Amangkurat II

Susuhunan dari Mataram

Sri Susuhunan Hamengkurat II (juga dieja sebagai Amangkurat II) adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura, kelanjutan dari Kesultanan Mataram, yang memerintah dari tahun 1677-1703.[1] Ia merupakan raja Jawa pertama yang memakai seragam bergaya Eropa sehingga rakyat memanggilnya dengan sebutan Sunan Amral. "Amral" merupakan ejaan Jawa untuk admiral (laksamana).

Sri Susuhunan Hamangkurat II
Sebuah lukisan dari sekitar tahun 1890 yang menggambarkan Amangkurat II menghukum mati Raden Trunajaya dengan menusuk kerisnya.
Berkuasa16771703
Penobatan1677
PendahuluAmangkurat I
PenerusAmangkurat III
Kematian1702
WangsaKesultanan Mataram Dinasti Mataram
DinastiMataram
AyahAmangkurat I
IbuRatu Kulon
AgamaIslam

Kehidupan

Latar belakang

Amangkurat II adalah putra dari Amangkurat I (raja Kesultanan Mataram kelima) dan Ratu Kulon dengan nama lahir Raden Mas Rahmat.[2] Setelah ibunya meninggal dunia, ia dibesarkan di Surabaya oleh kakeknya dari pihak ibu, Pangeran Pekik.[3]

Semasa menjadi putra mahkota, Mas Rahmat berselisih dengan ayahnya sendiri karena ada berita bahwa jabatan Adipati Anom (putra mahkota) akan digantikan dengan putra Amangkurat I yang lain, yaitu Pangeran Singasari.[2] Akhirnya pada tahun 1661, Mas Rahmat melakukan pemberontakan, tetapi Amangkurat I dapat menumpasnya.

Perselisihan ini semakin memburuk di tahun 1668 ketika Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, gadis dari Surabaya yang hendak dijadikan selir ayahnya. Berkat bantuan kakeknya, ia bisa mengambil Rara Oyi dari ayahnya untuk dinikahkan. Akibatnya, Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga beserta pengikutnya. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.[2][3]

Keluarga

Amangkurat II dikabarkan memiliki banyak istri, tetapi hanya memiliki satu putra, yaitu Raden Mas Sutikna. Menurut Babad Tanah Jawi, ibunya mengguna-guna semua istrinya yang lain sehingga mandul.[4]

Suksesi dan Pemberontakan Trunajaya

Pada tahun 1670 Mas Rahmat meminta bantuan Panembahan Rama, seorang guru spiritual dari keluarga Kajoran. Panembahan Rama memperkenalkan bekas menantunya, bernama Trunajaya dari Madura sebagai alat pemberontakan Mas Rahmat.

Pada tahun 1674 datang kaum pelarian dari Makasar yang bernama Keraeng Galesong. Mereka meminta meminta sebidang tanah di Mataram, tetapi ditolak oleh Amangkurat I. Diam-diam Mas Rahmat memberi mereka tanah di desa Demung, daerah Ketah dekat Besuki. Atas penolakan Amangkurat I ini mereka sakit hati dan kemudian bergabung dalam pemberontakan Trunajaya di wilayah timur.

Dengan bergabungnya Keraeng Galesong ini, maka kekuatan Trunajaya semakin besar dan sulit dikendalikan. Mas Rahmat merasa bimbang dan memilih kembali berada di pihak ayahnya. Ia kembali menjadi putra mahkota, karena Pangeran Puger sendiri berasal dari keluarga Kajoran (yang mendukung pemberontakan). Dengan bergabungnya Mas Rahmat kembali ke pihak ayahandanya yaitu, Amangkurat I, semakin mengobarkan api pemberontakan pada pasukan Trunajaya beserta Keraeng Galesong ini

Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya menyerbu Keraton Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat sendiri melarikan diri ke barat, sedangkan istana dipertahankan oleh Pangeran Puger sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran mendukung Pangeran Trunajaya. Namun Pangeran Puger sendiri akhirnya terusir ke desa Kajenar.

Persekutuan dengan VOC

Amangkurat I meninggal dalam pelariannya pada 13 Juli 1677 atau sebelas hari setelah penyerbuan Pangeran Trunajaya ke istana Plered. Menurut Babad Tanah Jawi, bahwa kematian Amangkurat I disebabkan minumannya telah diberi racun oleh Mas Rahmat yang notabene putranya sendiri. Meskipun demikian, Mas Rahmat tetap ditunjuk sebagai raja penerus selanjutnya, tetapi disertai kutukan dari ayahandanya bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.

