Inkuisisi (dengan huruf I besar) adalah istilah yang secara luas digunakan untuk menyebut pengadilan terhadap ahli bidat oleh Gereja Katolik Roma. Istilah ini juga dapat bermakna tribunal gerejawi atau lembaga dalam Gereja Katolik Roma yang bertugas melawan atau menyingkirkan bidat, sejumlah gerakan ekspurgasi historis terhadap bidat (yang digiatkan oleh Gereja Katolik Roma), atau pengadilan atas seseorang yang didakwa bidat[1]

Galileo di hadapan sidang Inkuisisi Roma

Definisi dan tujuan

 
Ruang sidang di dalam Istana Inkuisitor di Birgu, Malta

Istilah "inkuisisi" berasal dari kata Latin Abad Pertengahan, inquisitio. Kata ini dipakai untuk menyebut segala macam proses peradilan berasas hukum Romawi yang perlahan-lahan dihidupkan kembali pada Akhir Abad Pertengahan.[2] Istilah "Inkuisisi" kini digunakan sebagai sebutan bagi sejumlah lembaga penertib bidat (maupun pelanggaran-pelanggaran lain terhadap hukum kanon) di dalam sistem peradilan Gereja Katolik Roma. Sekalipun jamak digunakan sebagai sebutan bagi mahkamah-mahkamah gerejawi Katolik, istilah "Inkuisisi" sebetulnya mengacu kepada suatu proses peradilan, bukan suatu organisasi. Hakim-hakimnya '...disebut "inkuisitor" karena menerapkan suatu teknik peradilan yang disebut inquisitio, artinya "wawancara" atau "pengusutan".' Teknik peradilan ini sudah jamak digunakan para pemimpin sekuler. Raja Henry II menerapkannya secara ekstensif di Inggris pada abad ke-12. Di dalam proses peradilan yang menggunakan teknik ini, seorang pewawancara resmi akan meminta informasi terkait pokok persoalan tertentu dari siapa saja yang merasa memiliki sesuatu untuk disampaikan."[3]

Karena merupakan mahkamah gerejawi, Inkuisisi tidak berwenang mengadili orang Moro dan orang Yahudi.[4] Pada umumnya Inkuisisi hanya menangani perilaku bidat para pemeluk atau orang-orang yang baru memeluk agama Kristen Katolik.[5]

Hampir semua hukuman yang dijatuhkan Inkuisisi adalah laku silih, misalnya mengenakan pakaian berjahitkan tanda salib, berziarah, dan lain-lain.[6] Apabila terdakwa terbukti menganut ajaran sesat tanpa merasa bersalah, majelis inkuisitor berkewajiban hukum menyerahkan yang bersangkutan kepada pengadilan negeri untuk dipidana. Pengadilan negeri selanjutnya menentukan sanksi pidana berdasarkan hukum negara setempat.[7][8] Undang-undang mencakup larangan-larangan terhadap tindak pidana keagamaan (bidat dan sebagainya) dengan ancaman bakar hidup-hidup sebagai salah satu bentuk hukuman, kendati hukuman yang biasa dijatuhkan adalah pidana buang atau pidana kurungan seumur hidup, yang biasanya diringankan dengan pengurangan masa hukuman sesudah beberapa tahun dijalani. Oleh karena itu para inkuisitor pada umumnya mengetahui nasib seperti apa yang kelak menimpa para terdakwa yang sedang ditahan.[9]

Directorium Inquisitorum (buku panduan pokok inkuisitor) edisi 1578 menjabarkan tujuan pemidanaan sebagai berikut:

... quoniam punitio non refertur primo et per se in correctionem et bonum eius qui punitur, sed in bonum publicum ut alii terreantur, et a malis committendis avocentur
(... karena hukuman bukan dilaksanakan terutama dan per se demi perbaikan dan kemaslahatan si terhukum, melainkan demi kemaslahatan umum, supaya orang lain menjadi ngeri dan jera berbuat jahat)[10]

