Ratjih Natawidjaja
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta
Masa jabatan
16 August 1957 – 14 October 1971
GubernurSudiro
Soemarno Sosroatmodjo
Henk Ngantung
Ali Sadikin
Grup parlemenPartai Nasional Indonesia
Informasi pribadi
Lahir(1917-11-19)19 November 1917
Sumedang, Jawa Barat, Hindia Belanda
Meninggal9 Juli 2014(2014-07-09) (umur 96)
Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Masa kecil

Ratjih dilahirkan pada tanggal 19 November 1917 di Sumedang, Jawa Barat. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Rasid Natawidjaja, seorang guru sekaligus kepala sekolah di Sekolah Rakyat Tegal Kalong, Sumedang, dengan Raden Siti Soehanah. Rasjid memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada awal tahun 1920an.[1]

Pada tahun 1929, beberapa saat sebelum Ratjih menjalani ujian kenaikan kelas ke kelas enam di HIS, ayahnya dipindahkan ke Serang untuk mengajar di Normal School, yakni sekolah kegurunan setingkat jabatan pengawas sekolah dasar. Ratjih mengikuti ayahnya ke Serang setelah menyelesaikan ujian kenaikan kelasnya dan melanjutkan pendidikan HISnya di HIS Serang. Selama bersekolah di Serang, Ratjih mulai mengenal pergerakan pemuda yang semakin besar setelah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Ratjih akhirnya berhasil menamatkan pendidikan HISnya di Serang pada tahun 1932 dengan nilai tertinggi dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.[1]

Setelah lulus dari HIS, Ratjih ingin melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool, sebuah institusi pendidikan sekolah menengah dengan jangka waktu pendidikan selama 5 tahun yang hanya terletak di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun, ayahnya menolak keinginan Ratjih dan menyekolahkannya ke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) untuk mempersiapkan dirinya menjadi guru. Ratjih akhirnya mengenyam pendidikan di HIK Gunung Sari, Lembang, Bandung.[2]

Tiga tahun berselang, Rasid ditahan oleh polisi Hindia Belanda dengan tuduhan mengindoktrinasi calon-calon guru di sekolahnya dengan ideologi nasionalisme. Akibatnya, keluarga Rasid tidak memiliki sumber penghasilan tetap. Ratjih yang saat itu masih bersekolah di HIK yang didanai oleh pemerintah Belanda harus pindah ke HIK Muhammadiyah di Jalan Kramat, Jakarta, pada bulan Januari 1936. Biaya pembelajarannya selama bersekolah di tempat tersebut ditanggung oleh salah seorang pamannya. Selama menempuh pendidikan di HIK Muhammadiyah, Ratjih bertemu dengan sejumlah aktivis politik dan mengikuti diskusi-diskusi politik.[2]

Karier sebagai guru dan masa penjajahan Jepang

Setelah menamatkan pendidikannya di HIK Muhammadiyah, Ratjih kembali ke kampung halamannya di Sumedang. Ia segera ditawari jabatan sebagai kepala sekolah HIK Tanjung Sari yang terletak di antara Sumedang dan Bandung. Ratjih, yang pada saat itu masih berusia 19 tahun, menerima tawaran tersebut dan menjabat sebagai kepala sekolah HIK Tanjung Sari. Namun, ia hanya menjabat selama satu tahun karena ayahnya memintanya untuk menggantikannya sebagai kepala Sekolah Rakyat Tegal Kalong.

Ratjih menikah beberapa saat setelah pindah ke Sekolah Rakyat Tegal Kalong sehingga ia harus mengikuti suaminya ke Bandung.[3] Pada saat ia tiba di Bandung, Jepang sudah menguasai wilayah Hindia Belanda dan mendirikan organisasi wanita bernama Fujinkai. Namun, Ratjih menolak untuk bergabung ke dalamnya karena ia menolak kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang. Suaminya kemudian ditahan atas tuduhan berkhianat terhadap Jepang. Ayahnya juga ditahan oleh pihak Jepang atas tuduhan yang sama dan wafat ketika masih dalam tahanan.[4]

Akibat penahanan suaminya, Ratjih harus pindah dari rumah dinas yang diberikan kepada suaminya dan menjual seluruh barang-barang berharga yang dimilikinya. Ratjih mencari penghasilan dengan membuka toko kelontong yang dipasok oleh pamannya, yang saat itu bekerja sebagai staf bagian gudang sitaan Jepang.[4]

Masa Revolusi Nasional Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah dijajah oleh Jepang. Suaminya kemudian dibebaskan oleh pemerintah yang baru berdiri setelah tiga tahun dipenjara oleh Jepang. Proklamasi kemerdekaan dibarengi dengan kedatangan tentara Belanda yang berupaya untuk menjajah Indonesia kembali, sehingga keluarga Ratjih ikut dalam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Selama Revolusi Nasional Indonesia, Ratjih tinggal di Bandung dan terlibat aktif dalam dapur umum, Palang Merah Indonesia (PMI), dan laskar wanita yang dipimpin oleh Suyatin Arudji Kartawinata. Ratjih membantu memberikan dukungan logistik bagi para pejuang yang berperang melawan tentara Belanda dan mengurus akomodasi keluarga yang sedang mengikuti long march dari Jawa Barat. Bandung kemudian dibumihanguskan oleh pejuang Indonesia, sehingga Ratjih harus pindah ke Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya, Ratjih mengikuti suaminya, Husein Kartasasmita, yang saat itu bekerja di Kementerian Pertahanan dan ditugaskan untuk mempersiapkan pemindahan kantor Kementerian Pertahanan ke Yogyakarta. Yogyakarta kemudian diduduki oleh tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda II sehingga Ratjih dan suaminya kembali ke kampung halamannya di Sumedang.

