Nyai Ageng Serang

Revisi sejak 14 September 2021 06.01 oleh Obets451 (bicara | kontrib)

Nyi Ageng Serang (1752-1828) (Hanacaraka: ꦚꦶ​ꦄꦒꦼꦁ​ꦱꦼꦫꦁ) atau dikenal juga sebagai Raden Ayu Serang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.[1] Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Nyi Ageng Serang

Kehidupan

Nyi (Nyai) Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.[1] Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.

Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, yaitu dengan Hamengku Buwono II dan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber Belanda. Dicap oleh Jenderal Hendrik Merkus De Kock, sebagai yang sungguh jahat, tidak berprinsip, dan kecanduan madat.[2] Sang Nyai juga memiliki seorang putri yang kelak akan menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon (1816-1824) setelah Inggris menyerang Kesultanan Yogyakarta. Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja.

Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tahun 1828 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.[3] Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Sebagai pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang cenderung hampir terlupakan. Mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Bagaimanapun warga Kulon Progo mendirikan monumen di tengah kota Wates untuk mengenangnya. Monumen tersebut berupa patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.

Perjuangan

Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.[4]

Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.[4]

Referensi

  1. ^ a b Carey, Peter; Houben, Vincent (2017). Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 30. ISBN 978-602-6208-16-3. 
  2. ^ Carey, Peter; Houben, Vincent (2017). Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 31. ISBN 978-602-6208-16-3. 
  3. ^ Carey, Peter; Houben, Vincent (2017). Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 35. ISBN 978-602-6208-16-3. 
  4. ^ a b Media, Kompas Cyber (2021-06-05). "Nyi Ageng Serang: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-17. 

Pranala luar

Nyi Ageng Serang