Awal mula

Sebelum tahun 1100, Gereja Katolik lazimnya menekan pihak-pihak yang dicap bidat lewat suatu sistem proskripsi gerejawi atau pemenjaraan, tetapi tanpa penyiksaan,[11] dan jarang sekali berbuntut hukuman mati.[12][13] Hukuman-hukuman semacam itu ditentang sejumlah rohaniwan dan teolog, kendati beberapa negara menjatuhkan hukuman mati kepada terpidana bidat.[14][15] Paus Sirisius, Ambrosius dari Milan, dan Martinus dari Tours memprotes hukuman mati terhadap Priskilianus, terutama karena dianggap sebagai campur tangan pengadilan sipil dalam urusan penegakan disiplin gerejawi. Meskipun dicap sebagai ahli bidat, Priskilianus dihukum mati sebagai tukang sihir. Ambrosius menolak memberi pengakuan dalam bentuk apa pun kepada Itasius dari Osonuba, karena "tidak ingin berurusan dengan uskup-uskup yang menyebabkan ahli-ahli bidat dijemput maut".[16]

Pada abad ke-12, untuk melawan penyebaran Katarisme, penghakiman terhadap para ahli bidat kerap digelar. Gereja menugasi uskup-uskup dan uskup-uskup agung untuk membentuk Inkuisisi (Inkuisisi Keuskupan). Inkuisisi yang pertama dibentuk sebagai lembaga peradilan darurat di Languedoc (kawasan selatan Prancis) pada tahun 1184. Pembunuhan Pierre de Castelnau, utusan Paus Inosensius, pada tahun 1208 menjadi pemicu Perang Salib Albigenses tahun 1209–1229. Inkuisisi dibentuk sebagai lembaga peradilan tetap pada tahun 1229 (berdasarkan keputusan Konsili Toulouse) di Roma, kemudian di Carcassonne, Languedoc. Sebagian besar pegawainya berasal dari tarekat Dominikan.[17]

Inkuisisi Abad Pertengahan

Istilah "Inkuisisi Abad Pertengahan" digunakan para sejarawan untuk menyifatkan berbagai macam inkuisisi yang dibentuk sekitar tahun 1184, termasuk Inkuisisi Keuskupan (tahun 1184–1230-an) dan Inkuisisi Kepausan (1230-an). Inkuisisi-inkuisisi tersebut dibentuk guna menyikapi gerakan-gerakan rakyat berskala besar di seluruh Eropa yang dianggap sebagai gerakan murtad atau bidat, khususnya gerakan Katarisme di kawasan selatan Prancis serta gerakan Waldensisme di kawasan selatan Prancis dan kawasan utara Italia. Inkuisi-inkuisisi lain baru terbentuk sesudah inkuisisi-inkuisisi perdana ini. Dasar hukum bagi sejumlah aktivitas inkuisisi adalah bula Ad extirpanda tahun 1252 dari Paus Inosensius IV yang secara eksplisit mengizinkan (sekaligus menetapkan keadaan-kondisi yang mengizinkan) penggunaan siksaan oleh Inkuisisi demi mendapatkan pengakuan dari ahli bidat.[18] Meskipun demikian, Nikolaus Eimerik, inkuisitor penyusun "Directorium Inquisitorum", menandaskan bahwa "quaestiones sunt fallaces et ineficaces" (interogasi dengan cara seperti itu menyesatkan dan tidak ada gunanya). Pada tahun 1256, para inkuisitor diberi absolusi jika memakai alat-alat penyiksaan.[19]

Pada abad ke-13, Paus Gregorius IX (menjabat tahun 1227–1241) menyerahkan tugas pelaksanaan inkuisisi kepada tarekat Dominikan dan tarekat Fransiskan. Pada Akhir Abad Pertengahan, hanya Inggris dan Kastila negara-negara besar di Dunia Barat tanpa Inkuisisi Kepausan. Sebagian besar inkuisitor adalah anggota-anggota tarekat yang mengajar ilmu teologi dan/atau ilmu hukum di universitas-universitas. Mereka menggunakan prosedur-prosedur inkuisitor, suatu praktik hukum yang lazim, hasil adapasi prosedur-prosedur peradilan Romawi Kuno.[20] Mereka mengadili perkara bidat bersama para uskup dan kelompok-kelompok "asesor" (rohaniwan dengan tugas yang kurang lebih sama dengan juri atau penasihat hukum sekarang ini), dan memberdayakan pihak-pihak berwenang setempat untuk menggelar persidangan dan mengadili ahli-ahli bidat. Selepas tahun 1200, tiap-tiap Inkuisisi dikepalai seorang inkuisitor agung. Inkuisisi-inkuisisi yang dikepalai inkuisitor agung bertahan sampai pertengaan abad ke-19.[21]

