Suku Karo (Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatra Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang.[4] Suku ini merupakan salah satu suku terbesar dalam Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (Dataran Tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Suku Karo merupakan suku asli pertama Kota Medan karena Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Suku Karo pada mulanya tinggal di dataran tinggi Karo yakni Brastagi dan Kabanjahe

Suku Karo
Kalak Karo
Seorang Wanita mengenakan kain yang disebut Gatip Ampar di atas bahunya dan padung perak (anting-anting), padungpadung dan seorang Pria kemungkinan mengenakan Julu berjongkit atau Ragi Santik sebagai penutup pinggul. Foto diambil di salah satu desa di Kabupaten Karo, sekitar tahun 1914-1919.
Jumlah populasi
965,231 (2019)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Karo, Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat)
Bahasa
Karo, Indonesia
Agama
Kelompok etnik terkait

Eksistensi Kerajaan

Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatra, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatra Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu Kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka, dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.

Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok Karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Di kemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.

Wilayah Karo

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari. Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

Kabupaten Karo

 
(Tanah Karo 1917).

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.

Kota Medan

Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari Bahasa Karo, Madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata Bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.

Kabupaten Langkat

Suku Karo di Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, dan sebagian Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.

Kabupaten Dairi

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:

  • Kecamatan Taneh Pinem
  • Kecamatan Tiga Lingga
  • Kecamatan Gunung Sitember

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

  • Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
  • Kecamatan Simpang Simadam

Kabupaten Deli Serdang

  • Kecamatan Tanjung Morawa
  • Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu
  • Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir
  • Kecamatan Sibolangit
  • Kecamatan Pancur Batu
  • Kecamatan Kutalimbaru
  • Kecamatan Sunggal
  • Kecamatan Deli Tua
  • Kecamatan Biru-biru
  • Kecamatan Gunung Meriah

Kabupaten Simalungun

  • Kecamatan Dolok Silau
  • Kecamatan Silimakuta

Merga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:

  1. Karo-karo: Purba, Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, Kemit, Jung, Sinukaban, Sinubulan, Samura, Sekali (berjumlah 18).
  2. Tarigan: Bondong, Gana-Gana, Gersang, Gerneng, Jampang, Purba, Pekan, Sibero, Tua, Tegur, Tambak, Tambun, Silangit, Tendang (berjumlah 14).
  3. Ginting: Anjartambun, Babo, Beras, Cabap, Gurupatih, Garamata, Jandibata, Jawak, Manik, Munte, Pase, Seragih, Suka, Sugihen, Sinusinga, Tumangger, Taling Kuta (berjumlah 17).
  4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, Busuk, Colia, Muham, Maha, Bunuhaji, Gurukinayan, Pandia, Keling, Pandebayang, Sinukapur, Tekang (berjumlah 15).
  5. Perangin-angin: Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Mano, Benjerang, Uwir, Pinem, Pancawan, Penggarun, Ulun Jandi, Laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang, Tanjung (berjumlah 18).

Keterangan:
  • Total semua submerga adalah 85.

Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).

Rakut Sitelu

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

  1. Kalimbubu
  2. Anak Beru
  3. Sembuyak

Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan sembuyak keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti. dll

Tutur Siwaluh

Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

  1. Puang Kalimbubu
  2. Kalimbubu
  3. Senina
  4. Sembuyak
  5. Senina Sipemeren
  6. Senina Sepengalon/Sedalanen
  7. Anak Beru
  8. Anak Beru Menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:

  1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
  2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
    • Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi isteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
    • Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
    • Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
  3. Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
  4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
  5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
  6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
  7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri lagi atas:
    • Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
    • Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
  8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Aksara

Aksara yang digunakan di suku ini adalah Aksara Karo. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi. Guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek.

Kebudayaan tradisional

Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, di antaranya tari tradisional:

Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.

Kegiatan budaya

  • Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
  • Mbesur-mbesuri - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginan nya sebelum melahirkan.
  • Ndilo Udan - memanggil hujan.
  • Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
  • Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
  • Erpangir Ku Lau - penyucian diri (untuk membuang sial).
  • Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
  • Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
  • Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
  • Manok Sangkepi
  • Maba Belo Selamber (MBS)
  • Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Agama

Mayoritas penduduk Karo telah memeluk agama Kristen sekitar 74% (mayoritas Protestan 65% dan 35% Katolik), dan Islam 25%. Sekitar 1% masih menganut aliran kepercayaan lama yakni Pemena.[5]

Sebagian kecil masyarakat Karo di desa Pintu Besi, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan. [6]

Gereja yang didominasi suku Karo

Kontroversi

Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu yang ada di pesisir dikategorikan sebagai suku Batak yang bermukim di dataran tinggi/pegunungan.[7]

Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Walaupun Karo berdiri sebagai suku sendiri tetapi suku Karo serumpun dengan suku Batak yaitu dengan suku Batak Simalungun, Suku Batak Toba, khususnya suku Batak Pakpak. Karena dari segi budaya, bahasa, bahkan marga-marga beberapa ada yang mirip bahkan sama atau ada sebagian marga yang se-trah atau ada kaitannya/hubungan dengan marga Batak, hal ini bisa dilihat karena mereka juga memiliki wilayah geografis yang berdekatan. Bahkan aksara Batak juga sangat mempengaruhi Karo, orang Karo sendiri menggunakan surat Batak sebagai aksaranya karena sudah terpengaruh sejak lama dan berkembang disana. Huruf Batak awal mulanya berkembang di wilayah Tapanuli bagian selatan lebih tepatnya wilayah Angkola & Mandailing lalu kemudian menyebar ke Toba-Samosir lalu menyebar ke wilayah Simalungun dan wilayah Pakpak-Dairi 2 suku Batak ini (Batak Simalungun & Batak Dairi) menjadi penerima terakhir. Karena wilayah keduanya yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan wilayah suku Karo maka menyebar juga ke wilayah Karo. Dan akhirnya Karo menjadi suku penerima terakhir surat Batak setelah suku-suku Batak itu tersendiri, di Tanah Karo sendiri penyebutan aksara Batak disebut Surat Si Siwa-siwa/Surat Aru/Haru setelah munculnya kerajaan Karo yakni kerajaan Haru/Aru. Karena pengaruh Karo saat itu juga kuat pada wilayah sekitarnya seperti seni musik Batak Simalungun yang mirip seperti seni musik Karo serta suku Pakpak juga terpengaruh sedikit oleh budaya Karo bahkan bahasa dan marganya juga, mereka beberapa saling berkaitan. Pada dasarnya bahasa Batak Pakpak tak jauh beda pada bahasa Batak umumnya / lainnya seperti Batak Toba dan Batak Simalungun, tetapi bahasa Batak Pakpak memiliki beberapa kemiripan serta persamaan dengan bahasa Karo. Bahasa Karo juga punya sedikit kemiripan / persamaan dengan bahasa Batak (khususnya Simalungun) bahkan ada marga-marga yang berkaitan. Batak Simalungun juga terpengaruh sedikit bahasa Karo. Jadi ada beberapa kosakata/bahasa yang sama atau mirip, tak heran karena secara geografis juga mereka berdekatan dan berbatasan sama seperti wilayah orang Batak Pakpak/Dairi yang dekat dengan wilayah Karo, Wilayah Singkil di Aceh bahkan wilayah Batak pada umumnya yaitu daerah Tapanuli serta sekitaran Tapanuli dan sekitaran Danau Toba. Tak sampai situ saja, bahkan suku Melayu Deli ada sedikit kosakata yang sama/mirip dengan bahasa Karo. Ada juga dari mereka yang merupakan keturunan dari Karo, karena kesultanan Deli sendiri beberapa Datuk pendirinya adalah orang Karo yang sudah masuk Islam dan sudah menjadi bangsawan Melayu maka diberi gelar Datuk. Itulah karena pengaruh Karo sangatlah luas dan berpengaruh kerajaan Haru wilayah kekuasaannya juga sampai ke Riau, kerajaan Haru juga merupakan kerajaan terbesar di Sumatra Utara pada masa itu. Kota Medan juga didirikan oleh bangsawan Karo yakni Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Orang Karo juga menjadi penduduk asli kota Medan juga, setelah orang Melayu/Suku Melayu Deli karena didirikan oleh orang bersuku Karo.

Tokoh Karo

Galeri

Referensi

  1. ^ Yulianti H, Olivia (2014), The Study of 'Batak Toba' Tribe Tradition Wedding Ceremony (PDF), Politeknik Negeri Sriwijaya, hlm. 1, diakses tanggal 2017-03-24 
  2. ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45. 
  3. ^ Ahmad Yunus; Siti Maria; Kencana S. Pelawi; Elizabeth T. Guming (1994). Anto Ahadiat, ed. Makna pemakaian rebu dalam kehidupan kekerabatan orang Batak Karo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat. hlm. 18. OCLC 609788612. 
  4. ^ Geoff Kushnick (2010). "Bibliography of Works on the Karo Batak of North Sumatra, Indonesia: Missionary Reports, Anthropogical Studies, and Other Writings from 1826 to the Present" (PDF). Department of Anthropology University of Washington, Seattle. 1.2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 14 Januari 2014. 
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Karo
  6. ^ [1]
  7. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-22. Diakses tanggal 2018-08-22. 

Bacaan terkait

  • Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Di antaraOrang Batak. Pustaka Sora Mido

Pranala luar