Muhammad I dari Granada
Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf bin Nasr (1195-1273), juga dikenal sebagai Ibnu al-Aḥmar (bahasa Arab: ابن الأحمر) dan dijuluki al-Ghālib billāh ("Sang Pemenang karena Allah"),[2][3] adalah penguasa pertama Kesultanan Granada, negara Muslim merdeka terakhir di Spanyol, dan pendiri dinasti Banu Nashri. Pada masa hidupnya, kerajaan-kerajaan Kristen Iberia (terutama Portugal, Kastilia, dan Aragon) melakukan perluasan ke wilayah Islam di Semenanjung Iberia, yang disebut Al-Andalus. Muhammad bin Yusuf awalnya berkuasa di kota kelahirannya, Arjona pada 1232 ketika ia memberontak terhadap penguasa de facto Al-Andalus, Ibnu Hud. Selama pemberontakan ini, ia berhasil menguasai Kordoba dan Sevilla untuk sementara waktu, sebelum kedua kota tersebut kembali ke tangan Ibnu Hud. Ia lalu dikalahkan Ibnu Hud, tetapi mempertahankan kekuasaannya atas Arjona dan Jaén sebagai bawahan Ibnu Hud. Pada 1236, dia kembali menentang Ibnu Hud dan membantu Fernando III dari Kastilia mengambil alih Kordoba. Pada tahun-tahun berikutnya, Muhammad berhasil mengambil alih kekuasaan di kota-kota di wilayah selatan Spanyol, termasuk Granada (1237), Almeria (1238), dan Malaga (1239) melalui manuver-manuver politik tanpa peperangan. Pada tahun 1244, kota kelahirannya, Arjona, direbut Kastilia. Pada 1246, dia kembali dikalahkan Kastilia di Jaén, sehingga ia harus menyerahkan kota tersebut dan menjadi vasal Fernando sebagai syarat perjanjian damai.
Muhammad I | |
---|---|
Sultan Granada1 | |
Berkuasa | 1232 (sebagai pemimpin Arjona) – 1273 |
Penerus | Muhammad II |
Kelahiran | Muhammad bin Yusuf 1195 Arjona |
Kematian | 22 Januari 1273 Granada |
Keturunan | Muhammad II; lainnya |
Wangsa | Banu Nashri |
Agama | Islam |
Catatan | |
1Selain sultan, ia juga menggunakan gelar raja dan amir. Gelar-gelar ini semuanya digunakan di dokumen peninggalan sejarah maupun di buku-buku sejarah sekarang.[1] |
Dalam 18 tahun berikutnya, Muhammad memperkuat kekuasaannya dengan mempertahankan hubungan damai dengan Kastilia. Pada 1248, ia bahkan membantu kerajaan Kristen tersebut mengambil alih Sevilla dari kekuasaan Islam. Namun pada tahun 1264, ia berbalik melawan Kastilia dan membantu pemberontakan penduduk Muslim di wilayah yang baru dikuasai Kastilia. Pemberontakan tersebut gagal, dan pada tahun 1266 sekutunya di Málaga, Banu Asyqilula, memberontak melawan Muhammad I dan meminta bantuan raja Kastilia yang baru, Alfonso X. Kastilia mengirimkan pasukan, tetapi Muhammad berhasil mengajak pemimpin pasukan tersebut, Nuño Gonzalez de Lara, untuk berbalik melawan Alfonso. Konflik dengan Kastilia dan Banu Asyqilula masih belum terselesaikan hingga tahun 1273, ketika Muhammad meninggal setelah jatuh dari kudanya. Ia digantikan oleh putranya, Muhammad II.
Peninggalan Muhammad I adalah kerajaan yang ia didirikan, yang terus bertahan di bawah dinasti Banu Nashri hingga dianeksasi Kastilia pada 1492. Selain itu, ia juga memulai pembangunan Alhambra di Granada, yang menjadi tempat kediamannya. Sultan-sultan Granada selanjutnya terus tinggal di Granada dan meneruskan pembangunan Alhambra sebagai sebuah kompleks istana dan benteng pertahanan yang besar. Hingga sekarang Alhambra tetap berdiri sebagai peninggalan Kesultanan Granada dan menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.
