Abdul Qadir al-Jailani

Yang benar adalah Abdul Qadir al-Jilani

Syaikh 'Abdul Qodir Al-Jaelani

Syaikh Abdul Qadir
Berkas:Syaikh Abdul-Qadir Gilani's name in Arabic calligraphy.png
Kaligrafi Arabic nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani
NamaSyaikh Abdul Qadir
Nisbahal-Jailani
KeturunanShaikh Abdul-Wahab, Sheikh Abdul-Razzaq, Shaikh Abdul-Aziz, Shaikh Isa, Shaikh Musa, Sheikh Yahya, Sheikh Abdullah, Sheikh Muhammed dan 41 lainnya. Sheikh Ibrahim.

Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani[1][2] (bahasa Kurdi: Evdilqadirê Geylanî, bahasa Persia: عبد القادر گیلانی, bahasa Urdu: عبد القادر آملی گیلانی Abdolqāder Gilāni) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia adalah orang Kurdi[3] atau orang Persia.[4] Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.[5] Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Beliau dikenali sebagai seorang ulama Sunni bermadzhab Hambali, seorang orator ulung dan bergelar sayyid dan faqīh, dikenal luas sebagai pendiri dari Thoriqot Qadiriyyah.

Nama & gelar

Nama Abdul Qadir Jaelani juga dilafalkan Abdul Qadir Gaylani, Abdel kader, Abdul Qadir, Abdul Khadir - Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani, Gilani, Al Gilani, Keilany, Abdel Qader Gilany. Nama Muhiyudin mengartikan beliau sebagai "pembangkit agama". Gilani (Arabic al-Jilani) menunjukkan kepada tempat kelahiran beliau yakni, Gilan. Namun, Ghilan juga membawa ciri Baghdadi, yang menandakan tempat tinggal dan kematian beliau di Baghdad. Beliau juga dipanggil sebagai al-Hasani wa'l-Husayni, yang menandakan silsilah beliau baik dari Hasan ibn Ali maupun Husayn ibn Ali.

Kelahiran

Abdul Qadir lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M.[6] di kota Na'if, Gilan-e Gharb, Gilan, yang terletak di selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama.[7]

Genealogi

Ibnul Imad menyebutkan silsilah beliau dari garis ayah:

  1. Rasulullah
  2. Fatimah dan Ali
  3. Hasan
  4. Hasan
  5. Abdullah as-Shaleh
  6. Musa al-Jun
  7. Abdullah ats-Tsani
  8. Musa ats-Tsani
  9. Dawud
  10. Muhammad al-Akbar
  11. Yahya az-Zahid
  12. Abi Sholeh Musa Jankidausat (Persia: جنكى دوست Jankidost)
  13. Abdul Qadir[8]

Sedangkan silsilah garis ibu:

  1. Rasulullah
  2. Fatimah dan Ali
  3. Husain
  4. Ali
  5. Ja'far
  6. Musa
  7. Ali
  8. Muhammad
  9. Abdullah as-Sauma'i az-Zahid
  10. Abu Jamaluddin
  11. Kamaluddin 'Isa
  12. Ummul Khair Fatimah
  13. Abdul Qadir

Pendidikan

Dalam usia 18 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad dia belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim. Dia menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat dia. Banyak pula orang yang bersimpati kepada dia, lalu datang menimba ilmu di sekolah dia hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Dakwah, ketokohan & pengaruh

Awal Kemasyhuran

Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushola. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum.

Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.

Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Murid

Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni.

Karya tulis

Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya karyanya:[7]

  1. Tafsir Al Jilani
  2. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  3. Futuhul Ghaib.
  4. Al-Fath ar-Rabbani
  5. Jala' al-Khawathir
  6. Sirr al-Asrar
  7. Asror Al Asror
  8. Malfuzhat
  9. Khamsata "Asyara Maktuban
  10. Ar Rasael
  11. Ad Diwaan
  12. Sholawat wal Aurod
  13. Yawaqitul Hikam
  14. Jalaa al khotir
  15. Amrul muhkam
  16. Usul as Sabaa
  17. Mukhtasar ulumuddin

Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis dia. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

Perkataan Ulama tentangnya

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama dia selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai dia meninggal dunia.[9]

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan dia di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang dia mengutus putra dia yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu."

Hubungan Guru & Murid

1) Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 14 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya. 2) Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf). 3) Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut. 4) Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya. 5) Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar. 6) Dua karakter dari Utsman bin Affan Utsman yaitu dermawan dan bangun tahajjud pada waktu orang lain sedang tidur. 7) Dua karakter dari Ali yaitu alim cerdas intelek dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan: Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar Al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya pada tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Kontroversi

Al-Muqri' Abul Hasan asy-Syathnufi

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. al-Muqri' Abul Hasan asy-Syathnufi al-Mishri (nama lengkapnya adalah Ali bin Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Judul asli Kiab itu cukup panjang, yaitu Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.

Imam Adz-Dzahabi

Al-Sam'ani berkata, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup dia." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut, "Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.

Ibnu Rajab Al-Hambali

Dalam mengomentari kitab kontroversial di atas, Ibnu Rajab Al-Hambali menegaskan: "Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."[10]

Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi dia dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy-Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini. Subhanallah[11]

Kewafatan

Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 11 Rabiul akhir di daerah Babul Azaj wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.

Festival Urs Syekh Jilani dirayakan sebagai Gyarvi Sharif di anak benua India dan luar negeri.[12]

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Biographical encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East by N. Hanif, 2002, p123
  2. ^ The Sultan of the saints: mystical life and teaching of Shaikh Syed Abdul Qadir Jilani, Muhammad Riyāz Qādrī, 2000, p24
  3. ^ "From the 12th century onward, Sufism spread amongst the Kurds. The main Sufi orders amongst them are the Qadiriya who trace their origin to the Kurdish Sufi 'Abd al-Qadir al-Jilani". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-11. Diakses tanggal 2012-11-19. 
  4. ^ Philip Khuri Hitti, "Islam, a way of life ", University of Minnesota Press (August 12, 1970). pg 64: "The earliest and most attractive Sufi order was al-Qadiri, named after its founder, the Persian ‘Abd al-Qadir al-Jili (al-Jilani 1077–1166)
  5. ^ A Great Saint: Sheikh Abdul Qadir Jilani
  6. ^ The works of Shaykh Umar Eli of Somalia of al-Tariqat al-Qadiriyyah 1260H
  7. ^ a b MA Cassim Razvi dan Siddiq Osman NM: "Syekh Abdul Qadir al-Jailani Pemimpin Para Wali", halaman 1-4.Yogyakarta: Pustaka Sufi. ISBN: 979-97400-100-8
  8. ^ Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly)
  9. ^ Siyar A'lamin Nubala XX/442.
  10. ^ Lihat Ibnu Rajab, Adz-DZail Ala Thabaqaat Al-Hanabilah, jilid 1 hal. 290.
  11. ^ Kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.
  12. ^ "Gyarvi Sharif". Diakses tanggal 2021-04-15.