Aksara Makassar Kuno
Aksara Makassar juga dikenal sebagai Lontara Mangkasara' atau Lontara Jangang-jangang dalam bahasa Makassar; arti harfiah: "tulisan burung"), atau singkatnya sebagai Aksara Makassar, adalah salah satu aksara historis Indonesia yang pernah digunakan di Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa Makassar yang diciptakan oleh Daeng Pamatte pada tahun 1538 atas perintah raja Gowa ke-9 Karaeng Tumapakrisik Kallongna (1510-1546). [1][2]
Aksara Makassar 𑻪𑻢𑻪𑻢 | |
---|---|
Jenis aksara | |
Bahasa | Bahasa Makassar |
Periode | abad 16 hingga abad 19 |
Arah penulisan | Kiri ke kanan |
Aksara terkait | |
Silsilah | Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
|
Aksara kerabat | Bali Batak Baybayin Bugis Incung Jawa Lampung Makassar Rejang Sunda |
ISO 15924 | |
ISO 15924 | Maka, 366 , Makasar |
Pengkodean Unicode | |
U+11EE0–U+11EFF | |
Aksara Makassar adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 18 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Makassar, sehingga teks Makassar secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
Sejarah Aksara Makassar
Sesungguhnya Lontara Makassar ini sudah ada 483 tahun lamanya, dibaca dan ditulis di Sulawesi Selatan, namun masih sedikit sekali masyarakat di Sulawesi Selatan yang mengetahui sejarahnya, bahkan diantara para pengajar di masyarakat etnis suku Makassar itu sendiri. Sungguh sangat di sayangkan, pada masa ini masih ada yang belum mengetahui bahwa Lontara yang kita pakai sekarang ini adalah Lontara Makassar dengan generasi ketiga.
1.Lontara Tua sering juga disebut Lontara Jangang-Jangang, sebuah Aksara yang mirip seperti burung yang di ciptakan oleh Daeng Pamatte pada tahun 1538 seorang Syahbandar Kerajaan Gowa atas perintah Raja Gowa ke-IX, Karaeng Tumapakrisik Kallongna yang berkuasa pada tahun (1510-1546).
Patturioloang Gowa menyebutkan : ᨞ iapa anne karaeng mapareq rapang bicara timu-timu ri bunduka sabannaraqnami anne karaenga I Daeng Pamatteq ia sabannaraq ia tumailalang iami ampareki lontaraq Mangkasaraka ᨞
Terjemannya kurang lebih seperti ini "Baru kali ini Raja membuat kebijakan yang ditulis sebagai hukum, deklarasi perang. Syahbandar raja Gowa ini adalah Daeng Pamatte, dia Syahbandar dia juga Menteri Dalam Negeri. Dialah yang membuat Lontara Makassar".
Menurut Dr. Kern, disebutkan dalam buku karangan Dr. H. Van Brink yang bernama Dr. Bonyamin Fredriks Matheus atau lebih dikenal dengan nama BF Matthes, zi jn Leven en Arboid In Dienst van het Nederlands Bijbelgenoot Schap. Dia pula yang memerintahkan penulisan ulang catatan harian raja-raja Gowa, Lontara Gowa Tallo "Dudste gesehiedeuis van Gowa, Tallo en andere van het Eiland Celebes 1883".Dikatakan bahwa Lontara Tua itu dari huruf seperti Jangang-Jangang (Burung). Abjad Lontara tua hanya 18 buah huruf (tanpa huruf H) di pakai hingga akhir abad ke-XVI.
2.Lontara Bilang Bilang Lontara ini terpengaruh dengan masuknya pengaruh Islam di kerajaan Gowa Tallo yang sudah memakai penanggalan tahun Hijriah sesuai catatan harian Kerajaan Gowa ;"3 Muharram 1002 H (1590 M) nanijalloq Karaenga Tunijalloq umuruqna 45". Dikatakan Lontara Bilang karena sudah memakai penanggalan tanggal, bulan dan tahun.
