Satelindo
PT Satelit Palapa Indonesia, disingkat Satelindo, didirikan pada 29 Januari 1993, dengan kepemilikan pada saat itu dimiliki secara patungan oleh PT Bimagraha Telekomindo (anak perusahaan Bimantara Citra yang dikendalikan oleh Bambang Trihatmodjo bersama dengan Tomy Winata dan Sugianto Kusuma) 60%, Telkom 30% dan Indosat 10%. Perusahaan ini didirikan dengan modal awal US$ 50 juta/Rp 100 M, dan lahir seiring perintah presiden Soeharto pada 3 Desember 1992 yang menyetujui rancangan kerjasama ketiganya.[1] Didirikannya Satelindo tidak lepas dari upaya liberalisasi industri telekomunikasi Indonesia yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru pada awal 1990-an. Selain itu, Satelindo juga dimaksudkan untuk mengurangi beban pinjaman pemerintah ke luar negeri dengan memberikan kesempatan kepada swasta untuk mengelola satelit, serta mampu membangun satelit yang lebih canggih. Selain itu, dengan berkembangnya teknologi, maka pastinya akan banyak kebutuhan satelit sehingga swasta bisa berperan besar.[2][3] Namun, perlu diketahui juga bahwa Satelindo sendiri juga menunjukkan bagaimana praktik KKN rezim Orde Baru, dimana Satelindo sendiri awalnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada swasta mengelola satelit Palapa, namun justru Bimantara yang tidak memiliki pengalaman di pengelolaan satelit malah diberikan saham utama tanpa tender sekalipun.[4]
Nonpublik | |
Industri | Informasi & Komunikasi GSM |
Nasib | Diakusisi Indosat |
Penerus | Indosat |
Didirikan | 1993 |
Ditutup | 2003 |
Kantor pusat | Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia |
Tokoh kunci | Johnny Swandi Sjam, Mantan Direktur Utama |
Produk | Mentari dan Matrix |
Pemilik | Telkom (1993-2000) Indosat (1993-2003) |
Sesuai namanya, Satelindo sendiri awalnya didirikan sebagai pengelola sistem Satelit Palapa yang sebelumnya ditangani oleh Telkom. Sebagai proyek awal dari Satelindo adalah perencanaan peluncuran dan pengelolaan satelit baru Palapa-C, yang awalnya direncanakan sebesar 4 satelit.[5] Untuk menyukseskan program ini, Satelindo mendapatkan kredit dari bank BUMN senilai US$ 130 juta, dan menjalin kontrak dengan Hughes Communications International Inc (anak usaha dari Hughes Aircraft AS) untuk membuat 2 satelit (ditambah 1 opsi) jenis HS-601 yang ditargetkan menjadi satelit Palapa-C. Kontrak ini ditargetkan selesai dengan peluncuran satelit pertama pada Agustus 1995 dan kedua pada Februari 1996.[6][7] Kedua satelit ini kemudian selesai, namun terlambat dari yang semula ditargetkan, dimana satelit pertama diluncurkan sebagai Palapa C1 pada 1 Februari 1996 di Kennedy Space Center, Cave Canaveral AS dan Palapa C2 diluncurkan pada 17 Mei 1996 di tempat yang sama. Dalam pengelolaan satelit ini, Satelindo menggandeng Pasifik Satelit Nusantara sebagai rekan bisnisnya.[8] Bisnis satelit ini memang cukup menguntungkan bagi Satelindo, dimana misalnya dari 34 transponder yang ada di Palapa C2, pada akhir 1996 sudah ditargetkan laku sebesar 70%.[9] Banyak dari pelanggan Satelindo merupakan stasiun televisi yang pada saat itu diminta pemerintah untuk menyiarkan siarannya lewat satelit.[10]
Untuk meningkatkan modalnya yang ditaksir akan meningkat (ditaksir mencapai US$ 900 juta) dan membantu meningkatkan teknologi, pada akhir 1994 Satelindo berencana untuk melepas 25% sahamnya ke investor asing strategis. Saham tersebut diambil dari 15% saham Bimagraha, 7,5% saham Telkom dan 2,5% saham Indosat. Awalnya, pemerintah berkeinginan untuk mempertahankan saham Bimagraha sebesar 60% dan saham Telkom dan Indosat-lah yang dilepas (masing-masing sebesar 20% dan 5%). Namun, kemudian manajemen Telkom berhasil menyakinkan pemerintah, bahwa penjualan dengan skema semacam itu akan membahayakan rencana penawaran umum perdana Telkom yang diadakan pada tahun 1995, karena investor bisa ragu bagaimana komitmen pemerintah untuk berperan dalam industri telekomunikasi. Sebagai gantinya, Telkom mengajukan skema awal dimana 25% saham itu akan diambil secara proporsional dari pemilik saham lama. Akhirnya, kepemilikan saham pun berubah seperti yang direncanakan di awal, dimana Bimagraha menjadi 45%, Telkom 22,5%, Indosat 7,5% dan 25% untuk investor strategis asing.[11] Siapakah investor asing tersebut? Awalnya, ada 5 perusahaan yang mengajukan diri, yaitu AT&T (AS), NYNEX (AS), Deutsche Telekom (Jerman), France Telecom (Prancis) dan Cable & Wireless (Inggris).