Sumatra

pulau di Indonesia
Revisi sejak 24 September 2021 14.32 oleh The cinnamon (bicara | kontrib) (Sejarah: mengembangkan ringkasan)

Sumatra (bentuk tidak baku: Sumatera)[1] adalah pulau keenam terbesar di dunia yang keseluruhan nya milik terletak di Indonesia, dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 57.940.351 (sensus 2018). Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti "tanah emas") dan bhūmi mālayu ("Tanah Melayu") untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau ini.

Sumatra
Nama lokal:

سومترا (Jawi)
Topografi Pulau Sumatra
Pulau Sumatra di Indonesia
Geografi
LokasiAsia Tenggara
Koordinat0°00′N 102°00′E / 0.000°N 102.000°E / 0.000; 102.000
KepulauanKepulauan Sunda Besar
Luas473.481 km2
Peringkat luaske-6
Titik tertinggiGunung Kerinci (3.805 m)
Pemerintahan
Negara Indonesia
Provinsi Aceh
 Sumatra Utara
 Sumatra Barat
 Riau
 Jambi
 Bengkulu
 Sumatra Selatan
 Kepulauan Bangka Belitung
 Lampung
 Kepulauan Riau
Kota terbesar Medan (2.479.560 (2018) jiwa)
Kependudukan
Penduduk57.940.351 jiwa (2018)
Kepadatan96 jiwa/km2
Kelompok etnikMelayu, Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, dan lain-lain
Info lainnya
Zona waktu
Peta

Etimologi

Asal nama Sumatra berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudra (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudra menjadi Shumathra,[2] dan kemudian menjadi Sumatra, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.[3]

Nama asli Sumatra, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah "Pulau Emas". Istilah Pulau Ameh (bahasa Minangkabau, berarti pulau emas) kita jumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatra. Seorang musafir dari Tiongkok yang bernama I-tsing (634-713) yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut Sumatra dengan nama chin-chou yang berarti "negeri emas".

Dalam berbagai prasasti, Sumatra disebut dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa ("pulau emas") atau Suwarnabhumi ("tanah emas"). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.

Para musafir Arab menyebut Sumatra dengan nama "Serendib" (tepatnya: "Suwarandib"), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Namun ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilangka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa.

Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatra sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatra, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Nusantara, terutama Sumatra. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatra. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan dia. Emas itu didapatkan dari negeri Ofir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatra (Gunung Ophir di Pasaman Barat, Sumatra Barat yang sekarang bernama Gunung Talamau?). Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatra dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ofir Nabi Sulaiman a.s.

Samudra menjadi Sumatra

Kata yang pertama kali menyebutkan nama Sumatra berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji Sumatrabhumi ("Raja tanah Sumatra"),[4] berdasarkan berita China ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan nama Sumatra berasal dari nama Samudra, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis.

Peralihan Samudra (nama kerajaan) menjadi Sumatra (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudra Hindia dan di sana tertulis pulau "Samatrah". Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama "Camatarra". Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama "Samatara", sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama "Samatra". Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu "Camatra", dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya "Camatora". Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: "Somatra". Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: "Samoterra", "Samotra", "Sumotra", bahkan "Zamatra" dan "Zamatora".

Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatra

Sejarah

Di Sidang Salai pada zaman megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, di mana masyarakatnya menggunakan peralatan dari batu yang berukuran besar. Secara etimologi, megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang artinya batu. Di SKB jaman tersebut di mulai dari tahun 200 SM berahir pada tahun 260 M terdapat peninggalan-peninggalan yang masih bisa kita jumpai hingga saat ini diantaranya Situs Batu Brak, Batu Kayangan, Batu Beghak, Batu Raja, Batu kebun tebbu, Batu penunjuk sakti, Batu jadi, Batu Selalau serta situs bebatuan yang berada penyambungan Bukit Sulang. Pada tahun 997 Masehi terdapat prasasti hujung langit terdapat tulisan kuno Aksara Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno terbutkan di dalam Prasasti ini pada baris ke-7 dari 16 baris salah satu tokoh nama raja Sidang Salai. Setelah masa kekhalifahan muncul terahir Sayyidina Husain cucu Rasulullah Saw, menyebar keseluruh dunia membawa agama islam disanalah antara lain sampailah ahlul bait ini Sayyidina Husain di Pasai dari Pasai salah satu namanya Sultan Iskandar Zulkarnain pada tahun sekitar abad ke-7 bulan Shafar 133 Hijriyah memiliki anak cucu berangkat menuju Pagaruyung sekitar bulan Muharram 133 H syiar islam setelah itu beranjak ke muko-muko Bengkulu diperkirakan pada Rajab 142 H dari muko-muko berangkat menuju Sidang Salai Kuno mendirikan Kerajaan Sidang Salai pada bulan Syawwal 142 Hijriyah. Pada abad ke-13 rajab 688 hijriyah empat umpu melakukan penaklukan Sidang Selai Kuno. Pada tahun 1812 Masehi Sultan Palembang dengan tujuh kappal di buang ke ternate oleh belanda seluruhnya termasuk anak cucu nya tidak ada yang ditinggalkan di berangkatkan, kappal ke-1 berisikan raja keluarga dan kerabat-kerabatnya, kapal ke-2 punggawa pendekar-pendekar kerajaan, kapal ke-3 Juru masak, kapal ke-4 para penari-penari kerajaan dan sebagainya, kapal ke-5 bahan makanan buah-buahan sayuran dan sebagainya, kapal ke-6 para kiyai-kiyai kerajaan, kapal ke-7 pejabat-pejabat kerajaan, pada jama ini pula terjadilah Traktat London, tukar guling kekuasaan Inggris dan Belanda, saat pemerintahan colonial belanda menggantikan Inggris untuk berkuasa di Wilayah Keresidenan Bengkulu-Inggris termasuk wilayah pesisir keroi.Pada tanggal 25 Desember 1947 pernah terbentuknya Negara Sumatera Timur hasil dari RIS Belanda. Kemudian bergabung kembali dengan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950.

Sumatera Timur dipimpin oleh Presiden Dr. Tengku Mansoer, yang menguasai wilayah -wilayah berikut:

  1. Kabupaten Langkat
  2. Kesultanan Deli
  3. Kesultanan Serdang
  4. Serdang Begadai
  5. Karo
  6. Kabupaten Simalungan
  7. Kabupaten Batubara
  8. Asahan
  9. Kabupaten Siak
  10. Tamian
  11. Pelalawan
  12. Indragiri
  13. Riau-Lingga

Penduduk

Secara umum, pulau Sumatra didiami oleh bangsa Melayu, yang terbagi ke dalam beberapa suku/subsuku. Suku-suku besar lainnya selain Melayu ialah Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, dan suku-suku lainnya. Di wilayah pesisir timur Sumatra dan di beberapa kota-kota besar seperti Medan, Batam, Palembang, Pekanbaru, dan Bandar Lampung, banyak bermukim etnis Tionghoa dan India. Mata pencaharian penduduk Sumatra sebagian besar sebagai petani, nelayan, dan pedagang.

Penduduk Sumatra mayoritas beragama Islam dan sebagian kecil merupakan penganut ajaran Kristen Protestan, terutama di wilayah Tapanuli dan Toba-Samosir, Sumatra Utara. Di wilayah perkotaan, seperti Medan, Pekanbaru, Batam, Pangkal Pinang, Palembang, dan Bandar Lampung dijumpai beberapa penganut Buddha.

Transportasi

Kota-kota di pulau Sumatra dihubungkan oleh empat ruas jalan lintas, yakni lintas tengah, lintas timur, lintas barat dan lintas pantai timur yang melintang dari barat laut - tenggara Sumatra. Selain itu terdapat pula ruas jalan yang melintang dari barat - timur, seperti ruas Bengkulu - Palembang, Padang - Jambi, serta Padang - Dumai - Medan.

Di beberapa bagian pulau Sumatra, kereta api merupakan sarana transportasi alternatif. Di bagian selatan, jalur kereta api bermula dari Pelabuhan Panjang (Lampung) hingga Lubuk Linggau dan Palembang (Sumatra Selatan). Di tengah pulau Sumatra, jalur kereta api hanya terdapat di Sumatra Barat. Jalur ini menghubungkan antara kota Padang dengan Sawah Lunto dan kota Padang dengan kota Pariaman. Semasa kolonial Belanda hingga tahun 2001, jalur Padang - Sawah Lunto dipergunakan untuk pengangkutan batu bara. Tetapi semenjak cadangan batu bara di Ombilin mulai menipis, maka jalur ini tidak berfungsi lagi. Sejak akhir tahun 2006, pemerintah provinsi Sumatra Barat, kembali mengaktifkan jalur ini sebagai jalur kereta wisata.