Lontara Bilang ini mulai dipakai pada akhir abad ke-16, merupakan suatu perubahan yang sangat besar dari Lontara Tua sebelumnya. Bunyi dan susunan abjadnya masih tetap sama, tetapi bentuk hurufnya sudah berubah. Selain di rubah bentuknya, Lontara Tua ini telah di sempurnakan pula dengan menambahkan huruf H (dengan demikian sudah 19 buah abjad).
3.Lontara Baru adalah Lontara Makassar generasi ketiga, disebut Lontara Baru karena jenis inilah yang dipakai sebagaimana kita lihat saat ini. Bahwa Lontara Tua itu telah disempurnakan lagi sehingga rupanya sudah menjadi lain sekali. Huruf-huruf yang kemudian ini mempunyai dua sifat yang baik, sudah mudah dan sederhana.
Dengan penyempurnaan ini, maka jumlah abjad huruf Lontara berubah dari 18 +1, untuk keperluan penulisan dalam bahasa Bugis, maka ditambah 4 huruf baru yaitu NCA, NGKA, MPA dan NRA menjadi 23 huruf (19 untuk berbahasa Makassar dan 23 untuk berbahasa Bugis). Ada 6 buah huruf Lontara Tua masih tampak dalam barisan abjad dalam huruf Lontara sekarang ini. Adapun huruf Lontara yang sekarang ini tidaklah bersumber dari sesuatu bentuk huruf, tapi sumber bentuknya adalah sebuah segi empat belah ketupat. Dalam Lontara Makassar ada dinamai Anrong Hurupu (induk huruf), ada juga disebut anak huruf yaitu tanda bunyi (a-i-u-e-o).
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, Makassar, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[3] Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.[4] Beberapa penulis kadang menyebut Daeng Pamatte', syahbandar Kerajaan Gowa di awal abad 16 M, sebagai pencipta aksara Makassar berdasarkan kutipan dalam Kronik Gowa yang berbunyi Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasaraka, diterjemahkan sebagai "Daeng Pamatte' inilah yang menciptakan lontara Makassar" dalam terjemahan G.J. Wolhoff dan Abdurrahim yang terbit pada tahun 1959. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian besar sejarawan dan ahli bahasa kini, yang mengemukakan bahwa istilah ampareki dalam konteks tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai "menyusun" dalam artian penyusunan perpustakaan atau penyempurnaan pencatatan sejarah dan sistem menulis alih-alih penciptaan aksara dari nihil.[5][6][7][8] Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam Perjanjian Bungaya dari tahun 1667 yang kini disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), Amsterdam (no. koleksi KIT 668/216).[9]
Dalam perkembangannya, penggunaan aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan aksara Lontara Bugis yang bagi penulis Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Pergantian ini kemungkinan dipengaruhi oleh surutnya prestise Kerajaan Gowa bersamaan dengan meningkatnya kekuatan Bugis. Seiring menurunnya pengaruh Gowa, para juru tulis Makassar tidak lagi menggunakan aksara Makassar dalam pencatatan sejarah resmi atau dokumen sehari-hari, meski kadang masih digunakan untuk konteks-konteks tertentu sebagai upaya untuk membedakan identitas budaya Makassar dari pengaruh Bugis. Naskah beraksara Makassar paling baru yang sejauh ini diketahui adalah catatan harian seorang tumailalang (perdana menteri) Gowa dari abad 19 M yang bentuk aksaranya telah menerima pengaruh signifikan dari aksara Lontara Bugis.[10] Hingga penghujung abad 19 M, penggunaan aksara Makassar telah tergantikan sepenuhnya dengan Lontara Bugis dan kini tidak ada lagi pembaca asli aksara Makassar.[1]
Penggunaan
Penggunaan Aksara Makassar | |
|
Sebagaimana aksara Lontara yang juga digunakan di lingkup budaya Sulawesi Selatan yang sama, aksara Makassar digunakan dalam sejumlah tradisi teks berkaitan yang sebagian besarnya ditulis dalam manuskrip atau naskah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (patturioloang). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[11] Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul atau disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.[12][13] Meskipun begitu, catatan sejarah seperti patturiolong Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.[14] Salah satu patturiolong beraksara Makassar yang telah diteliti oleh para ahli ialah Kronik Gowa yang menguraikan riwayat raja-raja Gowa sejak berdirinya Kerajaan Gowa hingga masa pemerintahan Sultan Hasanuddin pada abad 17 M.
