Suku Karo
Suku Karo (Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatra Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang.[4] Suku ini merupakan salah satu suku terbesar dalam Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (Dataran Tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Suku Karo merupakan suku asli pertama Kota Medan karena Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Suku Karo pada mulanya tinggal di dataran tinggi Karo yakni Brastagi dan Kabanjahe
Jumlah populasi | |
---|---|
965,231 (2019)[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Indonesia (Karo, Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat) | |
Bahasa | |
Karo, Indonesia | |
Agama | |
Kelompok etnik terkait | |
Eksistensi Kerajaan
Kesultanan Aru Baroman | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1225[5]–1613 | |||||||
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah | |||||||
Ibu kota | Kota Rentang | ||||||
Bahasa yang umum digunakan | Karo Melayu | ||||||
Agama | Islam | ||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1225[5] | ||||||
• Serangan akhir dari Kesultanan Aceh | 1613 | ||||||
| |||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kesultanan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara sekarang.
Historiografi
Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:[6]
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:[6]
“Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa
Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.[7] Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.
Wilayah Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari. Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:
Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.
Kota Medan
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari Bahasa Karo, Madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata Bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.
Kabupaten Langkat
Suku Karo di Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, dan sebagian Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.
Kabupaten Dairi
Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:
- Kecamatan Taneh Pinem
- Kecamatan Tiga Lingga
- Kecamatan Gunung Sitember
Kabupaten Aceh Tenggara
Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
- Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
- Kecamatan Simpang Simadam
Kabupaten Deli Serdang
- Kecamatan Tanjung Morawa
- Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu
- Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir
- Kecamatan Sibolangit
- Kecamatan Pancur Batu
- Kecamatan Kutalimbaru
- Kecamatan Sunggal
- Kecamatan Deli Tua
- Kecamatan Biru-biru
- Kecamatan Gunung Meriah
Kabupaten Simalungun
- Kecamatan Dolok Silau
- Kecamatan Silimakuta
Merga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:
- Karo-karo: Purba, Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, Kemit, Jung, Sinukaban, Sinubulan, Samura, Sekali (berjumlah 18).
- Tarigan: Bondong, Gana-Gana, Gersang, Gerneng, Jampang, Purba, Pekan, Sibero, Tua, Tegur, Tambak, Tambun, Silangit, Tendang (berjumlah 14).
- Ginting: Anjartambun, Babo, Beras, Cabap, Gurupatih, Garamata, Jandibata, Jawak, Manik, Munte, Pase, Seragih, Suka, Sugihen, Sinusinga, Tumangger, Taling Kuta (berjumlah 17).
- Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, Busuk, Colia, Muham, Maha, Bunuhaji, Gurukinayan, Pandia, Keling, Pandebayang, Sinukapur, Tekang (berjumlah 15).
- Perangin-angin: Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Mano, Benjerang, Uwir, Pinem, Pancawan, Penggarun, Ulun Jandi, Laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang, Tanjung (berjumlah 18).
- Keterangan:
- Total semua submerga adalah 85.
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).
Rakut Sitelu
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
- Kalimbubu
- Anak Beru
- Sembuyak
Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan sembuyak keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti. dll
Tutur Siwaluh
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
- Puang Kalimbubu
- Kalimbubu
- Senina
- Sembuyak
- Senina Sipemeren
- Senina Sepengalon/Sedalanen
- Anak Beru
- Anak Beru Menteri
Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
- Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
- Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
- Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi isteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
- Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
- Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
- Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
- Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
- Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
- Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
- Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri lagi atas:
- Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
- Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
- Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Aksara/Sistem Penulisan
Penggunaan Aksara Huruf Karo | |
|
Aksara yang digunakan di suku ini adalah Aksara Karo. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi. Guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek.
