Organisasi Papua Merdeka

istilah payung untuk gerakan kemerdekaan untuk Papua Barat (provinsi Indonesia yaitu Papua dan Papua Barat), dengan elemen militan ataupun nonkekerasan
Revisi sejak 12 Desember 2021 07.16 oleh Boas Simamora (bicara | kontrib) (emangnya lu pikir partai nazi papua apa?)

Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya,[10] dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Organisasi Papua Merdeka
PemimpinJacob Hendrik Prai
Waktu operasi1 Desember 1963 – sekarang
MarkasPapua Barat
Wilayah operasiPapua dan Papua Barat
IdeologiNasionalisme Papua
StatusAktif
Sekutu Vanuatu[1][2]
 Kepulauan Solomon[3]
 Senegal[4]
 Tonga[5]
 Libya (1987–1990)[6]
Lawan Indonesia
 Australia[7][8][9]
 Uni Soviet (1962–1964)
 Amerika Serikat (1969–1992)
Dicap sebagai organisasi teror oleh Indonesia

Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan.[11] Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.

Sejarah

 
Graffiti OPM di Sentani, Papua

Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.

Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan[12] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri! [sic]"[13]

Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.[14] Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.

Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free Choice" (Penentuan Pendapat Rakyat), Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.[15] Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua. Menurut laporan Human Rights Watch, Polri berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.[16]

Deklarasi Republik Papua Barat

 
Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia, Agustus 2012
 
Bendera Bintang Kejora atau Morgenstervlag

Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.

Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat.

Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.[10]

Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.

Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.

Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.[10]

Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.

Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[17]

Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di Papua.[18]

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah transmigran asal Sumatra Barat.[19]

Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera.[20]

Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura.[21]

Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.[22]

Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.[23]

Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.[24]

Hierarki organisasi dan otoritas pemerintahan

Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi' OPM adalah Mathias Wenda.[25] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame, mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan.[25] Jurnalis lepas Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan.[25] Tentara Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan beroperasi di seluruh Papua Barat.[25]

Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria. Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.

Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena sebagai struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui keberadaan OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakar, dengan Tanggahma sebagai Duta Besar.

Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda. Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia menunjuk dan memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari mereka adalah anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan Skotiau, Vanimo-Papua Barat.

Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II (Jayapura – Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain. Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16 Desember 2009.[26]

Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang gerakan kemerdekaan Papua Barat.[27]

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) adalah sayap militer dari Organisasi Separatisme Papua Merdeka. TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan. Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Goliath Tabuni diangkat menjadi Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