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.[15] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (arung), atau perdana menteri (tumailalang). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka sering kali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.[15]
Kerancuan
Aksara Makassar tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata mati meskipun bahasa Makassar memiliki banyak kata dengan suku kata mati. Tulisan baba 𑻤𑻤 dalam aksara Makassar dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba, dan bambang.[16] Mengingat bahwa penulisan aksara Makassar juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Makassar kerap memiliki banyak kerancuan kata yang sering kali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Makassar memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.[17][18] Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga penanda vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.
Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan aksara Makassar dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:
Aksara Makassar | Kemungkinan Cara Baca | |
---|---|---|
Latin | Arti | |
𑻱𑻤𑻵𑻦𑻱𑻳[19] | a'bétai | ia menang (intransitif) |
ambétai | ia mengalahkan ... (transitif) | |
𑻨𑻠𑻭𑻵𑻱𑻳𑻣𑻵𑻣𑻵𑻤𑻮𑻧𑻦𑻶𑻠[20] | nakanréi pépé' balla' datoka | api melahap sebuah klenteng |
nakanréi pépé' balanda tokka' | api melahap sang Belanda botak |
Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.[16]
Bentuk
Aksara dasar
Aksara dasar (𑻱𑻭𑻶𑻮𑻶𑻦𑻭 anrong lontara’ ) dalam aksara Makassar merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 18 aksara dasar dalam aksara Makassar, sebagaimana berikut:[2]
ka | ga | nga | pa | ba | ma | ta | da | na |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
𑻠 | 𑻡 | 𑻢 | 𑻣 | 𑻤 | 𑻥 | 𑻦 | 𑻧 | 𑻨 |
ca | ja | nya | ya | ra | la | wa | sa | a |
𑻩 | 𑻪 | 𑻫 | 𑻬 | 𑻭 | 𑻮 | 𑻯 | 𑻰 | 𑻱 |
Perlu diperhatikan bahwa aksara Makassar tidak pernah mengalami proses standardisasi sebagaimana aksara Lontara Bugis di kemudian harinya, sehingga terdapat banyak variasi penulisan yang dapat ditemukan dalam naskah-naskah Makassar.[21] Bentuk pada tabel di atas disadur dari aksara yang digunakan dalam buku harian Pangeran Gowa koleksi Tropenmuseum, no koleksi KIT 668-216.