Revolusi Nasional Indonesia berlangsung hingga pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar pada akhir tahun 1949. Setelah pengakuan kedaulatan, Husein memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan memulai bisnis wiraswasta. Husein kemudian membawa Ratjih beserta dengan anak-anaknya untuk tinggal di kawasan Tanah Tinggi.

Karier politik

Partai Nasional Indonesia dan Wanita Demokrat Indonesia

Ratjih dan suaminya memutuskan untuk berkiprah dalam dunia politik pada awal tahun 1950an. Ratih bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan terpilih menjadi anggota Dewan Pimpinan PNI Jakarta dan anggota departemen di PNI dalam kongres yang diadakan pada tahun 1951. Setelah terpilih, Ratjih terlibat dalam pembentukan cabang-cabang PNI di Jakarta. Ratjih kemudian duduk sebagai ketua PNI cabang Senen. Rumah tempat tinggalnya kemudian menjadi kantor cabang PNI untuk wilayah Senen dan kantor Dewan Pimpinan Daerah Jakarta.

Selain dalam kepartaian, Ratjih juga terlibat dalam organisasi pergearakn wanita. Ratjih, bersama dengan Burdah Yuspadi Hadiningrat, membentuk organisasi Wanita Demokrat Indonesia pada tanggal 14 Januari 1951. Organisasi ini secara resmi bukan merupakan bagian dari PNI, namun mengadopsi dasar politik PNI karena pendirinya merupakan anggota PNI. Setelah beberapa waktu, organisasi ini akhirnya secara resmi masuk ke dalam struktur PNI sebagai onderbouw PNI. Ratjih menjadi semakin aktif dalam pengembangan organisasi pasca masuknya Wanita Demokrat Indonesia ke dalam PNI. Ratjih kemudian mendirikan Koperasi Gotong Royong pada tahun 1956 sebagai kooperasi bagi anggota dan keluarga Wanita Demokrat Indonesia.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta

Dalam persiapan pemilihan umum legislatif Indonesia pertama yang diadakan pada 1955, Ratjih sempat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia juga terlibat sebagai juru kampanye dan penggalang massa dalam kampanye-kampanye PNI. Namun, konflik internal kemudian melanda PNI akibat perbedaan visi politik nasionalisme. Ratjih yang memilih untuk bersikap netral dan tidak memihak dalam konflik tersebut dicoret dari daftar calon DPR PNI. Ratjih kemudian ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Peralihan Jakarta yang bertugas dari tanggal 31 Agustus 1956 hingga DPRD Jakarta baru dibentuk pada tanggal 16 Agustus 1957.[5]

Setelah DPRD hasil pemilihan daerah dibubarkan, Ratjih ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta yang baru, yang dibentuk melalui penunjukan alih-alih pemilihan. Ratjih tetap mempertahankan keanggotannya di dalam DPRD setelah DPRD bertransformasi menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Jakarta (DPRD-GR Jakarta).

Riwayat organisasi

Ratjih juga mengembangkan sejumlah organisasi lain, seperti menghidupkan kembali Yayasan Kemajuan Wanita "Seri Dharma" yang didirikan pada tahun 1928 dan Yayasan Perguruan Kartini yang didirikan pada tahun 1928.

Keluarga

Ratjih bertemu dengan calon suaminya, Husein Kartasasmita, ketika sedang berkunjung ke rumah pamannya. Hubungan antara keduanya semakin akrab dari waktu ke waktu, namun tidak direstui oleh keluarga Ratjih. Keluarga Ratjih mengetahui bahwa Husein merupakan duda beranak tiga dan berjarak 11 tahun dari Ratjih. Ayah Ratjih juga sudah menyiapkan calon suami bagi Ratjih. Namun, Ratjih tetap bersikukuh untuk menikahinya. Keduanya akhirnya menikah beberapa saat kemudian.

Setelah menikah, Husein yang mengajar di Handelsschool (Sekolah Dagang) Sekolah Pasundan Bandung memboyong Ratjih ke kota tersebut dan meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai guru. Meskipun awalnya Ratjih menolak ajakan Husein, namun Ratjih akhirnya mengikutinya. Pasangan tersebut melahirkan anak pertama mereka, yang bernama Ginandjar Kartasasmita, di kota tersebut pada tanggal 9 April 1941. Husein wafat pada tanggal 17 Desember 1990 di Jakarta.[6]

Wafat

Ratjih wafat pada pukul 11.50 tanggal 9 Juli 2014 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.[7][8]

Referensi

  1. ^ a b Soewito et al. 2005, hlm. 223.
  2. ^ a b Soewito et al. 2005, hlm. 224.
  3. ^ Soewito et al. 2005, hlm. 225.
  4. ^ a b Soewito et al. 2005, hlm. 226.
  5. ^ Gie, The Liang (1958). Sedjarah Pemerintahan Kota Djakarta. Jakarta: Kotapradja Djakarta Raja. hlm. 163, 185. 
  6. ^ "Meninggal Dunia". Tempo. 5 Januari 1991. Diakses tanggal 27 Desember 2021. 
  7. ^ "Adu Pendapat Seputar Pilpres Tak Sempat Bertemu JK, Ical Datang ke Rumah Ginandjar Kartasasmita - detikPemilu". detiknews. Diakses tanggal 2021-12-27. 
  8. ^ "Adu Pendapat Seputar Pilpres JK Datangi Rumah Ginandjar Kartasasmita untuk Ikut Tahlilan - detikPemilu". detiknews. Diakses tanggal 2021-12-27. 

Daftar pustaka

  • Soewito, Irma H.N.; Irsyam, Tri Wahyuning M.; Nurliana, Nana; Suhartono, Sudarini (2005), Wanita Pejuang, Jakarta: Paguyuban Wanita Pejuang