Aksara Bali

jenis aksara untuk menuliskan sebuah bahasa

Aksara Bali, juga dikenal sebagai Hanacaraka, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Bali. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi, namun dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu dengan tambahan dan modifikasi. Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah berkurang.[1]

Aksara Bali
ᬅᬓ᭄ᬱᬭᬩᬮᬶ
Jenis aksara
BahasaBali, Sasak, Melayu, Kawi, Sanskerta
Periode
abad ke-15 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Bali, 360 Sunting ini di Wikidata, ​Bali
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Balinese
U+1B00–U+1B7F
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Bali adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 18 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Bali adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan sejumlah tanda baca.

Sejarah

Akar paling tua dari aksara Bali adalah aksara Brahmi India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Bali.[2]

Media

Daun palem tal (Borassus flabellifer)
Pĕpĕsan, lembar daun tal yang telah diolah dan siap ditulisi
Lĕmpir, lembar pĕpĕsan yang telah ditulisi
Kumpulan lĕmpir yang telah disatukan dengan tali dan diapit dengan sampul kayu cakĕpan

Aksara Bali kebanyakan ditemukan dalam media lontar, yakni daun palem yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Media ini telah digunakan di Indonesia sejak periode Hindu-Buddha dan memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Bali, palem yang digunakan sebagai bahan dasar lontar adalah palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan). Hanya palem dari tempat-tempat tertentu yang daunnya layak dipakai untuk dijadikan media tulis, dan di Bali palem yang dianggap paling baik berasal dari daerah kering di utara kabupaten Karangasem, di sekitar Culik, Kubu, dan Tianyar. Daun palem dipetik pada bulan-bulan tertentu ketika daun palem sudah cukup berkembang namun belum menjadi terlalu tua, umumnya sekitar bulan Maret–April atau September–Oktober.[3] Daun yang telah dipetik kemudian dibelah dan dijemur, proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan. Setelah itu, daun direndam di dalam air selama beberapa hari, digosok, kemudian dijemur kembali. Setelah pengeringan kedua, lidi tiap daun dibuang. Daun kering kemudian direbus dalam campuran herbal yang bertujuan untuk mengeraskan dan memperkuat lontar. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun diangkat, kemudian dijemur kembali namun dibasahi secara berkala. Berikutnya, daun ditekan dengan alat penjepit yang disebut pamlagbagan atau pamĕpĕsan agar permukaannya mulus dan rata. Daun ditekan selama kurang lebih 15 hari, namun dikeluarkan secara berkala untuk digosok dan dibersihkan. Setelah dianggap cukup mulus, daun dipotong sesuai ukuran pesanan, dilubangi, dan diberi garis bantu; lembar lontar kini siap ditulisi.[4]

Lembar lontar yang siap ditulisi, disebut sebagai pĕpĕsan, memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil yang disebut pangropak atau pangutik. Teknik pengguratan lontar cenderung menghasilkan bentuk yang banyak melengkung dan membulat,[5] hal inilah yang menjadi cikal bakal bentuk aksara Bali. Lembar yang telah ditulisi disebut sebagai lĕmpir.[4] Setelah selesai ditulis, guratan aksara pada lĕmpir dihitamkan dengan cara diseka campuran jelaga serta minyak kemiri yang akan masuk ke sela-sela guratan dan membuat aksara menjadi lebih jelas terlihat. Setelah selesai dihitamkan, lĕmpir dibersihkan dan diusap dengan campuran herbal seperti minyak sereh yang bertujuan untuk mencegah kerusakan akibat cuaca atau serangga. Pengusapan ini perlu dilakukan secara berkala agar lĕmpir tetap awet. Kumpulan lĕmpir yang telah ditulisi kemudian disatukan dengan tali yang kedua ujungnya dapat diapit dengan sampul kayu bernama cakĕpan. Jika tidak diapit dengan cakĕpan, lontar dapat disimpan dalam kantong kain (ulĕs), tabung bambu (bungbung), atau kotak kayu bernama kropak untuk naskah-naskah yang dianggap sangat penting.[6][7]

Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Namun, dibanding daerah lainnya di Nusantara, kertas relatif sulit didapat di Bali sehingga lontar terus dipertahankan sebagai media tulis utama masyarakat Bali selama berabad-abad ke depannya. Ketersediaan kertas di Bali perlahan-lahan meningkat semenjak intervensi Belanda yang bermula sejak tahun 1846, kemudian meningkat secara signifikan setelah Belanda menaklukkan wilayah Bali selatan antara tahun 1906 dan 1908, sehingga kertas baru menjadi media tulis yang lumrah di Bali pada awal abad ke-20 meski lontar terus dibuat dan digunakan untuk banyak teks.[8]

Penggunaan

Penggunaan Aksara Bali
 
Perkumpulan membaca lontar (sĕkaha mabasan) di Bali antara tahun 1910 hingga 1920

Dalam masyarakat Bali dan Lombok pra-kemerdekaan, aksara Bali aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat untuk menuliskan sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Kebanyakan teks sastra disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, namun juga dari irama dan nada pelantunan. Sastra Bali juga digubah menggunakan sejumlah bahasa; Sastra umum digubah dengan bahasa Bali halus yang menggunakan banyak kosakata Kawi, sementara sastra klasik dengan derajat yang tinggi, semisal kakawin, digubah sepenuhnya dengan bahasa Kawi dan Sanskerta. Dalam perkembangannya, berkembang pula genre sastra seperti gĕguritan yang dapat digubah menggunakan bahasa Bali sehari-hari dan bahkan bahasa Melayu.[9][10][a] Selain itu, sastra Sasak di Lombok juga banyak digubah menggunakan bahasa Jawa halus, dan beberapa digubah dengan bahasa Sasak.[11][12] Karena banyak karya sastra memiliki bahasa halus yang arkais, teks umum dibaca bersama-sama dengan cara yang umum dikenal sebagai pĕsantian di Bali dan pĕpaosan di Lombok. Dalam cara ini, suatu teks dibaca berganti-gantian oleh dua orang pembaca: pembaca pertama melantunkan cuplikan teks dengan nada dan irama yang sesuai tembang, sementara pembaca kedua memberikan terjemahan dan parafrase yang dapat menjelaskan maksud cuplikan teks tersebut kepada para hadirin. Pembaca yang terampil sering kali diundang untuk membacakan cuplikan lontar dengan tema yang sesuai acara untuk meningkatkan kekhidmatan upacara. Semisal di Bali, upacara pernikahan dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pernikahan Arjuna dari Kakawin Arjunawiwāha.[13] Sementara itu di Lombok, upacara potong rambut bayi (ngurisan) dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pemotongan rambut Nabi Muhammad dari Aparas Nabi.[14][15] Pada tingkat dusun, kegiatan ini diwadahi oleh perkumpulan yang bertemu secara berkala untuk membahas (mabasan) isi lontar dan berlatih pĕsantian/pĕpaosan. Kegiatan ini terdokumentasi telah dilakukan di kalangan ningrat dan pendeta sejak abad ke-19, namun kemudian menyebar ke masyarakat umum pada awal abad ke-20.[16]