Asal muasal dan awal kehidupan
Muhammad bin Yusuf lahir pada tahun 1195[4] (595 H)[5] di kota Arjona, yang pada saat itu adalah kota kecil di perbatasan daerah Muslim sebelah selatan Sungai Guadalquivir,[6] yang sekarang menjadi bagian dari provinsi Jaén di Spanyol. Ia berasal dari keluarga tanpa status sosial tinggi dan menurut Estoria de España pada mulanya ia "tidak memiliki pekerjaan lain selain menggiring lembu ke ladang dan membajak".[7] Menurut Ibnu al-Khatib, sejarawan dan wazir Granada abad ke-14, keluarganya adalah keturunan Sa'ad bin Ubadah, seorang sahabat Nabi Muhammad dari suku Bani Khazraj. Keturunan Sa'ad bermigrasi ke Spanyol dan menetap di Arjona sebagai petani.[8] Selama masa mudanya, ia dikenal sebagai pemimpin militer di perbatasan, dan dikenal sebagai seorang yang zuhud, citra yang tetap dimilikinya bahkan setelah menjadi Sultan.[6] Muhammad juga dikenal sebagai Ibnu al-Ahmar,[9] dan memiliki panggilan kehormatan (kunyah) Abu Abdullah.[3]
Latar belakang
Awal abad ke-13 adalah periode kemunduran besar bagi kaum Muslim di Semenanjung Iberia.[10] Kekhalifahan Al-Muwahhidun, yang mendominasi Al-Andalus atau wilayah Muslim di Iberia, terpecah akibat perang saudara setelah Khalifah Yusuf II wafat pada 1224 tanpa penerus yang jelas.[3] Al-Andalus terpecah menjadi berbagai kerajaan yang dipimpin raja-raja kecil yang disebut Muluk al-Thawaif.[3] Salah satu raja kecil yang muncul adalah Muhammad bin Yusuf bin Hud ("Ibnu Hud", wafat 1238), yang memberontak terhadap kekuasaan Muwahhidun. Ia menyatakan dirinya sebagai bawahan dari Khalifah Abbasiyah tetapi kenyataannya mendirikan negara sendiri yang berpusat di Murcia.[11][3] Kekuasaannya berkembang dan ia menjadi pemimpin de facto Al-Andalus.[12] Walaupun berhasil mengukuhkan kekuasaan di Al-Andalus, Ibnu Hud mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan kaum Kristen, termasuk pertempuran Alanje pada 1230 dan pertempuran Jerez pada 1231, disusul oleh jatuhnya Badajoz dan Extremadura.[12]
Di sebelah utara Semenanjung Iberia, terdapat beberapa kerajaan Kristen yaitu Kastilia, León (yang tunduk kepada Raja Kastilia sejak 1231), Portugal, Navarra, dan persatuan kerajaan-kerajaan yang dikenal sebagai Takhta Aragon. Semuanya memiliki minoritas Muslim.[13] Pada pertengahan abad ke-13, Kastilia menjadi kerajaan terbesar di Iberia.[14] Rajanya, Fernando III (m. 1217–1252) juga diangkat sebagai raja oleh León. Dengan memanfaatkan perluasan kerajaannya serta perpecahan kaum Muslim, ia melakukan perluasan ke wilayah Muslim di selatan, dan akhirnya merebut kota-kota penting seperti Kordoba (1236) dan Sevilla (1248).[3][15]
Mendirikan kerajaan
Kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Ibnu Hud mengikis wibawanya sebagai pemimpin; pemberontakan pecah di beberapa bagian wilayah kekuasaannya, termasuk di Arjona, kota kecil tempat kelahiran Muhammad.[9] Pada 16 Juli 1232 (26 Ramadan 629 H), musyawarah di sebuah masjid di Arjona memutuskan untuk menyatakan kemerdekaan kota tersebut. Deklarasi dilakukan setelah Salat Jumat hari itu, yang merupakan Jumat terakhir Ramadan tahun itu.[9][16] Majelis memilih Muhammad sebagai pemimpin atau amir karena ia dikenal saleh dan tersohor secara militer karena kiprahnya dalam berbagai konflik melawan pasukan Kristen. Muhammad juga mendapat dukungan dari klannya, Banu Nashri (juga dikenal sebagai Banu al-Ahmar),[17] dan klan Arjona lain yang bersekutu dengan Banu Nashri, yaitu Banu Asyqilula.[18][19][6]
