Bahasa Sunda

bahasa yang dituturkan di Indonesia
Revisi sejak 19 Januari 2021 11.30 oleh 203.78.117.106 (bicara) (Saya bukan jagoan tapi jika itu menyangkut harga diri saya dan keluarga saya.akan saya bantai)

Templat:Infobox Bahas Bahasa Sunda (Basa Sunda, aksara Sunda: ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ, Cacarakan: ꦧꦱꦱꦸꦤ꧀ꦝ) adalah sebuah bahasa dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh setidaknya 42 juta orang dan merupakan bahasa Ibu dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di hampir seluruh provinsi Jawa Barat dan Banten, serta wilayah barat Jawa Tengah mulai dari Kali Brebes (Sungai Cipamali) di wilayah Kabupaten Brebes dan Kali Serayu (Sungai Cisarayu) di Kabupaten Cilacap, di sebagian kawasan Jakarta, serta di seluruh provinsi di Indonesia dan luar negeri yang menjadi daerah urbanisasi Suku Sunda.

Dari segi linguistik, bersama bahasa Baduy, bahasa Sunda membentuk suatu rumpun bahasa Sunda yang dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa.

Variasi dalam bahasa Sunda

 
Peta ini menunjukkan persebaran dialek bahasa Sunda.

Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten[2]. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk Kota Bogor dan sebagian daerah Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Kabupaten Majalengka dan sebagian Kabupaten Indramayu. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan juga sebagian Kabupaten Brebes dan Kabupaten Tegal di Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Kabupaten Ciamis juga Kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di Jawa Tengah.

Bahasa Sunda Kuno adalah bentuk bahasa Sunda yang ditemukan pada beberapa catatan tertulis, baik di batu (prasasti) maupun lembaran daun kering (lontar). Tidak diketahui apakah bahasa ini adalah dialek tersendiri atau merupakan bentuk yang menjadi pendahulu bahasa Sunda modern. Sedikitnya literatur berbahasa Sunda menyulitkan kajian linguistik varian bahasa ini.

Sejarah dan penyebaran

Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda (Pasundan). Namun, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap, dikarenakan wilayah ini dahulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya.

Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuno). Seiring transmigrasi dan imigrasi yang dilakukan etnis Sunda, penutur bahasa ini telah menyebar sampai ke luar pulau Jawa. Misalkan di Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara di mana penduduk etnis Sunda dengan jumlah signifikan menetap di daerah luar Pasundan tersebut.lagu

Fonologi

Terdapat tujuh fonem vokal dalam bahasa Sunda: /a/, /ɛ/ <é>, /i/, /ɨ/ <eu>, /ə/ <e>, /u/ dan /ɔ/ <o>.[3]

Vokal
Depan Madya Belakang
Tertutup i ɨ u
Tengah ɛ ə ɔ
Terbuka a
Konsonan
Bibir Gigi Langit2
keras
Langit2
lunak
Celah
suara
Sengau m n ɲ ŋ  
Letap p b t d c ɟ k g ʔ
Desis   s     h
Getar/Sisi   l r      
Hampiran w   j    

Sistem penulisan

Aksara Sunda (Kaganga)

 
Naskah Waruga Guru yang ditulis menggunakan aksara Sunda kuno.

Mulanya bahasa Sunda ditulis dengan aksara Sunda. Aksara Sunda merupakan salah satu aksara berumpun Brahmi yang diturunkan dari aksara Pallawa lewat aksara Kawi, seperti halnya aksara Jawa. Bukti-bukti tertulis mengenai evolusi aksara ini muncul di beberapa prasasti yang ditemukan dari abad ke-10 (era kerajaan Mataram Kuno) hingga abad ke-15 M pada masa keemasan Kerajaan Pajajaran. Prasasti yang diyakini merupakan kunci evolusi aksara Sunda adalah Prasasti Batutulis, Prasasti Astana Gede, dan Prasasti Kebantenan.[4][5]

Dahulu aksara ini dituliskan di permukaan batu. Pada abad ke-15 hingga ke-16, aksara Sunda kuno mulai berevolusi jauh dari aksara Kawi dan mudah dikenali perubahannya. Aksara ini kemudian lebih banyak ditulis di atas daun lontar. Aksara tersebut digunakan dalam penulisan naskah Bujangga Manik, Carita Parahyangan dan Waruga Guru.[6] Naskah ini kelak dijadikan sebagai rujukan bagi pengembangan aksara Sunda yang kemudian, aksara Sunda baku.

Aksara Sunda Kuno memiliki sintaksis penulisan yang lebih kompleks, seperti adanya pasangan (seperti aksara Jawa, hanya semua huruf pasangannya sama dengan huruf utama), huruf leu dan reu, dan jumlah guratan yang lebih banyak daripada aksara Sunda baku. Aksara Sunda baku mulai diperkenalkan pada dekade 1990-an untuk menggantikan peran Cacarakan (lihat di bawah). Saat ini, seluruh pembelajaran bahasa Sunda menggunakan aksara Sunda baku dan alfabet Latin.[7]

Alfabet Bahasa Sunda

Kolonialisasi di Nusantara menyebabkan aksara Sunda kuno menjadi terancam. Bersama dengan keluarnya ultimatum dari VOC pada tanggal 3 November 1705, aksara Sunda kuno dan Rikasara Cirebon punah. Setiap orang yang menulis dokumen-dokumen resmi hanya diperbolehkan menulis aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda. Alfabet Latin sendiri mulai diintensifkan untuk mentranskripsi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara Sunda Kuno dan Pegon pada abad ke-19 hingga ke-20. Salah satu tokoh yang berjasa dalam transkripsi aksara Cacarakan dan Sunda ke Latin adalah seorang keturunan Bugis-Sunda bernama Daeng Kanduruan Ardiwinata (1866–1947) yang menulis buku berjudul Palanggeran Nuliskeun Aksara Sunda ku Aksara Walanda (terbitan Commissie voor de Volkslectuur tahun 1912) yang berisi aturan transkripsi bahasa Sunda menggunakan alfabet Latin serta Elmuning Basa Sunda (edisi I 1916 dan II 1917) yang berisi peraturan tata bahasa Sunda modern.[8][9][10]

