Muhammad II dari Granada

Muhammad II (bahasa Arab: محمد الثاني; juga dikenal dengan julukannya al-Faqih, yang berarti "sang ahli agama", ca 1235 – 8 April 1302; berkuasa sejak tahun 1273 hingga kematiannya) adalah penguasa Nashri kedua di Kesultanan Granada di Andalusia, Semenanjung Iberia yang menggantikan ayahnya, Muhammad I. Telah berpengalaman dalam urusan kenegaraan saat naik tahta, Muhammad II melanjutkan kebijakan ayahnya dalam mempertahankan kemerdekaan di tengah tekanan dari tetangga-tetangga Granada yang lebih besar, seperti Kerajaan Kristen Kastila dan Kesultanan Mariniyah Maroko, serta pemberontakan internal oleh mantan sekutu keluarganya, Banu Asyqilula.

Muhammad II
Sultan Granada
Berkuasa22 Januari 1273 – 8 April 1302
PendahuluMuhammad I
PenerusMuhammad III
Kelahiranca 1235
Kematian8 April (umur 66–67)
Granada
KeturunanMuhammad III, Nashr, Fathimah
WangsaBanu Nashri
AyahMuhammad I
IbuAisyah[1]
AgamaIslam

Setelah naik takhta, Muhammad II menjalin perjanjian dengan Alfonso X dari Kastila agar Kastila setuju untuk mengakhiri dukungan terhadap Banu Asyqilula dengan pembayaran imbalan. Meskipun Kastila telah mendapatkan imbalan sesuai perjanjian, ia tetap memilih untuk mempertahankan dukungannya kepada Banu Asyqilula, sehingga Muhammad II beralih memihak ke Abu Yusuf dari Mariniyah. Mariniyah kemudian mengirimkan ekspedisi yang berhasil mengalahkan Kastila. Namun, hubungan keduanya memburuk ketika Mariniyah memperlakukan Banu Ashqilula sejajar dengan Muhammad. Pada tahun 1279, melalui manuver diplomatik, Muhammad II merebut kembali Málaga, yang dulunya merupakan pusat kekuasaan Banu Asyqilula. Hingga pada tahun 1280, diplomasinya menjadi bumerang ketika Granada menghadapi serangan serentak dari Kastila, Mariniyah, dan Banu Asyqilula. Diserang dengan lawannya yang lebih kuat, Muhammad lalu mengeksploitasi keretakan antara Alfonso dan putranya, Sancho, serta menerima bantuan dari Ghuzat al-Mujahidin, tentara yang direkrut dari Afrika Utara. Ancaman mereda ketika Alfonso meninggal dunia pada tahun 1284 dan Abu Yusuf pada tahun 1286, sementara penerus mereka (Sancho dan Abu Yaqub, masing-masing) disibukkan dengan urusan domestik. Pada tahun 1288, Bani Asyqilula beremigrasi ke Afrika Utara atas undangan Abu Yaqub dan menghilangkan kekhawatiran domestik terbesar Muhammad. Pada tahun 1292, Granada membantu Kastila merebut Tarifa dari Mariniyah dengan kesepakatan bahwa kota itu akan diperdagangkan kepada Granada, tetapi Sanco kemudian mengingkari janjinya. Muhammad II lalu beralih ke pihak Mariniyah, tetapi upaya Granada–Mariniyah untuk merebut kembali Tarifa pada tahun 1294 gagal. Pada tahun 1295, Sanco meninggal dan digantikan oleh Fernando IV, yang kala itu masih di bawah umur. Granada pun mengambil keuntungan dengan melakukan serangan yang sukses melawan Kastila, merebut Quesada dan Alcaudete. Muhammad juga merencanakan serangan bersama dengan Aragon melawan Kastila, tetapi ia meninggal pada tahun 1302 sebelum operasi tersebut dilaksanakan.

Selama 25 tahun pemerintahannya, Muhammad mengkonsolidasikan negara yang didirikan oleh ayahnya dan melaksanakan reformasi administrasi dan militer. Ia melembagakan protokol kerajaan Nashri dan kekanseliran istana, mengorganisir Ghuzat al-Mujahidin — pasukan yang direkrut dari Afrika Utara — dan meningkatkan pentingnya jabatan wazir dalam pemerintahan. Ia juga mengarahkan pembangunan serangkaian benteng di posisi strategis di seluruh perbatasannya, yang menjadi tulang punggung pertahanan perbatasan Granada di abad-abad mendatang. Ia memperluas kompleks istana dan benteng Alhambra, dan meningkatkan perdagangan kesultanan dengan Eropa Kristen, terutama dengan pedagang dari Genova dan Pisa. Julukannya –al-Faqih–mencerminkan pendidikannya yang tinggi serta kegemarannya untuk melingkupi dirinya dengan para ulama dan penyair.