[12] Namun, pada Februari 1995 setelah seleksi hanya tersisa dua calon investor, yaitu Deutsche Telekom (DT) dan Cable & Wireless. Walaupun keduanya hampir sama-sama kompetitif soal tawaran harga, namun ada keunggulan pada DT karena mereka mempunyai uang tunai dan lebih membebaskan pengelolaan Satelindo (misalnya dalam rencana penawaran umum perdana di bursa saham). Selain itu, Cable & Wireless memiliki kelemahan karena mereka rencanananya akan selalu menyetujui pembelian yang bernilai di atas Rp 2 miliar, suatu hal yang tidak disukai manajemen Satelindo. Pada 3 April 1995, keputusan diambil untuk menjadikan Deutsche Telekom sebagai pemenang dalam tender ini. DT membeli saham Satelindo dengan harga US$ 586 juta (US$ 566 juta secara tunai dan US$ 20 juta dalam bentuk infrastruktur software), lewat anak perusahaannya DeTe Mobil Deutsche Telekom Mobilfunk GmbH (disingkat DeTe Mobil).[13][14] Seiring dengan masuknya Deutsche Telekom, maka status perusahaan ini diubah menjadi PMA (dari sebelumnya PMDN).[15] Bergabungnya Deutsche Telekom ke Satelindo sendiri membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, karena Satelindo mendapat modal dan bantuan teknis sedangkan Deutsche Telekom mendapatkan keuntungan mengingat posisi Satelindo yang strategis.[16]
Selain bisnis satelit, Satelindo juga diberikan izin oleh pemerintah untuk membangun jaringan sistem GSM pertama di Indonesia pada 1993, sehingga perusahaan ini merupakan pelopor dari sistem ini. Untuk membangun sistem ini, Satelindo menggandeng perusahaan Prancis, Alcatel dengan kontrak senilai US$ 66 juta dan target sebesar 350.000 pengguna.[17][18] Proyek ini dilakukan secara dua tahap, yaitu pada 1993 dan 1994.[19] Sistem GSM ini akhirnya diluncurkan oleh Satelindo di Jakarta pada 1 November 1994.[20] Setelah peluncuran tersebut, awalnya Satelindo hanya berfokus di Jabodetabek saja dengan tujuan untuk memantapkan jaringannya disini. Kegiatan perluasan kemudian dilakukan pada tahun 1995, dengan membangun 55 BTS awal dan memperluas jaringan GSM-nya ke Serang, kemudian dilanjutkan ke Surabaya, Malang, Denpasar, lalu ke Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo dan Semarang. Targetnya, pada akhir 1995, Satelindo sudah mencapai seluruh pulau Jawa dan pada 1996 sudah meluas hingga luar Jawa. Manajemen sendiri mengeluarkan biaya US$ 200 juta dalam pembangunan BTS seiring ekspansi wilayahnya tersebut.[21][22]Di tahun 1996, tercatat Satelindo memiliki 210.000 pelanggan (dan menargetkan pelanggan tambahan sebesar 250.000-300.000) serta 450 BTS di Jawa dan Bali.[23] Pada 1997, Satelindo terus memperluas jaringannya hingga ke pantai utara dan selatan Jawa, Balikpapan, Samarinda, Bontang, Ujungpandang, Palembang dan Medan. Di tahun itu juga, ada lebih dari 600 BTS Satelindo yang beroperasi di Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan.[24][25][26] Dengan pendapatan pada 1997 sebesar Rp 115 miliar (naik dari 1995 sebesar Rp 60 miliar), aset yang ditaksir mencapai US$ 2,4 miliar serta keuntungan mencapai Rp 1 T pada 1997, maka Satelindo dianggap sebagai operator telepon seluler terbesar di Indonesia pada masa itu.[27][28][29] Namun, Satelindo cukup terdampak oleh krisis ekonomi 1997-1998, dimana dari 1997 pelanggannya sejumlah 303,724 menurun menjadi 201,342 pada September 1998. Walaupun demikian, seiring dengan makin populernya GSM, pengguna Satelindo pun tumbuh pesat, mencapai 1,055,036 pelanggan pada 2000.[30] Bahkan, pada 2002 pengguna Satelindo menjadi 3 juta pemakai.[31] Meskipun demikian, sejak krisis ekonomi tercatat Satelindo kini bukan nomor satu lagi, melainkan kedua karena berhasil didahului oleh Telkomsel. Tercatat, pada 1999 Telkomsel memimpin dengan 47% pangsa pasar, sedangkan Satelindo 32% di pasar GSM.[32][33] Untuk melayani konsumen, Satelindo juga perlahan-lahan juga mengembangkan sistem kartu SIM, yang mulai dipakai sejak 1995[34] lalu meluncurkan produknya yang diberi nama "Satelindo Card" pada Oktober 1997 (yang awalnya bisa digunakan sebagai kartu kredit dengan pengguna awal 25.000),[35]meluncurkan kartu Mentari pada 27 September 1998 (awalnya hanya di pulau Jawa saja, namun cukup populer di pasaran karena cukup murah)[36] dan Matrix sebagai kartu pascabayar pada 2002.
