Perbankan syariah

aktivitas perbankan dan finansial yang sesuai dengan hukum Islam
Revisi sejak 1 September 2021 13.52 oleh Lia Basyaiban (bicara | kontrib) (Ejaan)

Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية الإسلامية, al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha yang bersifat (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.

Sebuah bank syariah di Brunei, yakni Bank Islam Brunei Darussalam.

Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.[1][2]

Sejarah

Suatu bentuk awal ekonomi pasar dan merkantilisme, yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai "kapitalisme Islam", telah mulai berkembang antara abad ke-8 dan ke-12.[3] Perekonomian moneter pada periode tersebut berdasarkan mata uang dinar dan dirham yang beredar luas saat itu, yang menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya independen secara ekonomi.

Pada abad ke-20, lahirnya perbankan syariah tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis.[2] Sekitar tahun 1940-an, di Pakistan dan Malaysia telah terdapat upaya-upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Tahun 1963, Islamic Rural Bank berdiri di desa Mit Ghamr di Kairo, Mesir.[4]

Perbankan syariah secara global tumbuh dengan kecepatan 10-15% per tahun, dan menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang konsisten di masa yang akan datang.[5] Laporan dari International Association of Islamic Banks dan analisis Prof. Khursid Ahmad menyebutkan bahwa hingga tahun 1999 telah terdapat lebih dari 200 lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, yaitu di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim serta negara-negara lainnya di Eropa, Australia, maupun Amerika.[6] Diperkirakan terdapat lebih dari AS$ 822.000.000.000 aset di seluruh dunia yang dikelola sesuai prinsip-prinsip syariah, menurut analisis majalah The Economist.[7] Ini mencakup kira-kira 0,5% dari total estimasi aset dunia pada tahun 2005.[8] Analisis Perusahaan Induk CIMB Group menyatakan bahwa keuangan syariah adalah segmen yang paling cepat tumbuh dalam sistem keuangan global, dan penjualan obligasi syariah diperkirakan meningkat 24 persen hingga mencapai AS$ 25 miliar pada 2010.[9]

Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia

Perbankan syariah di Indonesia dimulai ketika Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) didirikan di Bandung pada tahun 1991 dan PT BPRS Heraukat di Nangroe Aceh Darussalam yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui serangkaian lokakarya "Bunga Bank dan Perbankan" di Cisarua, Bogor, tanggal 18 - 20 Agustus 1990. Dari hasil ini kemudian berkembang menjadi PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 dan mulai beroperasi tahun 1992. Pertumbuhan perbankan syariah masih lambat pada masa itu dan pada periode tahun 1992 - 1998 hanya ada satu unit bank syariah. Pada tahun 1998 disahkan UU No. 10 tahun 1998 tentang Unit Usaha Syariah yang memungkinkan bank konvensional membuka Unit Usaha Syariah (UUS). Kemudian pada tahun 2008 disahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menandai era bangkitnya perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 2005 tercatat jumlah bank umum syariah hanya 304 buah unit usaha, syariah 19 buah, BPRS 92 buah dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 643 buah bank umum syariah, 25 buah unit usaha syariah, dan 133 buah BPRS.[10]

Regulasi Bagi Bank Syariah

  1. UU No. 72 Tahun 1992 tentang Perbankan Syariah menetapkan bahwa perbankan syariah di Indonesia menganut dual banking system.
  2. UU No. 10 Tahun 1998 sebagai penyempurnaan Undang-Undang sebelumnya, dituangkan dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia dan dikuatkan dalam bentuk peraturan Bank Indonesia, pada Pasal 1 butir 13 disebutkan berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi perbankan syariah. Teknis operasional produk dan transaksi syariah yang digunakan pada bank syariah diatur oleh Fatwa DSN MUI.
  3. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyebutkan dimungkinkannya kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.
  4. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.[11]

Transaksi yang Dilarang

Penyebab terlarangnya sebuah transaksi disebabkan faktor berikut.[12]

  1. Haram zatnya/haram li-dzatihi
  2. Haram selain zatnya/haram li ghairihi
  3. Tidak sah/lengkap akadnya

Haram Zatnya

Transaksi yang dilarang oleh prinsip syariah dikarenakan zatnya adalah jelas sesuai pedoman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebagai contoh; minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Meskipun akadnya sah, namun transaksinya menjadi haram karena zatnya tergolong haram. Contohnya adalah nasabah mengajukan akad murabahah untuk pembiayaan pembelian minuman keras, maka dalam prinsip syariah hukumnya adalah haram.

