Global Mediacom

perusahaan asal Indonesia

PT Global Mediacom Tbk (IDX: BMTR) (sebelumnya bernama PT Bimantara Citra Tbk) atau lebih dikenal dengan nama MNC Media[1] merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang investasi pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha media dan telekomunikasi. Global Mediacom berpusat di Jakarta, Indonesia, didirikan oleh Bambang Trihatmodjo, Indra Rukmana, Rosano Barack, dan Mochammad Tachril Sapi'ie pada 30 Juni 1981. Saat ini, mayoritas sahamnya dimiliki oleh MNC Corporation telah tercatat publik di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia) dengan kode IDX: BMTR sejak pada tanggal 17 Juli 1995 sebagai papan utama.

PT Global Mediacom Tbk
Sebelumnya
Bimantara Citra (30 Juni 1981- 27 Maret 2007)
Publik
Kode emitenIDX: BMTR
IndustriKonglomerat (30 Juni 1981-27 Maret 2007)
Media dan telekomunikasi (27 Maret 2007-sekarang)
Didirikan30 Juni 1981 (sebagai Bimantara Citra)
27 Maret 2007 (sebagai Global Mediacom)
PendiriBambang Trihatmodjo
Indra Rukmana
Rosano Barack
Mochamad Tachril Sapi`ie
Kantor pusatMNC Tower Lantai 27, Jalan Kebon Sirih Raya No. 17-19, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat 10340
Tokoh kunci
Hary Tanoesoedibjo (Direktur Utama)
Rosano Barack (Komisaris Utama)
ProdukMedia, Perusahaan dan telekomunikasi
Karyawan
9614 orang (Desember 2013)
IndukMNC Corporation
Anak usahaMedia Nusantara Citra
MNC Vision Networks
Global Mediacom International
Infokom Elektrindo
Situs webwww.mediacom.co.id
Logo Bimantara Citra (30 Juni 1981-27 Maret 2007)

Sejarah

Global Mediacom didirikan pada 30 Juni 1981[2] dengan nama PT Bimantara Citra oleh Bambang Trihatmodjo, Rosano Barack, dan Mochammad Tachril Sapi'ie. Bergabung juga Indra Rukmana, suami Siti Hardijanti Rukmana (pendiri TPI). Nama Bimantara Citra sendiri diberikan oleh Bambang Trihatmodjo, yang artinya kira-kira, siap mengemban tugas yang berat dengan citra yang baik. Pada tanggal 17 Juli 1995, perusahaan resmi mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya[2] (sekarang Bursa Efek Indonesia). Pada tahun 1997, atas permintaan Viacom Indonesia dan Bhakti Investama, perusahaan ini menghimpun semua stasiun yang didirikan tahun 1987-1991 dalam satu kelompok bernama MNC. Kemudian pada tahun 2001, Bimantara Citra diakuisisi oleh MNC Corporation dan berganti nama menjadi PT Global Mediacom Tbk pada tahun 2007.

Perusahaan ini bekerjasama dengan Rajawali Corpora dan Bimantara Citra mendirikan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tanggal 24 Agustus 1989 dan meresmikan sebagai stasiun televisi swasta pertama. Sempat juga menghimpun MTV Indonesia dan Nickelodeon Indonesia pada tahun yang sama mulai merintis berdirinya Sindo Citra Media (sekarang bernama Surya Citra Media), dan mendirikan Radio Trijaya FM (sekarang bernama MNC Trijaya FM) dan Surya Citra Televisi (SCTV). Pada tahun 2002, Perusahaan ini mengakuisisi PT Global Informasi Bermutu (Global TV) dari tangan ICMI dan IIFTIHAR. Satu tahun kemudian, Perusahaan ini mengambil alih TPI (sekarang bernama MNCTV) dari tangan Cipta Lamtoro Gung Persada[1][3]

Pada tahun 2005, Perusahaan ini mendirikan Radio Dangdut TPI (sekarang bernama RDI), Global Radio (sebelumnya bernama Radio ARH) dan Women Radio (sekarang bernama V Radio), dan mencetak Harian Seputar Indonesia (sekarang dikenal sebagai Koran Sindo), Majalah TRUST (sekarang bernama Sindo Weekly), Tabloid Genie, Realita, Mom and Kiddie, serta membuat situs berita Okezone.com.

Sejak tahun 2006, Perusahaan ini tercatat sebagai perusahaan yang paling banyak di Bursa Efek Jakarta (sekarang bernama Bursa Efek Indonesia).