Inkuisisi pada permulaan Zaman Modern

Seiring kian sengitnya perdebatan dan konflik di antara kubu Reformasi Protestan dan kubu Kontrareformasi Katolik, umat Protestan mulai memandang Inkuisisi sebagai "liyan" yang mengerikan,[22] sementara umat Katolik memandang Jawatan Suci sebagai benteng yang perlu didirikan untuk melawan penyebaran bidat-bidat laknat.

Pengadilan tukang sihir

 
Lencana Inkuisisi Spanyol tahun 1571

Catatan kaki

  1. ^ Medieval Sourcebook: Inquisition - Introduction
  2. ^ Peters, Edwards. "Inquisition", hlm. 12
  3. ^ "Internet History Sourcebooks Project". Fordham.edu. Diakses tanggal 13 Oktober 2017. 
  4. ^ Marvin R. O'Connell. "The Spanish Inquisition: Fact Versus Fiction". Ignatiusinsight.com. Diakses tanggal 13 Oktober 2017. 
  5. ^ Salomon, H. P. dan Sassoon, I. S. D., dalam Saraiva, Antonio Jose. The Marrano Factory. The Portuguese Inquisition and Its New Christians, 1536–1765 (Brill, 2001), Introduction hlm. XXX.
  6. ^ "Internet History Sourcebooks Project". legacy.fordham.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Maret 2016. Diakses tanggal 13 Oktober 2017. 
  7. ^ "Apabila mendapati seseorang terbukti menganut ajaran sesat dan enggan memungkiri kesesatannya, atau kembali kepada kesesatan, para inkuisitor harus menyerahkannya ke "tangan dunia", yakni kepada pihak berwenang sekuler, untuk dijatuhi animadversio debita, yakni hukuman yang sudah ditetapkan di dalam undang-undang negara setempat, biasanya hukuman bakar hidup-hidup." (Peters, Edwards. "Inquisition", hlm. 67.)
  8. ^ Lea, Henry Charles. "Bab VII. The Inquisition Founded". A History of the Inquisition In The Middle Ages. 1. ISBN 1-152-29621-3. Diakses tanggal 07 Oktober 2009. Para ahli bidat yang tegar tengkuk, yang enggan memungkiri kesesatan dan kembali ke pangkuan Gereja dengan laku silih yang setimpal, dan orang-orang yang sudah memungkiri tetapi kemudian kembali kepada kesesatan, harus diserahkan sepenuhnya ke tangan dunia untuk dijatuhi hukuman yang setimpal. 
  9. ^ Kirsch, Jonathan (9 September 2008). The Grand Inquisitors Manual: A History of Terror in the Name of God . HarperOne. ISBN 978-0-06-081699-5. 
  10. ^ Directorium Inquisitorum, edisi 1578, Buku 3, hlm. 137, kolom 1. Tersedia daring di Cornell University Collection; temu balik tanggal 16 Mei 2008.
  11. ^ Lea, Henry Charles (1888). "Chapter VII. The Inquisition Founded". A History of the Inquisition In The Middle Ages. 1. ISBN 1-152-29621-3. Peradilan dengan menggunakan siksaan untungnya belum dikenal... 
  12. ^ Foxe, John. "Bab V" (PDF). Buku Para Martir. 
  13. ^ Blötzer, J. (1910). "Inquisition". The Catholic Encyclopedia. Robert Appleton Company. Diakses tanggal 2012-08-26. ... pada zaman itu, pihak-pihak berwenang gerejawi yang lumayan berpengaruh menyatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan semangat Injil, dan mereka sendiri menentang pelaksanaannya. Selama berabad-abad, Gereja memegang teguh pendirian semacam ini, baik dalam teori maupun dalam praktik. Oleh karena itu, sesuai dengan hukum sipil, beberapa pemeluk agama Mani dihukum mati di Ravena pada tahun 556. Di lain pihak, Elipandus dari Toledo dan Felix dari