Mas Rahmat disambut baik oleh Martalaya bupati Tegal. Ia sendiri memilih pergi haji daripada menghadapi Trunajaya. Tiba-tiba keinginannya tersebut batal, konon karena wahyu keprabon berpindah padanya. Mas Rahmat pun menjalankan wasiat ayahnya supaya bekerja sama dengan VOC.

Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur di Panarukan digadaikan kepada VOC sebagai jaminan pembayaran atas biaya perang melawan Trunajaya.

Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Pangeran Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.

Jatuhnya Plered

Setelah Trunajaya dapat merebut Keraton Plered pada tanggal 28 Juni 1677, ia segera membawa berbagai pusaka Kesultanan Mataram ke markasnya yang berada di Kediri. Sementara pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong bergerak menuju Bangil untuk membuat kubu pertahanan. Namun, kemudian terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Karaeng Galesong karena masalah keluarga. Karaeng Galesong sendiri adalah menantu Trunajaya sebagai tanda persekutuan mereka.

Serbuan ke Kediri

Pada 5 September 1678 pasukan gabungan VOC dan Mataram bergerak menuju Kediri di bawah pimpinan Anthonie Hurd dan Sunan Amangkurat II. Pasukan ini bergerak dari Jepara melewati Grobogan, Grompol, Kajang, dan Madiun di mana pasukan Kapten Tack bergabung setelah menempuh perjalanan dari Keduwang dan Panaraga. Lalu pasukan bergerak ke Singkel untuk persiapan menyerang Kediri. Terjadi pertempuran sengit di Tukon dan dengan susah payah Singkel dapat dikuasai. Pasukan Tack di Grompol juga dihadang pasukan berkuda Trunajaya.

Kondisi politik kemudian memihak kepada Trunajaya setelah gagalnya perundingan antara Kompeni dan Karaeng Galesong. Karaeng Galesong berusaha mencari bala bantuan yang kuat bagi pihak Trunajaya. Pada 17 November 1678 pasukan Kompeni menyeberangi Sungai Brantas dengan dilindungi tembakan lima buah meriam. Beberapa hari kemudian (25 November 1678) barulah dilakukan serangan umum. Akhirnya karena kekuatan musuh jauh lebih besar Trunajaya terdesak dan berhasil menyingkir ke arah timur. Kediri berhasil dikuasai oleh VOC. Pusaka-pusaka keraton termasuk mahkota Majapahit jatuh ke tangan VOC dan diserahkan kembali kepada Sunan Amangkurat II pada 27 November 1678.

Setelah jatuhnya Kediri, Trunajaya menyingkir ke timur ke arah Blitar dan akhirnya menuju Malang. Saat kesulitan dalam mencari tempat pertahanan baru, Pangeran Trunajaya kehilangan 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan. Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan berupa 8 perahu bahan makanan dari Madura untuk pasukan Trunajaya jatuh ke tangan musuh. Tekanan dan kepungan VOC kepada pasukan Trunajaya yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam keadaan serba sulit, Trunajaya mendapat dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono. Sebanyak 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirasaba ke Malang untuk memperkuat barisan Trunajaya. Saat di Batu ini, istri Trunajaya meninggal dunia karena terserang penyakit, menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga wafat.

Dari Batu Trunajaya beserta pasukannya bergeser ke barat mengatur strategi pertahanan ke Ngantang. Sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit. Masih beruntung keadaan alam yang berupa pegunungan serta hutan rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan Kompeni.

Sementara di sisi lain karena perundingan gagal, pasukan Karaeng Galesong membuat kubu pertahanan di Bangil dan Keper Krembung, sebelah utara Sungai Porong. Kemudian VOC meminta bantuan Arung Palakka dari Bone untuk menangkap Karaeng Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan Kompeni di bawah Jacob Couper berangkat dari Surabaya menuju ke Keper, markas pertahanan Karaeng Galesong. Pihak Kompeni memberi ultimatum kepada pasukan Keraeng Galesong untuk menyerah. Beberapa pemimpin pasukan Makassar memenuhi permintaan itu pada tanggal 30 Agustus di antaranya Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni memutuskan menyerang Keper pada tanggal 8 September 1679 di bawah pimpinan Arung Palakka. Sebelumnya Kapten Joncker dan pasukan Ambonnya berusaha merebut Keper namun gagal. Baru pada tanggal 21 Oktober 1679 Keper jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh korban. Sementara pasukan Keraeng Galesong melarikan diri ke Batu untuk bergabung dengan mertuanya, Pangeran Trunajaya.