Selain sastra, aksara Bali juga lumrah digunakan dalam surat dan catatan untuk berbagai kegiatan sehari-hari, dari agenda bertani hingga bukti pembayaran pajak. Sejumlah desa di Bali bahkan memiliki sistem administrasi tradisional yang menuliskan berbagai perihal desa, seperti aturan (awig-awig), organisasi masyarakat (sĕkaha), dan koordinasi subak, dalam catatan lontar yang dipertanggung-jawabkan oleh seorang sekretaris (panyarikan). Kebanyakan catatan ini ditulis dalam bahasa sehari-hari, namun tidak jarang ditemukan catatan dengan banyak campuran kata-kata Kawi atau bahkan sepenuhnya menggunakan bahasa Kawi, terutama untuk urusan resmi yang melibatkan kaum ningrat.[17][18]

Bersamaan dengan meningkatnya ketersediaan kertas di Bali pada awal abad ke-20, berkembang pula teknologi cetak aksara Bali yang diprakarsai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Fon aksara Bali cetak pertama dikembangkan oleh Landsdrukkerij atau Percetakan Negeri di Batavia untuk kamus Kawi-Bali-Belanda karya Herman Neubronner van der Tuuk yang dicetak pada tahun 1897. Semenjak itu materi cetak beraksara Bali dihasilkan oleh sejumlah penerbit, utamanya buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah rakyat dan sastra Kawi yang digarap oleh akademisi, setidaknya hingga 1942 ketika Jepang mulai menduduki Indonesia.[19][8] Fon cetak ini masih disimpan oleh Percetakan Bali yang dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Bali, namun percetakan massal aksara Bali kini mengandalkan fon komputer yang pembuatannya diprakarsai oleh I Made Suatjana pada 1980-an.[20][21]

Penggunaan kontemporer

Hingga kini, lontar beraksara Bali masih dihasilkan dan digunakan untuk sejumlah fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Aksara Bali dan praktek menulis pada lontar masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal di sekolah-sekolah Bali dan Lombok, dan sejumlah juru tulis masih aktif menerima pesanan untuk membuat dan menyalin ulang lontar. Tiap banjar di Bali umumnya memiliki kelompok pĕsantian yang diundang untuk membacakan lontar di sejumlah acara dan saling berlomba antara satu sama lainnya dalam kompetisi hingga tingkat provinsi.[22][16] Meski begitu, berkurangnya penggunaan sehari-hari aksara Bali (misal untuk catatan biasa) serta konotasi keramat lontar dalam berbagai upacara membuat sebagian masyarakat Bali segan-segan dengan lontar tradisional; Lontar beraksara Bali dianggap sebagai benda keramat yang dihormati, namun kadang takut dipelajari karena kurang lumrahnya penggunaan lontar di luar ritual.[23][b]

Sebagai upaya melestarikan dan melumrahkan penggunaan aksara Bali dalam ranah publik, Pemerintahan Provinsi Bali melalui Peraturan Gubernur no. 80 tahun 2018 mewajibkan sekolah, pura, lembaga pemerintahan, dan fasilitas-fasilitas umum untuk menggunakan aksara Bali dalam penulisan plang nama masing-masing.[24] Selain itu, bulan Februari juga dinyatakan sebagai sebagai Bulan Bahasa Bali yang akan diisi oleh berbagai acara dan perlombaan bertema pelestarian sastra, bahasa, dan aksara Bali, salah satunya misal dengan perlombaan menulis aksara Bali.[25][26] Meskipun begitu, hingga 2020 masih banyak tempat usaha yang belum menerapkan penggunaan aksara Bali,[27] dan tidak jarang pula ditemui papan nama dengan penulisan aksara Bali yang memiliki sejumlah kesalahan.[28] Salah satu yang menerima cukup banyak sorotan adalah kesalahan penulisan aksara Bali di terminal domestik Bandara Ngurah Rai.[29] Beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya kesalahan di antaranya adalah keengganan tempat usaha untuk berkonsultasi pada instansi dengan kompetensi memadai, serta ketergantungan pada program komputer yang tidak diimbangi dengan kemampuan baca tulis alami sehingga pengguna sering kali tidak sadar atau tidak mampu memperbaiki galat dan langsung mencetak apa yang tertera di layar. Akan tetapi, upaya ini tetap diapresiasi oleh banyak pihak dan diharapkan dapat menjadi batu pijakan untuk meningkatkan kualitas penerapan aksara Bali ke depannya.[30]

Bentuk

Aksara

Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Bali memiliki sekitar 45 aksara dasar, namun tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi dibedakan secara fonetis dan hanya digunakan untuk ejaan etimologis dalam konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Bali dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.

Wyañjana

Aksara wyañjana (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬯ᭄ᬬᬜ᭄ᬚᬦ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Bali memiliki 33 aksara wyañjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[1][31]

Aksara Wyañjana (deret kuno)
Tempat pelafalan
Warga
Pancawalimukha Semivokal
Ardhaswara
Sibilan
Ūṣma
Celah
Wisarga
Nirsuara Bersuara Sengau
Anunāsika
Tidak Teraspirasi
Alpaprāṇa
Teraspirasi
Mahāprāṇa
Tidak Teraspirasi
Alpaprāṇa
Teraspirasi
Mahāprāṇa
Velar
Kaṇṭya
 

ka
 

kha
 

ga
 

gha
 

ṅa[1]
 

ha/a[3]
Palatal
Tālawya
 

ca
 

cha
 

ja
 

jha
 

ña[2]
 

ya
 

śa[6]
Retrofleks
Mūrdhanya
 

ṭa[4]
 

ṭha
 

ḍa[5]
 

ḍha
 

ṇa
 

ra
 

ṣa
Dental
Dantya
 

ta
 

tha
 

da
 

dha
 

na
 

la
 

sa
Labial
Oṣṭya
 

pa
 

pha
 

ba
 

bha
 

ma
 

wa
Catatan

^1 /ŋa/ sebagaimana nga dalam kata "mengalah"
^2 /ɲa/ sebagaimana nya dalam kata "menyanyi"
^3 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Bali modern:

^4 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
^5 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
^6 /ɕa/ mendekati pengucapan sya dalam kata "syarat"

Dalam perkembangannya, bahasa Bali modern tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi sehingga aksara Bali modern hanya menggunakan 18 bunyi konsonan dan 18 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara wrĕṣāstra (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬯᬺᬱᬵᬲ᭄ᬢ᭄ᬭ). Aksara yang tersisa digunakan untuk mengeja kata serapan Sanskreta-Kawi dan disebut sebagai aksara śwalalita (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬰ᭄ᬯᬮᬮᬶᬢ). Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[31]

Aksara Wyañjana (deret modern)
ha/a[1] na ca ra ka da ta sa wa la ma ga ba nga pa ja ya nya
Wrĕṣāstra  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
na kojong ca murca sa danti
Śwalalita  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
na rambat ca laca ka ma.[2] da madu da murda da murda ma.[2] ta tawa ta latik ta latik ma.[2] sa saga sa sapa ga gora ba kembang pa kapal ja jera
Catatan

^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
^2 mahaprana

Meski pelafalannya tidak lagi dibedakan, śwalalita tetap lumrah digunakan dalam berbagai kata karena tata tulis Bali mempertahankan banyak aspek dari ejaan Sanskerta-Kawi. Sebagai contoh, kata desa tidak ditulis menggunakan aksara wrĕṣāstra sa danti ᬤᬾᬲ. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan tersebut dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena desa merupakan kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: deśa ᬤᬾᬰ, menggunakan aksara śwalalita sa saga alih-alih sa danti . Bahasa Bali tidak membedakan pelafalan antara sa saga dan sa danti, namun ejaan asli yang menggunakan sa saga tetap dipertahankan dalam penulisan. Pengejaan berdasarkan akar kata (alih-alih pelafalan kontemporer) ini dikenal sebagai pasang pagĕh, yang salah satu fungsinya adalah untuk membedakan sejumlah kata yang kini bunyinya sama, misal antara pada (ᬧᬤ, tanah/bumi), pāda (ᬧᬵᬤ, kaki), dan padha (ᬧᬥ, sama), serta antara asta (ᬳᬲ᭄ᬢ, adalah), astha (ᬳᬲ᭄ᬣ, tulang), dan aṣṭa (ᬅᬱ᭄ᬝ, delapan).[32][33][34]

Swara

Aksara swara (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬲ᭄ᬯᬭ) adalah aksara yang digunakan untuk suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Aksara Bali memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[35]

Aksara Swara
Tempat pelafalan
Warga
Velar
Kaṇṭya
Palatal
Tālawya
Labial
Oṣṭya
Retrofleks
Mūrdhanya
Dental
Dantya
Velar-Palatal
Kaṇṭya-Tālawya
Velar-Labial
Kaṇṭya-Oṣṭya
Pendek
Hrĕṣwa
 

a[8]
 

i
 

u
 

ṛ/rĕ[1]
 

ḷ/lĕ[2]
 

e[3]
 

o
Panjang
Dīrgha
 

ā
 

ī
 

ū
 

ṝ/rö[4]
 

ḹ/lö[5]
 

ai[6]
 

au[7]
Catatan

^1 ra rĕpa, /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
^2 la lĕnga, /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
^3 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Bali modern:

^4 ra rĕpa tĕdung, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini[36]
^5 la lĕnga tĕdung, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini[36]
^6 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^7 diftong /aw/ sebagaimana au kata "pantau"
^8 dalam penulisan bahasa Sasak dan Melayu digunakan pula untuk hentian glottal apabila dilekatkan dengan diakritik adĕg-adĕg

Sebagaimana aksara wyañjana, bahasa Bali modern tidak lagi membedakan pelafalan semua aksara swara dan hanya aksara untuk vokal pendek yang bersifat fonemis. Aksara vokal panjang digunakan untuk pengejaan kata serapan Sanskerta-Kawi namun dilafalkan sebagaimana padanan pendek masing-masing aksara.[33]

Ra rĕpa , ra rĕpa tĕdung , la lĕnga , dan la lĕnga tĕdung adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[36][37] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Bali modern, ra rĕpa dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara la lĕnga dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ᬭᭂ → ᬋ) serta la+pepet (ᬮᭂ → ᬍ) tanpa terkecuali.[38]

Modre

Aksara modre (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬫᭀᬤ᭄ᬭᬾ) adalah aksara suci yang terutama dipakai dalam bidang keagamaan untuk upacara, mantra, rajah, dan fungsi-fungsi keramat lainnya. Aksara tipe ini memiliki berbagai macam rupa, namun umumnya ditandai dengan adanya diakritik ulu candra atau ulu ricĕm. Pembahasan mengenai rupa dan jenis modre dapat ditemukan pada lontar dengan judul krakah atau griguh. Beberapa contohnya dapat dilihat sebagaimana berikut:[39][40][41]

Aksara Modre
Aksara Nama Keterangan
ᬒᬁ ong Eka aksara suku kata suci ongkara
ᬅᬁ᭞ᬅᬄ ang-ah Dwi aksara simbol dualis rwa bhinneda
ᬅᬁ᭞ᬉᬁ᭞ᬫᬁ ang-ung-mang Tri aksara simbol Trimurti Brahma, Wisnu, dan Siwa

Diakritik

Diakritik (panganggĕ ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂ) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Bali juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.

Swara

Panganggĕ swara (ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂᬲ᭄ᬯᬭ) adalah panganggĕ yang digunakan untuk merubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya sebagaimana berikut:[35]

Panganggĕ Swara
Pendek
Hrĕṣwa
Panjang
Dīrgha
-a -i -u -ṛ/-rĕ -ḷ/-lĕ -e[1] -o [2] -ṝ/-rö -ḹ/-lö -ai[4] -au[5] [6]
-  
 
 
 
 
 
 
◌ᭂ
 
◌ᬵ[3]
 
 
 
 
 
ᬿ
 
 
- ulu suku guwung macĕlĕk gantungan la-pĕpĕt taling taling-tĕdung pĕpĕt tĕdung ulu sari suku ilut guwung macĕlĕk-tĕdung gantungan la-pĕpĕt-tĕdung taling rĕpa taling rĕpa-tĕdung pĕpĕt-tĕdong
ka ki ku kṛ/krĕ kḷ/klĕ ke ko kṝ/krö kḹ/klö kai kau
ᬓᬶ ᬓᬸ ᬓᬺ ᬓᬼ ᬓᬾ ᬓᭀ ᬓᭂ ᬓᬵ ᬓᬷ ᬓᬹ ᬓᬻ ᬓᬽ ᬓᬿ ᬓᭁ ᬓᭃ
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat", bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta
^3 diakritik tĕdung dapat ditulis menyambung dengan aksara dasar, kecuali pada aksara ba, nga, dan nya

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Bali modern:

^4 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^5 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^6 bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta. Pelafalan tepatnya kurang diketahui

Sebagaimana aksara swara, hanya panganggĕ vokal pendek yang memiliki fungsi fonetis dalam bahasa Bali kontemporer, sementara panganggĕ vokal panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.