Selain layanan Satelit Palapa dan jaringan GSM, Satelindo juga diberikan hak oleh pemerintah untuk bermain sebagai operator Sambungan Langsung Internasional (SLI) berkode akses 008 pada Agustus 1994 khusus wilayah Asia Pasifik, menjadikannya duopoli dengan Indosat. Manajemen sendiri menyiapkan modal bagi proyek ini sebesar US$ 24 juta dan pada 1995 sudah bisa menjangkau 200 negara di dunia. Fasilitas yang ditawarkan oleh SLI 008 ini seperti toll free service, sewa saluran internasional dan home country direct.[37][38][39] Walaupun demikian, memang produk Satelindo ini kurang sukses dibandingkan Indosat dengan 001-nya mengingat Indosat adalah pionir dari sistem ini sehingga orang keburu mengingat 001 untuk bertelepon ke luar negeri.[40]
Seiring dengan efek krisis ekonomi 1997 dan pergantian pemerintahan, maka dilakukan liberalisasi pada industri telekomunikasi di Indonesia. Selain itu, krisis juga membuat banyak perusahaan terdampak sehingga melakukan restrukturisasi. Satelindo pun tidak lepas juga dari hal tersebut. Isu perubahan saham ini sudah terdengar ketika pada 1999 ada rumor yang menyatakan bahwa Singapore Telecom hendak membeli 45% saham Satelindo.[41]Namun, baru pada 2000-2003 Satelindo mengalami perubahan kepemilikan lewat sejumlah transaksi yang menjadikannya mayoritas dikuasai Indosat. Pada 10 Mei 2001, RUPS Indosat setuju untuk mengakuisisi saham Bimagraha senilai 45% di Satelindo seharga US$ 247 juta (Rp 1,425 T).[42] (Selanjutnya, bekas induk Satelindo, Bimagraha juga 100% sahamnya diakuisisi Indosat pada 31 Mei 2001).[43] Lalu, pada 11 Mei 2001 antara Telkom dan Indosat disepakati transaksi pertukaran saham antara keduanya pada beberapa perusahaan: Indosat menjual 35% sahamnya di Telkomsel senilai US$ 945 juta, sedangkan Telkom menjual sahamnya di Lintasarta sebesar 37,66% senilai US$ 38 juta, mengalihkan haknya di kerjasama operasional Divre (Divisi Regional) IV Jateng/DIY senilai US$ 375 juta serta menjual 22,5% sahamnya di Satelindo senilai US$ 186 juta kepada Indosat.[44] Transaksi ini menyebabkan pada 2001 saham Indosat di Satelindo mencapai 67,5%, sedangkan sisanya masih dimiliki Deutsche Telekom. Namun, 22,5% saham Deutsche Telekom kemudian diakuisisi oleh Indosat pada 28 Juni 2002 dengan harga US$ 325 juta.[45] Pembelian saham Deutsche Telekom sendiri didukung pemerintah yang pada saat itu tengah berencana memprivatisasi Indosat, agar tampak menarik di investor asing, dengan membantu penyediaan dananya lewat penggunaan dana transaksi pengalihan KSO yang dibatalkan antara Telkom dan Indosat.[46] Namun, transaksi-transaksi diatas tidak semuanya mulus, karena misalnya sempat ada kecurigaan akuisisi saham Bimagraha adalah alat membantu keluarga Cendana.[47]
Transaksi tersebut menyebabkan setelah Juni 2002, saham Satelindo dipegang oleh Indosat sebesar 100%. Awalnya, Indosat sempat merencanakan untuk melepas saham Satelindo di pasar saham, namun kemudian dibatalkan.[48] Kini, Indosat memiliki 2 operator seluler, yaitu Indosat-M3 dan Satelindo itu sendiri. Seiring waktu, pemerintah kemudian menjual Indosat kepada STT (anak usaha Temasek Holdings) Singapura pada 15 Desember 2002, dengan harga Rp 12.950/saham. Transaksi yang sampai saat ini masih kontroversial (dan dianggap kesalahan besar oleh beberapa pihak ini), dilakukan dengan harga total Rp 5,62 triliun.