Gajah sumatra

hewan mamalia di Indonesia
Revisi sejak 5 Juni 2021 10.44 oleh Adhi Kurniawan (bicara | kontrib) (Konservasi gajah sumatera)
Gajah sumatra
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
Subspesies:
E. m. sumatranus
Nama trinomial
Elephas maximus sumatranus
Temminck, 1847

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) adalah subspesies dari gajah asia yang hanya berhabitat di Pulau Sumatra. Gajah sumatra berpostur lebih kecil daripada subspesies gajah india. Populasinya semakin menurun dan menjadi spesies yang sangat terancam. Sekitar 2000 sampai 2700 ekor gajah sumatra yang tersisa di alam liar berdasarkan survei pada tahun 2000. Sebanyak 65% populasi gajah sumatra lenyap akibat dibunuh manusia, dan 30% kemungkinan dibunuh dengan cara diracuni oleh manusia. Sekitar 83% habitat gajah sumatra telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.

Gajah sumatra merupakan mamalia terbesar di Indonesia, beratnya mencapai 6 ton dan tumbuh setinggi 3,5 meter pada bahu. Periode kehamilan untuk bayi gajah sumatra adalah 22 bulan dengan umur rata-rata sampai 70 tahun. Herbivora raksasa ini sangat cerdas dan memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air dengan cara memegang atau menggenggam bagian ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.

Status kepunahan

Gajah sumatera mendapatkan predikat status terancam punah (kode: critical endagered/ cr) semenjak tahun 2021. Kala itu terjadi pembalakan liar dan pembukaan lahan hutan di wilayah Sumatera[1]. Kejadian itu didukung dengan data yang dihimpun oleh bahwa isu lingkungan mempengaruhi habitat alami kehidupan alam. Hal itu berkorelasi dengan merosotnya kepeminatan investasi apabila satwa, termasuk gajah sumatera yang dianggap sebagai hama tanaman investasi seperti kelapa sawit[2]. Kebutuhan industri kelapa sawit yang menyebabkan pembalakan pada gajah sumatera itu yang mendorong status kegawatdaruratan populasi mamalia besar tersebut.

Perburuan gajah sumatera yang dinilai para pemburu memiliki nilai ekonomi [3]tinggi pada gading dan kepalanya juga menjadi sumber pendorong menurunnya populasi hewan tersebut. Diyakini, gading gajah Sumatera ini memiliki nilai jual tinggi oleh para kolektor. Sehingga terjadi perburuan yang mengabaikan kelangsungan hidup gajah ini.

Status pada Rantai Makanan

Gajah secara fisiologis merupakan hewan penghuni ekosistem padang rumput atau sabana[4]. Hewan bioma ini menduduki rantai mankanan kelas herbivora. Secara alami, musuh gajah di alam terbuka adalah sekumpulan harimau atau singa. Di Sumatera sendiri, puncak rantai makanan, harimau, singa, dan predator karnivora lainnya juga terancam punah. Berkorelasi analisis ahli tersebut, tinggi kemungkinan gajah sumatera mendapat predikat punah dikarenakan pembalakan liar yang sulit terungkap[5].

Gajah hidup berkelompok. Satu kelompok bisa terdapat tiga hingga empat keluarga yang masing-masing terdiri dari empat hingga lima gajah. Dalam ekosistem[6], gajah secara alami memakan tanaman dan dapat bertanding melawan puncak rantai makanan. Gajah apabila mati, tubuhnya menjadi santapan hewan pengurai alami dan burung hering dari wilayah hutan tropis. Sesama hewan herbivora, gajah pada umumnya dan gajah sumatera membentuk kelompok hayati dan kawanan di wilayah padang rumput.

Konservasi Gajah Sumatera

Pemerintah Republik Indonesia mulai mendisiplinkan pembalakan hutan dan perburuan hewan dilindungi termasuk gajah sumatera dengan berbekal Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hal itu terjadi karena pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemburu gading dari luar negeri mulai meningkat secara ilegal di wilayah Sumatera bagian tengah. Undang-undang tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Thaun 1999 Tentang Pengawasan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Meskipun dikukuhkan dengan peraturan, pembalakan dan perburuan liar di wilayah pulau Sumatera kerap terjadi.

Lihat pula

Referensi

  • Jeheskel Shoshani dan John F. Eisenberg (1982). Mammalian Species 182: 1–8. Elephas maximus

Pranala luar

  1. ^ Dickinson, Nigel. "Deforestation and Forest Degradation". World Wide Life Foundation. Diakses tanggal 05 Juni 2021. 
  2. ^ Atkins, Hathaway (2019). "OECD Green Growth Policy Review of Indonesia 2019". OECD Environmental Performance Reviews: 47. doi:https://doi.org/10.1787/19900091 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ "Cerita di Balik Penjualan Gading Gajah Seharga Rp 100 Juta, Gading Diisi Semen agar Lebih Berat". Kompas. 13 November 2020. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  4. ^ Atep (15 Desember 2019). "Materi Rantai Makanan: Pengertian, Fungsi, dan Contohnya". Gramedia. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  5. ^ "Living with Sumatran Elephants". National Geographic. 30 Januari 2015. Diakses tanggal 5 Juni 2021. 
  6. ^ Aji, Seno (4 Mei 2018). "Komponen Pembentuk Ekosistem". Ruang Guru. Diakses tanggal 5 Juni 2021.