Linguistika forensik

penerapan linguistika pada forensik
Revisi sejak 19 Agustus 2020 08.58 oleh Dianosaurus (bicara | kontrib) (menambahkan definisi linguistik forensik)

Lingustik forensik (Forensic Linguistics) merupakan cabang dari linguistik yang menganalisis dan meneliti tentang kebahasaan yang digunakan sebagai alat bantu pembuktian di peradilan dan bidang hukum.[1] Linguistik forensik merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu yaitu ilmu linguistik dan ilmu forensik. Linguistik merupakan ilmu bahasa, sedangkan ilmu forensik berasal dari istilah dalam bahasa Yunani yaitu forensis yang berarti publik atau forum. Dalam tradisi politik Romawi, forum merupakan ruang publik yang menjadi tempat untuk mendiskusikan dan memperdebatkan isu-isu politik dan kebijakan. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu forensik menjadi bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu menjawab secara ilmiah tentang bukti-bukti yang terkait dengan penegakan hukum. Mengingat bahwa bukti-bukti yang tertinggal setelah tindak kejahatan tidak hanya berupa bukti non verbal, seperti senjata, peluru, sidik jari, dan lain-lain, tetapi juga dapat meninggalkan bukti verbal, yaitu bahasa, maka untuk keperluan pembuktian apakah bahasa yang tertinggal itu dapat menjadi bukti untuk kasus kejahatan tersebut diperlukan suatu kajian ilmiah. Hasil kajian ilmiah atas bahasa dalam kaitannya dengan penegakan hukum inilah yang disebut sebagai linguistik forensik.[2]

Ilmu ini mulai dikenal semenjak tahun 1980-an dan sangat diperlukan dalam penganalisisan bukti komponen peradilan berupa bahasa demi kepentingan investigasi dalam kasus perdata dan pidana.[3] Pada tahun 1990-an cabang ini sudah mapan, seiring dengan makin banyak pengacara yang mengakui keberadaan para ahli linguistik forensik yang sangat membantu dalam memberikan pembuktian dalam persidangan.[3] Dalam peradilan suatu kasus hukum, linguistik forensik dilakukan oleh Saksi Ahli Bahasa. Hukum Indonesia menyatakan bahwa keterangan saksi ahli adalah alat bukti yang sah.[4]

Tataran linguistik yang berkaitan dengan linguistik forensik adalah fonetik akustik, analisis wacana, dan semantik, dan juga berkaitan dengan pragmatik dan psikolinguistik. Aplikasi linguistik forensik mencakup identifikasi suara, interpretasi makna yang diungkapkan dalam hukum dan tulisan hukum, analisis wacana yang dimaksudkan dalam pernyataan lisan dan tertulis (contoh: pengakuan), identifikasi kepenulisan, bahasa hukum, analisis bahasa ruang sidang yang digunakan oleh peserta sidang (yaitu hakim, pengacara, dan saksi), hukum merek dagang, serta interpretasi dan terjemahan yang bisa lebih dari satu bahasa harus digunakan dalam konteks hukum.[5] Sedangkan ruang lingkup kajian linguistik forensik antara lain: (1) bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3) interviu dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, (6) kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan identifikasi penutur.[6]

Masalah-masalah yang berada dalam ruang lingkup linguistik forensik, yaitu:

  • identifikasi penutur berdasarkan dialek, gaya bicara, atau aksennya, hingga kadang kala menganalisis tulisan tangan tersangka untuk mendapatkan profilnya;
  • menganalisis isi dan makna tuturan dalam konteks kebahasaan yang dapat digunakan sebagai bukti peradilan.

Sejarah

Frase linguistik forensik pertama kali digunakan oleh Jan Svartvik, seorang profesor linguistik, dalam laporannya, “The Evans Statement: A Case for Forensic Linguistics” di tahun 1968. Svartvik melakukan analisis terhadap kesaksian Timothy John Evans, seorang sopir truk yang divonis hukuman gantung oleh pengadilan Inggris karena terbukti membunuh Geraldine Evans, seorang bayi berusia 13 bulan yang merupakan anak perempuannya sendiri.

Bidang kajian

Coulthard dan Johnson juga menjelaskan bahwa ada tiga bidang utama yang menjadi fokus kajian linguistik forensik:

  1. Bahasa sebagai produk hukum (the language of the law), yaitu menginvestigasi bahasa yang digunakan dalam sistem hukum, khususnya gaya dan register yang digunakan. Bidang ini membicarakan secara mendalam bagaimana suatu bahasa dapat diajarkan dan dipelajari, serta langkah apa yang bisa diambil untuk membuatnya lebih bisa dipahami.
  2. Bahasa dalam proses pengadilan (the language of the legal process), yaitu membicarakan wacana lisan yang terjadi dalam proses hukum yang dikaji dari berbagai perspektif. Bidang ini termasuk pada penggunaan bahasa peserta di ruang sidang, yaitu hakim, pengacara, dan saksi.
  3. Bahasa sebagai barang bukti (language as evidence), yaitu berkaitan dengan kepengarangan dan komunikasi yang membutuhkan teori-teori linguistik dalam pemecahannya, mulai dari fonetik dan fonologi, morfologi, sintaksis, pragmatik, dan wacana.[7]

Referensi

  1. ^ John Olsson dan June Luchjenbroers (2014). Forensic Linguistics. Bloomsbury Academic. hlm. xvi. ISBN 9781441186607. 
  2. ^ Mahsun (2018). Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA. Depok: Rajagrafindo. hlm. 13. ISBN 9786024255886. 
  3. ^ a b Kushartanti, et.al., ed. (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 225. ISBN 9789792216813. 
  4. ^ "NOMOR 8 TAHUN 1981, UNDANG-UNDANG HALAMAN 3". jdih.kemenkeu.go.id. Diakses tanggal 2020-03-16. 
  5. ^ Sholihatin, Endang (2019). Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 26. ISBN 9876232360136 Periksa nilai: invalid prefix |isbn= (bantuan). 
  6. ^ Coulthard, Malcolm, Alison Johnson, dan David Wright (2016). An Introduction to Forensic Linguistics: Language in Evidence. New York: Routledge. 
  7. ^ scholar.google.nl http://scholar.google.nl/scholar_url?url=http://www.academia.edu/download/56629283/Forensic_Linguists_Should_be_Hired_in_the_Legal_System_to_Assist_Criminal_Cases_Investigations.pdf&hl=en&sa=T&ei=VOszX_mdLIqhywT3jZeIDQ&scisig=AAGBfm3Zk2b44u4d3xB1rLedXVHcKxl5rA&nossl=1. Diakses tanggal 2020-08-12.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)