Tĕngĕnan

Panganggĕ tĕngĕnan (ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂᬢᭂᬗᭂᬦᬦ᭄) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[35]

Panganggĕ Tĕngĕnan
nasal[1] -ng[2] -r -h[2] pemati[3]
 
 
 
 
 
 
ulu candra ulu ricĕm cĕcĕk surang bisah adĕg-adĕg
kang/kam kang kar kah k
ᬓᬁ ᬓᬀ ᬓᬂ ᬓᬃ ᬓᬄ ᬓ᭄
Catatan

^1 digunakan untuk menuliskan aksara modre dan kata-kata keramat[c]
^2 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata (lihat gantungan)
^3 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau kalimat (lihat gantungan)

Ardhaswara

Panganggĕ ardhaswara (ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂᬳᬃᬥᬲ᭄ᬯᬭ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[44][35]

Panganggĕ Ardhaswara
-rĕ -y- -r- -l- -w-
 
 
᭄ᬬ
 
᭄ᬭ
 
᭄ᬮ
 
᭄ᬯ
guwung macĕlĕk nania guwung gantungan la suku kĕmbung
krĕ kya kra kla kwa
ᬓᬺ ᬓ᭄ᬬ ᬓ᭄ᬭ ᬓ᭄ᬮ ᬓ᭄ᬯ

Gantungan

Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik adĕg-adĕg. Akan tetapi, adĕg-adĕg normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk gantungan (ᬕᬦ᭄ᬢᬸᬗᬦ᭄) atau gempelan (ᬕᬾᬫ᭄ᬧᬾᬮᬦ᭄) yang dimiliki oleh setiap aksara dasar; gantungan melekat di bawah aksara dasar sementara gempelan melekat di samping aksara dasar. Berbeda dengan adĕg-adĕg, gantungan/gempelan tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ma () yang diiringi bentuk pasangan dari pa (᭄ᬧ) menjadi mpa (ᬫ᭄ᬧ). Bentuknya sebagaimana berikut:[1]

Aksara + Gantungan/Gempelan
ha/a[1] na ca ra ka da ta sa wa la ma ga ba nga pa ja ya nya
Wrĕṣāstra
A  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
G  
᭄ᬳ
 
᭄ᬦ
 
᭄ᬘ
 
᭄ᬭ
 
᭄ᬓ
 
᭄ᬤ
 
᭄ᬢ
 
᭄ᬲ
 
᭄ᬯ
 
᭄ᬮ
 
᭄ᬫ
 
᭄ᬕ
 
᭄ᬩ
 
᭄ᬗ
 
᭄ᬧ
 
᭄ᬚ
 
᭄ᬬ
 
᭄ᬜ
Śwalalita
A  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
G  
᭄ᬡ
 
᭄ᬙ
 
᭄ᬔ
 
᭄ᬥ
 
᭄ᬟ
 
᭄ᬠ
 
᭄ᬣ
 
᭄ᬝ
 
᭄ᬞ
 
᭄ᬰ
 
᭄ᬱ
 
᭄ᬖ
 
᭄ᬪ
 
᭄ᬨ
 
᭄ᬛ
Catatan

A = Aksara, G = Gantungan/gempelan
tanda titik tiga (...) pada karakter bukanlah bagian dari gantungan/gempelan, tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan

Contoh pemakaian gantungan dapat dilihat sebagaimana berikut:

komponen penulisan keterangan
  +   +   +   =   a + (sa + (adĕg-adĕg + ta)) → a + (sa + (gantungan ta)) = a(sta)
  +   +   +   +   =   ba + -u + (da + (adĕg-adĕg + dha)) → bu + (da + (gantungan dha)) = bu(ddha)

Angka

Aksara Bali memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, namun sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Bali, semisal angka 2 dengan aksara swara la lĕnga . Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca carik untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 23 Ruwah" ditulis ᬢᬗ᭄ᬕᬮ᭄᭞᭒᭓᭞ᬭᬸᬯᬄ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok lontar. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[45]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Tanda baca

Teks tradisional Bali ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang bentuknya sebagaimana berikut:

Tanda Baca
carik
carik siki
carik pareren
carik kalih
carik pamungkah pamĕnĕng panti
pantĕn
pamada pasalinan carik agung
 
 
 
 
 
 
 
᭟᭜᭟
 
᭛᭜᭛

Carik digunakan untuk memisahkan kalimat (sebagaimana koma), carik pareren digunakan untuk mengakhiri kalimat (sebagaimana titik), sementara carik pamungkah berfungsi seperti titik dua. Pamĕnĕng merupakan tanda pemenggalan yang digunakan ketika suatu kata terputus di bagian tengah atau akhir baris kalimat lontar. Panti, pamada, dan carik agung umum digunakan sebagai pengawal teks serta penanda pergantian tembang sementara pasalinan digunakan untuk mengakhiri teks.[46]

Notasi musik

Tradisi musik Bali umumnya dipelajari secara lisan dan praktek langsung, namun terdapat beberapa notasi musik lokal yang memanfaatkan aksara Bali. Salah satunya yang paling umum digunakan adalah notasi ding-dong. Notasi ini pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh I Wayan Djirna dan I Wayan Ruma, dan disempurnakan kembali oleh guru Konservatori Karawitan (Kokar) Bali pada tahun 1960 untuk tujuan pedagogis. Notasi ini umumnya digunakan dalam pembelajaran gamelan dan tembang. Cuplikan notasi tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[47][48]

Notasi Ding-dong
ding dong deng deung[1] dung dang daĕng[1]
 
 
 
 
 
 
 
Notasi Angka 1 2 3 4 5 6 7
Catatan

^1 tidak digunakan dalam tangga nada pentatonis

Notasi ini bukanlah satu-satunya skema yang digunakan dalam tradisi musik Bali. Notasi dari daerah lain atau untuk alat musik yang berbeda dapat menggunakan simbol yang sama untuk nada yang berbeda atau memiliki sejumlah simbol-simbol tambahan yang juga diadaptasi dari aksara Bali. Salah satu yang paling tua terdokumentasi adalah notasi gambang dari desa adat Tabola, Sidemen.[47]

Notasi Gambang Tabola
ding dong dang deng dung dang kecil dong kecil
 
 
 
