Minang Perantauan

Revisi sejak 12 Desember 2008 04.01 oleh 202.155.2.87 (bicara)

Minangkabau perantauan adalah orang Minangkabau yang lahir atau berdomisili di luar propinsi Sumatera Barat. Populasi mereka merupakan mayoritas di Negeri Sembilan, Malaysia dan Pekanbaru. Serta sebagai minoritas yang cukup signifikan di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Palembang, Kuala Lumpur, dan Singapura.

Terminologi

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, 1973 (Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore), pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra Barat. Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean (35,9 %), kemudian suku Batak (14,3 %), lalu Banjar (14,2 %), sedangkan suku Minang hanya sebesar 10,5 %.

Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa mencapai 60 %, bahkan lebih. Hal ini berdasarkan penelitian acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua pertiga saudaranya hidup di perantauan. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Latar belakang

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena merantau pada orang Minang, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau.

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Mayoritas perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Gelombang merantau

Merantau pada orang Minang telah berlangsung cukup lama. Mereka meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengetahuan dan kemakmuran. Di abad ke-13, orang Minang telah membentuk koloni sepanjang pantai barat Sumatera dari Meulaboh sampai Bengkulu, ketika sebagai pedagang lada di bawah Kerajaan Aceh. Di Aceh mereka dikenal dengan sebutan Anak Jameu. Di abad ke-15, gelombang besar perantau Minang bermigrasi ke Negeri Sembilan, dan hidup disana dibawah perlindungan Kesultanan Malaka, dan kemuduan Kesultanan Johor. Di abad ke-19, banyak orang Minang yang merantau ke Siak dan Deli sebagai pedagang, setelah pemerintah Hindia Belanda membuka perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

Perantau cendekia

Setelah Perang Paderi, banyak reformis muslim yang pergi menuntut ilmu ke Mekkah dan Kairo. Diantara mereka adalah Ahmad Khatib, Muhammad Jamil Jambek, dan Abdul Malik Karim Amrullah. Di Mekkah, Ahmad Khatib menjadi pengajar dan imam Masjidil Haram.

Di awal abad ke-20, banyak pemuda Minangkabau yang pergi merantau ke Jawa dan Eropa sebagai pelajar. Di Eropa mereka banyak belajar di Belanda dan Jerman. Abdul Rivai, Tan Malaka, Roestam Effendi, Nazir Pamuntjak, dan Mohammad Hatta merupakan beberapa pelajar yang sekolah di Eropa sekaligus sebagai aktivis kemerdekaan Indonesia. Diantara mereka, Tan Malaka yang paling fenomenal. Dia tinggal di delapan negara dari Belanda sampai Philipina sebagai aktivis. Karir politik, mengantarkannya menjadi kandidat anggota parlemen Belanda dari partai komunis Belanda.

Pengaruh

Perantau Minang adalah orang-orang yang dinamis dan progresif. Mereka banyak memberikan pengaruh politis di banyak kerajaan dan negara di Nusantara. Raja Baginda yang merantau ke Philipina selatan, mendirikan Kesultanan Sulu disana pada tahun 1390.<ref> Pada tahun 1603, perantau Minang mengajarakan islam di Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Dato ri Bandang dan Dato ri Tiro, dua ulama sunni, telah mengislamkan raja-raja Gowa dan Luwu di Sulawesi Selatan. Tindakan mereka ini telah mendorong pandangan politik raja-raja Bugis untuk beraliansi dengan kerajaan-kerajaan muslim lainnya untuk melawan kolonialisme kristen eropa.

Perantau Minang telah lama memiliki pengaruh di Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1773, Raja Melewar yang datang dari Pagaruyung diangkat sebagai Yang di-Pertuan Besar kerajaan Negeri Sembilan. Perantau Minang juga terlibat aktif dalam persaingan tampuk kekuasaan di Kesultanan Johor setelah kematian Sultan Mahmud Shah II dengan para petualang Bugis. Di pertengah abad ke-20, banyak perantau Minang yang menjadi aktivis kemerdekaan Malaysia, mereka antara lain Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D, Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek.

Profesi

Di banyak kota, Minang perantau berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, dan kerah putih. Di Jakarta, kebanyakan mereka berprofesi sebagai pedagang, guru, ulama, dan ahli medis. Banyak pasar tradisional di Jakarta di dominasi oleh pedagang-pedagang Minang. Minang perantauan banyak yang berafiliasi atau sebagai simpatisan Muhammadiyah. Di kota-kota besar, mereka banyak yang terlibat sebagai pengurus mesjid atau organisasi-organisasi modernis. Mereka juga banyak yang memilih untuk menjadi akademisi, dan banyak diantara mereka yang duduk sebagai kepala sekolah menengah.

Organisasi

Bagi Minang perantauan yang suka berkumpul, organisasi menjadi salah satu wadahnya Hari ini hampir seluruh kenagarian di Sumatera Barat memiliki organisasi perantauan.Beberapa organisasi tersebut memiliki cabang yang tersebar di seluruh kota-kota utama Nusantara sampai Amerika Serikat dan Eropa, antara lain kanagarian Sulit Air dan Koto Gadang. Organisasi ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi diantara anggota, serta kegiatan-kegiatan sosial membangun kampung. Gebu Minang merupakan organisasi terbesar Minang perantauan yang berkonsentrasi mengembangkan budaya-budaya Minangkabau.

Lihat juga