Cacarakan

Cacarakan adalah aksara Jawa yang digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda, dan telah dipakai selama 300 tahun setelah keluarnya ultimatum dari VOC pada tanggal 3 November 1705 yang mewajibkan penggunaan aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda. Dengan lahirnya aksara Sunda baku, hanya sebagian kecil daerah di Jawa Barat masih mempertahankan Cacarakan untuk menulis bahasa Sunda.[11][10]

Abjad Pegon Sunda

Selain digunakan untuk menulis bahasa Jawa, abjad Pegon yang bersaudara dengan abjad Jawi (Arab-Melayu) juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda, menggunakan huruf-huruf Arab standar dan huruf-huruf rekaan baru yang tidak ada dalam huruf Arab asli. Huruf-huruf itu juga tidak bisa dipahami oleh orang Arab jika mereka tak menguasai bahasa Sunda dengan huruf tersebut. Hadir bersama Islam di Tanah Jawa, abjad Pegon menjadi materi yang masih diajarkan di sebagian kecil pesantren di Jawa Barat tempat bahasa Sunda berasal.[12][13][14]

Undak-usuk

Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.

Tempat

Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal)
Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
rumah imah bumi/rorompok[15]
belakang tukang pengker
depan hareup payun

Waktu

Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal)
Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
dahulu baheula/bareto kapungkur
lama lila lami
sebentar sakeudeung sakedap
sore burit sonten

Lain-lain

Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal)
Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
makan dahar/emam tuang
menguap heuay angob
bukan lain sanes
saya urang abdi/kuring/sim kuring/pribados/kaula

Perbedaan dengan bahasa Sunda di Banten

Bahasa Sunda Banten adalah bahasa Sunda yang digunakan sebagian masyarakat di Banten, serta yang berada di daerah Priangan seperti Garut, Tasikmalaya, Bandung, dan lain sebagainya. Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, dikarenakan wilayah Banten tidak pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno, tetapi oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), bahasa Sunda Banten di Rangkasbitung dan Pandeglang digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar. Secara praktiknya, bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Banten bagian selatan, yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang.

Bilangan dalam bahasa Sunda

Bilangan Lemes
1 hiji
2 dua
3 tilu
4 opat
5 lima
6 genep
7 tujuh
8 dalapan
9 salapan
10 sa-puluh
11 sa-belas
12 dua belas
13 tilu belas
.. ..
20 dua puluh
21 sa-likur
22 dua likur
29 salapan likur
.. ..
100 sa-ratus
101 sa-ratus hiji
.. ..
200 dua ratus
201 dua ratus hiji
.. ..
1.000 sa-rebu
.. ..
1.000.000 sa-juta
.. ..
1.000.000.000 sa-miliar
.. ..
1.000.000.000.000 sa-triliun
.. ..
1.000.000.000.000.000 sa-quadriliun

Catatan kaki

  1. ^ Misalkan Wurm dan Shirô Hattori dalam Language Atlas of Asia-Pacific (1983).
  2. ^ Daerah Ujung Kulon di sebelah selatan Banten semenjak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 tidak dihuni lagi dan sekarang menjadi taman nasional
  3. ^ Müller-Gotama, Franz (2001). Sundanese. Languages of the World. Materials. 369. Munich: LINCOM Europa. 
  4. ^ Hartono, Dibyo,. Architectural conservation award Bandung = Penghargaan konservasi bangunan cagar budaya. Bandung, West Java, Indonesia. ISBN 978-979-692-541-4. OCLC 897825910. 
  5. ^ Danasasmita, M. (2001). Wacana bahasa dan sastra Sunda lama. Bandung: STSI Press. 
  6. ^ Ensiklopedi Sunda : alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Rosidi, Ajip, 1938-, Pustaka Jaya (Firm) (edisi ke-Cet. 1). [Jakarta]: Pustaka Jaya. 2000. ISBN 979-419-259-7. OCLC 45463431. 
  7. ^ Hasanah, A.; Gustini, N.; Rohaniawati, D. (2016). Nilai-Nilai Karakter Sunda. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 9786024532574. 
  8. ^ Kartini, T. (1979). Daeng Kanduruan Ardiwinata, sastrawan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  9. ^ Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus linguistik (edisi ke-Ed. 4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8. OCLC 271724799. 
  10. ^ a b Sisi senyap politik bising. Budi Susanto, A., 1952-. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2007. ISBN 9789792116588. OCLC 262737609. 
  11. ^ Rosyadi (1997). Pelestarian dan usaha pengembangan aksara daerah Sunda. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia. 
  12. ^ "BUDAYA – Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara". Diakses tanggal 2019-09-05. 
  13. ^ "Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu". Poskota News (dalam bahasa Inggris). 2016-07-01. Diakses tanggal 2019-09-05. 
  14. ^ Sastra Jawa : suatu tinjauan umum. Sedyawati, Edi, 1938- (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Pusat Bahasa. 2001. ISBN 979-666-652-9. OCLC 48399092. 
  15. ^ Belajar Bahasa Sunda, Penulis Cilik

Lihat pula

Pranala luar