Diakritik
Diakritik (𑻱𑻨𑻮𑻶𑻦𑻭 ana’ lontara’) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 4 diakritik dalam aksara Makassar, sebagaimana berikut:[2]
-i | -u | -e[1] | -o | ||
---|---|---|---|---|---|
Nama | ana' i rate | ana' i rawa | ana' ri olo | ana' ri boko | |
na | ni | nu | ne | no | |
𑻨 | 𑻨𑻳 | 𑻨𑻴 | 𑻨𑻵 | 𑻨𑻶 | |
Catatan
|
Tanda baca
Teks historis Makassar ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara Makassar diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: passimbang dan tanda pengakhir bagian. Passimbang berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat, sementara tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab.[2]
pallawa | akhir bagian |
---|---|
𑻷 | 𑻸 |
Pada naskah tertentu, tanda pengakhir bagian digantikan dengan tanda baca yang menyerupai pohon palem (🌴), dan untuk akhir bagian yang lebih besar umum digunakan stilisasi kata tammat yang menggunakan huruf Arab (تمت).[2]
Pengulangan suku kata
Suku kata berunut dengan konsonan awal yang sama sering kali ditulis dalam bentuk singkatan menggunakan diakritik ganda atau tanda pengulang angka yang kemudian dapat dilekatkan lagi dengan diakritik. Penggunaannya dapat dilihat sebagaimana berikut:[2]
|
|
Contoh teks
Berikut ini adalah kutipan dari Kronik Gowa yang mengisahkan jalannya sebuah pertempuran antara Gowa dan Tallo yang berujung pada persekutuan keduanya semasa pemerintahan Karaeng Gowa Tumapa'risi' Kallonna dan Karaeng Tallo Tunipasuru'.[a][8]
𑻱𑻳𑻬𑻦𑻶𑻥𑻳𑻱𑻨𑻵𑻷𑻥𑻡𑻱𑻴𑻷𑻨𑻨𑻳𑻮𑻳𑻣𑻴𑻢𑻳𑻷𑻨𑻳𑻤𑻴𑻧𑻴𑻷𑻭𑻳𑻦𑻴𑻦𑻮𑻶𑻠𑻷𑻭𑻳𑻦𑻴𑻥𑻭𑻴𑻰𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻦𑻴𑻣𑻶𑻮𑻶𑻤𑻠𑻵𑻢𑻷 ia–tommi anne. ma'gau'. na nilipungi. nibundu'. ri tu Talloka. ri tu Marusuka. ri tu Polombangkenga. Pada masa pemerintahannya [Tumapa'risi' Kallonna] ia juga dikepung dan diserang oleh orang-orang Tallo, oleh orang-orang Maros, [dan] oleh orang-orang Polombangkeng. 𑻠𑻭𑻱𑻵𑻢𑻷𑻭𑻳𑻦𑻮𑻶𑻷𑻨𑻱𑻡𑻱𑻢𑻷𑻰𑻳𑻯𑻵𑻷𑻦𑻴𑻨𑻳𑻣𑻱𑻰𑻴𑻭𑻴𑻷 Karaenga. ri Tallo'. naagaanga. siewa. Tunipasuru'. Karaeng Tallo yang berlawanan dengannya ialah Tunipasuru'. 𑻱𑻭𑻵𑻠𑻮𑻵𑻨𑻷𑻱𑻳𑻬𑻠𑻴𑻥𑻤𑻰𑻴𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻱𑻳𑻥𑻢𑻬𑻶𑻯𑻤𑻵𑻭𑻷 areng kalenna. iang kumabassung. nikana. I Mangayoaberang. Nama pribadinya, semoga saya tidak kualat [karena lancang menyebutkannya], adalah I Mangayoaberang. 