Dalam tradisi sastra Karo, hanya genre ratapan yang umumnya dituliskan. Ratapan Karo (disebut bilang-bilang dalam bahasa Karo) merupakan keluh kesah mengenai cinta atau nasib pilu yang digubah dalam bentuk prosa. Teks ini biasanya diguratkan pada bambu, tulang, dan perkakas sehari-hari oleh pemilik benda bersangkutan. Ratapan Karo sering kali ditemukan pada bambu dan perkakas yang diukir dengan kerajinan tinggi. Pada benda-benda tertentu, penggalan ratapan hanya digunakan sebagai teks pengisi dalam komponen pembentuk jimat.[8][9]
Aksara Karo lazim digunakan oleh masyarakat awam untuk kegiatan surat-menyurat dengan media bambu, meski beberapa surat kertas juga diketahui. Tidak banyak tipe naskah ini yang kini tersisa karena kebanyakan surat Batak hanya berisikan pesan pendek yang kemudian dibuang setelah perihal yang bersangkutan terselesaikan. Terdapat pula jenis surat bernama pulas yang digunakan untuk menyampaikan tuntutan dan ancaman, misal untuk membayar utang atau mengembalikan sandra. Surat ancaman ini selalu disertai dengan miniatur senjata atau batuapi untuk mempertegas pesan yang disampaikan. Pulas terutama umum digunakan di daerah Karo. Pemilik perkebunan tembakau di Deli abad ke-19 kerap menerima surat ancaman semacam ini dari masyarakat Karo yang tanahnya sering kali disengketakan. Tak jarang pula para mengirim pulas tersebut menindaklanjuti ancaman mereka dengan membakar gudang dan perkebunan pada tanah yang dipermasalahkan.[8][10]
Aksara dasar
Aksara dasar (ina ni surat) dalam surat Karo merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 19 aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Karo, sementara beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[11]
a | ha | ka | ba | pa | na | wa | ga | ja | da | ra | ma | ta | sa | ya | nga | la | nya | ca | nda | mba | i | u | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | |
Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.[7]
Aksara i (ᯤ) dan u (ᯥ) hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata dan ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a (ᯀ atau ᯁ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯪᯉ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯮᯔ᯲ᯇᯔ.[33]
Dalam penulisan Karo, bunyi sengau m, n, dan ng sebelum konsonan b, c, d, g, j, k, dan p/ tidak ditulis. Karena itu, kata seperti panta hanya ditulis pata ᯇᯗ. -->
Diakritik
Diakritik (anak ni surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan, bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[11]
-i | -u | -é[1] | -e[2] | -o | -ou | -ng | -h | pemati | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | |
|
|||||||
kelawan | sikurun | ketéléngan | kebereten | ketolongen | kebincaren | kejeringen | penengen |
Tabel berikut menunjukkan bagaimana diakritik melekat pada aksara dasar ka dalam masing-masing varian aksara:
ka | ki | ku[3] | ké[1] | ke[2] | ko | kou | kang | kah | k | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | |
|
||||||||
kelawan | sikurun | ketéléngan | kebereten | ketolongen | kebincaren | kejeringen | penengen |
Contoh teks
Berikut adalah sebuah ratapan Karo pada bambu dari koleksi Museum fur Völkerkunde Berlin no. IC 39908a. Alih aksara dan terjemahan disadur dari Kozok (1999):[12]
Aksara Karo | Alih aksara Latin | Terjemahan |
---|---|---|
ᯔᯂᯀᯪᯛᯨᯀᯒᯪᯂᯬᯗᯩᯉᯬᯆᯪᯞᯰᯆᯪᯞᯰᯂᯪᯉ᯳ᯆᯬᯞᯬᯱᯗᯎᯉ᯳ᯀᯩᯢ | maka io ari kuté nu bilang-bilang kin buluh tagan énda | inilah ratap tangis di bambu yang menjadi tabung |
ᯔᯉ᯳ᯀᯪᯝᯉ᯳ᯉᯬᯒᯪᯉᯬᯒᯪᯂᯧᯉ᯳ᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ | man ingan nuri-nuriken até mesui la erngadi-ngadi | sebagai tempat untuk menceritakan penderitaanku yang tiada habisnya |
ᯘᯪᯔᯉ᯳ᯗᯬᯒᯪᯉ᯳ᯂᯧᯉ᯳ᯔᯔᯘᯪᯂᯒᯨᯂᯒᯨᯔᯧᯒ᯳ᯎᯉᯆᯧᯒᯩᯘᯪᯆᯪᯒᯪᯰ | si man turinken mama si karo-karo mergana beré simbiring | tentang aku yang bermarga Karo-karo, yang marga ibunya (beré) Simbiring |
ᯘᯪᯞᯇᯘ᯳ᯔᯧᯞᯬᯔᯰ | si lampas melumang | yang lekas menjadi yatim piatu |
ᯘᯪᯗᯧᯒ᯳ᯆᯆᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ | si terbaba até mesui la erngadi-ngadi | yang penderitaannya tiada habis |
ᯇᯧᯝᯪᯢᯨᯂᯬᯞᯔᯧᯀᯬᯞᯪ | péngindoku la mehuli | nasibku yang malang ini |
ᯉᯢᯩᯆᯪᯆᯪᯂᯬᯂᯒᯪᯉᯂᯗᯂᯬ | nandé bibiku karina kataku | wahai nandé dan bibiku semua, kataku |
ᯀᯩᯢᯗᯬᯒᯰᯂᯬᯗᯬᯒᯪᯂᯧᯉ᯳ | énda, turang, kuturiken | inilah, sayang, tuturanku |
Kalender Karo
Nama-nama hari
Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.
Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:
- Aditia
- Suma
- Nggara
- Budaha
- Beras pati
- Cukra enem
- Belah naik
- Aditia naik
- Sumana siwah
- Nggara sepuluh
- Budaha ngadep
- Beras pati tangkep
- Cukera dudu (lau)
- Belah purnama raya
- Tula
- Suma cepik
- Nggara enggo tula
- Budaha gok
- Beras pati
- Cukra si 20
- Belah turun
- Aditia turun
- Sumana mate
- Nggara simbelin
- Budaha medem
- Beras pati medem
- Cukrana mate
- Mate bulan ngulak
- Dalan bulan
- Sami sara
Nama-nama bulan
Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:
- Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing
- Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu
- Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing)
- Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak)
- Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau)
- Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang)
- Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
- Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam)
- Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting)
- Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
- Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu
- Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)
Kebudayaan tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, di antaranya tari tradisional:
- Piso Surit
- Lima Serangkai
- Tari Terang Bulan
- Tari Roti Manis
- Tari Tiga Sibolangit
Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.
Kegiatan budaya
- Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
- Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
- Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
- Mbesur-mbesuri - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginan nya sebelum melahirkan.
- Ndilo Udan - memanggil hujan.
- Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
- Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
- Erpangir Ku Lau - penyucian diri (untuk membuang sial).
- Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
- Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
- Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
- Manok Sangkepi
- Maba Belo Selamber (MBS)
- Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
Agama
Mayoritas penduduk Karo telah memeluk agama Kristen sekitar 74% (mayoritas Protestan 65% dan 35% Katolik), dan Islam 25%. Sekitar 1% masih menganut aliran kepercayaan lama yakni Pemena.[13]
Sebagian kecil masyarakat Karo di desa Pintu Besi, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan. [14]
Gereja yang didominasi suku Karo
Kontroversi
Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu yang ada di pesisir dikategorikan sebagai suku Batak yang bermukim di dataran tinggi/pegunungan.[15]
Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Walaupun Karo berdiri sebagai suku sendiri tetapi suku Karo serumpun dengan suku Batak yaitu dengan suku Batak Simalungun, Suku Batak Toba, khususnya suku Batak Pakpak. Karena dari segi budaya, bahasa, bahkan marga-marga beberapa ada yang mirip bahkan sama atau ada sebagian marga yang se-trah atau ada kaitannya/hubungan dengan marga Batak, hal ini bisa dilihat karena mereka juga memiliki wilayah geografis yang berdekatan. Bahkan aksara Batak juga sangat mempengaruhi Karo, orang Karo sendiri menggunakan surat Batak sebagai aksaranya karena sudah terpengaruh sejak lama dan berkembang disana. Huruf Batak awal mulanya berkembang di wilayah Tapanuli bagian selatan lebih tepatnya wilayah Angkola & Mandailing lalu kemudian menyebar ke Toba-Samosir lalu menyebar ke wilayah Simalungun dan wilayah Pakpak-Dairi 2 suku Batak ini (Batak Simalungun & Batak Dairi) menjadi penerima