Di utara Sumatra, jalur kereta api membentang dari kota Medan sampai ke kota Rantau Prapat. Pada jalur ini, kereta api dipergunakan sebagai sarana pengangkutan kelapa sawit dan penumpang.

Penerbangan internasional dilayani dari Banda Aceh (Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda), Medan (Bandar Udara Internasional Kuala Namu), Padang (Bandara Internasional Minangkabau, Batam (Bandar Udara Internasional Hang Nadim), Tanjungpinang (Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah) dan Palembang (Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II). Sedangkan pelabuhan kapal laut ada di Belawan (Medan), Teluk Bayur (Padang), Batam Centre (Batam), Bulang Linggi (Bintan), Sri Bintan Pura (Tanjungpinang) dan Bakauheni (Lampung).

Ekonomi

Pulau Sumatra merupakan pulau yang kaya dengan hasil bumi. Dari lima provinsi kaya di Indonesia, tiga provinsi terdapat di pulau Sumatra, yaitu provinsi Aceh, Riau dan Sumatra Selatan. Hasil-hasil utama pulau Sumatra ialah kelapa sawit, tembakau, minyak bumi, timah, bauksit, batu bara dan gas alam. Hasil-hasil bumi tersebut sebagian besar diolah oleh perusahaan-perusahaan asing.

Tempat-tempat penghasil barang tambang ialah:

  • Arun (Aceh), menghasilkan gas alam.
  • Pangkalan Brandan (Sumatra Utara), menghasilkan minyak bumi
  • Duri, Dumai, dan Bengkalis (Riau), menghasilkan minyak bumi.
  • Tanjung Enim (Sumatra Selatan), menghasilkan batu bara.
  • Lahat (Sumatra Selatan), menghasilkan batu bara.
  • Plaju dan Sungai Gerong (Sumatra Selatan), menghasilkan minyak bumi.
  • Tanjungpinang (Kepulauan Riau), menghasilkan bauksit.
  • Natuna dan Kepulauan Anambas (Kepulauan Riau), menghasilkan minyak bumi dan gas alam.
  • Singkep (Kepulauan Riau), menghasilkan timah.
  • Karimun (Kepulauan Riau), menghasilkan granit.
  • Indarung (Sumatra Barat), menghasilkan semen.
  • Sawahlunto (Sumatra Barat), menghasilkan batubara.

Beberapa kota di pulau Sumatra, juga merupakan kota perniagaan yang cukup penting. Medan kota terbesar di pulau Sumatra, merupakan kota perniagaan utama di pulau ini. Banyak perusahaan-perusahaan besar nasional yang berkantor pusat di sini.

Selain kota Medan, kota-kota besar lain di pulau Sumatra adalah:

  1. Palembang, Sumatra Selatan
  2. Bandar Lampung, Lampung
  3. Pekanbaru, Riau
  4. Batam, Kepulauan Riau
  5. Padang, Sumatra Barat

Geografis

Pulau Sumatra terletak di bagian barat gugusan kepulauan Nusantara. Di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia. Di sebelah timur pulau, banyak dijumpai rawa yang dialiri oleh sungai-sungai besar yang bermuara di sana, antara lain Asahan (Sumatra Utara), Sungai Siak (Riau), Kampar, Inderagiri (Sumatra Barat, Riau), Batang Hari (Sumatra Barat, Jambi), Musi, Ogan, Lematang, Komering (Sumatra Selatan), Way Sekampung, Way Tulangbawang, Way Seputih dan Way Mesuji (Lampung). Sementara beberapa sungai yang bermuara ke pesisir barat pulau Sumatra di antaranya Batang Tarusan (Sumatra Barat) dan Ketahun (Bengkulu).

Di bagian barat pulau, terbentang pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke arah tenggara dengan panjang lebih kurang 1500 km. Sepanjang bukit barisan tersebut terdapat puluhan gunung, baik yang tidak aktif maupun gunung berapi yang masih aktif, seperti Geureudong (Aceh), Sinabung (Sumatra Utara), Marapi dan Talang (Sumatra Barat), Gunung Dempo (Sumatra Selatan), Gunung Kaba (Bengkulu), dan Kerinci (Sumatra Barat, Jambi). Di pulau Sumatra juga terdapat beberapa danau, di antaranya Danau Laut Tawar (Aceh), Danau Toba (Sumatra Utara), Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas, Danau Dibawah, Danau Talang (Sumatra Barat), Danau Kerinci (Jambi) dan Danau Ranau (Lampung dan Sumatra Selatan).

