Kerajaan Alitta
Kerajaaan Alitta adalah salah satu dari lima kerajaan yang tergabung dalam konfederasi Ajatappareng. Wilayahnya berada di bagian barat Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya.[1] Masyarakatnya bekerja sebagai pedagang di wilayah Ajatappareng.[2] Kerajaan Alitta memiliki beberapa peninggalan arkeologi berupa sumur kuno, mata tombak, kepingan mata uang kuno, benteng tanah, dan pecahan keramik.[3]
Kehidupan Masyarakat
Kerajaan Alitta lebih mengutamakan perdagangan dibandingkan pertanian. Bahan pangan berupa beras diperoleh dari Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidenreng, dan Kerajaan Rappang. Kegiatan utama masyarakatnya adalah mengendalikan jalur perdagangan yang menghubungkan Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Sawitto, dan Kedatuan Suppa. Kerajaan Alitta memanfaatkan sungai yang terhubung ke Danau Sidenreng untuk berdagang. Barang-barang dagangan ini kemudian dibawa ke bandar perdagangan Kedatuan Suppa.[2]
Politik
Kerajaan Alitta bergabung dengan Konfederasi Ajatappareng yang dibentuk di Suppa pada abad ke-16. Konfederasi ini merupakan gabungan dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh lima bersaudara. Raja La Pakallongi menjadi perwakilan Kerajaan Alitta dalam konfederasi ini.[4] Tujuan dari konfederasi ini adalah untuk meningkatkan perekonomian serta menjalin persatuan dan persaudaraan di antara para anggotanya.[5]
Silsilah Raja
Raja-raja dari Kerajaan Alitta merupakan keturunan dari Kerajaan Bone.[6] Pendiri Kerajaan Alitta adalah I Patteteng Tana’ Cella Cora’e. Selanjutnya kerajaan ini dipimpin oleh La Gojeng yang merupakan keponakan dari I Patteteng Tana’ Cella Cora’e. La Gojeng wafat di usia muda sehingga ia digantikan oleh anak dari I Patteteng Tana’ Cella Cora’e yang bernama La Massora.[7]
Peninggalan Arkeologi
Kerajaan Alitta memiliki beberapa peninggalan arkeologi berikut:[3]
- Sumur kuno dengan kedalaman 2,74 meter dan diameter 2,65 meter. Tepi sumur ini telah mengalami perbaikan berupa penambahan lapisan plester.
- Mata tombak yang berkarat dan memiliki panjang 21 cm dengan cabang sepanjang 3 cm.
- Kepingan mata uang kuno berangka tahun 1500 berhuruf arab dan bergambar ayam jantan.
- Benteng yang terbuat dari tanah. Benteng ini berbentuk dinding keliling.
- Pecahan keramik dari Yuan (abad 13–14), Dehua (abad 13–14), Sawankhalok (abad 14–16), Ming (abad 15-16) dan Ching (abad 17–18).
Peninggalan Budaya
Kerajaan Alitta meninggalkan satu tradisi adat di Desa Alitta yang disebut Maccera Siwanua. Tradisi ini berasal dari kisah Raja La Massora tentang tempat yang disebut Bujung Lapakkita.[7] Maccera Siwanua adalah ritual persembahan kepada raja Alitta sekaligus pesta rakyat. Tradisi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana dan mempererat persaudaraan dalam masyarakat.[8]
Referensi
- ^ Latif, Hussin, dan Omar 2012, hlm. 96.
- ^ a b Habrianto, Madjid, dan Ridha 2019, hlm. 23.
- ^ a b Muhaeminah dan Makmur 2015, hlm. 6–7.
- ^ Latif, Hussin, dan Omar 2012, hlm. 97.
- ^ Habrianto, Madjid, dan Ridha 2019, hlm. 20.
- ^ Razak 2015, hlm. 86.
- ^ a b Lawwarani dan Alizah 2018, hlm. 227.
- ^ Lawwarani dan Alizah 2018, hlm. 234.
Daftar Pustaka
- Habrianto, S., Madjid, M. S., dan Ridha, M. R. (2019). "Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo Ke Limae Ajatappareng Abad XVI". Patingalloang. 6 (3): 23. doi:10.26858/pattingalloang.v6i3.12054. ISSN 2686-6463.
- Latif, A., Hussin, N., dan Omar, R. (2012). "Konsep Wanua dan Palili di Konfederasi Ajatappareng di Sulawesi Selatan". Malaysia Journal of Society and Space. 8 (7): 96–103. ISSN 2180-2491.
- Lawwarani. M. A. A., dan Alizah, N. (2018). "Maccera Siwanua: Tradisi Menyucikan Kampung dan Pesta Rakyat di Desa Alitta, Kecamatan Matiro Bulu, Kabupaten Pinrang". Walasuji. 9 (1): 225–235. doi:10.36869/wjsb.v9i1.33. ISSN 2502-2229.
- Muhaeminah dan Makmur (2015). "Masa Awal hingga Berkembangnya Kerajaan Ajatappareng (Abad 14–18)". Purbawidya. 4 (2): 1–13. ISSN 2528-3618.
- Razak, F. S. H (2015). "Pergulatan Etnis dalam Pemekaran Daerah (Studi Kasus: Wacana Pemekaran Pinrang Utara)". Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan. 8 (2): 83–92. ISSN 2503-4952.