 
 
 
 
Notasi Angka 1 2 3 4 5 6 7

Ortografi

Asimilasi konsonan

Aksara yang dilekatkan dengan gantungan tertentu dapat mengalami asimilasi yang menyelaraskan antara warga aksara dasar dengan warga gantungan. Beberapa contoh asimilasi dapat dilihat sebagaimana berikut:[49]

Komponen Penulisan Keterangan
ᬦ᭄ + / = ᬜ᭄ᬘ / ᬜ᭄ᬚ na kojong + warga tālawya → nya
ᬦ᭄ + / = ᬡ᭄ᬝ / ᬡ᭄ᬟ na kojong + warga mūrdhanya → na rambat
ᬲ᭄ + / = ᬰ᭄ᬘ / ᬰ᭄ᬚ sa danti + warga tālawya → sa saga
ᬲ᭄ + / = ᬱ᭄ᬝ / ᬱ᭄ᬡ sa danti + warga mūrdhanya → sa sapa
ᬦ᭄ + = ᬫ᭄ᬩ na kojong + ba → ma
ᬤ᭄ + = ᬚ᭄ᬜ da + nya → ja

Singkatan

Dalam naskah lontar tradisional, sejumlah kata sering ditulis menggunakan bentuk singkatan yang disebut aksara añcĕng (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬳᬜ᭄ᬘᭂᬂ). Beberapa contohnya dapat dilihat sebagaimana berikut:[41][50]

Singkatan Kepanjangan
᭞ᬗ᭞ nga ᬗᬭᬦ᭄ ngaran (namanya)
᭞ᬫ᭞ ma ᬫᬦ᭄ᬢ᭄ᬭ mantra
᭞ᬩᬸ᭞ bu ᬩᬸᬤ᭄ᬥ Buddha
᭞ᬭᬸ᭞ ru ᬭᬸᬧ᭄ᬬᬄ Rupiah
᭞ᬉ᭞ u ᬉᬫᬦᬶᬲ᭄ Umanis
᭞ᬧ᭄ᬯ᭞ pwa ᬧᭀᬦ᭄ Pon

Untuk singkatan modern yang didasarkan dari huruf Latin, maka pelafalan tiap huruf dalam singkatan yang bersangkutan akan ditulis satu-per-satu dalam penulisan aksara Bali. Sebagai contoh, SMA ditulis sebagai es-em-a ᬏᬲ᭄ᬏᬫ᭄ᬅ, sementara itu DPR ditulis sebagai de-pe-er ᬤᬾᬧᬾᬏᬃ.[41][51]

Bunyi non-Indik

Untuk kata-kata serapan selain Sansekerta-Kawi, tata tulis Bali memperlakukan huruf asing sesuai dengan pelafalan lokal huruf tersebut dalam kata serapan yang bersangkutan. Sebagai contoh:[41]

Persamaan Contoh kata Penulisan
fa = pa café = kape ᬓᬧᬾ
va = pa vitamin = pitamin ᬧᬶᬢᬫᬶᬦ᭄
qa = ka quantum = kwantum ᬓ᭄ᬯᬦ᭄ᬢᬸᬫ᭄
xa = ksa taxi = taksi ᬢᬓ᭄ᬱᬶ
xa = sa xenon = senon ᬲᬾᬦᭀᬦ᭄
za = sa ijazah = ijasah ᬳᬶᬚᬲᬄ
za = ja zaman = jaman ᬚᬫᬦ᭄

Karena pengaruh Islam dan penulisan Jawa, tata tulis Sasak memiliki sejumlah cara untuk menuliskan bunyi-bunyi asing yang terutama diserap dari bahasa Arab. Aksara ini terutama muncul pada karya berbahasa Jawa dan Sasak seperti Cilinaya, Hikayat Monyeh, Babad Lombok, dan Babad Selaparang.[52][53] Beberapa aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[54]

qa kha tsa fa za sya gha 'a
Penulisan
ᬓ᬴
ᬢ᬴
ᬧ᬴
ᬚ᬴
ᬲ᬴
ᬕ᬴
ᬗ᬴
ᬅ᭄
1
Arab ق خ ث ف ز ش غ ع
Catatan

^1 penulisan hentian glottal yang digunakan untuk kosakata asli bahasa Sasak. Umum ditemukan pula untuk penulisan bahasa Melayu

Unicode

Aksara Bali sudah masuk ke dalam standar Unicode versi 5.0 pada bulan Juli tahun 2006.

Blok

Blok Unicode aksara Bali terletak pada kode U+1B00–U+1B7F. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Balinese[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1B0x
U+1B1x
U+1B2x
U+1B3x ᬿ
U+1B4x
U+1B5x
U+1B6x
U+1B7x
Catatan
1.^Per Unicode versi 13.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong

Fon

Fon Aksara Bali untuk komputer pertama kali dibuat adalah Bali Simbar. Fon ini dibuat oleh I Made Suatjana dengan memanfaatkan alokasi dari kodifikasi ASCII untuk dikamuflasekan ke dalam bentuk karakter Aksara Bali.[55] Namun, fon ini memiliki kelemahan yaitu hanya terbatas dalam keperluan pengetikan menggunakan templat untuk Microsoft Word.[56]

Fon Aksara Bali oleh Khoi Nguyen Viet adalah fon Aksara Bali pertama yang dibuat berdasarkan slot Unicode dan implementasi OpenType. Fon ini memiliki 370 glif, tetapi tidak dapat menampilkan taling é dengan benar.[56] Tim kolaborasi dari Aditya Bayu Perdana, Ida Bagus Komang Sudarma, dan Arif Budiarto berhasil membuat seri fon Aksara Bali: Tantular Bali, Lilitan, dan Geguratan, semua menggunakan slot Unicode dan implementasi OpenType. Tantular memiliki 400 glif.[56] Namun masih memiliki kekurangan.[56]

Fon Unicode lainnya adalah Noto Serif Balinese dari Google.[57] Sayangnya, Noto Serif Balinese masih memperlihatkan beberapa kekurangan, seperti ketidakmampuan menampilkan lebih dari satu diakritik per konsonan.[56]

Sistem operasi BlankOn Linux merupakan distribusi Linux pertama yang menyediakan fon dan sistem input untuk Aksara Bali semenjak versi 6.0 (Ombilin).[58]

