Sumatra
Sumatra (bentuk tidak baku: Sumatera)[1] adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 57.940.351 (sensus 2018). Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti "tanah emas") dan bhūmi mālayu ("Tanah Melayu") untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau ini.
Nama lokal: | |
---|---|
Geografi | |
Lokasi | Asia Tenggara |
Koordinat | 0°00′N 102°00′E / 0.000°N 102.000°E |
Kepulauan | Kepulauan Sunda Besar |
Luas | 473.481 km2 |
Peringkat luas | ke-6 |
Titik tertinggi | Gunung Kerinci (3.805 m) |
Pemerintahan | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatra Selatan Kepulauan Bangka Belitung Lampung Kepulauan Riau |
Kota terbesar | Medan (2.479.560 (2018) jiwa) |
Kependudukan | |
Penduduk | 57.940.351 jiwa (2018) |
Kepadatan | 96 jiwa/km2 |
Kelompok etnik | Melayu, Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, dan lain-lain |
Info lainnya | |
Zona waktu | |
Etimologi
Asal nama Sumatra berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudra (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudra menjadi Shumathra,[2] dan kemudian menjadi Sumatra, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.[3]
Nama asli Sumatra, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah "Pulau Emas". Istilah Pulau Ameh (bahasa Minangkabau, berarti pulau emas) kita jumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatra. Seorang musafir dari Tiongkok yang bernama I-tsing (634-713) yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut Sumatra dengan nama chin-chou yang berarti "negeri emas".
Dalam berbagai prasasti, Sumatra disebut dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa ("pulau emas") atau Suwarnabhumi ("tanah emas"). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.
Para musafir Arab menyebut Sumatra dengan nama "Serendib" (tepatnya: "Suwarandib"), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Namun ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilangka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatra sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatra, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.
Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Nusantara, terutama Sumatra. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatra. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.
Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan dia. Emas itu didapatkan dari negeri Ofir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).
Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatra (Gunung Ophir di Pasaman Barat, Sumatra Barat yang sekarang bernama Gunung Talamau?). Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatra dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ofir Nabi Sulaiman a.s.
Samudra menjadi Sumatra
Kata yang pertama kali menyebutkan nama Sumatra berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji Sumatrabhumi ("Raja tanah Sumatra"),[4] berdasarkan berita China ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan nama Sumatra berasal dari nama Samudra, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis.
Peralihan Samudra (nama kerajaan) menjadi Sumatra (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudra Hindia dan di sana tertulis pulau "Samatrah". Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama "Camatarra". Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama "Samatara", sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama "Samatra". Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu "Camatra", dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya "Camatora". Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: "Somatra". Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: "Samoterra", "Samotra", "Sumotra", bahkan "Zamatra" dan "Zamatora".
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatra
Sejarah
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Pada pulau Perca di kutip dari hasil penelitian Universitas Gajah Mada Yogyakarta PPPTL - UGM tahun 1980 No 119 tentang Karisma Tokoh Penguasa Indonesia. Didalam kelompok karya sejarah, serta kitab undang-undang lebih banyak menggunakan adat dan tata kemasyarakatan yang ada pada waktu dahulu, didalam naskah sastra lama tertulis penampilan peran raja sebagai penguasa yang hebat, besar dan berkuasa pada umumnya penunjukan kehebatan raja mengacu pada tokoh Iskandar Zulkarnain (Sultan Iskandar Zulkarnain), kenyataan itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dahulu menilai raja IZ sebagai raja yang hebat secara luas terdapat dalam teks-teks sejarah dan undang-undang, ialah teks-teks yang menampilkan