Gunung-gunung di Sumatra yang berketinggian di atas 2.500 meter dpl

Administrasi

Provinsi

Pemerintahan di Sumatra dibagi menjadi 10 provinsi.

Provinsi Ibu kota Gubernur Luas Wilayah
(km2)
Populasi
(2018)
Kabupaten/
Kota
Logo Peta
Aceh Banda Aceh Nova Iriansyah 57.956 5.184.003 23
 
 
Sumatra Utara Medan Edy Rahmayadi 72.981 14.753.286 33
 
 
Sumatra Barat Padang Mahyeldi Ansharullah 42.012 5.511.246 19
 
 
Riau Pekanbaru Syamsuar 87.024 6.013.651 12
 
 
Kepulauan Riau Tanjung Pinang Ansar Ahmad 8.256 1.896.103 7
 
 
Jambi Jambi Al Haris 50.058 3.477.124 11
 
 
Bengkulu Bengkulu Rohidin Mersyah 19.919 1.975.845 10
 
 
Sumatra Selatan Palembang Herman Deru 91.592 8.182.597 17
 
 
Kepulauan Bangka Belitung Pangkal Pinang Erzaldi Rosman Djohan 16.424 1.349.121 7
 
 
Lampung Bandar Lampung Arinal Djunaidi 34.632 9.597.375 15
 
 

Kota besar

Berikut 15 kota besar di Sumatra berdasarkan jumlah populasi tahun 2019 (Kemendagri) .

No. Kota Provinsi Populasi
(2019)
Tanggal peresmian
1 Medan Sumatra Utara 2.949.830 1 Juli 1590; 434 tahun lalu (1590-07-01)
2 Palembang Sumatra Selatan 1.573.898 17 Juni 683; 1341 tahun lalu (683-06-17)
3 Bandar Lampung Lampung 1.176.677 17 Juni 1682; 342 tahun lalu (1682-06-17)
4 Batam Kepulauan Riau 1.063.941 18 Desember 1829; 194 tahun lalu (1829-12-18)
5 Pekanbaru Riau 900.465 23 Juni 1784; 240 tahun lalu (1784-06-23)
6 Padang Sumatra Barat 887.675 7 Agustus 1669; 355 tahun lalu (1669-08-07)
7 Jambi Jambi 610.854 17 Mei 1946; 78 tahun lalu (1946-05-17)
8 Bengkulu Bengkulu 366.435 18 Maret 1719; 305 tahun lalu (1719-03-18)
9 Dumai Riau 350,678 20 April 1999; 25 tahun lalu (1999-04-20)
10 Pematangsiantar Sumatra Utara 282.885 24 April 1871; 153 tahun lalu (1871-04-24)
11 Binjai Sumatra Utara 282.415 17 Mei 1872; 152 tahun lalu (1872-05-17)
12 Banda Aceh Aceh 240.462 22 April 1205; 819 tahun lalu (1205-04-22)
13 Lubuklinggau Sumatra Selatan 226,002 21 Juni 2001; 23 tahun lalu (2001-06-21)
14 Tanjungbalai Sumatra Utara 167.012 27 Desember 1620; 403 tahun lalu (1620-12-27)
15 Tebing Tinggi Sumatra Utara 156.815 1 Juli 1917; 107 tahun lalu (1917-07-01)

Kota inti menurut jumlah penduduk

Urutan Kota Kawasan Metropolitan Sensus 2018
BPS
Data 2018
Kemendagri
1. Medan Mebidangro 2.297.610 2.479.560
2. Palembang Patungraya Agung 1.455.284 1.548.064
3. Bandar Lampung   881.801 1.166.761
4. Batam   944.285 1.029.808
5. Padang   833.562 872.271

Bahasa


Budaya


Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. 
  2. ^ Hamka (1950) Sedjarah Islam di Sumatera Medan : Pustaka Nasional. hal 7
  3. ^ Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.
  4. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 175. 

Pranala luar