Contoh Teks

Kakawin Nāgarakṛtāgama, pasalin 1 bait 1 (wirama jagaddhita)[59]
Aksara Bali (Bahasa Kawi) Alih Aksara Latin Terjemahan
᭛᭜᭛ᬒᬁᬦᬵᬣᬵᬬᬦᬫᭀᬲ᭄ᬢᬸᬢᬾᬲ᭄ᬢᬸᬢᬶᬦᬶᬗᬢ᭄ᬧᬤᬭᬶᬧᬤᬪᬝᬵᬭᬦᬶᬢ᭄ᬬᬰ᭞ᬲᬂᬲᬹᬓ᭄ᬱ᭄ᬫᬾᬂᬢ᭄ᬮᭂᬗᬶᬂᬲᬫᬵᬥᬶᬰᬷᬯᬩᬸᬤ᭄ᬥᬲᬶᬭᬱᬓᬮᬦᬶᬱ᭄ᬓᬮᬵᬢ᭄ᬫᬓᬵ᭞ᬲᬂᬰ᭄ᬭᬷᬧᬃᬯ᭄ᬯᬢᬦᬵᬣᬦᬵᬣᬦᬶᬗᬦᬵᬣᬲᬶᬭᬢᬧᬢᬶᬦᬶᬂᬚᬕᬢ᭄ᬧᬢᬶ᭞ᬲᬂᬳ᭄ᬬᬂᬦᬶᬗ᭄ᬳ᭄ᬬᬂᬗᬶᬦᬶᬱ᭄ᬝ᭄ᬬᬘᬶᬦ᭄ᬢ᭄ᬬᬦᬶᬗᬘᬶᬦ᭄ᬢ᭄ᬬᬳᬦᬵᬯᬬᬢ᭄ᬫᬄᬦᬶᬭᬾᬂᬚᬕᬢ᭄ Oṁ nāthāya namostute stuti ningatpada ri pada Bhaṭāra nityaśa, sang sūkṣmeng tlĕnging samādhi Śīwa Buddha sira ṣakala niṣkalātmakā, sang śrī parwwata nātha nātha ninganātha sira ta patining jagatpati, sang hyang ning hyangnginiṣṭya cintya ningacintya hanā waya tmaḥ nireng jagat Sembah sujud kepada hamba yang selalu memuja Paduka Duli Bhaṭāra, yang meresap dalam samādhi bagai Śīwa Buddha dan merupakan jiwa dunia akhirat, Paduka Sang Śrī Par̀wwata pelindung si nista dan rajanya Sang Hyang Jagatpati, Paduka adalah raja sekalian dewa yang paling gaib menjadi kenyataan di atas dunia
Babad Selaparang, pupuh Dang-Dang bait 8[60]
Aksara Bali (Bahasa Sasak) Alih Aksara Latin Terjemahan
᭚ ᬤᬤᬶᬬᬦᭂᬫ᭄ᬩᬄᬳᬢᬸᬃᬓᬦ᭄ᬱᭂᬭᬢ᭄ᬱᬂᬳᬤᬶᬧᬢᬶ᭞ ᬯᬸᬲ᭄ᬢᬶᬦᬫ᭄ᬧᬦ᭞ ᬲᬩᬃᬲᬂᬪᬢᬵᬭ᭞ ᬤᬶᬦᬳᭀᬲ᭄ᬱᬚᭂᬭᭀᬦᬶᬂᬕᬮᬶᬳᬾ᭞ ᬳᬸᬘᬧᬦ᭄ᬱᬾᬯᬮ᭞ ᬯᬸᬲ᭄ᬧᬸᬧᬸᬢ᭄ ᬦᬸᬮᬶᬲᬩ᭄ᬤᬲᬂᬜᬓ᭄ᬭᬯᬢᬶ᭞ ᬮᬄᬢᬧᬫᬦ᭄ᬳᬚᬲᬸᬲᬄ ᬳᬧᬦ᭄ᬯᬸᬲ᭄ᬢᬶᬢᬄᬲᬂᬬᬂᬳᬕᬸᬂ ᬫᬭᬶᬂᬫᭆ᭄ᬮᬸᬓ᭄ᬮᬸᬳᬸᬃᬳᬶᬂᬤᬸᬤᬸᬜ᭞ ᬦᭂᬫᬸᬲᬸᬲᬄ ᬯᬶᬦᬍᬲ᭄ᬱᭂᬦᭂᬂᬲᬬᭂᬓ᭄ᬢᬶ᭞ ᬧᬸᬦᬫᬗ᭄ᬓᬦᬾᭅᬸᬤ᭄ᬭᬢ᭄ᬳᬶᬭᬤᬢ᭄᭟ Dadiya nĕmbah aturkan sĕrat sang adipati, wus tinampan, sabar sang Bhatāra, dinaos sajĕroning galihe, ucapan sewala, wus puput, nuli sabda sang nyakrawati, lah ta paman aja susah, apan wus titah sang yang agung, maring makhluk luhur ing dunya, nĕmu susah, winalĕs senĕng sayĕkti, pun mangkane qudrat iradat. Menghadap menghormat Adipati menghaturkan surat, sudah diterima, sabar sang Bhatāra, dibaca dalam hati, ucapan pesuruh, sudah sampai waktunya, sambil berkata sang Raja Besar, "Sudahlah paman jangan susah, semua sudah menjadi kehendak Sang Maha Agung, kepada mahluk tertinggi di dunia, menemui susah, berganti dengan sayekti, demikianlah kodrat iradat."
Gĕguritan Nĕngah Jimbaran, pupuh Dhandanggula bait 4[61]
Aksara Bali (Bahasa Melayu) Alih Aksara Latin Terjemahan

ᬳᭂᬦ᭄ᬢᬄᬩ᭄ᬭᬧᬓᬄᬮᬫᬜᬓᬯᬶᬦ᭄᭞ᬳᬤᬢᬶᬫ᭄ᬩᬸᬮ᭄‌ᬧᭂᬜᬓᬶᬢ᭄‌ᬓᬸᬮᭀᬭ᭞ᬧᬸᬮᭀᬩᬮᬶᬳᬦ᭄ᬢᬾᬭᭀᬦᬾ᭞ᬳᭀᬭᬂᬲᬸᬲᬄᬢᭂᬃᬮᬮᬸ᭞ᬩᬜᬓ᭄ᬲᬓᬶᬢ᭄‌ᬩᬜᬓ᭄‌ᬬᬂᬫᬵᬢᬶ᭞ᬩᬇᬓ᭄‌ᬳᭀᬭᬂᬢ᭄ᬯᬫᬸᬥ᭞ᬩᬇᬅ᭄‌ᬳᭀᬭᬂᬳᬕᬸᬂ᭞ᬓᬩᬜᬓᬦ᭄‌ᬬᬂᬫᬸᬤᬭᬢ᭄᭞ᬲ᭄ᬩᬩ᭄‌ᬲᬓᬶᬢ᭄‌ᬢ᭄ᬮᬮᬸᬓᭂᬭᬲ᭄‌ᬫᭂᬜᬓᬶᬢᬶ᭞ᬩᬶᬓᬶᬦ᭄‌ᬘᬶᬮᬓᬳᭀᬭᬂ

Ĕntah brapakah lamanya kawin, ada timbul pĕnyakit kulora, pulo bali anterone, orang susah tĕrlalu, banyak sakit banyak yang māti, baik orang twa mudha, bai' orang agung, kabanyakan yang mudarat, sbab sakit tlalu kĕras mĕnyakiti, bikin cilaka orang Lama setelah mereka menikah, timbul wabah kolera, yang melanda seluruh pulau Bali, semua orang kesulitan, banyak yang sakit dan mati, baik orang tua-muda, maupun orang agung (bangsawan), banyak orang yang merugi, lantaran sakitnya yang sangat keras, membuat celaka orang.

