Ortodoksi (bahasa Yunani: ὀρθοδοξία, ortodoksía, artinya "pendapat yang benar")[1][2] adalah kepatuhan terhadap keyakinan-keyakinan yang benar atau yang berterima, khususnya di dalam kehidupan beragama.[3]

Dalam agama Kristen, ortodoksi mengacu kepada penerimaan terhadap doktrin-doktrin yang terumuskan di dalam syahadat-syahadat dan yang ditetapkan konsili-konsili ekumene pada Abad Kuno. Meskipun demikian, penerimaan terhadap berbagai syahadat maupun konsili berbeda-beda antara satu Gereja dengan Gereja lain. Perbedaan tersebut muncul karena banyak sebab, antara lain hambatan-hambatan bahasa dan budaya. Ortodoksi Gereja Ortodoks Timur lebih ditonjolkan lewat penerimaan terhadap ketetapan-ketetapan tujuh konsili ekumene terdahulu, sementara ortodoksi Gereja-Gereja Ortodoks Oriental didasarkan atas ketetapan-ketetapan tiga konsili ekumene terdahulu.[4][5]

Umat Yahudi yang mematuhi semua tradisi dan perintah agama yang ditetapkan di dalam Talmud sering kali disebut umat Yahudi Ortodoks.

Agama-agama

Agama Buddha

Dari isi kitab Kalamasutra (Wejangan kepada Puak Kalama), dapat diketahui bahwa Sang Buddha Gautama menentang sikap percaya membabi buta kepada kitab-kitab suci maupun asas-asas dogmatis.[6] Di lain pihak, agama Buddha aliran Stawirawada sangat mengutamakan kitab suci Tripitaka bahasa Pali berikut ulasan-ulasannya, semisal kitab Wisudimarga (Jalan Pemurnian). Karena dikenal sangat konservatif, terutama di bidang ilmu dan pengamalan Winaya (tata tertib Sangga), aliran Stawirawada dianggap sebagai aliran yang paling ortodoks di dalam agama Buddha.

Agama Hindu

Tidak ada ortodoksi di dalam agama Hindu,[7] karena kata Hindu itu sendiri merupakan sebutan kolektif bagi berbagai keyakinan anutan masyarakat yang mendiami daerah Lembah Sungai Sindu, tunas Peradaban Lembah Sungai Sindu. Agama Hindu merupakan sintesis ajaran-ajaran ribuan guru, yakni tokoh-tokoh yang disamakan pihak-pihak di luar agama Hindu dengan nabi-nabi.[8] Agama Hindu juga tidak memiliki tokoh pendiri maupun kewenangan atau kuasa memerintah, tetapi hanya anjuran-anjuran. Istilah agama Hindu yang paling dekat dengan istilah ortodoksi mengandung makna tradisi-tradisi yang "berterima umum", bukan "kesesuaian dengan suatu doktrin". Sebagai contoh, istilah agama Hindu yang disamakan para penganut agama-agama Timur Tengah dengan doktrin adalah Sanatana Dharma, yang paling banter dapat diterjemahkan menjadi "tradisi-tradisi yang sudah ada sejak purbakala", dan oleh karena itu menunjukkan bahwa tradisi-tradisi tersebut diterima bukan melalui doktrin dan paksaan melainkan melalui uji adopsi dan retensi berdasarkan atrisi lingkungan selama beribu-ribu tahun.[9]

Agama Islam

Islam Suni adakalanya disebut "Islam Ortodoks".[10][11][12] Meskipun demikian, beberapa sarjana yang mempelajari agama Islam, semisal John Burton, yakin bahwa tidak ada yang namanya "Islam Ortodoks."[13]

Agama Kristen

 
Syahadat Nikea umum dipakai sebagai alat uji ortodoksi di dalam agama Kristen

Dalam makna Kristen klasiknya, istilah ortodoks mengacu kepada seperangkat doktrin yang dianut umat Kristen perdana. Konsili-konsili ekumene yang terselenggara dalam rentang waktu beberapa abad merupakan usaha untuk membakukan doktrin-doktrin tersebut. Hasil yang terpenting dari usaha pembakuan ini keputusan-keputusan berkenaan dengan doktrin Homoousion yang diusung Atanasius dan Eustatius (Tritunggalisme) maupun doktrin Heteroousion yang diusung Arius dan Eusebius (Arianisme). Doktrin Homoousion, yang mendefinisikan Yesus sebagai Allah sekaligus manusia di dalam kanon-kanon Konsili Efesus tahun 431, menjadi doktrin yang berjaya di dalam Gereja, dan disebut sebagai ortodoksi dalam berbagai konteks Kristen karena merupakan pandangan para Bapa Gereja terdahulu serta dikukuhkan kembali dalam konsili-konsili ekumene. Umat Kristen Antitritunggal (Nontrinitarian) adalah kelompok minoritas yang menolak doktrin ini.