Hari umum

  • 1 Mei 1963: Hari Aneksasi Papua (untuk Indonesia diperingati sebagai Hari Integrasi Papua).
  • 1 Desember 1963: Hari Kemerdekaan Papua.
  • 1 Juli 1971: Hari Proklamasi Kemerdekaan Papua.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Templat:Cite mess
  2. ^ "Fiery debate over West Papua at UN General Assembly". Radio New Zealand 2017. 27 September 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 October 2017. Diakses tanggal 7 October 2017. 
  3. ^ "Solomon Islands Prime Minister softens support for West Papua self-determination". abc.net.au. 29 April 2019. Diakses tanggal 10 February 2020. 
  4. ^ "President of Senegal – "West Papua is now an issue for all black Africans"". 19 December 2010. 
  5. ^ https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/285742/tonga%27s-pm-highlights-papua-issue-at-un
  6. ^ "Libyan terrorism: the case against Gaddafi. - Free Online Library". www.thefreelibrary.com. 
  7. ^ Taylor, Rob (27 March 2007). "Australia risks Papua conflict role -- activists". Reuters. Thomson Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 January 2019. Diakses tanggal 17 January 2019. 
  8. ^ Rollo, Stuart (28 October 2013). "Ending our pragmatic complicity in West Papua". ABC News. Australian Broadcasting Corporation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 January 2019. Diakses tanggal 17 January 2019. 
  9. ^ Pearson, Elaine (5 November 2016). "Australia should go to Papua and see the human rights situation for itself". The Guardian. Guardian Media Group. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 January 2019. Diakses tanggal 17 January 2019. 
  10. ^ a b c Bishop, R. Doak (2005). Foreign Investment Disputes: Cases, Materials, and Commentary. Wolters Kluwer. hlm. 609–611. 
  11. ^ Lintner, Bertil (January 22, 2009). "Papuans Try to Keep Cause Alive". Jakarta Globe. Diakses tanggal 2009-02-09. 
  12. ^ Report on Netherlands New Guinea for the year 1961 http://wpik.org/Src/un_report_1961.html
  13. ^ "Free Papua Movement (OPM)". Global Terrorism Database. University of Maryland, College Park. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-24. Diakses tanggal 2011-04-10. 
  14. ^ U.S. Dept. of State Foreign Relations, 1961–63, Vol XXIII, Southeast Asia http://wpik.org/Src/950306_FRUS_XXIII_1961-63.html#Indonesia
  15. ^ Teks Perjanjian New York
  16. ^ Protest and Punishment Political Prisoners in Papua, Laporan oleh Human Rights Watch
  17. ^ Richard Chauvel (6 April 2011). "Filep Karma and the fight for Papua's future". http://inside.org.au/. Diakses tanggal 18 April 2011.  Hapus pranala luar di parameter |work= (bantuan)
  18. ^ Bagus BT Saragih and Nethy Dharma Somba. "Police hunt for OPM rebels". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2011-10-26. 
  19. ^ (dalam bahasa Indonesian) http://www.antaranews.com/en/news/79364/opm-gunmen-kill-civilian-in-kurilik-papua.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  20. ^ (dalam bahasa Indonesian) http://berita.liputan6.com/read/346831/anggota-tni-tewas-dalam-serangan-opm.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  21. ^ (dalam bahasa Indonesian) http://www.suarapembaruan.com/home/anggota-opm-tertangkap-bawa-ganja-sekilo-di-perbatasan/16696.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  22. ^ (dalam bahasa Indonesian) https://web.archive.org/web/20120411004451/http://us.nasional.vivanews.com/news/read/302631-ditembaki-opm--pesawat-trigana-tabrak-rumah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-11.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  23. ^ (dalam bahasa Indonesian) https://web.archive.org/web/20190902141701/http://m.griyawisata.com/kota/regional/artikel/patroli-yon-431-kostrad-dihadang-opm-satu-warga-sipil-tewas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-02.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  24. ^ (dalam bahasa Indonesian) http://news.detik.com/read/2012/07/09/184035/1961425/10/1-anggota-tni-2-sipil-tewas-dianiaya-di-papua-salah-satunya-bocah?nd992203605.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  25. ^ a b c d van Klinken, Gerry (1996). "OPM information". Inside Indonesia. 02. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-08. Diakses tanggal 2014-10-19. 
  26. ^ Indonesia police 'kill' Papua separatist Kelly Kwalik BBC News, 16 December 2009
  27. ^ "Papua's struggle for independence". BBC News. 2009-03-13. Diakses tanggal 2010-05-02. 

Daftar pustaka

  • Bell, Ian; Herb Feith; and Ron Hatley (1986). The West Papuan challenge to Indonesian authority in Irian Jaya: old problems, new possibilities. Asian Survey 26(5):539-556.
  • Bertrand, Jaques (1997). "Business as Usual" in Suharto's Indonesia. Asian Survey 37(6):441-452.
  • Evans, Julian (1996). Last stand of the stone age. The Guardian Weekend. August 24:p. T20.
  • Monbiot, George. Poisoned Arrows: An Investigative Journey to the Forbidden Territories of West Papua
  • van der Kroef, Justus M (1968). West New Guinea: the uncertain future. Asian Survey 8(8):691-707.

Pranala luar