Kehidupan awal

sunting

Muhammad lahir pada tahun 633 H (1235 atau 1236 M) dari Banu Nashri, yang berasal dari kota Arjona yang saat itu berada di Al-Andalus di Semenanjung Iberia.[2] Menurut sejarawan dan wazir Granada Ibnu al-Khatib, banu tersebut—yang juga dikenal sebagai Banu Nasr atau Banu al-Ahmar—merupakan keturunan dari Sa'ad bin Ubadah, seorang sahabat Nabi yang utama dari Bani Khazraj di Arabia. Keturunan Sa'ad bermigrasi ke Spanyol dan menetap di Arjona sebagai petani.[3] Ia memiliki setidaknya dua kakak laki-laki, Faraj (l. 628 H atau 1230/1231 M) dan Yusuf,[4] serta dua saudari bernama Mu'mina dan Syams.[5] Ayahnya, Muhammad I, menyatakan kemerdekaan kota tersebut pada tahun 1232. Kota tersebut kemudian berkembang menjadi negara merdeka yang cukup besar di selatan Spanyol dan berpusat di Granada setelah kekalahan Arjona pada tahun 1244.[6] Keamiran Granada menjadi negara Muslim merdeka terakhir di Semenanjung Iberia.[6] Pada tahun 1257, setelah kematian Faraj, Muhammad I menunjuk kedua putranya—Muhammad dan Yusuf—sebagai pewaris barunya.[7] Pada bulan Agustus di tahun yang sama, Muhammad yang merupakan sang adik dikaruniai putra sulung, kelak Muhammad III.[8] Setelah itu, ia dikaruniai putra lainnya, Nasr, dan seorang putri, Fatima.[9] Fatima kelak menikahi sepupu ayahnya, Abu Said Faraj, dan keturunan mereka kelak menjadi penguasa Granada, menggantikan garis laki-laki langsung setelah penggulingan Nasr pada tahun 1314.[9] Sebagai pewaris, Muhammad terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan, termasuk perang dan diplomasi.[10] Ia sempat menjabat sebagai wazir pada masa pemerintahan ayahnya.[11] Ia menjadi pewaris tunggal setelah kematian Yusuf—yang tidak memiliki keturunan—pada saat ayah mereka masih berkuasa.[1] Pada saat ayahnya wafat pada tahun 1273, Muhammad II berusia 38 tahun dan telah menjadi seorang negarawan yang berpengalaman.[10]

Masa pemerintahan: 1273–1302

sunting

Latar belakang

sunting
 
Peta Keamiran Granada Banu Nashri. Perbatasannya berubah seiring waktu dan peta ini mungkin tidak sesuai secara spesifik dengan wilayah kekuasaan selama Muhammad II memerintah. Hijau/kuning pudar: Granada.
 
Granada (bergaris batas cokelat di selatan Iberia) dan negara-negara tetangganya pada tahun 1360 (perbatasan dapat saja sangat berbeda dengan perbatasan pada masa pemerintahan Muhammad II).

Granada terletak di antara dua negara tetangga yang lebih besar: Kerajaan Kristen Kastila di sebelah utara dan Negara Muslim Mariniyah yang berpusat di Maroko modern di sebelah selatan. Sebagai kerajaan besar, tujuan Kastila terhadap Granada adalah untuk menjaga Granada tetap dalam kendali, yaitu dengan cara mencegah Granada melakukan serangan dan menekan mereka agar tetap membayar upeti.[12] Upeti yang dibayarkan berjumlah 300.000 maravedí—sekitar separuh pendapatan Granada—. Meskipun Granada seringkali menunda pembayaran, upeti tersebut merupakan sumber pemasukan penting bagi Kastila.[13][14] Di sisi lain, seperti halnya para pendahulu mereka, seperti Muwahhidun dan Murabithun, Mariniyah menganggap bahwa perlindungan kaum Muslim di Semenanjung Iberia dan ikut serta dalam jihad melawan perluasan pengaruh Kristen di sana—yang disebut sebagai "Reconquista"—sebagai tugas mereka sebagai kaum Muslim dan sebagai cara untuk meningkatkan legitimasi mereka.[15][16] Pada masa pemerintahan Muhammad II, tujuan utama Granada adalah untuk mempertahankan kemerdekaan dari kedua kekuatan tersebut, menjaga keseimbangan kekuatan, mencegah terbentuknya aliansi di antara mereka, dan menguasai kota-kota di garis depan Kastila serta pelabuhan-pelabuhan di Selat Gibraltar, seperti Algeciras, Tarifa, dan Gibraltar.[12][17] Perebutan atas kekuasaan pelabuhan-pelabuhan strategis tersebut—yang mengatur perjalanan dari dan menuju Afrika Utara[18]—berlangsung hingga pertengahan abad ke-14, yang disebut sebagai "Pertempuran Selat" (Batalla del Estrecho) oleh para sejarawan modern.[16]

Selain dua kekuatan asing tersebut, Granada juga berhadapan dengan Banu Asyqilula, bani Arjona lain yang pada awalnya bersekutu dengan Banu Nashri dan memiliki kekuatan militer yang membantu pendirian kerajaan tersebut. Mereka memberontak melawan Muhammad I setidaknya sejak tahun 1266, dan mendapatkan bantuan dari Kastila, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Alfonso X, yang ingin mempertahankan kendalinya atas Granada. Alfonso kemudian mengirim pasukan yang berada di bawah komando Nuño González de Lara untuk membantu Banu Asyqilula, tetapi kalangan bangsawan Kastila sendiri memprotes Alfonso;[19] Nuño González pun akhirnya memberontak melawan rajanya dan disambut oleh Muhammad I.[17] Pada awal pemerintahan Muhammad II, wilayah kekuasaan Banu Asyqilula meliputi Málaga—kota terbesar kedua di keamiran tersebut setelah Granada dan pelabuhan penting di Laut Tengah—serta Guadix.[20][21]

