b Penner 2009, hlm. 68.
  43. ^ Péri 1918, hlm. 5.
  44. ^ a b c Saddhasena 2003, hlm. 482.
  45. ^ Rahula 1978, hlm. 83.
  46. ^ Meeks 2016, hlm. 143.
  47. ^ Edkins 2013, hlm. 34–5.
  48. ^ Keown 2004, hlm. 281.
  49. ^ Schumann 2004, hlm. 163.
  50. ^ Edkins 2013, hlm. 34.
  51. ^ Crosby 2013, hlm. 119–20.

Sumber

Bacaan tambahan

Pranala luar