Pada tahun yang sama, Muhammad merebut Jaén, kota penting di dekat Arjona. Berkat bantuan dari klan saingan ibnu Hud, Banu al-Mawl, Muhammad berhasil menguasai Kordoba, bekas ibu kota kekhalifahan di Spanyol. Ia juga mengambil alih Sevilla pada 1234 dengan bantuan dari keluarga Banu al-Bajji, tetapi ia hanya mampu menguasainya selama satu bulan. Kordoba dan Sevilla merasa tidak puas dengan gaya kepemimpinan Muhammad, dan kembali ke tangan Ibnu Hud tak lama setelah dikuasai Muhammad. Akibat kegagalan ini, Muhammad terpaksa kembali patuh kepada Ibnu Hud dan dibiarkan memerintah atas wilayah kecil yang meliputi Arjona, Jaén, Porcuna, Guadix, dan Baeza, sebagai bawahan.[20][21][6]
Muhammad kembali berbalik melawan Ibnu Hud pada 1236. Ia membantu Fernando III dari Kastilia mengambil alih Kordoba, mengakhiri ratusan tahun kekuasaan Islam atas kota tersebut.[20] Pada tahun-tahun berikutnya, Muhammad menguasai kota-kota penting di daerah selatan Spanyol. Pada Mei 1237 (Ramadan 634 H), ia memasuki Granada dan berkuasa di sana atas undangan para penduduk kota, yang kemudian ia jadikan sebagai ibu kota.[22] Ia juga menguasai Almeria pada 1238 dan Malaga pada 1239.[20][23] Kota-kota tersebut jatuh ke tangan Muhammad bukan melalui peperangan, tetapi melalui undangan dari para penduduknya yang merasa bahwa Muhammad adalah pemimpin yang lebih efektif dibanding Ibnu Hud.[20][21]
Penguasa Granada
Menetap di Granada
Muhammad memasuki Granada pada Mei 1238 (Ramadhan 635).[24] Menurut Ibnu al-Khatib, ia memasuki kota tersebut dengan berbusana seperti seorang sufi, mengenakan topi wol polos, kain kasar, dan sandal.[25] Ia menetap di alcazaba (benteng) yang dibangun oleh penguasa Banu Ziri pada abad ke-11.[24] Ia lalu mengunjungi sebuah daerah yang dikenal sebagai al-Hamra, yang memiliki sebuah benteng kecil, dan ia pun memulai pembangunan kompleks istana dan benteng pertahanan di sana.[26][27] Ia membangun sistem pertahanan, bendungan irigasi, serta parit pertahanan. Tempat ini akan terus dibangun oleh penerus-penerusnya dan kelak kompleks ini akan dikenal sebagai Alhambra. Kompleks Alhambra menjadi istana raja-raja dinasti Banu Nashri hingga Granada ditaklukkan pada tahun 1492.[28] Dia mendesak para pemungut pajaknya untuk mengumpulkan dana yang diperlukan untuk pembangunan Alhambra, bahkan sampai memerintahkan pembunuhan Abu Muhammad bin 'Arus, pemungut pajak Almeria, untuk memastikan kelancaran pendanaan proyek ini. Ia juga menggunakan uang yang dikirim oleh Sultan Muhammad I al-Mustansir dari Tunis (sebenarnya ditujukan untuk perang melawan kerajaan-kerajaan Kristen) untuk proyek perluasan masjid Granada.[29]
Awal konflik dengan Kastilia
Pada akhir dekade 1230-an, Muhammad telah menjadi penguasa Muslim terkuat di Iberia. Dia menguasai kota-kota utama di selatan, termasuk Granada, Almeria, Malaga, dan Jaén. Pada awal dekade 1240-an, Muhammad dan umat Islam Granada diserang oleh Kastilia, kerajaan Kristen yang sebelumnya adalah sekutu Muhammad. Penulis-penulis dari zaman itu berbeda pendapat tentang penyebab pecahnya perang: sumber dari pihak Kristen, Estoria de España, menyalahkan ekspedisi-ekspedisi Muslim yang menyerang wilayah Kristen; sedangkan sejarawan Muslim Ibnu Khaldun menyebutkan pihak Kristen yang terlebih dahulu menginvasi wilayah Muslim. Pada tahun 1242, pasukan Muslim berhasil melakukan serangan mendadak terhadap Andújar dan Martos dekat Jaén. Pada tahun 1244, Kastilia mengepung dan merebut tanah kelahiran Muhammad, Arjona.[30]