Untuk mengubah fokus bisnis dari konglomerat ke media dan telekomunikasi, pada 27 Maret 2007 berganti nama menjadi Global Mediacom, yang artinya kira-kira, perusahaan media dan telekomunikasi yang menjadi pemain di tingkat global.[4]

Direktur Utama Global Mediacom saat ini adalah Hary Tanoesoedibjo.

Bimantara dan Orde Baru

Pada masa Orde Baru, Bimantara (Global Mediacom) merupakan sebuah perusahaan yang kontroversial karena bisa bertumbuh beranak-pinak dalam waktu yang cepat. Bisnisnya, tidak seperti saat ini yang hanya merambah media massa, pada masa itu "tentakelnya" menjalar ke berbagai bidang, seperti pabrik mobil, pabrik petrokimia, transportasi udara, keuangan, perdagangan, perkapalan, bahkan pernah terlibat dalam monopoli perdagangan jeruk pontianak. Selain itu, Bimantara juga mendapatkan saham dalam sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, seperti Nestle. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan Bambang sebagai pendiri usaha ini, yang kebetulan merupakan anak ketiga Presiden Soeharto merupakan faktor penting dari "keberhasilan" Bimantara menjadi salah satu konglomerat terbesar di Indonesia pada era Orde Baru. Walaupun ada yang menganggap Bambang sesungguhnya orang yang pintar mengelola bisnis sehingga bisnisnya berhasil, sifat bisnis Bimantara yang "lebih terbuka" dibanding konglomerasi yang lain,[5] dan ia melakukannya untuk kemajuan Indonesia, namun tetap saja faktor koneksi sebagai putra Presiden membuatnya selalu terbawa dalam isu negatif, apalagi pasca kejatuhan Orde Baru. Bahkan, ada yang menyebut Bimantara merupakan singkatan dari Bambang (Trihatmodjo) Ingin Menguasai Nusantara.[6] Beberapa perusahaan dan tindakan bisnis Bimantara yang dianggap kontroversial, seperti:

  • Stasiun TV Bimantara, RCTI merupakan TV swasta pertama yang diizinkan berdiri, dan seperti "dibolehkan" untuk "memaksa" pemerintah mengubah berbagai aturan, seperti dari awalnya stasiun TV berbayar, lalu stasiun televisi lokal terestrial, dan terakhir stasiun TV nasional. Menurut Ade Armando, efek dari hal ini adalah munculnya sentralisasi siaran seperti saat ini.[7]
  • Perusahaan mobil Bimantara, PT Citramobil Nasional merupakan satu dari dua perusahaan mobil (yang lain adalah Timor yang dikuasai oleh adiknya, Tommy Soeharto) yang diizinkan meluncurkan mobil nasional bernama Bimantara Cakra dan Bimantara Nenggala pada 1996 bekerjasama dengan Hyundai.[8]
  • Perusahaan Bambang, Guinness Peat Aviation yang berpusat di Irlandia, merupakan perusahaan yang menyewakan sejumlah pesawatnya kepada perusahaan BUMN, Garuda Indonesia. Menurut satu estimasi, dalam transaksi ini Bambang telah mengeruk keuntungan sekitar Rp 96 miliar.
  • Perusahaan kerjasama Bambang (Bimantara) dan Tommy, PT Multi Nirotama Kimia dan Tridaya Esta merupakan satu-satunya perusahan swasta yang boleh memperdagangkan bahan peledak dari PT Dahana.
  • Keppres 1/1997 mengizinkan perusahaan Bambang/Bimantara sebagai kontraktor tunggal dari pembangunan calon ibukota di Jonggol, Jawa Barat.[9]
  • PT Satelindo, yang dikendalikan saham mayoritasnya oleh anak usaha Bimantara PT Bimagraha Telekomindo merupakan perusahaan pertama yang diberi izin untuk mengelola bisnis satelit Palapa tanpa tender walaupun Bimantara bukannya perusahaan yang ahli maupun berpengalaman dalam bidang ini.[10] Selain itu, PT Komselindo yang sebagian besar sahamnya milik Bambang telah diizinkan untuk membangun jaringan CDMA pertama di Indonesia.[11]
  • Bambang diizinkan untuk mengimpor mobil mewah pada 1996 untuk SEA Games 1997 tanpa bea masuk.[12]
  • PT Bima Citra Mandiri, perusahaan yang terafiliasi di Bimantara diizinkan untuk menjadi pembeli tunggal (memonopoli) dari jeruk pontianak yang ada di Kalimantan Barat. Hasilnya bukannya petani untung, malah akibatnya mereka merugi.[13]
  • Pertamina sendiri menyewa kapal tanker (miliknya sendiri yang disewakan) dari Bimantara (PT Samudera Petrindo Asia) dengan harga US$ 17.000/hari.[14]