Sesudah Skisma Akbar tahun 1054, baik Gereja Katolik maupun Gereja Ortodoks Timur masing-masing menganggap diri sendiri sebagai satu-satunya pihak yang ortodoks sekaligus katolik. Agustinus mengemukakan di dalam makalahnya, Perihal Agama Sejati, bahwa "agama hendaknya dicari ... hanya di antara orang-orang yang disebut umat Kristen Katolik atau umat Kristen yang ortodoks, yakni pengawal-pengawal kebenaran dan pengikut-pengikut kesahihan."[14] Seiring waktu berlalu, Gereja Barat lambat laun identik dengan label "Katolik", dan masyarakat Eropa Barat lambat laun melekatkan label "Ortodoks" pada Gereja Timur (dalam beberapa bahasa, label "Katolik" tidak harus identik dengan Gereja Barat), berpangkal dari kenyataan bahwa istilah katolik dan ortodoks masing-masing dipakai sebagai kata sifat gerejawi sejak abad ke-2 dan abad ke-4.

Lama sebelum Skisma Akbar terjadi, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental berpisah dari golongan Kristen Kalsedon selepas penyelenggaraan Konsili Kalsedon tahun 451 akibat berbeda pandangan soal kodrat Kristus.[15] Sejak saat itu, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental melestarikan sebutan ortodoks sebagai lambang tradisi-tradisi teologis mereka.[16]

Agama Yahudi

Yahudi Ortodoks adalah sebutan kolektif untuk cabang-cabang tradisionalis dari agama Yahudi, yang berusaha mempertahankan segenap keyakinan dan pengamalan agama Yahudi warisan leluhur, dan yang bersatu menentang berbagai tantangan modernitas dan sekularisasi.

Di luar konteks agama

Di luar konteks agama, istilah ortodoksi sering kali dipakai sebagai sebutan untuk keyakinan atau seperangkat keyakinan anutan bersama di bidang-bidang tertentu, teristimewa bilamana keyakinan atau seperangkat keyakinan yang sudah dianggap mutlak benar tersebut (dapat disebut "dogma") disanggah. Dalam situasi semacam ini, istilah ortodoksi mengandung sedikit konotasi peyoratif.

Pemakaian istilah ortodoksi di bidang tertentu yang paling lazim dijumpai adalah:

  • Ortodoksi politik
  • Ortodoksi sosial
  • Ortodoksi ekonomi
  • Ortodoksi ilmu pengetahuan
  • Ortodoksi seni

Istilah ortodoks dan ortodoksi juga digunakan dengan makna yang lebih luas sebagai sebutan bagi hal-hal selain gagasan dan keyakinan. Cara baru atau cara luar biasa yang dipakai dalam penyelesaian masalah dapat disebut "cara yang tidak ortodoks", sementara cara 'normal' atau cara yang lazim dipakai dalam penyelesaian masalah disebut "cara yang ortodoks".

Konsep-konsep terkait

Lawan kata ortodoksi adalah heterodoksi (ajaran yang lain) atau heresi (ajaran yang menyimpang, bidat). Pihak-pihak yang menyimpang dari ortodoksi dengan menganut doktrin yang dianggap keliru disebut heretikus (penyimpang, ahli bidat), sementara pihak-pihak yang menyempal dari kelompok utama penganut doktrin, baik dengan maupun tanpa menganut keyakinan yang menyimpang, disebut skismatikus (penyempal). Pemakaian istilah-istilah tersebut dalam berwacana kadang-kadang bergantung kepada aspek yang disoroti. Jika yang diwacanakan adalah kesatuan badan, maka mungkin saja skisma yang akan diberi penekanan, sementara jika yang diwacanakan adalah koherensi doktrin, maka mungkin saja heresi yang akan diberi penekanan. Penyimpangan yang lebih ringan daripada heresi pada umumnya disebut eror (kekhilafan), maksudnya penyimpangan tersebut tidak sebegitu parahnya sampai-sampai membuat pihak-pihak yang terlibat saling meliyankan sepenuhnya, kendati dampak buruknya terhadap persatuan tidak bisa dianggap sepele. Adakalanya istilah eror juga digunakan untuk menyebut heresi-heresi paripurna maupun kekhilafan-kekhilafan remeh. Doktrin atau amalan-amalan yang dianggap bukan bagian hakiki dari iman, sehingga sah-sah saja jika muncul ketidaksepahaman, disebut adiafora.