Pada 1245, Fernando III dari Kastilia mengepung Jaén, kota besar Muslim yang memiliki pertahanan kuat. Karena Fernando tidak ingin mengambil risiko melakukan penyerbuan langsung, ia mengisolasi kota tersebut dari daerah Muslim lain dan berharap kota itu akan menyerah setelah kehabisan bahan makanan. Muhammad mencoba mengirim persediaan untuk kota ini, tetapi upaya ini digagalkan Kastilia. Mengetahui sulitnya mempertahankan dan menyelamatkan Jaén, Muhammad memilih berdamai dengan Fernando. Muhammad dan Fernando setuju untuk berdamai dengan syarat Muhammad menyerahkan Jaén ke tangan Fernando dan setuju untuk membayar upeti sebesar 150.000 maravedí per tahun; upeti ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama Fernando.[31][32] Muhammad juga diharuskan untuk mencium tangan Fernando sebagai tanda tunduknya ia sebagai seorang vasal, dan berjanji akan memberikan "nasihat" dan "bantuan" kepada Fernando.[33] Sumber-sumber Kristen cenderung menekankan peristiwa ini sebagai tanda tunduknya Muhammad dan bermulanya status Muhammad I dan para penerusnya sebagai vasal Kastilia dalam sebuah konteks feodalisme.[33][34] Di sisi lain, sumber-sumber Muslim cenderung menghindari menyebutkan hubungan vasal dan tuan antara Muhammad dan Fernando, dan menggambarkan hubungan mereka sebagai hubungan antara dua orang yang sederajat tetapi memiliki kewajiban tertentu.[33][35] Perjanjian ini terjadi pada Maret 1246, pada bulan ke-7 pengepungan Jaén. Pasukan Kastilia kemudian memasuki kota itu dan mengusir penduduk Muslimnya.[36][37]
Perdamaian
Perdamaian dengan Kastilia berjalan selama hampir dua puluh tahun. Pada tahun 1248, sebagai bagian dari kewajibannya sebagai terhadap Fernando, ia mengirimkan pasukan untuk membantu Kastilia menaklukkan Sevilla dari tangan umat Islam. Pada tahun 1252, Ferdando III meninggal dan digantikan oleh Alfonso X. Pada tahun 1254, Muhammad menghadiri Cortes, pertemuan para vasal Alfonso, di istana kerajaan di Toledo. Di sini ia berjanji untuk setia dan membayar upeti kepada Alfonso sebagai penerus Fernando, serta memberikan penghormatan kepada Berengaria, putri Alfonso yang baru lahir. Pada masa pemerintahannya, Alfonso tidak tertarik untuk melanjutkan konflik melawan Granada, dan banyak terlibat kegiatan lain, termasuk serangkaian ekspedisi yang gagal ke wilayah Muslim di Afrika Utara. Perdamaian ini dimanfaatkan Muhammad untuk membangun kerajaannya. Meskipun luasnya relatif kecil, Kesultanan Granada relatif kaya dan padat penduduk. Perekonomiannya terfokus pada pertanian, terutama sutra dan buah-buahan kering. Kesultanan tersebut berdagang dengan Italia dan negara-negara Eropa Utara. Sastra Islam, seni, dan arsitektur terus berkembang. Pegunungan dan gurun menjadi pertahanan alami yang memisahkan kerajaannya dengan Kastilia, kecuali di kawasan pelabuhan sebelah barat serta perbatasan barat lautnya yang pertahanannya lebih lemah.[38][39][40]
Pada masa pemerintahannya, Muhammad menempatkan para pengikut setianya di berbagai benteng dan kota.[41] Saudaranya Ismail adalah wali negeri Málaga sampai 1257.[41] Setelah kematian Ismail pada 1257, Muhammad menunjuk keponakannya, Abu Muhammad bin Asyqilula, sebagai wali negeri Málaga.[41]
Keretakan dengan Kastilia
Perdamaian antara Granada dan Kastilia berlangsung hingga awal dasawarsa 1260-an, tetapi pada saat ini beberapa tindakan Kastilia membuat Muhammad khawatir.[42] Untuk memerangi umat Muslim di Afrika Utara, Alfonso X membangun kekuatan militer di Cadiz dan El Puerto de Santa Maria, pelabuhan pesisir selatan dekat dengan wilayah Granada.[43][42] Kastilia menaklukkan kota Muslim Jerez dekat perbatasan Granada pada 1261 dan menempatkan tentara di sana.[44][42] Pada 1262, Kastilia menaklukkan Kerajaan Niebla, wilayah kantong Muslim lainnya di Spanyol.[42][45] Pada bulan Mei 1262, dalam pertemuan di Jaén, Alfonso meminta agar Muhammad menyerahkan kota pelabuhan Tarifa dan Algeciras kepadanya.[46] Dua kota ini sangat strategis dan penting untuk Granada. Permintaan Alfonso mengejutkan Muhammad, dan meskipun dia secara lisan menyetujuinya, dia terus menunda-nunda penyerahan kota-kota tersebut.[46][42] Kejadian lain yang membuat Muhammad khawatir adalah pengusiran penduduk Muslim dari Écija pada tahun 1263 dan kota tersebut selanjutnya ditempati orang-orang Kristen dari tempat lain.[46]