Serangan kemudian ditujukan kepada pertahanan Trunajaya, yaitu yang berpusat di Batu. Di situ telah dibangun semacam keraton yang dikelilingi oleh pagar. Pengikutnya diperkirakan hanya berjumlah sekitar seratus orang dan dalam keadaan kekurangan makanan. Pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong juga mengundurkan diri ke Malang.

Wafatnya Karaeng Galesong

Dengan jalan perundingan, Van Vliet selaku komandan pasukan VOC, mencoba mengadakan perdamaian. Persetujuan akhirnya tercapai dengan ketentuan bahwa pasukan Makassar tidak akan menghalang-halangi pasukan VOC dalam melakukan serangan terhadap Trunajaya. Karaeng Galesong juga berjanji bersedia untuk dipulangkan ke Makassar. Setelah mendengar akan kejadian itu Trunajaya segera memindahkan Karaeng Galesong ke Ngantang. Namun sebelum adanya pengaturan yang pasti, Karaeng Galesong meninggal karena sakit pada 21 November 1679. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang sekarang. Oleh warga sekitar makam itu disebut sebagai Makam Mbah Rojo. Makam ini sekarang berokasi di sekitar 5 km dari objek Wisata Bendungan Selorejo.

Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia sekitar 17 tahun, Karaeng Mamampang, sebagai penggantinya untuk menghindari perselisihan di antara orang Makassar pengikut pasukan Karaeng Galesong. Karaeng Mamampang mengikuti keinginan ayahnya dan membujuk pengikutnya untuk diberangkatkan ke Makassar. Sekitar 120 orang mengikuti perintahnya, tetapi sekitar 900 menolak dan tetap bergabung dengan Trunajaya. Hingga sekarang mereka beranak pinak di daerah Ngantang Batu - Malang.

Jacob Couper berusaha menghubungi Trunajaya dengan cara mengirim surat akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya VOC memutuskan untuk mengadakan serangan ke Ngantang dengan mengirim pasukan VOC dan pasukan Arung Palakka. Di Kalisturan, di kaki pegunungan Batu, pasukan Arung Palakka menemukan 50 lelaki, wanita, dan anak-anak Makassar dalam keadaan kelaparan. Mereka mengatakan bahwa 300 lainnya berada di pegunungan namun tidak dapat turun menyerahkan diri karena jalan di Gunung Rarata (Ngrata) ditutup pasukan Trunajaya.

Esok paginya pasukan Arung Palakka merebut kubu pertahanan Trunajaya yang sedang dalam keadaan kekurangan di Rarata dengan serangan mendadak. Mereka memaksa pasukan Trunajaya melarikan diri lebih ke atas gunung. Pasukan Trunajaya mundur ke garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sungai kecil yang efektif menahan pergerakan naik atau turun gunung. Arung Palakka bersama sekelompok pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara itu, kapten Belanda Van Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan Arung Palakka lainnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, sehingga yang diserang pun lari berhamburan dengan menunggang kuda. Pasukan Arung Palakka mengejar mereka selama hampir dua jam dan tiba di sebuah perkampungan besar tempat pasukan Makassar dan Madura tinggal. Pasukan Belanda tiba setelahnya, tetapi sebelum serangan dilancarkan, hujan mulai turun dan kabut tebal pun datang dengan tiba-tiba. Ketika pasukan Arung Palakka dan VOC tiba di perkampungan tersebut, di Ngantang, pada hari berikutnya, mereka sudah melarikan diri kecuali empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak. Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian atas gunung.

Pada saat-saat pihak Trunajaya terdesak tersebut, timbullah isu dan ketegangan antara Sunan Amangkurat II dan Arung Palakka. Sebabnya adalah bahwa menurut desas-desus dan persaksian orang-orang tertentu ada hubungan antara Arung Palakka dengan Trunajaya. Isu yang pertama adalah bahwa Arung Palakka telah menerima hadiah dari Pangeran Trunajaya sebagai sebuah usaha penyuapan. Isu yang kedua adalah adanya ajakan dari pihak Pangeran Trunajaya kepada Arung Palakka untuk bersama-sama pergi ke Majapahit guna mendirikan benteng baru di sana.