Kenaikan takhta dan negosiasi dengan Alfonso X

sunting

Pada tanggal 22 Januari 1273, Muhammad I terjatuh dari kudanya dan meninggal dunia akibat cederanya. Muhammad muda kemudian naik tahta sebagai Muhammad II. Karena ia merupakan pewaris takhta, transisi kekuasaan berjalan mulus. Tugas pertamanya sebagai sultan adalah menangani pemberontakan Banu Asyqilula dan para pemberontak Kastila yang dulu bersekutu dengan ayahnya dan disambut di wilayah Granada. Hubungan dengan para pemberontak Kastila, yang dipimpin oleh Nuño González yang sebelumnya berguna dalam menahan kedua pihak, yaitu Kastila dan Banu Asyqilula, merenggang ketika kedua belah pihak khawatir kehilangan dukungan satu sama lain setelah suksesi. Alfonso juga tertarik untuk berdamai dengan beberapa pemberontak.[17]

Muhammad II kemudian mengadakan negosiasi dengan Alfonso. Jika ia dapat mengamankan aliansi dengan Kastila, ia tak akan perlu khawatir kehilangan dukungan dari para pemberontak.[17] Pada akhir tahun 1273, ia dan beberapa pemimpin pemberontak mengunjungi Alfonso di istananya yang terletak di Sevilla yang di sana mereka disambut dengan hormat. Alfonso pun setuju dengan tawaran Granada—menghentikan dukungannya untuk Banu Ashqilula—sebagai imbalan atas janji Muhammad untuk menjadi vasal Alfonso, membayar upeti sebesar 300.000 maravedís setiap tahun, dan mengakhiri dukungannya dengan para pemberontak. Namun, begitu pembayaran dilakukan, Alfonso meningkari bagian kesepakatannya, ia tetap mempertahankan dukungannya untuk Banu Asyqilula dan mendesak Muhammad untuk melakukan gencatan senjata.[22][23]

Ekspedisi Mariniyah melawan Kastila

sunting
 
Pelabuhan-pelabuhan penting di Selat Gibraltar yang mengendalikan perlintasan antara Afrika Utara dan Semenanjung Iberia. Kendali politik pada tahun 1292: Kastilia (merah), Granada (ungu), dan Mariniyah (hijau)

Tertekan oleh Alfonso, Muhammad meminta dukungan dari Mariniyah, pimpinan Abu Yusuf Yaqub.[24] Saat Alfonso pergi untuk bertemu Paus Gregorius X, meninggalkan kerajaannya di bawah pewaris dan wali rajanya Ferdinand de la Cerda,[25] Muhammad mengirim utusan ke pihak Mariniyah.[24] Sejak tahun 1245, Abu Yusuf menunjukkan minat untuk berperang melawan umat Kristen di Spanyol. Setelah meraih kekuasaan atas bekas ibukota Almohad, Marrakech, dan sebagian besar Maroko, ia pun memiliki kekuatan dan kesempatan untuk melakukannya.[20] Pada bulan April 1275, Abu Yusuf mengerahkan pasukan yang termasuk 5.000 pasukan kavaleri di bawah komando putranya, Abu Zayyan Mandil.[24][26] Tiga bulan kemudian, Abu Zayyan melintasi Selat Gibraltar, mendarat di Tarifa dan merebut kota tersebut.[24] Kemudian, gubernur Algeciras bergerak dari Granada dan menyerahkan kotanya kepada Abu Zayyan.[26] Pangeran Mariniyah tersebut lalu mendirikan sebuah tumpuan pantai (beachead) antara Tarifa dan Algeciras, dan mulai menyerbu wilayah Kastila sampai Jerez.[24] Di tengah penyerbuan tersebut, Muhammad II menyerang Banu Asyqilula di Málaga pada Juni 1275, tetapi kemudian ia dipukul mundur.[26] Ferdinand de la Cerda maju untuk menghadapi pasukan Muslim. Namun, ia meninggal dunia pada 25 Juli 1275 di Villareal, meninggalkan Kastila dalam kepemimpinan yang tak pasti.[20]

Dengan tumpuan pantai yang berhasil didirikan tersebut dan terkikisnya wilayah Kastila, Abu Yusuf mengirim lebih banyak pasukan, termasuk pengawalnya sendiri, menteri, perwira, dan ulama Afrika Utara. Abu Yusuf sendiri menyeberangi Spanyol pada 17 Agustus 1275. Ia kemudian menemui Muhammad dan pemimpin Banu Asyqilula, Abu Muhammad, yang bergabung dengan sultan Muhammad beserta pasukan mereka. Mariniyah memperlakukan Nashri dan Banu Asyqilula sebagai mitra setara, dan Muhammad yang merasa tersinggung karena dianggap setara dengan bawahannya yang memberontak, meninggalkan pasukan setelah tiga hari, sementara pasukannya tetap bertahan.[27] Pada bulan September 1275, pasukan tersebut memenangkan kemenangan besar melawan Kastila dalam Pertempuran Ecija. Nuño González, yang sekarang memihak Kastila, ikut terbunuh. Menurut hikayat-hikayat Mariniyah, Banu Asyqilula ikut andil dalam sebagian besar kemenangan tersebut dan para pemimpin mereka hadir. Di sisi lain, pasukan Granada memberikan kontribusi sedikit, dengan Muhammad sendiri tetap berada di Granada.[28]