Perbandingan dengan aksara Jawa

Kerabat paling dekat dari aksara Bali adalah aksara Jawa. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Jawa sering kali tidak mengindahkan ejaan asli pada kosakata yang memiliki akar Sanskerta dan Kawi, sehingga tata tulis Jawa kontemporer tidak memiliki konsep yang serupa dengan pasang pagĕh. Dalam aksara Jawa, sebagian besar aksara yang dikategorikan sebagai śwalalita dalam aksara Bali dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦩꦸꦂꦢ), yakni aksara yang digunakan untuk menuliskan gelar dan nama terhormat.[62]

Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:

Aksara Dasar (konsonan)
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha/a
Bali
Jawa
Aksara Dasar (vokal)
a ā i ī u ū e[1] ai[2] o au[3]
Bali
Jawa ꦄꦴ ꦈꦴ ꦉꦴ ꦎꦴ
Catatan

^1/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"

Diakritik
-a -i -u -ṛ -ṝ -e[1] -ai[2] -o -au[3] [4] -eu[5] -m -ng -r -h pemati
Bali - ᬿ
Jawa - ꦽꦴ ꦺꦴ ꦻꦴ ꦼꦴ
ka ki ku kṛ kṝ ke kai ko kau keu kam kang kar kah k
Bali ᬓᬵ ᬓᬶ ᬓᬷ ᬓᬸ ᬓᬹ ᬓᬺ ᬓᬻ ᬓᬾ ᬓᬿ ᬓᭀ ᬓᭁ ᬓᭂ ᬓᭃ ᬓᬁ ᬓᬂ ᬓᬃ ᬓᬄ ᬓ᭄
Jawa ꦏꦴ ꦏꦶ ꦏꦷ ꦏꦸ ꦏꦹ ꦏꦽ ꦏꦽꦴ ꦏꦺ ꦏꦻ ꦏꦺꦴ ꦭꦻꦴ ꦏꦼ ꦏꦼꦴ ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^4 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
^5 /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum". Dalam alih aksara bahasa Kawi, diromanisasi menjadi ö[63]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bali
Jawa
Tanda Baca
Bali carik siki carik pareren carik pamungkah panti pamada
Jawa pada lingsa pada lungsi pada pangkat pada adĕg-adĕg pada luhur
Contoh Kalimat (bahasa Kawi)
Bali ᭛ᬚᬳ᭄ᬦᬷᬬᬵᬳ᭄ᬦᬶᬂᬢᬮᬕᬓᬤᬶᬮᬗᬶᬢ᭄᭞ ᬫᬫ᭄ᬩᬂᬢᬂᬧᬵᬲ᭄ᬯᬸᬮᬦᬸᬧᬫᬦᬶᬓᬵ᭞ ᬯᬶᬦ᭄ᬢᬂᬢᬸᬮ᭄ᬬᬂᬓᬸᬲᬸᬫᬬᬲᬸᬫᬯᬸᬭ᭄᭞ ᬮᬸᬫ᭄ᬭᬵᬧ᭄ᬯᬾᬓᬂᬲᬭᬶᬓᬤᬶᬚᬮᬤ᭟
Jawa ꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada.
(Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)

Galeri

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Sebagai lingua franca di Nusantara, banyak kalangan ningrat Bali pra-kemerdekaan yang fasih berbahasa Melayu untuk keperluan surat-menyurat dan diplomasi. Tidak jarang ditemukan karya sastra Bali dengan sejumlah kata serapan Melayu, dan beberapa karya bahkan digubah sepenuhnya dengan bahasa Melayu, salah satunya adalah Gĕguritan Nĕngah Jimbaran yang ditulis di awal abad ke-20 oleh Raja Badung VII, I Gusti Ngurah Made Agung (1876–1906).[10]
  2. ^ Dalam wacana mengenai tradisi naskah Lontar Bali yang diterbitkan oleh koran Bali Orti, edisi Radite Kliwon, 21 April 2013, terbit pula artikel pendamping Nentĕn Mĕsti sĕtata Katĕngĕtang ("Tidak Mesti Dipandang sebagai Katĕngĕtang"). Isi artikel tersebut menanggapi reputasi lontar sebagai tĕngĕt, barang keramat dengan potensi kekuatan yang sebaiknya tidak dipegang orang awam. Sang penulis artikel menyayangkan bahwa sikap ini kadang malah menghalang-halangi masyarakat untuk mempelajari tradisi penggunaan lontar, sehingga sang penulis mendorong masyarakat untuk tidak takut membaca lontar yang dalam kenyataannya memiliki berbagai macam isi dan topik pembahasan.[23]
  3. ^ Contoh kalimat yang menggunakan diakritik ulu candra dan ulu ricem bersamaan adalah mantra pembuka lontar ong awighnam astu nama siddham ᬒᬁᬳᬯᬶᬖ᭄ᬦᬫᬵᬲ᭄ᬢᬸᬦᬫᬲᬶᬤ᭄ᬥᬀ.[42][43]