Haram Selain Zatnya

Melanggar Prinsip "An Taraddin Minkum"

  1. Tadlis

Dalam transaksi harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada suatu yang unknown to one party atau asymetric information atau dalam bahasa fiqihnya disebut tadlis. Tadlis dapat terjadi karena empat hal yaitu:

  • Kuantitas
  • Kualitas
  • Harga
  • Waktu penyerahan

Melanggar Prinsip "La Tazhlimuna wa la tuzhlamun"

  1. Rekayasa Pasar dalam Supply (ikhtikar)

Rekayasa dalam pasar supply terjadi bila seorang produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. Menurut fiqih hal ini disebut ikhtikar. Ikhtikar terjadi apabila memenuhi syarat berikut.

  • Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun persediaan atau mengenakan entry-barriers.
  • Menjual dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan.
  • Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1 & 2 dilakukan.
  1. Rekayasa Pasar dalam Demand (bai' Najasy)

Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen/pembeli menciptakan permintaan palsu/fiktif, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi untuk meningkatkan bargaining power penjual. Rekayasa demand dalam bahasa fiqih disebut bai' najasy.

  1. Gharar atau Taghrir

Gharar atau taghrir adalah situasi dimana terjadi incomplete information karena adanya uncertainty to both parties (ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi). Gharar ini terjadi bila salah satu pihak mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain). Dalam tadlis, yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B (unknown to one party) sedangkan dalam taghrir, baik pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan (uncertain to both parties). Gharar dapat terjadi dalam empat hal yaitu:

  • Kuantitas
  • Kualitas
  • Harga
  • Waktu penyerahan
  1. Riba

Dalam ilmu fiqih, riba dibedakan menjadi tiga jenis yaitu Riba Fadl, Riba Nasiah, dan Riba Jahiliyah.

  1. Riba Fadl, disebut juga riba buyu, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
  2. Riba Nasi'ah, disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman).
  3. Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidka mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah "Kullu Qardin Jarra Manfa'atan (lil muqridi wahdahu) Fahuwa Riba.

Tidak Sah/Lengkap Akadnya

Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram li dzatihi maupun haram li ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Faktor-faktor transaksi yang dikatakan tidak sah apabila tidak memenuhi hal berikut.

  1. Rukun dan syarat tidak terpenuhi

Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition) yang cara mengerjakannya secara urut sesuai peraturan yang ada. Rukun dalam muamalah bidang ekonomi dibagi menjadi tiga:

  • Pelaku, yaitu bisa berupa penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, atau penerima upah dan pemberi upah.
  • Objek, dapat berupa barang maupun jasa.
  • Ijab-kabul, yaitu kesepakatan antara kedua belah pihak yang saling bertransaksi.
  1. Ta'alluq

Ta'alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, maka berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2.

  1. Two in One

Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi/dilakukan oleh dua akas sekaligus, sehigga terjadi suatu ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan terlebih dahulu. Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor di bawah ini terpenuhi yaitu:

  • Objek sama
  • Pelaku sama
  • Jangka waktu sama

Bila salah satu dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah.

Prinsip perbankan syariah

Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:[4]

  1. Perniagaan atas barang-barang yang haram,
  2. Bunga (ربا riba),
  3. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (ميسر maisir), serta
  4. Ketidakjelasan dan manipulatif (غرر gharar)

Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional adalah sebagai berikut:[4]

Afzalur Rahman dalam bukunya Islamic Doctrine on Banking and Insurance (1980) berpendapat bahwa prinsip perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah, karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.[13]

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Titipan atau simpanan

  • Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana di mana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
  • Deposito Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Bagi hasil

  • Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
  • Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati diawal. Risiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan.
  • Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
  • Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

Jual beli

  • Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
  • Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
  • Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
  • Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
  • Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan kepemilikan atas barang sewa.

