Masjid Raya Ganting (atau ditulis dan dilafalkan Gantiang dalam bahasa Minang; Jawi: مسجد راي ڬنتيڠ) adalah masjid peninggalan abad ke-19 yang terletak di Kampung Ganting, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Tercatat sebagai masjid tertua di Padang, cikal bakal masjid ini berawal dari sebuah surau di Seberang Padang, daerah permukiman pertama dalam sejarah Kota Padang.[2][3][4] Arsitekturnya merepresentasikan akulturasi etnis-etnis yang ada di Padang dengan pengaruh Eropa yang dominan pada bagian fasad.[5][6]

Masjid Raya Ganting
Masjid Raya Ganting, 2014
PetaKoordinat: 0°57′16.200″S 100°22′10.020″E / 0.95450000°S 100.36945000°E / -0.95450000; 100.36945000
Agama
KepemilikanWakaf
Lokasi
LokasiJalan Ganting Nomor 10, Kampung Ganting, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia
Koordinat0°57′16″S 100°22′10″E / 0.95455°S 100.36942°E / -0.95455; 100.36942
Arsitektur
Gaya arsitekturArsitektur Neoklasik[1]
Peletakan batu pertamaAbad ke-19
Spesifikasi
Arah fasadTenggara
Kapasitas1.500–2.000 orang
Panjang42 meter
Lebar39 meter
Menara2

Berada di kawasan yang dulunya merupakan pusat kota, Masjid Raya Ganting merupakan masjid terbesar di Minangkabau pada awal abad ke-20.[7] Masjid ini telah berkontribusi dalam pengembangan dakwah Islam setempat, menjadi tempat perdebatan wacana keislaman di Minangkabau, hingga berperan dalam masa genting saat Sumatra Barat diduduki oleh tentara Jepang.[8] Pamornya meredup seiring kehadiran masjid besar baru seperti Masjid Nurul Iman dan Masjid Taqwa Muhammadiyah serta adanya perluasan wilayah administrasi Kota Padang pada 1980.[9]

Bangunan Masjid Raya Ganting terpelihara dengan baik walaupun sempat mengalami kerusakan akibat gempa bumi tahun 2005 dan 2009. Masjid ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Indonesia[10] dan menjadi daya tarik wisata di Kota Padang.[11]

Pembangunan

Cikal bakal dan pendirian

 
Masjid Raya Ganting sebelum memiliki fasad

Cikal bakal Masjid Raya Ganting berawal dari sebuah surau. Dalam sejarah Padang, surau paling awal terletak di Kapalo Koto (kini masuk wilayah Seberang Padang) dan dibangun pada abad ke-18. Pada tahun yang tidak diketahui, surau dipindahkan ke Kampung Ganting di tepi Batang Arau dan dinamakan sebagai Surau Kampung Ganting. Surau didirikan di atas tanah Haji Umar, kepala kampung setempat dari Suku Caniago.[12] Bangunannya semula terbuat dari kayu dengan atap berbahan rumbia. Konstruksi surau kemungkinan ditingkatkan seiring waktu.[13] Meskipun tahun pendirian surau tidak diketahui, keberadaan rumah ibadah di tepi Batang Arau sudah diidentifikasi pada 1781 dalam laporan yang dibuat oleh Jacob van Heemskerk, residen VOC di Padang, ketika menyerahkan kota kepada Inggris akibat Perang Inggris-Belanda Keempat.[14][15][a]

Masjid Raya Ganting yang berdiri di lokasi sekarang didirikan sebagai pengganti Surau Kampung Ganting dan surau terdahulu di Kapalo Koto. Pendirian masjid kemungkinan sejalan dengan pembentukan nagari oleh delapan suku di Padang yang bernama Nagari Nan Salapan Suku.[3] Menurut adat Minangkabau, sebuah nagari dapat berdiri apabila salah satunya memiliki masjid. Namun, kapan persisnya masjid dibangun tidak diketahui pasti. Meski demikian, Masjid Raya Ganting jamak disebut sebagai masjid tertua di Padang.[2][3][4]