𑻥𑻡𑻯𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻥𑻭𑻴𑻰𑻴𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻣𑻦𑻨𑻮𑻠𑻨 ma'gauka. ri Marusu'. nikana. Patanna Langkana. [Sementara, penguasa] yang memerintah di Maros [kala itu] disebut Patanna Langkana. 𑻱𑻭𑻵𑻥𑻦𑻵𑻨𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻦𑻴𑻥𑻥𑻵𑻨𑻭𑻳𑻤𑻴𑻮𑻴𑻧𑻴𑻯𑻬𑻷 areng matena. nikana. Tumamenang ri Bulu'duaya. Gelar anumertanya adalah Tumamenang ri Bulu'duaya. 𑻱𑻭𑻵𑻠𑻮𑻵𑻨𑻱𑻳𑻬𑻠𑻴𑻥𑻤𑻰𑻴𑻷𑻱𑻳𑻥𑻣𑻰𑻶𑻤𑻷 areng kalenna iang kumabassung. I Mappasomba. Nama pribadinya, semoga saya tidak kualat, adalah I Mappasomba. 𑻱𑻭𑻵𑻣𑻥𑻨𑻨𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻷𑻱𑻳𑻧𑻱𑻵𑻢𑻴𑻭𑻡𑻷 areng pamana'na. nikana. I Daeng Nguraga. Nama halusnya, adalah I Daeng Nguraga. 𑻦𑻴𑻥𑻡𑻱𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻤𑻪𑻵𑻷𑻱𑻨𑻨𑻷𑻠𑻭𑻱𑻵𑻮𑻶𑻯𑻵𑻷𑻨𑻳𑻠𑻨𑻬𑻧𑻱𑻵𑻨𑻱𑻳𑻣𑻰𑻱𑻳𑻭𑻳𑻷𑻠𑻠𑻨𑻱𑻳𑻧𑻱𑻵𑻥𑻰𑻭𑻶𑻷 Tuma'gauka. ri Bajeng. ana'na. Karaeng Loe. nikanaya Daenna I Pasairi. kakanna I Daeng Masarro. Ia yang memerintah di Bajeng [Polombangkeng] merupakan anaknya Karaeng Loe yang disebut Daenna I Pasairi, kakaknya I Daeng Masarro. 𑻱𑻳𑻬𑻥𑻳𑻨𑻵𑻷𑻰𑻭𑻳𑻤𑻱𑻦𑻷𑻦𑻴𑻥𑻡𑻱𑻴𑻠𑻷𑻭𑻳𑻰𑻭𑻤𑻶𑻨𑻵𑻷𑻭𑻳𑻮𑻵𑻠𑻵𑻰𑻵𑻷𑻭𑻳𑻠𑻦𑻳𑻢𑻷𑻭𑻳𑻪𑻥𑻭𑻷𑻭𑻳𑻪𑻳𑻣𑻷𑻭𑻳𑻥𑻧𑻮𑻵𑻷 iaminne. sari'battang. Tuma'gauka. ri Sanrabone. ri Lengkese'. ri Katingang. ri Jamarang. ri Jipang. ri Mandalle'. [I Pasairi] ini bersaudara dengan mereka yang berkuasa di Sanrabone, di Lengkese', di Katingang, di Jamarang, di Jipang, [dan] di Mandalle'.[b] 𑻦𑻴𑻪𑻴𑻱𑻳𑻰𑻳𑻰𑻭𑻳𑻤𑻦𑻷𑻥𑻮𑻮𑻰𑻳𑻣𑻴𑻯𑻵𑻢𑻱𑻰𑻵𑻷𑻷 tujui sisari'battang. ma'la'lang sipue–ngaseng. Bertujuh mereka kakak-beradik, seluruhnya berpayung setengah [=memerintah].[c] 𑻱𑻳𑻬𑻥𑻳𑻨𑻵𑻠𑻭𑻱𑻵𑻷𑻨𑻳𑻮𑻳𑻣𑻴𑻢𑻳𑻷𑻭𑻳𑻡𑻱𑻴𑻠𑻦𑻮𑻴𑻯𑻷 iaminne Karaeng. nilipungi. ri Gaukang Tallua. Karaeng ini [Tumapa'risi' Kallonna] disokong oleh Tiga Gaukang.[d] 𑻠𑻭𑻱𑻵𑻢𑻭𑻳𑻮𑻠𑻳𑻬𑻴𑻷𑻱𑻢𑻡𑻢𑻳𑻷𑻡𑻴𑻭𑻴𑻧𑻬𑻷𑻦𑻴𑻥𑻢𑻰𑻬𑻷𑻦𑻴𑻦𑻶𑻤𑻶𑻮𑻶𑻠𑻷𑻦𑻴𑻰𑻱𑻶𑻥𑻦𑻬𑻷 Karaenga ri Lakiung. angngagangi. Gurudaya. tu Mangngasaya. tu Tomboloka. tu Saomataya. Kareng Lakiung menyertai Gurudaya, [bersama dengan] orang-orang Mangngasa, Tombolo' dan Saomata, 𑻱𑻪𑻶𑻭𑻵𑻢𑻳𑻷𑻠𑻮𑻵𑻨𑻷𑻱𑻳𑻥𑻥𑻠𑻰𑻳𑻷𑻤𑻭𑻶𑻤𑻶𑻰𑻶𑻷𑻨𑻣𑻥𑻵𑻦𑻵𑻢𑻳𑻷 anjorengi. kalenna. imamakasi. Baro'boso'. napammenténgi. di sana mereka berkubu, di Baro'boso', bersiap siaga, 𑻱𑻳𑻬𑻥𑻳𑻨𑻱𑻡𑻱𑻷𑻰𑻳𑻦𑻴𑻪𑻴𑻷𑻦𑻶𑻣𑻶𑻮𑻶𑻤𑻱𑻠𑻵𑻢𑻷 iami naagaang. situju. tu Polombangkenga. mereka telah bersatu [untuk] menghadapi orang-orang Polombangkeng.