Abu Zayyan pun merayakan kemenangan tersebut di Algeciras dan mengirimkan kepala Nuño González ke Granada.[29] Hal tersebut mungkin dikecam Muhammad, yang membenci jenis kekejaman tersebut dan mungkin menghormati atau bahkan berteman dengan bekas sekutunya. Ia membalsem kepala tersebut memakai wewangian dan kapur barus dan mengirimnya ke Kastila untuk disemayamkan dengan jasadnya.[30] Sumber-sumber Mariniyah menggambarkannya sebagai upaya dari Muhammad untuk "menjalin pertemanan [dengan Alfonso]".[29][31] Pada masa itu, Mariniyah menjadi semakin bersahabat dengan Banu Asyqilula dan kurang simpatik terhadap Muhammad.[29]

 
Petikan sebuah puisi karya sekretaris Muhammad II untuk Sultan Mariniyah Abu Yusuf, mengisahkan bantuan berkelanjutannya di Al-Andalus.[32][33][34]

Setelah kalah dalam pertempuran laut di dekat Tarifa, Abu Yusuf, yang takut putus hubungan dengan Maroko, memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Abu Yusuf, Muhammad dan Kastila menyepakati gencatan senjata selama dua tahun pada akhir Desember 1275 atau awal Januari 1276.[35] Sebelum Abu Yusuf hengkang, sekretaris Muhammad, Abu Umar bin Murabit[36] menulis sebuah puisi yang mengekspresikan kekhawatiran terhadap kekuatan Kastila dan harapan atas bantuan berkelanjutan dari Mariniyah.[32][36] Abu Yusuf meninggalkan Spanyol dan mendarat di Ksar es-Seghir pada 19 Januari.[37]

Abu Yusuf dan Mariniyah kembali ke Spanyol pada Juni 1277. Awalnya, mereka bergabung dengan Banu Ashqilula dan berkampanye tanpa Muhammad dan pasukan Nashri. Mariniyah mengalahkan pasukan Kastila di luar Sevilla pada 2 Agustus dan merebut beberapa kastil di sepanjang sungai Guadalquivir sebelum menarik diri ke Algeciras pada 29 Agustus.[38] Abu Yusuf kembali berpawai pada 30 Oktober, kali ini bergabung dengan Muhammad di dekat Archidona. Mereka merebut kastil Benamejí, mengepung Córdoba, dan menjarah kota-kota di sekitarnya. Baik Alfonso maupun kota-kota yang terdampak perang tersebut memohon perdamaian, yang diterima oleh Muhammad dan Abu Yusuf. Abu Yusuf menarik diri ke Algeciras pada 28 November, menyatakan gencatan senjata pada 24 Februari 1278, dan kembali ke Maroko pada bulan Mei. Meskipun Mariniyah memenangkan kemenangan di medan perang dan pasukan Muslm menjarah ke berbagai kota, mereka gagal merebut pemukiman besar manapun atau secara permanen menganeksasi wilayah-wilayah Kristen.[39] Di sisi lain, pelabuhan-pelabuhan Tarifa dan Algeciras di Selatan, masih menjadi pos-pos luar Mariniyah di semenanjung tersebut.[37]

Pergerakan diplomatik hingga tahun 1280

sunting

Pada ekspedisi kedua Abu Yusuf, Banu Asyqilula menyerahkan Málaga, pusat kekuatan mereka, kepada sekutu baru mereka.[29] Keputusan tersebut dipicu oleh kekhawatiran bahwa mereka tak dapat mempertahankannya dari serangan Granada.[40] Mariniyah kemudian menduduki kota tersebut pada pertengahan Februari 1278.[40] Abu Yusuf mengangkat pamannya, Umar bin Yahya, menjadi gubernur.[21][23] Muhammad merasa terganggu dengan perambahan Mariniyah ke wilayah kekuasaannya, yang mengingatkannya dengan tindakan Almoraviyah dan Almohad, dua dinasti Muslim Afrika Utara sebelumnya yang menganeksasi Andalus setelah sebelumnya campur tangan melawan orang-orang Kristen. Ia mendorong Yaghmurasen dari Tlemcen untuk menyerang Mariniyah di Afrika Utara, dan Kastila untuk menyerang pangkalan Spanyol Mariniyah di Algeciras.[21] Kalah kuat dan diserang di berbagai sisi, Abu Yusuf menarik diri dari Málaga dan menyerahkan kota tersebut kepada Muhammad pada 31 Januari 1279.[41][21] Granada juga diduga menyuap Umar bin Yahya dengan memberikannya kastil Salobreña dan lima puluh ribu dinar emas.[21] Muhammad mengangkat sepupu dan penasehat dekatnya, Abu Said Faraj sebagai gubernur.[42] Dengan Málaga di tangannya, Muhammad kemudian membantu Mariniyah mempertahankan Algeciras, mungkin merasa bersalah dengan penderitaan umat Muslim yang dikepung di kota tersebut. Pasukan gabungan Mariniyah–Granada berhasil mengalahkan para pengepung Kastila pada tahun 1279. Sumber-sumber Kastila pada masa itu tak menyebut keterlibatan Granada dan menganggap mereka dikalahkan sendiri oleh Mariniyah.[43]