[49] Di bawah manajemen baru mereka kemudian melanjutkan kebijakan manajemen lama yang merencanakan merger sejak Agustus 2002 antara Indosat-M3, Satelindo, Bimagraha dan Indosat. Pada akhirnya, merger resmi dilakukan pada 20 November 2003, dan praktis Satelindo (bersama Bimagraha dan Indosat-M3) pun lenyap dan operasionalnya bergabung dengan Indosat.[50][51] Untuk sisa-sisa dari merger ini sendiri diharapkan tuntas pada 2005, dan merek Satelindo yaitu Mentari dan Matrix masih dipertahankan oleh Indosat.[52]
Referensi
- ^ Fast Learner: Cara, Gaya, dan Tips Beradaptasi dengan Keadaan
- ^ Fast Learner: Cara, Gaya, dan Tips Beradaptasi dengan Keadaan
- ^ Indonesia Beyond Suharto
- ^ The Politics of Southeast Asia's New Media
- ^ Era baru bisnis telekomunikasi
- ^ Indonesia Reports, Masalah 64-75
- ^ The Politics of Southeast Asia's New Media
- ^ The power of values in the uncertain business world: refleksi seorang CEO
- ^ Summary of World Broadcasts: SWB.. Asia-Pacific. Weekly economic report, Bagian 3
- ^ The Politics of Southeast Asia's New Media
- ^ Untold Story IPO Telkom di NYSE & BEJ
- ^ Informasi, Volume 15,Masalah 179-182
- ^ Panji masyarakat
- ^ Indonesia Business Weekly, Volume 3,Masalah 12-28
- ^ 50 tahun peranan pos & telekomunikasi
- ^ The Politics of Southeast Asia's New Media
- ^ Global Connections: International Telecommunications Infrastructure and Policy
- ^ Indonesia Business Weekly, Volume 3,Masalah 12-28
- ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 9,Masalah 46-52
- ^ Asian Communications, Volume 9,Masalah 1-5
- ^ Indonesia Business Weekly, Volume 3,Masalah 12-28
- ^ Prisma, Masalah 7-10
- ^ JP/PT Satelindo installs more stations in Greater Jakarta
- ^ Informasi, Masalah 203-208
- ^ Informasi, Masalah 203-208
- ^ JP/PT Satelindo installs more stations in Greater Jakarta
- ^ Informasi, Masalah 203-208
- ^ JP/Gunawan appointed new Satelindo boss
- ^ Sejarah Korupsi Yayasan Soeharto
- ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
- ^ 27 Siasat Menembus Pasar
- ^ Yearbook of asia-pacific telecommunications
- ^ The Rise of the Corporate Economy in Southeast Asia
- ^ Eksekutif, Masalah 187-190
- ^ Travel Indonesia, Volume 18,Masalah 7-20
- ^ Eksekutif, Masalah 240-245
- ^ Eksekutif, Masalah 187-190
- ^ 50 tahun peranan pos & telekomunikasi
- ^ 50 tahun peranan pos & telekomunikasi
- ^ Hermawan Kartajaya on marketing
- ^ AsiaCom: Asia-Pacific TV, Cable, Satellite, and Telecommunications, Volume 5
- ^ Kuatnya Bau Intervensi dalam Akuisisi Bimagraha oleh Indosat
- ^ Mergent International Manual, Volume 2
- ^ Sejarah Telkomsel, Dulunya Perusahaan Patungan Indosat-Telkom
- ^ Indosat buys Deutsche Telekom stake in Satelindo
- ^ Laks Memprioritaskan Penerbitan Obligasi Indosat
- ^ Kisah Direktur Indosat di Era Reformasi (Lanjutan-5)
- ^ Deutsche Telekom may see Satelindo stake diluted
- ^ Gerakan Pro Hak Angket Kasus Divestasi Indosat Peroleh 12 Tanda Tangan
- ^ Indonesian Commercial Newsletter, Volume 29,Masalah 379-386
- ^ Telecommunications Development in Asia
- ^ RUPSLB Indosat Setuju Merger IM3 dan Satelindo