Setelah peristiwa-peristiwa ini, Muhammad khawatir bahwa ia akan menjadi sasaran Alfonso selanjutnya.[42] Ia berunding dengan Abu Yusuf Yaqub, Sultan Maroko dari dinasti Mariniyyah. Abu Yusuf kemudian mengirim pasukan untuk Granada, berjumlah antara 300 dan 3.000 menurut sumber yang berbeda.[47] Pada tahun 1264, Muhammad I dan 500 tentara berkuda berangkat menuju istana Kastilia di Sevilla untuk membahas perpanjangan gencatan senjata yang berlaku sejak 1246.[48] Alfonso mengundang mereka untuk menginap di bekas istana Abbadiyah di samping masjid kota Sevilla.[48] Pada malam hari, Pihak Kastilia menutup dan mengurung daerah itu.[48] Muhammad merasa ini adalah sebuah perangkap, dan memerintahkan anak buahnya untuk mencoba keluar dan kembali ke Granada.[48] Alfonso beralasan bahwa barikade ini didirikan untuk melindungi rombongan Granada dari pencuri yang ada di kota itu, tetapi Muhammad tidak terima dan memerintahkan pasukannya di perbatasan kota bersiap diri untuk perang.[48] Ia memutuskan hubungannya dengan Alfonso dan menyatakan dirinya sebagai vasal raja lain, Muhammad I al-Mustansir, Sultan Tunis dari wangsa Hafsiyun.[48]
Pemberontakan Mudéjar
Perdamaian dengan Kastilia berakhir pada akhir April atau awal Mei 1264.[50] Para Mudéjar, atau umat Islam di wilayah yang baru ditaklukkan oleh Kastilia, memberontak melawan Alfonso; faktornya antara lain kebijakan pemindahan paksa yang dilakukan Alfonso, dan dorongan aktif dari Muhammad I. Pada saat yang sama, pasukan Granada juga menyerang Kastilia. Awalnya pemberontakan berjalan dengan baik: Murcia, Jerez, Utrera, Lebrija, Arcos, dan Medina Sidonia jatuh ke tangan Muslim. Namun, serangan balik oleh Alfonso X dan sekutunya Chaime I dari Aragon merebut kembali wilayah-wilayah ini. Pada 1265, Alfonso berbalik melakukan serangan terhadap Granada. Tak lama kemudian Muhammad I meminta damai, dan perang ini berakhir amat buruk untuk para Mudéjar. Sebagai hukuman atas pemberontakan mereka, umat Muslim Kastilia di wilayah Andalusia diusir dari kampung halamannya dan pemukim Kristen dari wilayah lain ditempatkan untuk menggantikan mereka.[51][52]
Bagi Granada, kekalahan tersebut berdampak positif maupun negatif. Di satu sisi, mereka telah kalah, dan menurut perjanjian damai yang ditandatangani di Alcala de Benzaide harus membayar upeti tahunan sebesar 250.000 maravedí untuk Kastilia, jauh lebih besar dari yang telah dibayar sebelum pemberontakan.[53] Di sisi lain, perjanjian ini mengukuhkan status Granada sebagai satu-satunya negara Muslim merdeka di seluruh Spanyol dan Portugal.[54] Selain itu, pengungsi Muslim yang diusir dari Andalusia banyak yang berpindah ke Granada, dan tambahan populasi ini memperkuat kerajaan tersebut secara demografi.[54]
Konflik dengan Banu Asyqilula
Seperti Banu Nashri, Banu Asyqilula adalah sebuah klan yang berasal dari Arjona. Mereka adalah sekutu penting Muhammad dan Banu Nashri dalam meraih kekuasaan. Mereka mendukung pengangkatan Muhammad sebagai pemimpin Arjona pada 1232, dan membantu merebut kota-kota seperti Sevilla dan Granada. Terjadi banyak pernikahan silang antara dua klan ini, dan Muhammad mengangkat banyak anggota Banu Asyqilula sebagai untuk memimpin wilayah-wilayah sebagai bawahannya. Pusat kekuasaan Asyqilula berada di Malaga, yang wali negerinya adalah Abu Muhammad, anggota Banu Asyqilula yang juga keponakan Muhammad I. Muhammad I juga banyak tergantung kepada kekuatan militer Banu Asyqilula.[55]