terakhir. Karena wilayah keduanya yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan wilayah suku Karo maka menyebar juga ke wilayah Karo. Dan akhirnya Karo menjadi suku penerima terakhir surat Batak setelah suku2 Batak itu tersendiri, di Tanah Karo sendiri penyebutan aksara Batak disebut surat si siwa siwa/surat Aru/haru setelah munculnya kerajaan Karo yakni kerajaan Haru/Aru. Karena pengaruh Karo saat itu juga kuat pada wilayah sekitarnya seperti seni musik Batak Simalungun yang mirip seperti seni musik Karo serta suku Pakpak juga terpengaruh sedikit oleh budaya Karo bahkan bahasa dan marganya juga, mereka beberapa saling berkaitan. Pada dasarnya bahasa Batak Pakpak tak jauh beda pada bahasa Batak umumnya / lainnya seperti Batak Toba dan Batak Simalungun tetapi bahasa Batak Pakpak memiliki beberapa kemiripan serta persamaan dengan bahasa Karo. Bahasa Karo pun punya sedikit kemiripan / persamaan dengan bahasa Batak (khususnya Simalungun) bahkan ada marga-marga yang berkaitan. Batak Simalungun juga terpengaruh sedikit bahasa Karo jadi ada beberapa kosakata/bahasa yang sama atau mirip, tak heran karena secara geografis juga mereka berdekatan dan berbatasan sama seperti wilayah orang Batak Pakpak/Dairi yang dekat dengan wilayah Karo, Wilayah Singkil di Aceh bahkan wilayah Batak pada umumnya yaitu daerah Tapanuli serta sekitaran Tapanuli dan sekitaran danau toba. Tak sampai situ saja, bahkan suku Melayu deli ada sedikit kosakata yang sama/mirip dengan bahasa Karo. Ada juga dari mereka yang merupakan keturunan dari Karo karena kesultanan Deli sendiri beberapa Datuk pendiri nya adalah orang Karo yang sudah masuk Islam dan sudah menjadi bangsawan Melayu maka diberi gelar Datuk. Itulah karena pengaruh Karo sangatlah luas dan berpengaruh kerajaan haru wilayah kekuasaan nya juga sampai ke Riau, kerajaan haru juga merupakan kerajaan terbesar di sumatra Utara pada masa itu. Kota Medan pun didirikan oleh bangsawan Karo yakni Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Orang Karo juga menjadi penduduk asli kota Medan juga setelah orang Melayu/suku Melayu Deli karena didirikan oleh orang bersuku Karo
Tokoh Karo
Galeri
-
Petani Karo
-
Petani Karo
-
Foto Gadis Karo dengan pakaian tradisional tahun 1925, koleksi Tropenmuseum
Referensi
- ^ Yulianti H, Olivia (2014), The Study of 'Batak Toba' Tribe Tradition Wedding Ceremony (PDF), Politeknik Negeri Sriwijaya, hlm. 1, diakses tanggal 2017-03-24
- ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45.
- ^ Ahmad Yunus; Siti Maria; Kencana S. Pelawi; Elizabeth T. Guming (1994). Anto Ahadiat, ed. Makna pemakaian rebu dalam kehidupan kekerabatan orang Batak Karo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat. hlm. 18. OCLC 609788612.
- ^ Geoff Kushnick (2010). "Bibliography of Works on the Karo Batak of North Sumatra, Indonesia: Missionary Reports, Anthropogical Studies, and Other Writings from 1826 to the Present" (PDF). Department of Anthropology University of Washington, Seattle. 1.2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 14 Januari 2014.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaBrahma Putro
- ^ a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
- ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
- ^ a b Kozok 1996, hlm. 236-239.
- ^ Kozok 2000, hlm. 50-51.
- ^ Kozok 2000, hlm. 51.
- ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamauni
- ^ Kozok 1999, hlm. 122-124.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaKaro
- ^ [1]
- ^ https://sorasirulo.com/2017/11/23/pernyataan-karo-bukan-batak-di-kota-medan/
Bacaan terkait
- Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Di antaraOrang Batak. Pustaka Sora Mido