Fachrul Rasyid, wartawan untuk majalah Gatra, menulis Masjid Raya Ganting didirikan pada 1805 dan rampung pada 1810.[17] Salah seorang pemrakarsa pembangunan adalah Haji Umar. Tanah untuk lokasi masjid diperoleh dari hasil wakaf spontan masyarakat Kampung Ganting. Dana pembangunan dihimpun dari penduduk Muslim setempat.[12][13] Masjid awal kemungkinan memiiki bentuk sederhana. Menurut versi ini, Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang tetap utuh saat terjadi gempa bumi disertai tsunami yang melanda pantai barat Sumatra pada 1833. Namun, lantai batunya rusak sehingga diganti dengan lantai coran kapur dari kulit kerang dan batu kapur.[17]

Berbeda dengan Fachrul Rasyid, sejarawan Rusli Amran dalam Padang Riwayatmu Dulu menyebut pendirian Masjid Raya Ganting dimulai pada 1866. Namun, pembangunannya berjalan lamban sehingga, sesudah 20 tahun dibangun, masjid "belum selesai betul" karena dana yang "selalu saja kurang".[18][19] Sementara itu, surat kabar Sumatra Courant pada 1868 melaporkan beberapa imam pribumi di Padang melakukan penggalangan dana dari masyarakat Muslim untuk pembangunan masjid.[20] Tokoh dalam penggalangan dana yang teridentifikasi yakni Syekh Kapalo Koto, seorang imam di Seberang Padang dan Syekh Gapuak (atau dikenal pula sebagai Syekh Abdul Halim), seorang saudagar di Pasar Gadang. Dua tokoh ini, bersama Haji Umar selaku kepala kampung Ganting, disebut oleh banyak sumber sebagai tiga tokoh pemrakarsa Masjid Raya Ganting.[17][12]

Pengembangan

 
Masjid Raya Ganting setelah memiliki fasad pada 1920-an

Bangunan awal Masjid Raya Ganting memiliki ruang utama berukuran 30 × 30 m, ditambah serambi selebar empat meter mengelilingi bangunan utama. Pondasinya terbuat dari susunan batu, bata, dan semen.[21] Pada awal abad ke-20, lantai masjid mulai dicor dengan semen buatan Jerman[13] dan dipasang tegel dari Belanda yang dipesan melalui NV Jacobson van den Berg. Pemasangan tegel ditangani oleh tukang yang ditunjuk langsung oleh pabrik dan selesai pada 1910.[1]

Selanjutnya, dilakukan dilakukan pembangunan lanjutan yang mengubah tampilan bangunan, terutama pada bentuk atap, cungkup, tiang, dan pintu masuk serambi.[22] Menurut sementara sumber, pengerjaannya dibantu Korps Genie wilayah Pesisir Barat Sumatra (wilayah yang meliputi Sumatra Barat dan Tapanuli sekarang)[23] sebagai bentuk kompensasi Belanda atas tanah wakaf masjid yang terpakai saat membuka jalan batu menuju Pelabuhan Teluk Bayur.[b] Fasad yang ada pada Masjid Raya Ganting sekarang merupakan hasil dari pembangunan lanuutan.[25]

Pada mihrab tempat imam memimpin salat dan menyampaikan khotbah, dibuat ukiran kayu mirip ukiran Tiongkok. Di bagian tengah masjid, dibangun sebuah muzawir berukuran 4 × 4 m berbentuk panggung dari kayu dan diberi ukiran Tiongkok. Muzawir berfungsi sebagai tempat penyambung suara imam sehingga makmum dapat mendengar aba-aba imam. Saat salat Jumat, suara imam nyaris tak terdengar jamaah paling belakang. Setelah ada pengeras suara, muzawir tidak digunakan lagi sehingga pengurus masjid membongkar bangunan tersebut pada 1978.[26]

Pada 1960, dilakukan pemasangan keramik pada 25 tiang ruang utama yang aslinya terbuat dari batu bata.[13] Pada 1967, dibangun menara pada bagian kiri dan kanan fasad masjid serta sebuah tempat wudu permanen dan tertutup. Pada 1995, dilakukan pemasangan keramik pada dinding ruang utama.[13]

Pasca-gempa 2005 dan 2009

 
Sebagian kerusakan yang dialami Masjid Raya Ganting akibat gempa bumi tahun 2009.