Perang pada dua front

sunting

Mariniyah dan Kastila murka atas manuver yang dilakukan oleh Muhammad, yang merebut Málaga dan mencegah Kastila untuk menduduki Algeciras. Keduanya, bersama Banu Asyqilula, menyerang Muhammad pada tahun 1280.[44] Mariniyah dan Banu Asyqilula bergerak menuju Málaga dan gagal menyerang wilayah Marbella di selatan.[44][45] Kastila menyerang dari utara, dipimpin oleh Infante (Pangeran) Sancho (kemudian Sancho IV), putra Alfonso, yang dicegah oleh Ghuzat al-Mujahidin pimpinan Ibnu Muhalli dan Tashufin ibn Mu'ti.[44] Para sukarelawan tersebut adalah bagian dari militer Granada yang terdiri dari para prajurit asal Afrika Utara, yang sebagian besarnya diasingkan secara politik dan bermigrasi dengan keluarga dan suku mereka.[46] Meskipun mereka juga sedang berperang dengan negara Mariniyah yang merupakan asal mereka, mereka masih membela Granada melawan Kastila.[44] Pada 23 Juni, pasukan Granada menyerang pasukan besar Kastila di Moclín.[45] Pada Juni 1281, Kastila menyerang balik, dipimpin oleh Alfonso sendiri dan didampingi oleh Infante Sancho, Petrus dan Yohanes.[47] Mereka mengalahkan Muhammmad dalam pertempuran di dekat tembok Granada pada 25 Juni, tetapi setelah kegagalan negosiasi yang terjadi setelahnya, pasukan Kastila meninggalkan Granada.[47]

Pada akhir 1281, Alfonso mengirim Sancho ke Granada untuk negosiasi lebih lanjut dan Muhammad setuju untuk memperbarui status vassalnya untuk Kastila. Namun, Alfonso menuduh Sancho telah berkhianat dan menyelewengkan upeti Muhammad. Pergesekan yang terjadi antar raja dan putranya yang menimbulkan melemahnya ancaman Kastila terhadap Granada.[48] Alfonso mengakhirinya dengan meminta bantuan Abu Yusuf untuk melawan Sancho, dan kedua penguasa tersebut berkampanye bersama melawan para partisan Sancho di Kastila.[49] Sementara itu, Muhammad mengamankan aliansi dengan Sancho di Priego pada akhir 1282.[50] Pada akhir 1283, Abu Yusuf menyerang Málaga, memaksa Muhammad untuk berdamai. Diperantarai oleh putra Abu Yusuf, Abu Yaqub Yusuf, mereka sepakat untuk berekonsiliasi dan bersama-sama menyerang umat Kristen.[51]

Alfonso wafat pada tahun 1284, dan digantikan oleh Sancho. Sancho bersikap ramah dengan Granada dan menarik mundur pasuka Kastila, sementara Muhammad mendeklarasikan status vasalnya terhadap Kastila.[52][53] Pada 1286, Abu Yusuf wafat dan digantikan oleh putranya, Abu Yaqub. Pada awal masa pemerintahannya, Abu Yaqub lebih mengurusi urusan dalam negeri sehingga menarik pasukannya dari kampanye Iberia. Pada tahun 1288, Abu Yaqub menawarkan sebuah wilayah di Afrika Utara kepada Banu Ashqilula. Suku tersebut kemudian menerima tawaran dari Abu Yaqub dan berimigrasi massal dari wilayah Granada.[23][53]

Kampanye-kampanye Tarifa

sunting
 
Muhammad II membantu Sancho IV merebut Tarifa dari Mariniyah, tetapi raja Kastila kemudian menolak untuk menyerahkan kota tersebut kepada Muhammad sesuai janji.
Gambar: Sebuah patung yang mengenang perebutan Tarifa oleh Sancho.

Mariniyah mempertahankan pos-posnya di Iberia, termasuk Tarifa, sebuah kota pelabuhan penting di Selat Gibraltar. Pada tahun 1290, Muhammad menjalin perjanjian dengan Sancho dan penguasa Tlemcen. Kastila akan menyerang Tarifa, Granada akan menyerang wilayah-wilayah Mariniyah lainnya, dan Tlemcen akan bertikai secara terbuka melawan Mariniyah di Afrika Utara.[54] Berdasarkan perjanjian, Kastila kemudian akan menyerahkan Tarifa ke Granada sebagai pertukaran dengan enam benteng perbatasan.[53] Pada November dan Desember 1291, Yakobus II dari Aragon bertemu Sancho dan bersepakat untuk bergabung dalam perang melawan Mariniyah.[55] Pada Oktober 1292, dengan bantuan dari angkatan laut Aragon dan disuplai oleh Granada, Kastila berhasil merebut Tarifa.[56] Kastila juga mengambil enam benteng perbatasan dari Granada sesuai yang disepakati, tetapi menolak untuk menyerahkan Tarifa. Bahkan setelah Muhammad bertemu Sancho di Córdoba pada bulan Desember.[57][58] Merasa dikhianati, Granada kemudian berbalik memihak Mariniyah. Muhammad datang ke Afrika Utara dan bertemu Abu Ya'qub di Tangier pada 24 Oktober, memberikan banyak hadiah dan memohon persahabatan dan permohonan maaf dari Abu Yaqub. Keduanya kemudian bersepakat untuk beraliansi melawan Kastila.[59] Pada tahun 1294, Mariniyah dan Granada gagal mengepung Tarifa. Setelah itu, kota tersebut tak pernah lagi jatuh ke tangan Muslim. Setelah kegagalan tersebut, Mariniyah memutuskan untuk menarik diri ke Afrika Utara. Granada merebut kembali bekas pos-posnya, termasuk Algeciras dan Ronda, setelah beberapa pemberontakan lokal.[57][58]

Tahun-tahun terakhir dan kematian

sunting
 
Quesada, direbut oleh Muhammad pada 1295 dan salah satu cangkupan wilayah Granada pada masa pemerintahannya.