Seperti telah disebutkan, unsur kronisme yang ditunjukkan Orde Baru telah membuat sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, harus "terpaksa" menggunakan jalur tikus lewat Bimantara. Beberapa perusahaan asing tersebut, seperti PT Food Specialities Indonesia (Nestle) dan PT Indomiwon Citra Inti yang merupakan kongsi dengan Grup Salim dan Miwon Korea.[15] Namun, kerjasama ini jauh lebih besar terlihat dalam industri kimia dan bahan bakar (gas alam, minyak bumi), misalnya pembentukan PT Trans Javagas Pipeline (dengan ARCO), PT Bimatama Graha Perkasa (dengan Exxon dan Mobil), PT Montrose Pestindo Nusantara (dengan Montrose), PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (dengan American Petroleum Institute dan Pennzoil Product Co).[16]

Bagaimanapun, pada akhirnya bisnis Bambang dalam Bimantara pun lenyap bersama dengan kejatuhan Orde Baru. Bambang perlahan-lahan melepas kepemilikannya (via PT Asriland) di PT Bimantara yang pada saat itu terlilit hutang, dari 36,51% pada 2000 menjadi 14,32% pada 2003. Saham Bambang itu beralih ke orang yang kini menjadi pemilik perusahaan ini, yaitu Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Hary Tanoe atau HT). Hary sebenarnya bukanlah seorang industriawan atau seorang konglomerat besar dari awal, melainkan hanya seorang pemain di industri keuangan dan pasar modal lewat PT Bhakti Investama. HT lewat PT Bhakti meningkatkan kepemilikannya di PT Bimantara secara bertahap: dari 10,72% pada 2001 hingga mencapai 37,60% pada 2003. Pada 30 April 2002, HT dikukuhkan sebagai Presiden Direktur Bimantara. Masuknya HT dalam PT Bimantara ini memang mengagetkan karena dia dianggap pada saat itu tidak punya kekuatan modal besar untuk menguasai "raksasa" bisnis Cendana tersebut. Ada yang menganggap upaya HT ini mendapatkan "bekingan" dari keluarga Cendana sehingga ia hanya sebagai operator, ada rumor yang menuduhnya merupakan kepanjangan tangan Salim Group,[17] rumor lain mengatakan ia diberi modal oleh investor rahasia, bahkan ada juga yang menuduhnya dibantu oleh investor kawakan George Soros.[18] Namun, HT membantah semua itu dalam wawancara tahun 2007 dan menyatakan keberhasilannya lebih disebabkan prestasinya menyehatkan Bimantara dengan meningkatkan kinerjanya dan menjual aset-asetnya yang potensial.[19]

Memang, pada masa sebelum HT masuk, Bimantara merupakan salah satu perusahaan yang menjadi obligor terbesar BPPN senilai Rp 3,24 triliun, namun cabangnya terlalu banyak. Setelah HT masuk, pada saat itulah Bimantara melakukan "perampingan" dan menyederhanakan fokusnya pada beberapa perusahaan saja, terutama media. Misalnya, pada 14 April 2001, Bimantara melepaskan saham di PT Danapaints Indonesia, sebuah perusahaan cat senilai Rp 41 miliar. Lalu saham di PT Bimagraha Telekomindo dijual pada Indosat senilai US$ 55,8 juta, saham di PT Samudra Petrindo Asia dijual senilai Rp 36,5 miliar serta saham di PT Bimantara Graha Insurance Brokers dijual senilai Rp 10 juta.[20][21] Selain itu, perusahaan yang bergerak di bidang aviasi seperti Cardig Air dan Jasa Angkasa Semesta dilepas. Sebenarnya, upaya divestasi ini sudah dilakukan di masa Bambang masih menjadi pemilik saham utama, misalnya pada 2000 Bimantara melepas PT Polychem Lindo, PT Aqualindo Mitra Industri, PT Bimantara Cakra Nusa, PT Plaza Indonesia Realty, PT Nestle Indonesia (ke Nestle) dan PT Citramobil Nasional (ke Hyundai). Anak perusahaan Bimantara yang di Singapura, Van der Horst Ltd dan Osprey Maritim juga dilepas. Penjualan perusahaan Bimantara ini digunakan dalam rangka untuk merestrukturisasi perusahaan dan membayar hutang ke BPPN.[22][23] Namun, di bawah HT divestasi dipercepat pada perusahaan yang tidak berhubungan dengan media, sedangkan investasi/akuisisi di perusahaan media seperti MetroTV (dilepas pada 2003), Global TV (sejak 2001), TPI (sejak 2003), Indovision, Radio Trijaya, serta telekomunikasi seperti Mobile-8 Telecom berusaha ditingkatkan.[24]