Pada 10 April 2005, terjadi gempa bumi di pantai barat Sumatra dengan kekuatan 6,7 skala Richter setelah terjadinya gempa bumi lebih besar di sekitar Pulau Nias dua minggu sebelumnya. Akibat bencana ini, sejumlah tiang penyangga utama kuda-kuda atap Masjid Raya Ganting retak dan patah akibat gempa.[6][27][25]

Selanjutnya, masjid ini merupakan salah satu dari 608 unit tempat ibadah di Sumatra Barat yang rusak berat akibat gempa bumi 30 September 2009.[28] Selain meruntuhkan sebagian fasad, gempa meretakkan tiang-tiang ruang utama sehingga bangunan dikhawatirkan roboh.[29][30] Sebelum dilakukan renovasi pada 2010, kerusakan yang dialami masjid menyebabkan aktivitas ibadah terganggu sehingga, selama sementara waktu, aktivitas ibadah harus dilakukan di halaman masjid.[31]

Kronik

Hindia Belanda

Sebagai masjid terbesar di Minangkabau pada awal abad ke-20, Masjid Raya Ganting menjadi arena perdebatan dan perebutan pengaruh antara ulama Minangkabau yang terbagi menjadi Kaum Tua dan Kaum Muda. Perbedaan pandangan dalam masalah ikhtilaf hingga metode menentukan awal bulan membuat umat Muslim sempat terbelah. Pada 1906, Abdullah Ahmad, seorang pendukung pembaruan dalam beragama, mulai mengajar di sini. Ia menggantikan kedudukan pamannya yang meninggal, yakni Syekh Gapuak, yang merupakan salah seorang pendiri masjid.[32] Pengajaran Abdullah Ahmad mendapat banyak pengikut, tetapi pada saat yang sama ditolak oleh kelompok pendukung tradisi. Perdebatan muncul di antara sesama Muslim di Padang dan berikutnya membelah mereka.[33]

Pada 1909, Abdullah Ahmad pindah mengajar dan mendirikan Adabiyah School. Meski tidak lagi mengajar di masjid, Abdullah Ahmad memiliki pengaruh luas. Imam Masjid Raya Ganting bernama Haji Talib menjadi pengikutnya. Pada 1919, posisi Haji Talib sebagai imam diboikot oleh Kaum Tua yang dipimpin oleh Syekh Khatib Ali. Lantaran masalah ikhtilaf, Kaum Tua menolak salat Jumat dengan Haji Talib dan pindah ke Surau Syekh Khatib Ali, padahal surau bukan tempat salat Jumat. BJO Schrieke, pegawai Hindia-Belanda di Padang, mempertemukan kedua belah pihak untuk mencari solusi. Di antara hasil pertemuan, disepakati bahwa Masjid Raya Ganting memiliki dua imam, masing-masing mewakili Kaum Tua dan Kaum Muda.[34] Namun, perseteruan antara dua kelompok tetap berlangsung hingga beberapa tahun berikutnya.[35][36]

Dalam suatu rentang waktu, Masjid Raya Ganting pernah dimanfaatkan sebagai tempat bimbingan manasik haji[37] sekaligus tempat embarkasi bagi jemaah calon haji sebelum berlayar dari Pelabuhan Teluk Bayur ke Jeddah.[38] Materi bimbingan diberikan oleh seorang guru yang berasal dari Timur Tengah bernama Syekh Abdul Hadi atau dijuluki Tuanku Syekh Arab.[39][40] Ia merupakan menantu Syekh Khatib Ali. Saat propoganda komunisme di Sumatra kian kuat, Syekh Abdul Hadi memberikan khotbah Jumat dalam bahasa Melayu di masjid, disaksikan polisi Hindia-Belanda, yang berisi ajakan untuk tidak ikut dalam gerakan komunis.[41] Belakangan, ia terlibat perdebatan masalah ikhtilaf dengan Syekh Adam Balai-Balai di Padang Panjang. Pada suatu waktu, ia berkhotbah di mimbar Masjid Raya Ganting sambil membawa kapak dan berseru mengancam Syekh Adam. Peristiwa ini membuatnya diamankan oleh polisi dan dikirim ke rumah sakit jiwa di Sabang.[42]

Sebuah sekolah agama (kemungkinan Diniyah atau Thawalib) pernah berdiri di dalam pekarangan masjid pada 1924,[43] tetapi dilaporkan tutup pada 1929 karena kekurangan siswa.[44] Gerakan kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan pernah bermarkas di Masjid Raya Ganting. Pada 1932, masjid ini menjadi lokasi jambore nasional pertama Hizbul Wathan.[37]

Perjuangan kemerdekaan

 
Mimbar luar Masjid Raya Ganting. Soekarno, yang kelak menjadi Presiden RI pertama, pernah berpidato di masjid ini.

Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan ke Kutacane. Namun, sesampainya di Painan, tentara Jepang sudah lebih dahulu menduduki Bukittinggi sehingga Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Soekarno di Painan. Selanjutnya, Hizbul Wathan, yang saat itu bermarkas di Masjid Raya Ganting, menjemput Soekarno untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan pedati. Beberapa hari kemudian, Soekarno yang telah tiba di Padang menginap sementara waktu di salah satu rumah pengurus Masjid Raya Ganting dan sempat memberikan pidato di masjid ini.[45]

Selama pendudukan tentara Jepang di Indonesia, masjid ini dijadikan sebagai markas besar wilayah Sumatra Barat dan Tengah sekaligus tempat pembinaan prajurit Giyugun dan Heiho, yang merupakan kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh Jepang. Anggota perwira militer Gyugun terdiri atas para ulama, sedangkan prajurit Heiho diambil dari para santri.[46]

Setelah tentara Sekutu mendarat di Sumatra, banyak tentara Inggris dari kesatuan tentara Muslim India membelot dan bergabung dengan tentara rakyat setempat. Mereka mengatur strategi penyerangan dari masjid ini, termasuk penyerangan ke salah satu tangsi militer Inggris dari kesatuan Gurkha.[46] Ketika seorang prajurit Muslim itu tewas dalam perkelahian di markas militer yang hanya berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di Masjid Ganting.[38][23]

Setelah Indonesia merdeka, Masjid Raya Ganting banyak dikunjungi oleh pejabat negara baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah pejabat negara yang pernah berkunjung ke masjid ini, antara lain, adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX, Wakil Ketua DPR-GR Achmad Syaichu, dan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution. Selain itu, pejabat luar negeri dari Malaysia, Arab Saudi, dan Mesir pernah mengunjungi masjid ini.[46]

Arsitektur

 
Serambi muka, ruang peralihan dari fasad menuju ruang utama.

Arsitektur Masjid Raya Ganting kerap disebut sebagai hasil akulturasi etnis-etnis yang ada di Kota Padang. Pada abad ke-19 ketika masjid ini dibangun, Padang telah dihuni oleh berbagai bangsa dan kelompok etnis, termasuk Eropa, Tionghoa, dan India. Mereka membentuk perkampungan di sekitar masjid; kecuali bangsa Eropa, kampung-kampung mereka masih dapat dijumpai sampai sekarang.[47]

Masjid ini memiliki bentuk atap berundak, ciri khas arsitektur masjid di Nusantara. Undakan atap terdiri atas lima tingkat; tiga tingkat berdenah persegi dan dua tingkat berdenah segi delapan. Menurut Fachrul Rasyid, bagian atap berdenah segi delapan dulunya dikerjakan oleh tukang-tukang Tionghoa di bawah pimpinan Kapten Cina Lau Ch’uan Ko (atau Louw Tjoean Ko). Namun, tidak jelas kronologisnya.[17] Puncak atap diberi kubah bawang dengan hiasan mustaka.

Pengaruh Eropa dan India terdapat pada fasad Masjid Raya Ganting. Fasad menutup seluruh dinding di bagian depan serta sebagian dinding di bagian samping (kiri dan kanan). Elemen fasad meliputi pelengkung, frieze, dan parapet yang terinspirasi gaya arsitektur Neoklasik. Pelengkung terdapat pada pintu, sementara frieze dan parapet terdapat pada bagian tepi atap. Pelengkung berbentuk busur bertipe tudor. Fieze berupa panil-panil kosong persegi panjang dengan dekorasi bunga dan belah ketupat. Adapun parapet terdiri atas deretan baluster dengan hiasan kubah bawang kecil, yang kemungkinan dipengaruhi arsitektur Mughal.[48][49]