Jasa

  • Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang diterapkan dalam syariat Islam.
  • Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, atau dengan kata lain mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan.
  • Al-Hawalah adalah akad perpindahan di mana dalam praktiknya memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
  • Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang sesuai dengan syariah.
  • Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan pinjaman, baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga (riba), atau secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong, bukan komersial.

Ada dua jenis perbankan yang cukup besar perannya di Indonesia saat ini yakni konvensional dan syariah. Keduanya terpisah karena memiliki sistem yang berbeda baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Jenis pinjaman konvensional pun berbeda dengan jenis pinjaman [[pranala nonaktif permanen] syariah]. Salah satu jenis pinjaman syariah yang cukup diminati adalah Murabahah. Apa itu Murabahah? Artikel berikut akan mengulas seputar Murabahah secara lengkap.

Sistem pinjaman di Bank Syariah yang tidak menggunakan bunga membuat bank memiliki berbagai produk pinjaman yang berbeda dengan bank konvensional, salah satunya adalah Murabahah. Murabahah adalah proses peminjaman dana berupa jual beli barang dengan keuntungan pihak bank berupa margin dari barang yang telah dibeli untuk dijual kepada peminjam yang dibutuhkannya. Proses ini dilakukan secara transparan atau dengan kata lain pihak peminjam mengetahui berapa margin yang dikenakan pihak bank Syariah kepada mereka., Adapun, berdasarkan pada jenis barang pengganti, jenis jual beli barang yang terjadi meliputi:

1. Al muqayadhah: bentuk awal dari transaksi, dimana barang ditukar dengan barang (barter).

2. Al mutlaq: bentuk jual beli biasa, dimana barang di tukar dengan uang.

3. Ash sharf: jual beli suatu mata uang dengan mata uang lainya.

Itulah ulasan mengenai salah satu produk pinjaman di Bank Syariah yakni Murabahah. Tertarik untuk mencobanya?

Pengelolaan dana

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.

Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.

Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.

Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu, sejumlah investor dari Negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.

Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama Islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang Islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat Islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.

Sistem perbankan syariah di Indonesia masih berinduk pada Bank Indonesia. Idealnya, pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia, yaitu Bank Indonesia Syariah.

Referensi

  1. ^ Rammal, H. G., Zurbruegg, R. (2007). Awareness of Islamic Banking Products Among Muslims: The Case of Australia. dalam Journal of Financial Services Marketing, 12(1), 65-74.
  2. ^ a b Saeed, Abdullah. (1996). Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden, Netherlands: E.J.Brill.
  3. ^ Subhi Y. Labib (1969), Capitalism in Medieval Islam dalam The Journal of Economic History, 29 (1), hlm. 79-96 [81, 83, 85, 90, 93, 96].
  4. ^ a b c Syafi'i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, penyunting Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 979-561-688-9.
  5. ^ http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp0816.pdf Islamic Banks and Financial Stability: An Empirical Analysis, hlm. 5
  6. ^ Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century, dalam Imtiyazuddin Ahmad (ed.) Islamic Banking and Finance: The Concept, The Practice and The Challenge (Plainfield: The Islamic Society of North America, 1999).
  7. ^ "Sharia calling". The Economist. 2009-11-12. 
  8. ^ Slater, Joanna (2007-01-10). "World's Assets Hit Record Value Of $140 Trillion". The Wall Street Journal. 
  9. ^ https://archive.is/20121206032354/www.iran-daily.com/1388/12/11/MainPaper/3630/Page/5/Index.htm
  10. ^ Latumaerissa, Julius. (2011). Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat. pp. 332. ISBN 978-979-061-188-7.
  11. ^ Machmud, Amir., Rukmana. (2010). Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga. pp. 21. ISBN 978-979-075-187-3.
  12. ^ Karim, Adiwarman. (2004). Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ISBN 979-421-997-5.
  13. ^ Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance (London: Muslim Trust Company, 1980).