Pada tahun 1295, Sancho meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang berusia sembilan tahun Ferdinand IV.[60] Karena usianya masih belia, Kastila diurus oleh sebuah perwalian raja pimpinan pamannya, Infante Henry.[60][61] Sepupunya, Alfonso de la Cerda berniat ingin merebut takhta tersebut, didukung oleh Yakobus dari Aragon.[62] Muhammad memanfaatkan keadaan tersebut untuk menyerang Kastila. Pada akhir 1295, ia merebut Quesada dan mengalahkan tentara Kastila dalam Pertempuran Iznalloz.[62] Ferdinand juga diserang oleh Aragon, Denis dari Portugal, dan pamannya, Infante Yohanes.[62] Pada tahun 1296, Granada dan Aragon menjalin persahabatan dan sepakat untuk membagi sasaran-sasaran mereka: Murcia akan diserahkan kepada Aragon dan Andalusia kepada Granada.[61][62] Pada Juni 1296, Infante Henry menawarkan perdamaian dengan Muhammad, menawarkan untuk menyerahkan Tarifa, tetapi tawaran tersebut kemudian batal saat panglima kota tersebut, Alfonso Pérez de Guzmán, menyatakan ketaksudiannya untuk menyerahkan Tarifa, walau diperintahkan.[63][64] Pada tahun berikutnya, pasukan Granada mengalahkan Infante Henry di dekat Arjona dan nyaris menangkapnya.[65] Kuda Henry berhasil tertangkap, tetapi Muhammad memerintahkan agar kuda tersebut dikembalikan atas dasar jiwa kekesatriaan.[66]

Mariniyah kemudian bergabung dalam perang tersebut untuk mendukung Granada dan mengalahkan Kastila dalam sebuah pertempuran besar di dekat Sevilla pada Mei atau Juni 1299. Mereka kemudian mengepung Tarifa.[67] Kastila memperbarui tawaran kepada Granada dengan menyerahkan Tarifa dalam pertukaran untuk sebuah aliansi dengan Granada, tetapi kembali terhambat akibat penolakan Alfonso Pérez.[67] Perang tersebut berlanjut dan Muhammad merebut benteng-benteng perbatasan lainnya, termasuk Alcaudete pada Juni 1299, dan menyerbu kota-kota Kastila yang meliputi Jaén dan Andújar.[64] Pada bulan April 1301, Muhammad dan Yakobus memperbarui aliansi mereka, meskipun Yakobus diam-diam mengirim suplai kepada umat Kristen yang terkepung di Tarifa.[68] Pada tanggal 6 September, Paus Bonifasius VIII menyatakan Ferdinand sebagai raja sah atas Kastila, melemahkan kekuatan dan legitimasi dari musuh-musuh Kristennya.[68] Pada bulan September 1301, Granada dan Aragon memperbarui aliansi mereka di Zaragoza. Mereka merencanakan serangan baru melawan Kastila dan menyeleraskan tujuan perang mereka; di antaranya adalah mereka sepakat bahwa Granada akan merebut kembali Tarifa dan mengakuisisi beberapa kota perbatasan.[64][69][70] Perjanjian tersebut diratifikasi pada bulan Januari 1302, dan kemudian Alfonso de la Cerda juga bergabung dengan aliansi tersebut dan mengakui kembali hak Muhammad atas Tarifa.[70] Namun, sebelum kampanye tersebut dimulai, Muhammad II wafat pada 8 April 1302 (8 Syakban 701 Hijriyah).[64][69] Ia digantikan oleh putranya, Muhammad III. Terdapat dugaan bahwa Muhammad III mungkin sengaja merebut kekuasaan dengan meracuni ayahnya, walaupun pernyataan tersebut tak pernah terkonfirmasi.[71][72][73]

Pemerintahan dan peninggalan

sunting
 
Sebuah mercusuar zaman Nashri di Huéscar. Muhammad II membangun barisan benteng di garis depan keamirannya.

Muhammad membangun negara yang baru lahir yang dibentuk ayahnya, dan tetap mempertahankan kemerdekaan kerajaannya dengan bersekutu dengan kekuatan lain, khususnya Kastila dan Mariniyah, dan terkadang mendorong mereka untuk berperang satu sama lain.[12][74] Sebuah esensi identitas juga timbul di kerajaan tersebut, disatukan lewat agama (Islam), bahasa (Arab), dan kesadaran akan ancaman yang selalu ada terhadap kelangsungan hidup mereka dari tetangga-tetangga Kristen yang berbicara rumpun bahasa Roman. Sejarawan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ikatan tersebut dijadikan sebagai pengganti dari asabiyyah atau solidaritas suku, yang menurut Ibnu Khaldun merupakan hal yang mendasar dalam kebangkitan dan kejatuhan negara.[75]