Terdapat tambahan elemen berupa pilaster, mimbar, dan sepasang menara di fasad bagian depan. Pilaster berjejer empat berbentuk pilar ganda bergalur. Mimbar terletak di tengah-tengah berukuran 220 × 120 × 275 cm. Adapun menara terdapat di ujung kiri dan kanan.[50]

Tata ruang

Masjid Raya Ganting memiliki denah bangunan berbentuk persegi panjang berukuran 42 × 39 m. Ruang utamanya berbentuk bujur sangkar berukuran 30 × 30 m. Serambi mengelilingi ruang utama pada sisi depan dan samping. Denah serambi muka berukuran 12 × 39 m. Adapun denah serambi samping, baik kiri dan kanan, berukuran 30 × 4,5 m. Serambi samping tersambung ke tempat wudu, sebelah kiri untuk perempuan dan sebelah kanan untuk laki-laki.[21][26]

Ruangan serambi muka dapat diakses melalui pintu-pintu pada fasad; enam di bagian depan serta satu di kiri dan satu di kanan. Di dinding bagian dalam, terdapat pilaster di dinding yang menjadi pembatas antar-pintu. Ketebalan dindingnya 34 cm dan tingginya 320 cm.[48] Ruangan serambi muka ditopang oleh tujuh pilar ganda berbentuk silinder yang terbuat dari beton berdiameter 45 cm.[51] Pilar-pilar berdiri di atas umpak beton dengan lebar 113 cm, tinggi 70 cm, dan tebal 67 cm.[26]

 
Langit-langit masjid di ruang utama disangga oleh 25 tiang.

Ruang utama dapat diakses melalui empat pintu masuk. Dua pintu terdapat di bagian depan, sisanya terdapat bagian samping kiri dan samping kanan. Pintu memiliki ukuran 160 × 264 cm dengan dua daun pintu dari kayu. Pintu memiliki lubang angin dengan hiasan lengkung kipas. Terdapat pula dua jendela yang terbuat dari kayu di sisi timur mengapit pintu masuk, dan masing-masing tiga jendela di sisi utara dan selatan, serta enam jendela di sisi barat. Jendela-jendela berukuran 160 × 200 cm. Seperti pada pintu, jendela memiliki hiasan lengkung kipas pada lubang anginnya.

Dinding pada ruang utama terbuat dari beton berlapis keramik, sedangkan lantainya terbuat dari tegel putih berhiaskan bunga.[13]

Di dalam ruang utama, terdapat 25 tiang yang berbentuk segi enam berdiameter 40–50 cm dan tinggi mencapai 420 cm.[1] Tiang-tiang yang terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi.[6] Jumlah 25 tiang berjajar lima melambangkan 25 nabi, dan masing-masing tiang dilapisi marmer putih berhiaskan kaligrafi yang memuat nama 25 nabi mulai dari Adam sampai Muhammad.[37] Tiang-tiang tersebut berfungsi sebagai penopang utama konstruksi atap masjid yang berbentuk segi delapan.[26]

Pada sisi barat ruang utama terdapat mihrab yang diapit oleh dua kamar di sisi utara dan selatan. Denah ruangan mihrab berukuran 2 × 1,5 m dengan tinggi pada sisi timur 3,2 m dan sisi barat 2,1 cm.[26]

Halaman dan bangunan pendukung

 
Halaman Masjid Raya Ganting

Masjid Raya Ganting berdiri di lahan seluas 9.751 m² yang dikelilingi oleh permukiman penduduk. Denah halamannya berbentuk trapesium. Di sebelah barat, yang merupakan sisi miring halaman, diberi pagar setinggi 1 m dan berbatasan dengan jalan raya. Di sebelah selatan, terdapat pemakaman masyarakat dan bangunan sekolah.[52]

Di dalam kompleks Masjid Raya Ganting, terdapat bangunan pendukung berupa tempat wudu dan perpustakaan. Secara keluruhan, luas area yang diperuntukan untuk bangunan sekitar seperlima dari luas lahan. Halaman yang tersisa digunakan untuk pelaksanaan salat Ied pada hari Idul Fitri dan Idul Adha.[52][26]

D belakang masjid, terdapat dua makam Regen Padang yang menjabat pada abad ke-19. Pada prasastinya, tulisan nama Yml. Radja Bidoe Glr. Marahindra Toeangkoe Panglima Radja di Padang dan Yml Marah Soe’b Glr. Marahindra Toeangkoe Panglima Regent di Padang.