peran seorang Sultan atau sebutan lainnya Raja. Sejarah yang di anggap penting karena memberikan gambaran tentang masyarakat lama, serta suasana istana raja adalah sejarah melayu. Dikatakan bahwasanya sejarah melayu dapat dipergunakan untuk menyusun sejarah kemasyarakatan masyarakat tradisional. Didalam sejarah melayu tersebutkan bahwasanya Sultan dengan sebutan lainya raja-raja melayu adalah keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain seperti bahwasanya bangsa manusia berasal dari pada anak cucu Sultan Iskandar Zulkarnainnisab manusia dari pada raja nusirwan, raja masyrik dan magrib serta pancaran manusia dari pada raja sulaiman 'alaihi's, tentang raja aceh Sultan perkasa alam Johan berdaulat berdaulat dari pihak asal nasab, sejarah bagi raja-raja minangkabau menyebut bahwasanya Sultan Iskandar Zulkarnain menurunkan Raja-raja Minangkabau, Sidang Salai. Didalam hasil penelitian PPPTL UGM tahun 1980-1981 no. 119, hasil Kajian alternatif Arkeologi, Arkeologi Sekarang membuktikan IZ adalah anak Adam yang bungsu hasil perkawinannya dengan bidadari dari surga. Keturunan putera tersebut adalah putra pertama Sultan Suleiman (Raja Alif) bertahta di Kesultanan Rum pada tahun 1077 Masehi, Putra kedua Sutan Maharaja Depang bermukim di berangkat menuju Tiongkok Daratan, yang ketiga Maharaja Diraja Umpu Ratu Mumelar bertahta di pulau Perca. di dalam teks-teks Sultan Iskandar Zulkarnain muncul mengisahkan raja-raja Banjar, Banjar Suryanata. dikatakan bahwa IZ raja yang terbesar di Dunia. Hikayat banjar Iskandar muncul sebagai penurun raja-raja banjar dari garis ayah maka tokoh pembantu ialah Khidlir berperan sebagai menurunkan raja-raja banjar suryanata dari garis ibu. Terdapat pada undang-undang melayu penurun raja-raja menyampaikan "Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan Adat Istiadat ini turun temurun dari pada jaman Sultan Iskandar Zulkarnain yang memerintah segala manusia datang kepada zaman puteranya, Sultan Iskandar Syah, raja yang pertama menyusup ke Nusa Tenggara Timur, ia lah yang bergelar Sultan Mahmud Syah zillullah fi'il'alam." Jangkauan tradisi IZ sampai juga di Jawa, meskipun tidak sepopuler seperti dalam sastra daerah seberang.
Di Sidang Salai pada zaman megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, di mana masyarakatnya menggunakan peralatan dari batu yang berukuran besar. Secara etimologi, megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang artinya batu. Di SKB (Sindang Sulai) jaman tersebut di mulai dari tahun 200 Sebelum Masehi berahir pada tahun 260 Masehi terdapat peninggalan-peninggalan yang masih bisa kita jumpai hingga saat ini diantaranya Situs Batu Brak, Batu Kayangan, Batu Beghak, Batu Raja, Batu kebun tebbu, Batu penunjuk sakti, Batu jadi, Batu Selalau serta situs bebatuan yang berada di penyambungan Bukit Sulang (Hematang Sulang). Pada tahun 997 Masehi terdapat prasasti hujung langit terdapat tulisan kuno Aksara Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno tertulis di dalam Prasasti ini pada baris ke-7 dari 16 baris salah satu tokoh nama raja Sidang Salai. Setelah masa kekhalifahan muncul yang terahir adalah Sayyidina Husain cucu Rasulullah SAW, menyebar keseluruh dunia membawa agama islam disanalah antara lain sampailah ahlul bait ini Sayyidina Husain di Pasai dari Pasai salah satu namanya Sultan Iskandar Zulkarnain pada tahun sekitar abad ke-7 memiliki anak cucu berangkat menuju Pagaruyung sekitar tanggal 3 bulan Muharram 136 Hijriyah syiar islam setelah itu beranjak ke mukomuko Bengkulu diperkirakan pada Rajab 142 H dari mukomuko berangkat menuju Sidang Salai Kuno mendirikan Kerajaan Sidang Salai pada bulan Syawwal 142 Hijriyah. Pada abad ke-13 rajab 688 hijriyah empat umpu serta pendahulunya melakukan penaklukan Kerajaan Sidang Salai Kuno yang bersukukan tumi menganut kepercayaan beragama corak hindu menganut animisme. Selanjutnya disekitaran tahun 1812 Masehi Sultan Kesultanan Palembang dengan tujuh kapal di buang ke Ternate oleh Belanda seluruhnya termasuk anak cucu nya tidak ada yang ditinggalkan di berangkatkan semua kappal ke-1 berisikan raja keluarga dan kerabat-kerabatnya, kapal ke-2 punggawa pendekar-pendekar kerajaan, kapal ke-3 Juru masak, kapal ke-4 para penari-penari kerajaan dan sebagainya, kapal ke-5 bahan makanan buah-buahan sayuran dan sebagainya, kapal ke-6 para kiyai-kiyai kerajaan, kapal ke-7 pejabat-pejabat kerajaan, pada jama ini pula terjadilah Traktat London, tukar guling kekuasaan Inggris dan Belanda, saat pemerintahan colonial belanda menggantikan Inggris untuk berkuasa di Wilayah Keresidenan Bengkulu-Inggris termasuk wilayah pesisir krui.