Menurut HT, ketika ia masuk Bimantara, ia ditawari langsung oleh Bambang untuk membeli sahamnya sebesar 25%. HT menyatakan ia langsung membeli saham itu dengan dana sendiri dan ia menyesuaikan dengan situasi di mana Bimantara masih memiliki kapitalisasi pasar yang rendah. Ketika terlibat dalam pengelolaan Bimantara itulah ia tertarik dengan anak perusahaan Bimantara RCTI dan industri media penyiaran. RCTI memang dibanding perusahaan lain paling berperan memberikan untung, dengan pada 2002 40% pendapatannya berasal dari TV ini.[25][26] Seiring waktu, kemudian kepemilikan Bimantara (yang kemudian berganti menjadi Global Mediacom) menjadi berada di bawah pengendalian HT sedangkan saham Bambang Tri (lewat PT Asriland) semakin merosot. Walaupun awalnya sempat bertahan sampai tahun 2012 lewat saham sekitar 10-14%, saham Bambang (PT Asriland) akhirnya lenyap pada awal 2012, yang diperkuat dengan mundurnya Bambang Tri dan Mohammad Tachril Sapi'ie dari jajaran manajemen Global Mediacom pada akhir April 2012. Sejak saat itu, saham Global Mediacom berada sepenuhnya di bawah kepemilikan HT, bahkan saat ini sudah mencapai 55%. Walaupun demikian, HT masih mempertahankan beberapa "orang lama" di Global Mediacom seperti Rosano Barack. Pada intinya, pengendalian atas Bimantara/Global Mediacom telah berganti sejak 2001-2003 dari Bambang ke HT, dan Global Mediacom (dahulu Bimantara) telah mengadakan perampingan bisnis, sehingga bisnisnya hanya tersisa media dan telekomunikasi, sampai saat ini.

Pemegang Saham

Sejak pada tanggal 17 Juli 1995, Bimantara Citra mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia).

Komposisi kepemilikan saham[27]

Komposisi kepemilikan saham Global Mediacom per 31 Desember 2013 adalah:

Pemegang Saham Total Kepemilikan Persentase
PT MNC Investama Tbk (sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk) 7.528.462.880 55.95%
Rosano Barack (Komisaris Utama) 45.410.000 0.34%
Indra Pudjiastuti Prastomiyono (Direktur Independen) 18.737.500 0.14%
Hary Tanoesoedibjo (Direktur Utama) 16.103.940 0.22%
Oerianto Guyandi (Direktur) 9.462.500 0.07%
Handhianto S. Kentjono (Direktur) 7.699.500 0.06%
M. Budi Rustanto (Direktur) 737.000 0.01%
David Fernando Audy (Direktur) 400.000 0.00%
Publik (dibawah 5%) 5.853.957.610 43.51%

Unit usaha

Media berbasis konten perusahaan dan iklan

Media berbasis home shopping

  • PT MNC GS Homeshopping (M Shop)

Media berbasis pelanggan

Media berbasis online

Infrastruktur telekomunikasi dan teknologi informasi

  • PT Infokom Elektrindo
    • PT Telesindo Media Utama
    • PT Sena Telenusa Utama
      • PT Flash Mobile

Investasi

  • Universal Media Holding Corporation
  • PT MNC Digital Indonesia

Mantan perusahaan[28]

Direksi dan Komisaris

Daftar direktur utama

No. Nama Awal jabatan Akhir jabatan
1 Bambang Trihatmodjo 1984 1998
2 Mochamad Tachril Sapi`ie 1998 2000
3 Joseph Dharmabrata 2000 2002
4 Hary Tanoesoedibjo 2002 sekarang

Direksi saat ini

Struktur dewan direksi Global Mediacom saat ini adalah sebagai berikut:

No. Nama Jabatan
1 Hary Tanoesoedibjo Direktur Utama
2 David Fernando Audy Direktur
3 Oerianto Guyandi Direktur
4 Syafril Nasution Direktur
5 Christophorus Taufik Siswandi Direktur
6 Indra Pudjiastuti Prastomiyono Direktur Independen

Komisaris saat ini

Struktur dewan komisaris Global Mediacom saat ini adalah sebagai berikut:

No. Nama Jabatan
1 Rosano Barack Komisaris Utama
2 Mohamed Idwan Ganie Komisaris Independen
3 John Aristianto Prasetio Komisaris Independen
4 Beti Puspitasari Santoso Komisaris Independen

Referensi

Pranala luar