Konsep ortodoksi lazim dijumpai di dalam berbagai bentuk monoteisme-terorganisasi. Di lain pihak, agama-agama politeistis atau animistis, yang sering kali hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki konsep dogma, biasanya tidak terlampau mementingkan keyakinan yang ortodoks. Agama-agama tersebut juga menoleransi keberagaman tafsir doktrin maupun teologi, bahkan kadang-kadang menganjurkannya dalam konteks-konteks tertentu. Sebagai contoh, sinkretisme memainkan peran yang lebih besar di dalam agama non-monoteistis (terutama yang tidak berkitab suci). Norma pengatur yang paling lumrah di dalam politeisme adalah ortopraksi (amalan yang benar), alih-alih "keyakinan yang benar" atau ortodoksi.

Baca juga

Referensi

Rujukan

  1. ^ "Perseus Digital Greek Word Study Tool". www.perseus.tufts.edu. Diakses tanggal 03 Desember 2019. 
  2. ^ Harper, Douglas. "orthodoxy". Online Etymology Dictionary. Diakses tanggal 27 Januari 2016. 
  3. ^ "orthodox." Dictionary.com. The American Heritage Dictionary of the English Language (edisi ke-4) Houghton-Mifflin Company. 2004. Temu balik tanggal 03 Maret 2008.
  4. ^ Ware, Timothy (1963). The Orthodox Church. 
  5. ^ Syenudah Ketiga, Paus (1989). Life of Faith. 
  6. ^ "Kalama Sutta: To the Kalamas". Access to Insight (dalam bahasa Inggris). Barre Center for Buddhist Studies. Diakses tanggal 2018-03-14. 
  7. ^ "The Human Icon: A Comparative Study of Hindu and Orthodox Christian Beliefs". doi:10.1111/rirt.13458. 
  8. ^ "Githa Vahini". altlib.org. Diakses tanggal 2020-07-07. 
  9. ^ "Orthodoxy in Hinduism". science.jrank.org. Diakses tanggal 2020-07-07. 
  10. ^ John Richard Thackrah (5 Sep 2013). Dictionary of Terrorism (edisi ke-2, revisi). Routledge. hlm. 252. ISBN 978-1-135-16595-6. 
  11. ^ Nasir, Jamal J., ed. (2009). The Status of Women Under Islamic Law and Modern Islamic Legislation (edisi ke-revisi). BRILL. hlm. 11. ISBN 9789004172739. 
  12. ^ George W. Braswell (2000). What You Need to Know about Islam & Muslims (edisi ke-berilustrasi). B&H Publishing Group. hlm. 62. ISBN 978-0-8054-1829-3. 
  13. ^ Burton, John. 1996. An Introduction to the Hadith. Edinburgh: Edinburgh University Press. hlm. 201: "Suni: Dari atau sesuai sunah, teristimewa Sunah Nabi. Digunakan sebagai lawan dari Syiah. Karena tidak ada eklesia atau magisterium terpusat, maka tidak tepat jika diterjemahkan menjadi 'ortodoks'. Bagi umat islam, 'tidak ortodoks' berarti bidat, mubtadi, dari kata bid'ah, lawan dari sunah, jadi berarti 'inovasi'."
  14. ^ Dulles S.J., Avery (2012). Reno, R.R., ed. The Orthodox Imperative: Selected Essays of Avery Cardinal Dulles, S.J. (edisi ke-Kindle). First Things Press. hlm. 224. 
  15. ^ Meyendorff 1989.
  16. ^ Krikorian 2010.

Sumber rujukan

Pranala luar