Urgel, tokoh-tokoh utama Adopsionisme dan Predestinasionisme, tidak diapa-apakan, kendati diputuskan bersalah oleh konsili-konsili. Meskipun demikian dapat ketahui bahwa, sesudah diputuskan bersalah mengajarkan doktrin sesat bahwa Kristus tidak wafat bagi seluruh umat manusia oleh Sinode Mainz tahun 848 dan Sinode Quiercy tahun 849, rahib Gothescalch dijatuhi hukuman dera dan kurungan, yakni hukuman-hukuman atas berbagai macam pelanggaran kecil terhadap aturan yang lazim diterapkan di biara-baira pada masa itu. 
  14. ^ Blötzer, J. (1910). "Inquisition". The Catholic Encyclopedia. Robert Appleton Company. Diakses tanggal 2012-08-26. [...] eksekusi ahli bidat yang sesekali terjadi pada masa itu harus dinisbatkan separuhnya kepada pertimbangan pribadi para penguasa secara perorangan, dan separuhnya lagi kepada kerusuhan-kerusuhan massa yang terlalu fanatik, serta sama sekali tidak ada hubungannya dengan hukum gerejawi maupun pihak-pihak berwenang gerejawi. 
  15. ^ Lea, Henry Charles. "Bab VII. The Inquisition Founded". A History of the Inquisition In The Middle Ages. 1. ISBN 1-152-29621-3. 
  16. ^ Hughes, Philip (1979). History of the Church Jilid 2: The Church In The World The Church Created: Augustine To Aquinas. A&C Black. hlmn. 27-28, ISBN 978-0-7220-7982-9
  17. ^ "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Inquisition". Newadvent.org. Diakses tanggal 13 Oktober 2017. 
  18. ^ Bishop, Jordan (2006). "Aquinas on Torture". New Blackfriars. 87 (1009): 229–237. doi:10.1111/j.0028-4289.2006.00142.x . 
  19. ^ Larissa Tracy, Torture and Brutality in Medieval Literature: Negotiations of National Identity, (Boydell & Brewer Ltd, 2012), 22; "Pada tahun 1252, Inosensius IV mengizinkan penggunaan siksaan untuk mendapatkan bukti dari terdakwa, dan pada tahun 1256, para inkuisitor diizinkan untuk saling memberikan absolusi jika mereka menggunakan alat-alat penyiksaan sesuai peruntukannya dengan tangan sendiri, alih-alih diwakili orang awam...".
  20. ^ Peters, Edwards. "Inquisition", hlm. 12.
  21. ^ Lea, Henry Charles. A History of the Inquisition of Spain, jld. 1, apendiks 2
  22. ^ Bdk. Haydon, Colin (1993). Anti-Catholicism in eighteenth-century England, c. 1714-80: a political and social study. Studies in imperialism. Manchester: Manchester University Press. hlm. 6. ISBN 0-7190-2859-0. Diakses tanggal 2010-02-28. Ketakutan masyarakat terhadap Papisme terfokus pada tindak persekusi terhadap para ahli bidat yang dilakukan pihak Katolik. Pada umumnya diasumsikan bahwa bilamana dimungkinkan, kaum Papis pasti akan memberantas bidat dengan cara-cara kekerasan, karena menganggap tindakan tersebut sebagai kewajiban religius. Sejarah tampaknya terlampau jelas memperlihatkan semuanya ini. [...] Inkuisisi meredam dan terus-menerus memantau silang pendapat religius di Spanyol. Kaum Papis, teristimewa Sri Paus, gemar membantai ahli bidat. "Saat masih kecil, saya betul-betul percaya bahwa Sri Paus adalah seorang wanita raksasa, mengenakan jubah mengerikan, yang merah warnanya karena dicelupkan ke dalam genangan darah umat Protestan," kenang William Cobbett (lahir tahun 1763), politikus Inggris asal daerah pedesaan Surrey. 

Pranala luar