Setelah Belanda dapat menguasai daerah Sumatera Timur melalui perjanjian dengan raja-raja yang berbentuk kontrak yang disebut dengan Lange Verklaring (Perjanjian Panjang) dan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) maka pada tanggal 1 Maret 1887 Belanda membentuk daerah Sumatera Timur menjadi daerah Kresidenan yang sebelumnya termasuk daerah Kresidenan Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis (Riau). Kresidenan Sumatera Timur dipimpin oleh Seorang Residen bangsa Belanda, berpusat di Medan yang terdiri atas 4 daerah afdeling yaitu: Afdeling Deli dan Serdang, Afdeling Simalungun dan Karo Landen, Afdeling Langkat, dan Afdeling Asahan.[5]
Penduduk
Secara umum, pulau Sumatra didiami oleh bangsa Melayu, yang terbagi ke dalam beberapa suku/subsuku. Suku-suku besar lainnya selain Melayu ialah Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, dan suku-suku lainnya. Di wilayah pesisir timur Sumatra dan di beberapa kota-kota besar seperti Medan, Batam, Palembang, Pekanbaru, dan Bandar Lampung, banyak bermukim etnis Tionghoa dan India. Mata pencaharian penduduk Sumatra sebagian besar sebagai petani, nelayan, dan pedagang.
Penduduk Sumatra mayoritas beragama Islam dan sebagian kecil merupakan penganut ajaran Kristen Protestan, terutama di wilayah Tapanuli dan Toba-Samosir, Sumatra Utara. Di wilayah perkotaan, seperti Medan, Pekanbaru, Batam, Pangkal Pinang, Palembang, dan Bandar Lampung dijumpai beberapa penganut Buddha.
Transportasi
Kota-kota di pulau Sumatra dihubungkan oleh empat ruas jalan lintas, yakni lintas tengah, lintas timur, lintas barat dan lintas pantai timur yang melintang dari barat laut - tenggara Sumatra. Selain itu terdapat pula ruas jalan yang melintang dari barat - timur, seperti ruas Bengkulu - Palembang, Padang - Jambi, serta Padang - Dumai - Medan.
Di beberapa bagian pulau Sumatra, kereta api merupakan sarana transportasi alternatif. Di bagian selatan, jalur kereta api bermula dari Pelabuhan Panjang (Lampung) hingga Lubuk Linggau dan Palembang (Sumatra Selatan). Di tengah pulau Sumatra, jalur kereta api hanya terdapat di Sumatra Barat. Jalur ini menghubungkan antara kota Padang dengan Sawah Lunto dan kota Padang dengan kota Pariaman. Semasa kolonial Belanda hingga tahun 2001, jalur Padang - Sawah Lunto dipergunakan untuk pengangkutan batu bara. Tetapi semenjak cadangan batu bara di Ombilin mulai menipis, maka jalur ini tidak berfungsi lagi. Sejak akhir tahun 2006, pemerintah provinsi Sumatra Barat, kembali mengaktifkan jalur ini sebagai jalur kereta wisata.
Di utara Sumatra, jalur kereta api membentang dari kota Medan sampai ke kota Rantau Prapat. Pada jalur ini, kereta api dipergunakan sebagai sarana pengangkutan kelapa sawit dan penumpang.
Penerbangan internasional dilayani dari Banda Aceh (Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda), Medan (Bandar Udara Internasional Kuala Namu), Padang (Bandara Internasional Minangkabau, Batam (Bandar Udara Internasional Hang Nadim), Tanjungpinang (Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah) dan Palembang (Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II). Sedangkan pelabuhan kapal laut ada di Belawan (Medan), Teluk Bayur (Padang), Batam Centre (Batam), Bulang Linggi (Bintan), Sri Bintan Pura (Tanjungpinang) dan Bakauheni (Lampung).