Pada kenyataanya adalah bahwa Sunan Amangkurat II mulai menjauhkan diri dari Arung Palakka. Pun pihak Kompeni tidak mengikutsertakannya dalam operasi penangkapan Pangeran Trunajaya. Terhadap Pangeran Trunajaya sendiri, Amangkurat II menjalankan taktik baru, yaitu bersikap bersahabat dan menganggap dia sebagai kawula. Sebaliknya Trunajaya masih berusaha membujuk Amangkurat II agar memisahkan diri dari persekutuannya dengan VOC. Amangkurat II berketetapan hati untuk tetap bersekutu dengan VOC.

Penyerahan Raden Trunajaya

Selanjutnya di sebuah gunung yang bernama Kunjangan pasukan koalisi VOC dan Arung Palakka melakukan pengepungan. Mereka berharap membuat orang Makassar dan Madura kelaparan dan keluar dari persembunyian. Setelah beberapa lama seseorang bernama Tumenggung Wirapaksa turun dengan bendera putih menuju Arung Palakka dan mengatakan bahwa dia dikirim langsung ke Arung Palakka oleh tuannya Pangeran Trunajaya. Arung Palakka berkata padanya, “Marilah turun gunung menuju Komandan [Belanda] di mana kau bisa menyampaikan pesanmu.” Tetapi Tumenggung menolak. Dia mengatakan bahwa pesan ini bukan untuk Kompeni tetapi untuk Arung Palakka sendiri. Jawaban Arung Palakka memperlihatkan tujuannya tidak memusuhi Trunajaya tetapi untuk menangkap Karaeng Galesong: “Saya tidak berperang dengan Sultan [Trunajaya] dan karena itu tidak perlu berdamai dengannya". ujar Arung Palakka selanjutnya: "Saya di sini atas nama Kompeni dan menuruti perintah Komandan.”

Gagal membujuk Arung Palakka, utusan Pangeran Trunajaya naik kembali ke gunung. Belanda kemudian memberitahu orang-orang Makassar di perkemahan Trunajaya bahwa jika mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Tapi jika menolak, akan dihancurkan. Sekitar 2.500 orang memutuskan untuk menerima tawaran ini dan turun dari kubu pertahanan di gunung pada tanggal 15 Desember 1679. Jumlah rombongan ini mengejutkan Belanda yang menganggap mereka beruntung karena orang-orang Makassar ini memutuskan menyerah daripada bertempur. Untuk penyegaran, Jacob Couper digantikan oleh Kapitan Joncker sebagai komandan pasukan Kompeni. Lima hari kemudian pada 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar, di antaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan Kompeni pimpinan Kapten Joncker.

Ditinggal sebagian besar pasukannya, Pangeran Trunajaya melarikan diri melalui hutan dengan semak berduri di belakang kubu pertahanan dan pergi ke Pugar. Selama hari-hari terakhir perlawanan Trunajaya hanya terdapat 25-30 orang Makassar dan Madura yang masih setia bersamanya. Dengan mengorek keterangan dari orang Makassar yang tertawan, Kapitan Joncker berhasil mengepung Trunajaya di Gunung Limbangan (di lereng utara Gunung Kelud) di mana dia beserta barisannya hendak bertahan terakhir. Sunan Amangkurat II pun bergerak mendekati tempat itu dan menghendaki agar setelah Trunajaya ditangkap diserahkan kepadanya. Dalam keadaan sangat terjepit, Trunajaya mengirimkan utusan tiga kali, akan tetapi waktu sudah lewat untuk mengadakan perundingan. Terkepung dari segala penjuru dan bahaya kelaparan sangat melemahkan moral barisan yang kira-kira masih terdiri atas 3.000 orang itu. Tidak ada jalan lain daripada menyerah. Akhirnya Pangeran Trunajaya menyuruh pengikutnya mengumpulkan tombak dan kerisnya. Setelah terkumpul lalu Pangeran Trunajaya beserta pengikutnya menyerah kepada Kapten Joncker. Terlebih dulu dikirim para wanita dan abdi biasa, baru kemudian Pangeran Trunajaya beserta pengikutnya, antara lain Pangeran Mugatsari, Bupati Anggakusuma, Ngabehi Wiradersana, dan pasukan Makassar. Pangeran Trunajaya dan pasukan pengikutnya menyerahkan diri pada tanggal 26 Desember 1679. Kedua tangan beliau diikat dengan cinde sutera. Diberitakan kemudian bahwa saat menjadi tawanan Pangeran Trunajaya masih mempunyai rencana mengadakan perlawanan, maka dari itu Amangkurat II menuntut supaya dia segera diserahkan kepadanya. Untuk menepati sumpahnya, keris Kyai Balabar tidak akan diberi sarung besar sebelum dipakai untuk menusuk dada Pangeran Trunajaya. Di sekitar tapal batas Kediri, Amangkurat II menikam Pangeran Trunajaya dengan keris tersebut, kemudian para menteri secara bergiliran memberikan tikamannya pula pada tanggal 2 Januari 1680.

