Seleksi seksual manusia menyangkut konsep seleksi seksual, yang diperkenalkan oleh Charles Darwin sebagai elemen dari teorinya tentang seleksi alam,[1] dan bagaimana konsep tersebut mempengaruhi manusia.

Seorang pria Pejuang Zulu dan istri-istrinya yang dipoligami

Seleksi seksual adalah strategi biologis masing-masing jenis kelamin untuk memilih pasangannya demi keberhasilan reproduksi terbaik. Kebanyakan individu harus bersaing dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama untuk memperoleh pasangan terbaik untuk menyumbangkan genom mereka bagi generasi mendatang. Prinsip ini telah membentuk evolusi manusia sejah kemunculannya, tetapi alasan mengapa manusia memilih pasangannya sulit dipahami. Seleksi seksual sangat berbeda pada hewan non-manusia daripada manusia, karena hewan-hewan lain merasakan lebih banyak tekanan evolusioner untuk bereproduksi dan dapat dengan mudah menolak pasangan.[2]

Peran seleksi seksual dalam evolusi manusia belum ditetapkan secara tegas, meskipun neoteni telah dikutip sebagai akibat dari seleksi seksual manusia.[3] Seleksi seksual berperan dalam evolusi otak manusia modern secara anatomis, yaitu struktur yang bertanggung jawab atas kecerdasan sosial, yang menjalani seleksi positif sebagai ornamen seksual untuk digunakan dalam pacaran daripada untuk bertahan hidup.[4]

Anatomi seksual

Teori seleksi seksual telah digunakan untuk menjelaskan sejumlah fitur anatomi manusia. Termasuk payudara yang membulat, rambut wajah, rambut kemaluan dan ukuran penis. Payudara primata umumnya lebih rata, tetapi mampu menghasilkan susu yang cukup untuk memberi makan anaknya. Namun, payudara wanita manusia yang tidak menyusui diisi dengan jaringan lemak dan bukan susu. Oleh karena itu, payudara wanita yang bulat dianggap sebagai sinyal kesuburan.[5] Richard Dawkins berspekulasi bahwa hilangnya tulang penis pada manusia (yang ditemui pada primata lain) mungkin disebabkan oleh seleksi seksual betina yang mencari ciri kesehatan yang baik pada calon pasangannya. Karena ereksi manusia bergantung pada sistem pemompaan hidrolik, kegagalan ereksi merupakan peringatan dini yang sensitif terhadap adanya jenis penyakit fisik dan mental tertentu.[6]

Homo memiliki penis yang lebih tebal daripada kera besar lainnya, meskipun rata-rata tidak lebih panjang dari simpanse.[7] Evolusi penis manusia menuju ukuran yang lebih besar adalah hasil dari pilihan wanita, dan bukan akibat kompetisi sperma, yang umumnya menyukai testis berukuran besar. Namun, ukuran penis mungkin telah menjadi subjek seleksi alam, bukan seleksi seksual, karena efisiensi penis yang lebih besar dalam menggantikan sperma laki-laki saingan selama hubungan seksual. Sebuah studi model menunjukkan bahwa perpindahan semen berbanding lurus dengan kedalaman dorongan panggul, hal ini menjadikan penis yang besar lebih efisien untuk menggantikan sperma laki-laki pesaing.[8]

Referensi

  1. ^ Vogt, Yngve (29 January 2014). "Large testicles are linked to infidelity". Phys.org. Diakses tanggal 31 January 2014. 
  2. ^ Miller G. (2000). The mating mind: how sexual choice shaped the evolution of human nature, London, Heineman, ISBN 0-434-00741-2 (also Doubleday, ISBN 0-385-49516-1).
  3. ^ Neoteny and Two-Way Sexual Selection in Human Evolution: A Paleo-Anthropological Speculation on the Origins of Secondary-Sexual Traits, Male Nurturing and the Child as a Sexual Image
  4. ^ Sexual Selection and the Mind
  5. ^ Morris, Desmond (2007). "Breasts". The Naked Woman. ISBN 978-0-312-33853-4. 
  6. ^ Dawkins, Richard (2006) [First published 1976]. The Selfish Gene (edisi ke-30th anniversary). hlm. 158 endnote. It is not implausible that, with natural selection refining their diagnostic skills, females could glean all sorts of clues about a male's health, and the robustness of his ability to cope with stress, from the tone and bearing of his penis. 
  7. ^ Dixson, A. F. (2009). Sexual selection and the origins of human mating systems. Oxford University Press. hlm. 61–65. ISBN 9780191569739. 
  8. ^ In a theoretical paper published in the journal Evolutionary Psychology in 2004, Gallup and coauthor, Rebecca Burch, conjecture that, "A longer penis would not only have been an advantage for leaving semen in a less-accessible part of the vagina, but by filling and expanding the vagina, it also would aid and abet the displacement of semen left by other males as a means of maximizing the likelihood of paternity." – "Secrets of the Phallus: Why Is the Penis Shaped Like That?", ScientificAmerican.com.

Bacaan lanjutan