Rujukan

  1. ^ a b c Everson 2005, hlm. 1.
  2. ^ Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten" (PDF). Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining: xi, 9-35. OCLC 220137657. 
  3. ^ Hinzler 1993, hlm. 443-444.
  4. ^ a b Hinzler 1993, hlm. 447-448.
  5. ^ Hinzler 1993, hlm. 461.
  6. ^ Hinzler 1993, hlm. 450-451.
  7. ^ Hinzler 1993, hlm. 455-457.
  8. ^ a b Rubinstein 1996, hlm. 151-153.
  9. ^ Rubenstein 1996, hlm. 138.
  10. ^ a b Creese, Helen (August, 2007). "Curious Modernities: Early Twentieth-Century Balinese Textual Explorations" (PDF). The Journal of Asian Studies. 66 (3): 729. 
  11. ^ Meij 1996, hlm. 155-156.
  12. ^ Austin 2010, hlm. 36.
  13. ^ Rubenstein 1996, hlm. 147.
  14. ^ Meij 1996, hlm. 158.
  15. ^ Meij, Dick van der (1996). "Nabi Aparas. The Shaving of the Prophet Muhammad's Hair. A facsimile edition of a Javanese manuscript from Lombok MS M.53 in the private collection of Dick van der Meij". Manuscripta Indonesica volume 6. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS). ISBN 9073006082. ISSN 0929-6484. 
  16. ^ a b Rubenstein 1996, hlm. 144-147.
  17. ^ Rubenstein 1996, hlm. 40.
  18. ^ Hinzler 1993, hlm. 456.
  19. ^ Hinzler 1993, hlm. 458.
  20. ^ Suasta 1996, hlm. 56-59.
  21. ^ Dinata, Wema Satya (2 Maret 2019). Budiarti, Irma, ed. "Kisah Suatjana Mendigitalisasi Aksara Bali, Raih Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama 2019". BALI.TRIBUNNEWS.com. Diakses tanggal 17 Mei 2020. 
  22. ^ Sudewa, Ida Bagus Adi (2003-03-02). "Contemporary Use of The Balinese Script" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2 (L2/03-118): 6-9. 
  23. ^ a b Fox, Richard (2018). More Than Words: Transforming Script, Agency, and Collective Life in Bali. Cornell University Press. hlm. 40-42. ISBN 9781501725364. 
  24. ^ Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018. Bab IV Pasal 6. hlm. 4. Diundangkan tanggal 26 September 2018.
  25. ^ Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018. Bab V Pasal 7-8. hlm. 5. Diundangkan tanggal 26 September 2018.
  26. ^ Sudarsana, I Wayan (23 Februari 2018). "Lomba "Nyurat" Aksara Bali Dibanjiri Ratusan Siswa di Denpasar". Bali Tribune. Diakses tanggal 6 April 2020. 
  27. ^ Mahendra, Putu Agus (24 Januari 2020). "Banyak Pengusaha Belum Tahu Peraturan Papan Nama Beraksara Bali". Bali Tribune. Diakses tanggal 17 April 2020. 
  28. ^ Sugiana, Ketut (9 Oktober 2018). "Aksara Bali di Papan Nama Kantor Banyak Keliru". Bali Tribune. Diakses tanggal 6 April 2020. 
  29. ^ Kusniarti, AA Seri (12 Oktober 2018). Sucipto, Ady, ed. "Dosen Unud Ungkap Kesalahan Aksara Bali di Bandara Ngurah Rai, Koster Segera Lakukan Perbaikan". Tribun-Bali. Diakses tanggal 17 Mei 2020. 
  30. ^ Gunarta, I Wayan (8 Juni 2019). Suryawan, Widyartha, ed. "Masih Banyak Kesalahan Tulis Aksara Bali, Kasihan Jika Cetaknya di Batu Granit yang Mahal". Tribun-Bali. Diakses tanggal 17 Mei 2020. 
  31. ^ a b Suasta 1996, hlm. 10-12.
  32. ^ Medra 1994, hlm. 44.
  33. ^ a b Tinggen 1993, hlm. 7.
  34. ^ Sutjaja 2006, hlm. 735-739.
  35. ^ a b c d Everson 2005, hlm. 2.
  36. ^ a b c Woodard, Roger D (2008). The Ancient Languages of Asia and the Americas. Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0521684943. 
  37. ^ Poerwadarminta 1930, hlm. 11.
  38. ^ Sutjaja 2006, hlm. 757.
  39. ^ Suasta 1996, hlm. 12-15.
  40. ^ Bagus, I Gusti Ngurah (1980). Aksara dalam kebudayaan Bali: suatu kajian antropologi. Universitas Udayana. hlm. 10. OCLC 25405944. 
  41. ^ a b c d Tinggen 1994.
  42. ^ Rubinstein 1996, hlm. 149.
  43. ^ Renee, Brita Heimarck (2013). Balinese Discourses on Music and Modernization: Village Voices and Urban Views. Routledge. hlm. 189-190. ISBN 1136800468. 
  44. ^ Medra 1994, hlm. 8.
  45. ^ Suasta 1996, hlm. 19.
  46. ^ Everson 2008, hlm. 4-5.
  47. ^ a b Hood, Made Mantle (2016). "Notating heritage musics: Preservation and practice in Thailand, Indonesia and Malaysia". Malaysian Journal of Music. 5 (1): 60-64. 
  48. ^ Suryanegara, I Putu Arya Deva (Desember 2018). "Problematik Notasi Ding Dong Pada Era Information Technology". Kalangwan: Jurnal Seni Pertunjukan. 4 (2): 137-144. ISSN 2460-1071. 
  49. ^ Medra 1994, hlm. 14-15.
  50. ^ Medra 1994, hlm. 29.
  51. ^ Medra 1994, hlm. 29-30.
  52. ^ Meij 1996, hlm. 155-157.
  53. ^ Jamaluddin, Jamaluddin (2017). "Sejarah Tradisi Tulis dalam Masyarakat Sasak Lombok". Ulumuna. 9: 379-380. doi:10.20414/ujis.v9i2.493. 
  54. ^ Everson 2005, hlm. 2-3, 7.
  55. ^ Situs resmi font Bali Simbar, diakses tanggal 5 Maret 2011
  56. ^ a b c d e "Bringing Balinese to iOS". Norbert’s Corner. Diakses tanggal 24 March 2016. 
  57. ^ "Noto Sans Balinese". Google Noto Font. Diakses tanggal 24 March 2016. 
  58. ^ Catatan rilis BlankOn 6.0, diakses tanggal 5 Maret 2011
  59. ^ Riana, I Ketut (2009). Kakawin Dēśa Warṇnana, uthawi Nāgara Kṛtāgama: Masa Keemasan Majapahit. Kompas Gramedia. hlm. 51. ISBN 9797094332. 
  60. ^ Sulistiati (1993). Babad Selaparang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 29. ISBN 979-459-327-3. OCLC 29929454. 
  61. ^ Gĕguritan Nĕngah Jimbaran, Lontar Koleksi Gedong Kirtya, No IV D768/3, hlm. 2a
  62. ^ Darusuprapta (2002). Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara bekerja sama dengan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Tengah. hlm. 11-13. ISBN 979-8628-00-4. 
  63. ^ Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi (PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12. 

Daftar pustaka

Pedoman Penulisan

Pranala luar

Koleksi digital

Naskah digital

Lainnya