Ekonomi
Pulau Sumatra merupakan pulau yang kaya dengan hasil bumi. Dari lima provinsi kaya di Indonesia, tiga provinsi terdapat di pulau Sumatra, yaitu provinsi Aceh, Riau dan Sumatra Selatan. Hasil-hasil utama pulau Sumatra ialah kelapa sawit, tembakau, minyak bumi, timah, bauksit, batu bara dan gas alam. Hasil-hasil bumi tersebut sebagian besar diolah oleh perusahaan-perusahaan asing.
Tempat-tempat penghasil barang tambang ialah:
- Arun (Aceh), menghasilkan gas alam.
- Pangkalan Brandan (Sumatra Utara), menghasilkan minyak bumi
- Duri, Dumai, dan Bengkalis (Riau), menghasilkan minyak bumi.
- Tanjung Enim (Sumatra Selatan), menghasilkan batu bara.
- Lahat (Sumatra Selatan), menghasilkan batu bara.
- Plaju dan Sungai Gerong (Sumatra Selatan), menghasilkan minyak bumi.
- Tanjungpinang (Kepulauan Riau), menghasilkan bauksit.
- Natuna dan Kepulauan Anambas (Kepulauan Riau), menghasilkan minyak bumi dan gas alam.
- Singkep (Kepulauan Riau), menghasilkan timah.
- Karimun (Kepulauan Riau), menghasilkan granit.
- Indarung (Sumatra Barat), menghasilkan semen.
- Sawahlunto (Sumatra Barat), menghasilkan batubara.
Beberapa kota di pulau Sumatra, juga merupakan kota perniagaan yang cukup penting. Medan kota terbesar di pulau Sumatra, merupakan kota perniagaan utama di pulau ini. Banyak perusahaan-perusahaan besar nasional yang berkantor pusat di sini.
Selain kota Medan, kota-kota besar lain di pulau Sumatra adalah:
Geografis
Pulau Sumatra terletak di bagian barat gugusan kepulauan Nusantara. Di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia. Di sebelah timur pulau, banyak dijumpai rawa yang dialiri oleh sungai-sungai besar yang bermuara di sana, antara lain Asahan (Sumatra Utara), Sungai Siak (Riau), Kampar, Inderagiri (Sumatra Barat, Riau), Batang Hari (Sumatra Barat, Jambi), Musi, Ogan, Lematang, Komering (Sumatra Selatan), Way Sekampung, Way Tulangbawang, Way Seputih dan Way Mesuji (Lampung). Sementara beberapa sungai yang bermuara ke pesisir barat pulau Sumatra di antaranya Batang Tarusan (Sumatra Barat) dan Ketahun (Bengkulu).
Di bagian barat pulau, terbentang pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke arah tenggara dengan panjang lebih kurang 1500 km. Sepanjang bukit barisan tersebut terdapat puluhan gunung, baik yang tidak aktif maupun gunung berapi yang masih aktif, seperti Geureudong (Aceh), Sinabung (Sumatra Utara), Marapi dan Talang (Sumatra Barat), Gunung Dempo (Sumatra Selatan), Gunung Kaba (Bengkulu), dan Kerinci (Sumatra Barat, Jambi). Di pulau Sumatra juga terdapat beberapa danau, di antaranya Danau Laut Tawar (Aceh), Danau Toba (Sumatra Utara), Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas, Danau Dibawah, Danau Talang (Sumatra Barat), Danau Kerinci (Jambi) dan Danau Ranau (Lampung dan Sumatra Selatan).
Gunung-gunung di Sumatra yang berketinggian di atas 2.500 meter dpl
- Gunung Bandahara, Aceh (3.030 m)
- Gunung Dempo, Sumatra Selatan (3.159 m)
- Gunung Geureudong, Aceh (2.885 m)
- Gunung Kerinci, Jambi (3.805 m)
- Gunung Leuser, Aceh (3.172 m)
- Gunung Marapi, Sumatra Barat (2.891 m)
- Gunung Perkison, Aceh (2.828 m)
- Gunung Singgalang, Sumatra Barat (2.877 m)
- Gunung Talamau, Sumatra Barat (2.912 m)
- Gunung Talang, Sumatra Barat (2.597 m)
Administrasi
Provinsi
Pemerintahan di Sumatra dibagi menjadi 10 provinsi.