Runtuhnya Kedatuan Giri

Kedatuan Giri yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat IIdatang ke wilayah Kadilangu untuk menemui Panembahan Natapraja salah satu sosok sesepuh keturunan Sunan Kalijaga yang dianggap bijaksana dan sangat sakti serta memiliki kecerdasan dan pasukan yang siap membantu Amangkurat II saat itu Panembahan Natapraja (Pangeran Adilangu I) juga diminta untuk membuat kumpulan cerita ulang mengenai keaslian dari Sejarah Tanah Jawa karena naskah asli tanah jawa sudah di bumi hanguskan oleh para pemberontak dan disinilah awal terciptanya Babad Tanah Jawi yang sekarang kita kenal, selain itu Amangkurat juga bersekutu dan melakukan perjanjian dengan VOC agar mendapatkan dukungan persenjataan demi melancarkan aksi pembalasan kepada pihak pemberontak yaitu Kedatuan Giri.

Amangkurat II yang saat itu belum memiliki keraton dan pasukan dalam jumlah banyak akhirnya berhasil menghimpun dukungan dan kekuatan yang akhirnya dapat menghancurkan pemberontakan Trunojoyo akhir tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling akhir adalah Kedatuan Giri yang masih mempunyai kekuatann cukup besar. Pada bulan April 1680 terjadi serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh Panembahan Natapraja dari Adilangu dan juga didukung oleh VOCBelanda yang membantu Amangkurat II. Panglima perang dan murid terbaik andalan Giri yang menjadi ujung tombak para prajurit Giri bernama Pangeran Singosari (Senopati Singosekar) yang terkenal tangguh dan kebal terhadap senjata api dan senjata tajam akhirnya gugur dalam peperangan setelah berduel satu lawan satu melawan Panembahan Natapraja. jumlah Pasukan Adilangu (pasukan Natapraja) hanya sedikit namun dapat memporak porandakan pasukan Kedatuan Giri.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dimusnahkan. Sejak saat itu berakhirlah riwayat Kedatuan Giri.

Pendirian Kartasura

Pada tahun 1680, Amangkurat II memerintahkan pembersihan hutan di daerah Wanakarta (berjarak sekitar 10 kilometer di selatan Surakarta)[5] untuk dibangun sebuah keraton baru. Keraton ini kemudian diberi nama Kartasura.[6] Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered setelah kota itu ditinggalkan oleh Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukanlah Mas Rahmat (kakaknya), melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar sebagai Mas Rahmat. Berita simpang siur tersebut akhirnya menyebabkan kericuhan.

Perang antara Keraton Plered dengan Kartasura meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kalah. Babad Tanah Jawi menyebut Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerus dari kerajaan Mataram. yang memberikan legitimasi pengasahan kekuasaan Amangkurat ke II adalah Panembahan Natapraja dari Adilangu yang dianggap sebagai sesepuh Mataram.

Sikap terhadap VOC

 
Lukisan dari abad ke-18 yang menggambarkan kematian François Tack.

Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati lemah yang mudah dipengaruhi. Pangeran Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Amangkurat II naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut.

Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan.

Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati diberinya tempat tinggal di desa Babirong untuk menyusun kekuatan.

Bulan Februari 1686 Kapten François Tack tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Pertempuran terjadi. Pasukan Untung Suropati menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh pasukan Untung Suropati

Amangkurat II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati Jangrana.

Kehidupan selanjutnya

Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar oleh VOC. Pihak VOC menemukan surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi VOC. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapitan Jonker tahun 1689.

Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan.

Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Ricklefs 1998, hlm. XXII.
  2. ^ a b c BPCB Jateng 2014.
  3. ^ a b Matanasi 2017.
  4. ^ Keraton Nusantara.
  5. ^ Galbraith, Francis J. (1949). Preliminary Observations for a Study of Javanese Culture. Department of State, Foreign Service Institute. 
  6. ^ Ricklefs 1998, hlm. 79.

Daftar pustaka



Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Amangkurat I
Sunan Kartasura
1677—1703
Diteruskan oleh:
Amangkurat III