Muhammad II adalah penghimpun sebenarnya dari negara Nashri dengan reformasi-reformasinya dalam bidang administrasi dan ketentaraan.[76] Kegiatan legislatifnya yang menonjol meliputi pembuatan protokol kerajaan Nashri (rusūm al-mulk),[77] dan kanselir istana (al-kitāba) dengan kepala figur pemerintahannya adalah kelak wali raja Abu Abdallah bin al-Hakim.[78] Masa pemerintahannya juga diwarnai ekspansi dan institusionalisasi sukarelawan Iman (juga disebut ghazi dalam bahasa Arab): para prajurit yang direkrut dari Afrika Utara untuk mempertahankan Granada dari umat Kristen. Beberapa diantaranya adalah anggota suku atau keluarga yang diasingkan dari negara Mariniyah.[46] Beberapa diantara mereka menetap di kota Granada, membentuk kawasan Zenete (diambil dari nama suku Berber Zenata),[46] dan beberapa di kawasan barat kerajaan tersebut, seperti Ronda dan sekitarnya.[61] Mereka menerima bayaran dari negara, tetapi sering kali berkonflik dengan penduduk setempat di kawasan yang mereka tinggali. Pada awal tahun 1280-an, saat Granada berkonflik dengan Mariniyah, para Sukarelawan tersebut masih loyal dan mempertahankan Granada melawan Kastila, saat wilayah tersebut diserang pada saat yang sama.[44] Seiring berjalannya waktu, para sukarelawan tersebut menjadi pasukan militer paling penting dari Granada, berjumlah 10.000 pasukan pada akhir masa pemerintahan Muhammad dan melampaui pasukan rekrutan lokal Granada. Pemimpin mereka, syaikh al-ghuzat, memegang posisi penting dalam politik Granada.[79] Orang-orang berbeda yang disebut sebagai syaikh oleh Muhammad pada berbagai waktu di masa pemerintahannya, termasuk Ali bin Abi Iyad bin Abd al-Haqq, Tasfin bin Mu'ti, Musa bin Rahhu, Abd al-Haqq ibn Rahhu, dan Ibrahim bin Yahya.[80]

 
Muhammad II menambahkan Torre de las Damas (gambar) dan Torre de los Picos di Alhambra.

Secara teritorial, Muhammad mengkonsolidasikan kerajaannya dan merebut beberapa benteng di Kerajaan Jaén, termasuk Quesada dan Alcaudete.[68] Ia kehilangan Tarifa yang direbut oleh Kastila. Sejak saat itu, kota tersebut tak pernah lagi berada di tangan Muslim.[58] Ancaman dalam negeri dari Banu Ashqilula berhasil disingkirkan, dan Muhammad tak hanya dipandang berhasil memadamkan serangan-serangan Mariniyah berulang, tetapi juga merebut kekuasaan-kekuasaan mereka di Al-Andalus.[74][81] Muhammad mengarahkan proyek perbentengan skala besar untuk pertahanan kerajaan, membangun serangkaian benteng yang disuplai baik dan berposisi strategis dari barat sampai timur, yang membentuk tulang punggung pertahanan garis depan Granada selama berabad-abad.[82][83][84] Perbentengan tersebut juga menguatkan kontrol kerajaan karena perbentengan tersebut dikontrol oleh para gubernur militer (qa'id) yang dipilih dan dirotasi oleh istana, alih-alih diperintah oleh para penguasa herediter.[85] Perbentengan tersebut sering kali terletak di pegunungan atau kawasan lain yang sulit dicapai, dan hanya dapat direbut atau dirangseki oleh alat perang pengepungan mahal.[86]

Muhammad meningkatkan pengaruh waliraja di negara Nashri. Ia hanya memiliki satu wali raja sepanjang masa pemerintahannya yang lama, Abu Sultan Aziz bin Ali bin al-Mun'im al-Dani, yang menjadi sekutu kepercayaannya. Ia juga menjabat sebagai utusan Muhammad untuk Mariniyah, mengkomandani beberapa operasi militer, dan sama-sama menandatangani banyak dokumen kerajaan.[87] Muhammad juga meluaskan istana dan kompleks benteng Alhambra yang dimulai oleh ayahnya, membangun apa yang sekarang dikenal sebagai Torre de las Damas dan Torre de los Picos.[88] Lebih jauh lagi, bangunan istana Nashri yang sekarang dikenal sebagai Cuarto Real de Santo Domingo, yang terletak di tepi dinding selatan Granada, telah ditetapkan oleh para ahli sebagai bagian dari masa pemerintahannya.[89]

Dalam urusan luar negeri, Muhammad mendorong peningkatan dagang dengan Kristen Eropa, khususnya para pedagang Italia dari Genoa dan Pisa.[90] Pada 18 April 1279, Muhammad membuat sebuah traktat dengan utusan Genoa, memberikan hak untuk mengekspor barang-barang Granada kepada republik tersebut dengan potongan bayaran 6.5% dan membangun pos dagang di keamiran tersebut, sebagai pertukaran untuk menyuplai kapal-kapal ke Granada saat konflik melawan kekuatan Muslim lain yang tak bersekutu dengan Genoa.[91]

Muhammad II dikenal dengan sebutan al-Faqih, yang artinya "pakar hukum", tetapi juga dapat berarti "orang bijak", dan tak hanya merefleksikan pendidikan tingginya, tetapi juga karena ia dikelilingi oleh para cendekiawan dan penyair. Seperti tokoh sezamannya, Raja Alfonso X dari Kastila, Muhammad menulis puisi dan mengedepankan kegiatan budaya yang signifikan di istananya.[76] Ia bersaing dengan Alfonso dalam menarik perhatian orang-orang terpelajar, terutama ilmuwan Muslim dari wilayah-wilayah yang dijajah oleh orang Kristen.[92] Di antara orang-orang terpelajar yang ia datangkan ke dalam istananya adalah matematikawan dan fisikawan Muhammad ar-Riquti dan astronom, serta matematikawan Muhammad bin al-Raqqam, yang bermigrasi ke Granada, walaupun sempat ditawari uang dalam jumlah besar oleh Alfonso jika ia pindah agama dan menetap di wilayah Kristen.[93] Sejarawan Spanyol Ana Isabel Carrasco Manchado menyatakan, "al-Faqih adalah sebutan tak lazim di kalangan penguasa Andalusia; ini menggarisbawahi kepribadian politik yang ditujukan untuk menonjolkan diri sendiri lewat asosiasi dengan praktek intelektual dan dengan iman, serta norma-norma keadilan dan hukum, selaran dengan kegiatan para faqih".[76]