Pengelolaan

Masjid Raya Ganting awalnya berada di bawah pengawasan otoritas adat.[53][54] Sejak 1958, bersamaan dengan masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pengelolaan Masjid Raya Ganting berada di bawah Pemerintah Kota Padang. Namun, demikian kepengurusan masjid tetap dipegang oleh masyarakat Ganting.[54]

Lihat pula

Catatan kaki

Keterangan

  1. ^ Laporan ini kelak digunakan E. Netscher, Gubernur Pantai Barat Sumatra dari 1870–1878, ketika menyusun buku Padang in het Laatst der XVIIIe Eeuw pada 1880.[16]
  2. ^ Jalan ini mulai dibangun pada 1896 dan selesai pada 1900. Panjang jalan 6,5 km.[24]

Referensi

  1. ^ a b c VIVAnews 25 Agustus 2009.
  2. ^ a b Colombijn 1994, hlm. 39.
  3. ^ a b c Safwan 1987, hlm. 15.
  4. ^ a b Evers 1993, hlm. 85.
  5. ^ Antara 22 Agustus 2009.
  6. ^ a b c Detik.com 17 September 2008.
  7. ^ Djaja 1956, hlm. 435–436.
  8. ^ Zein 1999, hlm. 71–72.
  9. ^ Colombijn 1994, hlm. 345.
  10. ^ Permenbudpar PM.54/PW.007/MKP/2010.
  11. ^ Antara 25 Desember 2010.
  12. ^ a b c Zein 1999, hlm. 70.
  13. ^ a b c d e f Kementerian Agama, hlm. 1.
  14. ^ UNESCO 2010.
  15. ^ Netscher 1880.
  16. ^ Colombijn 1994, hlm. 58.
  17. ^ a b c d Rasyid 2005, hlm. 82.
  18. ^ Amran 1988, hlm. 18.
  19. ^ Koestoro 2007, hlm. 58.
  20. ^ Sumatra Courant 12 September 1868.
  21. ^ a b Zakaria 1995, hlm. 87.
  22. ^ Koestoro 2007, hlm. 57.
  23. ^ a b Okezone.com 4 September 2008.
  24. ^ Verslag Over de Burgerlijke Openbare... 1902, hlm. 77.
  25. ^ a b Liputan6 4 November 2005.
  26. ^ a b c d e f Kementerian Agama, hlm. 2.
  27. ^ PT Taspen 2008.
  28. ^ Antara 6 Oktober 2009.
  29. ^ The Art Newspaper 14 April 2010.
  30. ^ The Art Newspaper 3 November 2009.
  31. ^ Antara 7 Februari 2010.
  32. ^ Djaja 1956, hlm. 435–436.
  33. ^ Hamka 1982, hlm. 77.
  34. ^ Darwis 2013, hlm. 44.
  35. ^ Cholik 2008, hlm. 99–112.
  36. ^ Fernando 2017, hlm. 67.
  37. ^ a b c Zein 1999, hlm. 71.
  38. ^ a b Republika 15 Maret 2012.
  39. ^ Oetoesan Melajoe Perobahan 6 Juni 1923.
  40. ^ Hamka 1982, hlm. 135.
  41. ^ Historia.id 10 Mei 2019.
  42. ^ Hamka 1974, hlm. 30–31.
  43. ^ Tjaja Sumatra 19 Mei 1924.
  44. ^ Tjaja Sumatra 16 September 1929.
  45. ^ Soekarno 1990, hlm. 128–129.
  46. ^ a b c Zein 1999, hlm. 72.
  47. ^ Zakaria 1995, hlm. 86.
  48. ^ a b Zakaria 1995, hlm. 89.
  49. ^ Zakaria 1995, hlm. 102.
  50. ^ Zakaria 1995, hlm. 90.
  51. ^ Zakaria 1995, hlm. 58.
  52. ^ a b Zakaria 1995, hlm. 85.
  53. ^ Abdullah 2009, hlm. 65.
  54. ^ a b Evers 1993, hlm. 71.

Daftar pustaka