Gugatan atas peran agama muncul ketika pengetahuan dan filsafat menguat. Keduanya dinilai lebih gampang dicerna oleh nalar ketika menjawab persoalan hidup daripada institusi agama yang justru lebih dogmatik, bahkan kadangkala irasional. Sikap kritis dan penuh gugatan atas peran agama sebenarnya sudah berkembang sejak masa Yunani Kuno. Fenomenanya semakin terlihat jelas pada masa Renaisans atau pembaruan. Wibawa gereja dan lembaga formal agama ketika itu menurun, serta wacana filosofis tentang agama dan Tuhan berkembang maju. Hal ini menggeser dominasi wacana teologi yang sebelumnya berpusat di gereja, apalagi situasi masyarakat beragama saat itu diwarnai pertentangan dan peperangan.

Gugatan atas peran agama muncul ketika pengetahuan dan filsafat menguat (Nurcholish & Dja'far 2015, hlm. 109).

Faktor

“Bisakah kita hidup tanpa agama?” Pertanyaan “lancang” ini keluar dari mulut André Comte Sponville dalam pembukaan karyanya berjudul The Little Book of Atheist Spirituality. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 14 bahasa di 14 negara. Buku ini di Indonesia sendiri diterbitkan oleh Penerbit Alvabet dengan judul Spiritualitas Tanpa Tuhan.

Sponville lahir di Paris, Prancis pada Maret 1952. Dia dikenal sebagai pemikir ateisme, tetapi mendukung nilai-nilai spiritualisme. Profesor Filsafat Sorbone yang dulunya penganut Katolik ini menyatakan bahwa ketidakpercayaan kepada Tuhan tidak menghalangi manusia memiliki roh, tidak pula harus menggunakannya. Roh manusia terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para pendeta, mullah, atau para spiritualis lainnya.

“Tidak percaya Tuhan bukan alasan mengamputasi bagian dari kemanusiaan kita – terutama bukan bagian yang itu! Melepaskan agama bukan berarti melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritualitas seseorang,” tandas Sponville.

Roh merupakan bagian paling mulia, bahkan menjadi fungsi tertinggi dari diri manusia – sesuatu yang membuat seseorang bukan hanya berbeda dari binatang-binatang lainnya. Makhluk dalam kategori binatang ini lebih hebat dan lebih unggul dari mereka. “Manusia adalah binatang metafisik,” kata filsuf Jerman bernama Arthur Schopenhauer, seperti dikutip oleh Sponville.

 
Gugatan atas peran agama muncul ketika pengetahuan dan filsafat menguat (Nurcholish & Dja'far 2015, hlm. 109).

Sponville juga berkeyakinan bahwa manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, tetapi tidak bisa tanpa komune, ketaatan, atau cinta. Lebih lanjut, dia menyatakan jika manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Spiritualitas sebenarnya dapat dipisahkan dari konsep agama dan Tuhan. Hal itu tidak mereduksi hakikat kehidupan spiritual sebenarnya. Namun demikian, mereka yang kritis kepada agama, bahkan mengklaim ateis, tidak perlu menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama-agama ini merupakan salah satu bagian dari warisan manusia. Dengan nilai-nilainya, seseorang dapat mempertanyakan siginifikasinya bagi kebutuhan manusia dan alam semesta yang berhubungan satu dengan lainnya.

Pandangan Sponville ini dikenal dengan paham deisme. Deisme berasal dari kata deus (bahasa Latin yang berarti "Tuhan"). Menurut paham ini, Tuhan berada jauh dari luar alam, sedangkan organized religions (agama-agama formal) dinilai hanya menyempitkan universalitas ajaran Tuhan. Menurut logika deisme, bentuk formal agama yang lebih berfungsi sebagai tembok-tembok pemisah, harus dirobohkan untuk menyelamatkan keluhuran dan universalitas ajaran Tuhan. Salah satu hal yang perlu dilestarikan hanya dimensi etis agama. Dengan demikian, ajaran tersebut berlaku bagi siapa saja dan kapan saja.

Tokoh lain yang dikenal sebagai inisiator gerakan ini adalah Thomas Jefferson dan Albert Einstein. Jefferson secara tegas beriman kepada Tuhan (deisme), kepada keesaan Tuhan (unitarianisme), dan kepada kebenaran universal (universalisme). Namun, dia merasa tidak perlu mengikat diri kepada salah satu agama formal. Dia meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi.

Deisme muncul sebagai gugatan terhadap peran lembaga agama. Dalam dunia yang semakin sekuler, agama dianggap tidak lagi sanggup mengisi kekosongan dan kebutuhan spiritual umat. Sebaliknya, agama justru dianggap membawa perpecahan, pemicu konflik, kekerasan, dan pertumpahan darah. Masalah-masalah mendasar manusia masa kini, seperti kesehatan, perumahan, kehidupan berbangsa, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, perdamaian, dan sebagainya dianggap lebih bisa diselesaikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi. Keduanya berkembang otonom dan tidak lagi memerlukan bantuan lembaga agama.

Kritik

Pandangan dan keyakinan ini tidak luput pula dari kritik dan penentangan, salah satunya di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pendiri Pusat Studi Islam Paramadina ini menilai bahwa ramalan itu tidak sepenuhnya benar. Sejarah kelahiran dan pengaruh agama-agama formal hingga sekarang tidak menyusut ataupun lenyap. Yahudi, Kristen, dan Islam mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan dunia. Yahudi masih setia dianut oleh orang Israel. Nasrani masih kuat di Barat (Eropa dan Amerika), meski pertumbuhan gereja tidak sepesat kurun waktu sebelumnya. Islam sendiri jika dilihat dari perkembangannya mampu melampaui Yahudi dan Kristen. Tidak hanya bertahan di Asia dan Timur Tengah, Islam juga tumbuh di Eropa dan Amerika. Pertumbuhan rumah ibadah, musala, dan masjid, semakin mudah dijumpai di negara-negara barat yang sekuler. Tugas berat berada di tokoh dan pemeluk agama-agama formal untuk membantah pandangan kritis deisme dengan bukti. Mereka harus membuktikan ramalan dan keyakinan penganut deisme tidak seluruhnya benar. Mereka harus bekerja keras menampilkan wajah agama yang penuh keramahan dan cinta, bukan sebaliknya.