Referensi

sunting

Kutipan

sunting
  1. ^ a b Boloix Gallardo 2017, hlm. 165.
  2. ^ Boloix Gallardo 2017, hlm. 164.
  3. ^ Harvey 1992, hlm. 28–29.
  4. ^ Boloix Gallardo 2017, hlm. 38.
  5. ^ Boloix Gallardo 2017, hlm. 39.
  6. ^ a b Harvey 1992, hlm. 39–40.
  7. ^ Harvey 1992, hlm. 33.
  8. ^ Boloix Gallardo 2017, hlm. 166.
  9. ^ a b Fernández-Puertas 1997, hlm. 2–3.
  10. ^ a b Kennedy 2014, hlm. 279.
  11. ^ Arié 1973, hlm. 206.
  12. ^ a b c Kennedy 2014, hlm. 280.
  13. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 11.
  14. ^ O'Callaghan 2013, hlm. 456.
  15. ^ Kennedy 2014, hlm. 281.
  16. ^ a b Carrasco Manchado 2009, hlm. 401.
  17. ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 151.
  18. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 3.
  19. ^ Harvey 1992, hlm. 38–39.
  20. ^ a b c O'Callaghan 2011, hlm. 65.
  21. ^ a b c d e Harvey 1992, hlm. 158.
  22. ^ Harvey 1992, hlm. 153.
  23. ^ a b c Kennedy 2014, hlm. 284.
  24. ^ a b c d e Harvey 1992, hlm. 154.
  25. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 62–63.
  26. ^ a b c Arié 1973, hlm. 70.
  27. ^ Harvey 1992, hlm. 155–156.
  28. ^ Harvey 1992, hlm. 156–157.
  29. ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 157.
  30. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 68.
  31. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 68–69.
  32. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 69–70.
  33. ^ Ibn Khaldun 1851, hlm. 288, juga di Wikimedia Commons
  34. ^ Ibn Khaldun 1856, hlm. 94.
  35. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 69.
  36. ^ a b Ibn Khaldun 1856, hlm. 92.
  37. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 70.
  38. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 72–73.
  39. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 73–74.
  40. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 74.
  41. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 76.
  42. ^ Fernández-Puertas 1997, hlm. 2.
  43. ^ Harvey 1992, hlm. 158–159.
  44. ^ a b c d e Harvey 1992, hlm. 159.
  45. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 78.
  46. ^ a b c Kennedy 2014, hlm. 282.
  47. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 81.
  48. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 82.
  49. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 83.
  50. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 85.
  51. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 86.
  52. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 89.
  53. ^ a b c Harvey 1992, hlm. 160.
  54. ^ Harvey 1992, hlm. 159–160.
  55. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 97–98.
  56. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 101.
  57. ^ a b Harvey 1992, hlm. 161–162.
  58. ^ a b c Kennedy 2014, hlm. 284–285.
  59. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 103.
  60. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 112.
  61. ^ a b c Harvey 1992, hlm. 162.
  62. ^ a b c d O'Callaghan 2011, hlm. 113.
  63. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 114.
  64. ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 163.
  65. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 114–115.
  66. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 115.
  67. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 116.
  68. ^ a b c O'Callaghan 2011, hlm. 118.
  69. ^ a b Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1022.
  70. ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 117.
  71. ^ Harvey 1992, hlm. 163, mengutip Ibn al-Khatib: "A story was put about that [Muhammad II] had been poisoned by a sweetmeat administered by his heir." Kennedy 2014, hlm. 285: "It was alleged that [Muhammad III] had in fact poisoned his father."
  72. ^ Harvey 1992, hlm. 163, 166.
  73. ^ Kennedy 2014, hlm. 285.
  74. ^ a b Catlos 2018, hlm. 341.
  75. ^ Harvey 1992, hlm. 163–164.
  76. ^ a b c Carrasco Manchado 2009, hlm. 402.
  77. ^ Carrasco Manchado 2009, hlm. 429.
  78. ^ Carrasco Manchado 2009, hlm. 439.
  79. ^ Kennedy 2014, hlm. 282–283.
  80. ^ Arié 1973, hlm. 240.
  81. ^ Carrasco Manchado 2009, hlm. 403.
  82. ^ Kennedy 2014, hlm. 283.
  83. ^ Arié 1973, hlm. 230.
  84. ^ Albarrán 2018, hlm. 45–47.
  85. ^ Albarrán 2018, hlm. 46–47.
  86. ^ Albarrán 2018, hlm. 45–46.
  87. ^ Arié 1973, hlm. 306.
  88. ^ Arié 1973, hlm. 463.
  89. ^ Arnold 2017, hlm. 242-244.
  90. ^ Harvey 1992, hlm. 161.
  91. ^ Arié 1973, hlm. 360–361.
  92. ^ Vernet & Samsó 1996, hlm. 272.
  93. ^ Vernet & Samsó 1996, hlm. 271.

Daftar pustaka

sunting

Sumber primer

sunting