Provinsi | Ibu kota | Gubernur | Luas Wilayah (km2) |
Populasi (2018) |
Kabupaten/ Kota |
Logo | Peta |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Aceh | Banda Aceh | Nova Iriansyah | 57.956 | 5.184.003 | 23 | ||
Sumatra Utara | Medan | Edy Rahmayadi | 72.981 | 14.753.286 | 33 | ||
Sumatra Barat | Padang | Mahyeldi Ansharullah | 42.012 | 5.511.246 | 19 | ||
Riau | Pekanbaru | Syamsuar | 87.024 | 6.013.651 | 12 | ||
Kepulauan Riau | Tanjung Pinang | Ansar Ahmad | 8.256 | 1.896.103 | 7 | ||
Jambi | Jambi | Al Haris | 50.058 | 3.477.124 | 11 | ||
Bengkulu | Bengkulu | Rohidin Mersyah | 19.919 | 1.975.845 | 10 | ||
Sumatra Selatan | Palembang | Herman Deru | 91.592 | 8.182.597 | 17 | ||
Kepulauan Bangka Belitung | Pangkal Pinang | Erzaldi Rosman Djohan | 16.424 | 1.349.121 | 7 | ||
Lampung | Bandar Lampung | Arinal Djunaidi | 34.632 | 9.597.375 | 15 |
Kota besar
Berikut 15 kota besar di Sumatra berdasarkan jumlah populasi tahun 2019 (Kemendagri) .
No. | Kota | Provinsi | Populasi (2019) |
Tanggal peresmian |
---|---|---|---|---|
1 | Medan | Sumatra Utara | 2.949.830 | 1 Juli 1590 |
2 | Palembang | Sumatra Selatan | 1.573.898 | 17 Juni 683 |
3 | Bandar Lampung | Lampung | 1.176.677 | 17 Juni 1682 |
4 | Batam | Kepulauan Riau | 1.063.941 | 18 Desember 1829 |
5 | Pekanbaru | Riau | 900.465 | 23 Juni 1784 |
6 | Padang | Sumatra Barat | 887.675 | 7 Agustus 1669 |
7 | Jambi | Jambi | 610.854 | 17 Mei 1946 |
8 | Bengkulu | Bengkulu | 366.435 | 18 Maret 1719 |
9 | Dumai | Riau | 350,678 | 20 April 1999 |
10 | Pematangsiantar | Sumatra Utara | 282.885 | 24 April 1871 |
11 | Binjai | Sumatra Utara | 282.415 | 17 Mei 1872 |
12 | Banda Aceh | Aceh | 240.462 | 22 April 1205 |
13 | Lubuklinggau | Sumatra Selatan | 226,002 | 21 Juni 2001 |
14 | Tanjungbalai | Sumatra Utara | 167.012 | 27 Desember 1620 |
15 | Tebing Tinggi | Sumatra Utara | 156.815 | 1 Juli 1917 |
Kota inti menurut jumlah penduduk
Urutan | Kota | Kawasan Metropolitan | Sensus 2018 BPS |
Data 2018 Kemendagri |
---|---|---|---|---|
1. | Medan | Mebidangro | 2.297.610 | 2.479.560 |
2. | Palembang | Patungraya Agung | 1.455.284 | 1.548.064 |
3. | Bandar Lampung | 881.801 | 1.166.761 | |
4. | Batam | 944.285 | 1.029.808 | |
5. | Padang | 833.562 | 872.271 |
Bahasa
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Budaya
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Lihat pula
Referensi
- ^ "Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id.
- ^ Hamka (1950) Sedjarah Islam di Sumatera Medan : Pustaka Nasional. hal 7
- ^ Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.
- ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 175.
- ^ "Website Kabupaten Karo - Masa Penjajahan Belanda". web.karokab.go.id. Diakses tanggal 2021-09-26.
Pranala luar
- (Inggris) Sejarah tentang Sumatra