Perbandingan dengan aksara Lontara
Dalam perkembangannya, penggunaan aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan aksara Lontara Bugis yang bagi penulis Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Kedua aksara yang berkerabat dekat ini memiliki aturan tulis yang hampir identik, meski secara rupa terlihat cukup berbeda. Perbandingan kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[22]
ka | ga | nga | ngka | pa | ba | ma | mpa | ta | da | na | nra | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Makassar | ||||||||||||
𑻠 | 𑻡 | 𑻢 | 𑻣 | 𑻤 | 𑻥 | 𑻦 | 𑻧 | 𑻨 | ||||
Bugis | ||||||||||||
ᨀ | ᨁ | ᨂ | ᨃ | ᨄ | ᨅ | ᨆ | ᨇ | ᨈ | ᨉ | ᨊ | ᨋ | |
ca | ja | nya | nca | ya | ra | la | wa | sa | a | ha | ||
Makassar | ||||||||||||
𑻩 | 𑻪 | 𑻫 | 𑻬 | 𑻭 | 𑻮 | 𑻯 | 𑻰 | 𑻱 | ||||
Bugis | ||||||||||||
ᨌ | ᨍ | ᨎ | ᨏ | ᨐ | ᨑ | ᨒ | ᨓ | ᨔ | ᨕ | ᨖ |
-a | -i | -u | -é[1] | -o | -e[2] | |
---|---|---|---|---|---|---|
na | ni | nu | né | no | ne | |
Makassar | ||||||
𑻨 | 𑻨𑻳 | 𑻨𑻴 | 𑻨𑻵 | 𑻨𑻶 | ||
Bugis | ||||||
ᨊ | ᨊᨗ | ᨊᨘ | ᨊᨙ | ᨊᨚ | ᨊᨛ | |
Catatan
|
Makassar | passimbang | akhir bagian |
---|---|---|
𑻷 | 𑻸 | |
Bugis | pallawa | akhir bagian |
᨞ | ᨟ |
Unicode
Aksara Makassar telah ditambahkan ke dalam Unicode Standard pada bulan Juni 2018 dengan versi rilis 11.0.[23]
Blok Unicode untuk aksara Makassar adalah U+11EE0–U+11EFF dan mengandung 25 karakter:
Makasar[1][2] Official Unicode Consortium code chart (PDF) | ||||||||||||||||
0 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | A | B | C | D | E | F | |
U+11EEx | 𑻠 | 𑻡 | 𑻢 | 𑻣 | 𑻤 | 𑻥 | 𑻦 | 𑻧 | 𑻨 | 𑻩 | 𑻪 | 𑻫 | 𑻬 | 𑻭 | 𑻮 | 𑻯 |
U+11EFx | 𑻰 | 𑻱 | 𑻲 | 𑻳 | 𑻴 | 𑻵 | 𑻶 | 𑻷 | 𑻸 | |||||||
Catatan |
Font
Font untuk aksara Makassar berdasarkan blok unicode pertama kali dibuat dengan nama Jangang-jangang pada awal 2020.[24] Font ini telah mendukung teknologi graphite SIL dan fitur pengulangan kata, baik menggunakan angka (contoh: 𑻥𑻲𑻳 mami) maupun pengulangan vokal (contoh: 𑻥𑻳𑻳 mimi dan 𑻥𑻴𑻴 mumu).