Namun pada 1266, Banu Asyqilula melakukan pemberontakan terhadap Granada, dengan pusat pemberontakan di Malaga.[56][57][58] Pemberontakan ini terjadi saat Granada masih terlibat peperangan dengan Kastilia terkait Pemberontakan Mudéjar. Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan awal pemberontakan dan ada banyak pendapat mengenai penyebab keretakan antara dua keluarga ini. Rachel Arié berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab pemberontakan di antaranya adalah keputusan Muhammad I mengangkat putra-putranya, Muhammad dan Yusuf sebagai putra mahkota pada 1257 dan menikahkan salah satu putrinya dengan anggota Banu Nashri lainnya dan tidak dengan anggota Banu Asyqilula. Menurut Arié, Banu Asyqilula tidak menyukai keputusan ini karena Muhammad sebelumnya telah berjanji untuk berbagi kekuasaan dengan mereka dan sekarang mereka malah dijauhkan dari lingkar dalam pemerintahan. Sejarawan lain, María Jesús Rubiera Mata, menolak penjelasan ini; ia berpendapat bahwa yang mengkhawatirkan Banu Asyqilula adalah keputusan Muhammad untuk mengundang pasukan dari Afrika Utara dalam perang melawan Kastilia, karena kekuatan militer baru ini mengancam posisi Banu Asyqilula sebagai kekuatan militer terkuat di Granada.[59]
Muhammad I mengepung Malaga, tetapi Banu Asyqilula sanggup bertahan.[57] Banu Asyqilula meminta bantuan Alfonso X, yang senang dengan adanya pemberontakan yang melemahkan Granada. Alfonso X mengirim 1.000 tentara di bawah pimpinan Nuño Gonzalez de Lara dan Muhammad terpaksa mengakhiri pengepungan Malaga.[57] Terancam harus menghadapi dua musuh sekaligus, Muhammad I mengajak Alfonso melakukan perundingan perdamaian.[60] Dalam kesepakatan yang dicapai di Alcala de Benzaide, Muhammad melepaskan klaim atas Jerez dan Murcia (yang tidak lagi berada di bawah kekuasaannya) dan berjanji untuk membayar upeti tahunan sebesar 250.000 maravedi.[57] Sebagai gantinya, Alfonso menghentikan dukungan terhadap Banu Asyqilula dan mengakui kedaulatan Muhammad I atas mereka.[57]
Namun, Alfonso X enggan untuk melaksanakan ketentuan perjanjian mengenai kedaulatan Muhammad I terhadap Banu Asyqilula. Sebagai balasannya, Muhammad I membujuk Nuño Gonzalez, panglima pasukan Kastilia yang tadinya dikirim untuk mendukung Banu Asyqilula, untuk memberontak melawan Alfonso X. Karena memiliki masalah dengan rajanya, Nuño Gonzalez setuju dengan bujukan Muhammad; pada 1272, ia dan sekutu-sekutunya dari Kastilia memulai operasi melawan Kastilia dari Granada.[a] Dengan ini, Muhammad berhasil melemahkan kekuasaan Kastilia dan malah memperoleh sekutu dalam konflik melawan Banu Asyqilula. Setelah itu, Banu Asyqilula setuju untuk bernegosiasi di bawah mediasi At-Tahurti dari Maroko. Sebelum upaya ini membuahkan hasil, Muhammad meninggal setelah jatuh dari kuda pada 22 Januari 1273 (29 Jumadil Akhir 671 H).[62][56][63] Ia digantikan oleh Muhammad II.[31] Pada tahun yang sama, Muhammad II berunding dengan Alfonso X, yang menghasilkan gencatan senjata antara Granada dan Kastilia serta Banu Asyqilula.[64]
Penerus
Pada saat kematiannya, kekuasaan dengan mulus jatuh ke tangan anaknya yang juga bernama Muhammad, yang dijuluki al-Faqih ("sang ahli fikih") dan kemudian dikenal sebagai Muhammad II. Menjelang kematiannya, Muhammad I berpesan kepada putranya untuk mencari bantuan dinasti Mariniyyah untuk mempertahankan diri dari kerajaan-kerajaan Kristen.[31] Saat naik takhta, Muhammad II telah berusia 38 tahun dan sudah berpengalaman dengan urusan militer dan pemerintahan. Dia melanjutkan kebijakan Muhammad I untuk mempertahankan kemerdekaan Granada, dan memerintah hingga kematiannya pada tahun 1302.[61][56]
Tinggalan sejarah
Peninggalan utamanya adalah berdirinya Kerajaan Granada di bawah kekuasaan Banu Nashri. Pada saat kematian Muhammad I, Granada adalah satu-satunya negara Muslim merdeka yang tersisa di semenanjung Iberia,[65] dan akan bertahan selama dua abad lebih sebelum kejatuhannya pada tahun 1492. Wilayahnya membentang sekitar 390 km dari Tarifa di barat hingga perbatasan timur di sekitar Almería, dan sekitar 100 km dari pesisir selatan ke perbatasan utaranya.[65]
Selama hidupnya, umat Islam al-Andalus mengalami banyak kemunduran, di antaranya ditaklukkannya Lembah Guadalquivir, termasuk kota-kota besar seperti Kordoba dan Sevilla maupun Arjona, kampung halaman Muhammad.[66] Namun, menurut profesor sejarah Spanyol L. P. Harvey, "di tengah bencana [dia] berhasil mengamankan ... tempat berlindung yang relatif aman bagi umat Islam di Iberia".[66] Pada masa kekuasaannya, ia ikut andil dalam jatuhnya kota-kota Muslim seperti Sevilla dan Jaén ke tangan Kristen, tetapi di sisi lain kehati-hatian dan kecerdasan politiknya berhasil menjamin kemerdekaan Granada sebagai negara Muslim.[66] Selama hidupnya, ia tidak segan untuk berkompromi, termasuk menjadi vasal Kastilia, serta berganti-ganti kubu antara Kristen dan Muslim, demi mempertahankan kemerdekaan wilayahnya.[66][6] Encyclopaedia of Islam berkomentar bahwa walaupun ia tidak pernah mencetak kemenangan yang gemilang, dia berhasil menciptakan sebuah rezim yang stabil di Granada dan memulai pembangunan Alhambra, peninggalan penting Banu Nashri.[6] Alhambra masih berdiri sampai sekarang dan dianugerahi status Situs Warisan Dunia UNESCO.[67]
Corak keagamaannya tampak mengalami perubahan selama kariernya. Di awal, ia memiliki reputasi seorang yang zuhud atau sederhana, seperti kebanyakan orang Sufi. Pada awal kekuasaannya di Granada, ia masih memiliki kebiasaan ini, tetapi seiring dengan lamanya ia berkuasa, ia mulai berubah ke corak Sunni tradisional dan ia menegakkan aturan hukum Islam sesuai Mazhab Maliki. Perubahan ini, serta hubungan baiknya dengan ulama Sunni tradisional, mendekatkan posisi Granada dengan negara-negara Islam lainnya, seperti kerajaan Banu Marin di Maroko dan Hafsiyun di Tunisia.[6][66]
Catatan
Referensi
Catatan kaki
- ^ Rubiera Mata 2008, hlm. 293.
- ^ Vidal Castro 2000, hlm. 802.
- ^ a b c d e f Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1020.
- ^ Vidal Castro 2000, hlm. 798.
- ^ Diem & Schöller 2004, hlm. 432.
- ^ a b c d e f g Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1021.
- ^ Harvey 1992, hlm. 28.
- ^ Harvey 1992, hlm. 28–29.
- ^ a b c Kennedy 2014, hlm. 274.
- ^ Harvey 1992, hlm. 8.
- ^ Kennedy 2014, hlm. 265.
- ^ a b Kennedy 2014, hlm. 268,274.
- ^ Harvey 1992, hlm. 5–6.
- ^ Harvey 1992, hlm. 6.
- ^ Harvey 1992, hlm. 8–9.
- ^ Vidal Castro 2000, hlm. 806.
- ^ Harvey 1992, hlm. 21.
- ^ Harvey 1992, hlm. 20–21.
- ^ Kennedy 2014, hlm. 267,274.
- ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 22.
- ^ a b Kennedy 2014, hlm. 275–276.
- ^ Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1020–1021.
- ^ Kennedy 2014, hlm. 275.
- ^ a b Terrasse 1991, hlm. 1016.
- ^ Harvey 1992, hlm. 29.
- ^ Terrasse 1991, hlm. 1014,1016.
- ^ Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1028.
- ^ Terrasse 1991, hlm. 1016–1017.
- ^ Terrasse 1991, hlm. 1014.
- ^ Harvey 1992, hlm. 22–23.
- ^ a b c Miranda 1970, hlm. 429.
- ^ Doubleday 2015, hlm. 46.
- ^ a b c Catlos 2018, hlm. 334.
- ^ Harvey 1992, hlm. 26.