Catatan
- ^ Ejaan aksara Makassar dari sumber dipertahankan di sini, walaupun warna tulisan telah disamakan menjadi hitam semua. Alih aksara dan terjemahan bebas diadaptasi dari Jukes (2019), dengan beberapa tambahan keterangan dari terjemahan versi sejarawan William Cummings (2007).
- ^ Negeri-negeri yang disebut di baris ini, beserta Bajeng yang disebutkan sebelumnya, merupakan ketujuh negeri yang membentuk konfederasi Polombangkeng.[7]
- ^ La'lang sipue atau "payung setengah" merupakan semacam payung berbahan dedaunan lontar yang digunakan saat pelantikan penguasa.[8]
- ^ "Tiga Gaukang" merujuk pada panji-panji kebesaran Gowa yang disebut Gurudaya, Sulengkaya, dan Cakkuridia.[8]
Rujukan
- ^ a b Jukes 2019, hlm. 49.
- ^ a b c d e f Pandey, Anshuman (02-11-2015). "Proposal for encoding the Makassar script in Unicode" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/15-233).
- ^ Tol 1996, hlm. 213–214.
- ^ Jukes 2019, hlm. 46.
- ^ Jukes 2019, hlm. 47.
- ^ Ahmad M. Sewang (2005). Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 37-38. ISBN 9789794615300.
- ^ a b Cummings, William P. (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. 2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824825133.
- ^ a b c d Cummings, William P. (2007). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. KITLV Press. ISBN 978-9067182874.
- ^ Jukes 2014, hlm. 3-4.
- ^ Jukes 2019, hlm. 47-49.
- ^ Tol 1996, hlm. 223–226.
- ^ Cummings 2007, hlm. 8.
- ^ Macknight, Charles Campbell; Paeni, Mukhlis; Hadrawi, Muhlis, ed. (2020). The Bugis Chronicle of Bone (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Campbell Macknight; Mukhlis Paeni; Muhlis Hadrawi. Canberra: Australian National University Press. hlm. xi-xii. ISBN 9781760463588.
- ^ Cummings 2007, hlm. 11.
- ^ a b Tol 1996, hlm. 226–228.
- ^ a b Jukes 2014, hlm. 6.
- ^ Tol 1996, hlm. 216–217.
- ^ Jukes 2014, hlm. 8.
- ^ Jukes 2014, hlm. 9.
- ^ Cummings, William (2002). Making Blood White: historical transformations in early modern Makassar. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 9780824825133.
- ^ Jukes 2014, hlm. 1.
- ^ Jukes 2014, hlm. 2, Tabel 1.
- ^ "Unicode 11.0.0". Unicode Consortium. June 5, 2018. Diakses tanggal June 5, 2018.
- ^ "Aksara di Nusantara". Aksara di Nusantara. Diakses tanggal 2020-04-07.
Daftar Pustaka
- Cense, A (1966). "Old Buginese and Macassarese diaries" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Leiden. 122 (4): 416-428.
- Cummings, William P. (January 1, 2007). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. KITLV Press. ISBN 978-9067182874.
- Jukes, Anthony (2019-12-02). A Grammar of Makasar: A Language of South Sulawesi, Indonesia (dalam bahasa Inggris). Brill. ISBN 978-90-04-41266-8.
- Jukes, Anthony (2014). "Writing and Reading Makassarese". International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings (dalam bahasa Inggris). LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
- Noorduyn, Jacobus (1993). "Variation in the Bugis/Makasarese script". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 149 (3): 533–570.
- Pandey, Anshuman (02-11-2015). "Proposal for encoding the Makassar script in Unicode" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/15-233).
- Tol, Roger (1996). "A Separate Empire: Writings of South Sulawesi". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.
Lihat pula
Pranala luar
Naskah digital
- Kumpulan dokumen berbahasa dan beraksara Makassar antar abad 18 hingga 19 M, koleksi British Library no. Add MS 12351
Lainnya
- Proposal Unicode untuk aksara Makassar
- Proposal Awal Unicode untuk aksara Makassar
- Unduh font aksara Makassar di Aksara di Nusantara atau di sini