- ^ Harvey 1992, hlm. 30.
- ^ Harvey 1992, hlm. 23–24.
- ^ Kennedy 2014, hlm. 276.
- ^ Kennedy 2014, hlm. 277–278.
- ^ Harvey 1992, hlm. 25.
- ^ Doubleday 2015, hlm. 60.
- ^ a b c Fernández-Puertas 1997, hlm. 1.
- ^ a b c d e f O'Callaghan 2011, hlm. 34.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 23.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 29.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 31.
- ^ a b c O'Callaghan 2011, hlm. 32.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 34–35.
- ^ a b c d e f O'Callaghan 2011, hlm. 35.
- ^ O'Callaghan 1998, hlm. 111–113.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 36.
- ^ Kennedy 2014, hlm. 278–279.
- ^ Harvey 1992, hlm. 53–54.
- ^ Doubleday 2015, hlm. 122.
- ^ a b Harvey 1992, hlm. 51.
- ^ Harvey 1992, hlm. 31–33.
- ^ a b c Kennedy 2014, hlm. 279.
- ^ a b c d e Harvey 1992, hlm. 38.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 48.
- ^ Harvey 1992, hlm. 33.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 49.
- ^ a b Harvey 1992, hlm. 39.
- ^ Harvey 1992, hlm. 38–39.
- ^ Diem & Schöller 2004, hlm. 434.
- ^ Harvey 1992, hlm. 152–153.
- ^ a b Watt & Cachia 2007, hlm. 127.
- ^ a b c d e Harvey 1992, hlm. 40.
- ^ UNESCO World Heritage List, 314-001
Daftar pustaka
- Doubleday, Simon R. (2015-12-01). The Wise King: A Christian Prince, Muslim Spain, and the Birth of the Renaissance. New York: Basic Books. ISBN 978-0-465-07391-7.
- Diem, Werner; Schöller, Marco (2004). The Living and the Dead in Islam: Epitaphs as texts. Wiesbaden: Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-3-447-05083-8.
- Fernández-Puertas, Antonio (April 1997). "The Three Great Sultans of al-Dawla al-Ismā'īliyya al-Naṣriyya Who Built the Fourteenth-Century Alhambra: Ismā'īl I, Yūsuf I, Muḥammad V (713-793/1314-1391)". Journal of the Royal Asiatic Society. Third Series. London: Cambridge University Press on behalf of Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. Vol. 7. JSTOR 25183293.
- Harvey, L. P. (1992). "The Rise of Banu'l-Ahmar". Islamic Spain, 1250 to 1500. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-31962-9.
- Kennedy, Hugh (2014-06-11). Muslim Spain and Portugal: A Political History of Al-Andalus. London and New York: Routledge. ISBN 978-1-317-87041-8.
- Latham, John Derek; Fernández-Puertas, Antonio (1993). "Nasrids". Dalam P. Bearman; Th. Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; W.P. Heinrichs. The Encyclopaedia of Islam, New Edition. Vol. VII: Mif–Naz. Leiden and New York: Brill. hlm. 1020–1029. ISBN 90-04-09419-9.
- Miranda, Ambroxio Huici (1970). "The Iberian Peninsula and Sicily". Dalam Holt, P.M; Lambton, Ann K.S.; Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam. Vol. 2A. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 9780521219488.
- O'Callaghan, Joseph F. (1998). Alfonso X and the Cantigas De Santa Maria: A Poetic Biography. Leiden: BRILL. ISBN 90-04-11023-2.
- O'Callaghan, Joseph F. (2011-03-17). The Gibraltar Crusade: Castile and the Battle for the Strait. Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. ISBN 0-8122-0463-8.
- Watt, W. Montgomery; Cachia, Pierre (2007). "The Last of Islamic Spain 1. The Nasrids of Granada". A History of Islamic Spain. New Brunswick, New Jersey: Transaction Publishers. ISBN 978-0-202-30936-1.
- Terrasse, Henri (1991). "Gharnata". Dalam B. Lewis; Ch. Pellat; J. Schacht. The Encyclopaedia of Islam, New Edition. Vol. II: C–G. Leiden: Brill. hlm. 1012–1020. ISBN 90-04-07026-5.
- Vidal Castro, Francisco (2000). "Frontera, genealogía y religión en la gestación y nacimiento del Reino Nazarí de Granada: En torno a Ibn al-Aḥmar" (PDF). III Estudios de Frontera: Convivencia, defensa y comunicación en la Frontera (dalam bahasa Spanyol). Jaén: Diputación Provincial de Jaén. hlm. 794–810.