Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diperoleh hanya melalui hasil pembuktian, logika dan analisis terhadap fakta.[1] Segala sumber pengetahuan dalam rasionalisme berasal dari akal pikiran atau harus bersifat rasional.[2] Fungsi pancaindra manusia di dalam rasionalisme hanya menjadi pendukung akal dalam memperoleh pengetahuan.[3] Rasionalisme berkembang di dunia Barat, dunia Islam, dan ateisme. Aliran yang berkembang pada rasionalisme meliputi rasionalisme radikal, rasionalisme kritis dan rasionalisme moderat.[4] Pemikir utama yang mengembangkan rasionalisme antara lain René Descartes (1596–1650), Baruch de Spinoza (1632−1677), dan Gottfried Leibniz (1646−1716).[5] Sementara itu, ada pula pemikir yang mengembangankan rasionalisme dengan menggabungkannya dengan aliran filsafat lain. Salah satunya ialah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831) yang menggabungkan rasionalisme dengan romantisisme.[6]

Terminologi

Istilah "rasionalisme" merupakan turunan kata berbahasa Latin yaitu ratio yang berarti akal.[7] Dalam artian ini, rasionalisme berarti cara berpikir yang mengutamakan pemakaian akal manusia. Akal dijadikan sebagai alat yang mutlak digunakan dalam mengetahui segala sesuatu. Dalam terminologi rasionalisme, segala sesuatu yang tidak rasional harus ditiadakan dari pengetahuan. [8]

Sejarah

Rasionalisme telah dikenal di dalam pemikiran-pemikiran filsafat klasik yang dikemukakan oleh Gilbert (624-546 SM). Pemikiran mengenai rasionalisme kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh René Descartes (1596–1650), Baruch de Spinoza (1632−1677), Blaise Pascal (1632-1662) dan Gottfried Leibniz (1666−1716). Pemikiran-pemikiran rasionalisme kemudian dikembangkan secara lengkap oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831).[9]

Era klasik

Pemikiran mengenai rasionalisme telah muncul sejak masa Plato melalui tulisan-tulisannya. Gagasan yang berkembang ialah bahwa pengetahuan berasal dari akal dan bukan dari pancaindra.[10] Rasionalisme di era klasik dikembangkan melalui pengetahuan matematika dan geometri. Pengetahuan lainnya hanya berperan sebagai pengetahuan pendukung. Pada masa ini, pengetahuan-pengetahuan selain matematika dan geometri belum menjadi suatu doksa. Pada masa Plato dan Aristoteles, doksa diartikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuatan politik dari para sofis.[11]

Abad ke-15

Kebangkitan rasionalisme dimulai pada abad ke-15. Pada masa ini, wibawa tradisional Gereja Katolik mengalami penurunan akibat berlangsungnya pertempuran-pertempuran kecil dan pemberontakan-pemberontakan yang tidak sampai menimbulkan revolusi. Kerasionalitasan iman yang dipertahankan oleh Gereja Katolik telah memunculkan pemikiran-pemikiran rasionalisme. Para pemikir rasionalisme ini muncul dari kalangan pemuka gereja. Tokoh pertama yang memulainya bernama Lorenzo Valla yang menjabat sebagai sekretari raja dari Kerajaan Napoli di Italia. Ia menulis sebuah buku berjudul De Falso Credita et Ementita Constantini Donatione yang diterbitkan pada tahun 1440. Dalam bukunya ini, ia mengungkapkan pemalusan terhadap donasi Konstantinus yang diklaim oleh Paus sebagai suatu pernyataan legal.[12]

Karakteristik

Rasionalisme sepenuhnya mengandalkan akal budi sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan. SIfat pengetahuan yang diperoleh melalui rasionalisme adalah apriori.[13] Sistem pemikiran rasionalisme dilandasi oleh aksioma yang menyatakan bahwa ide bersifat jelas, tegas dan pasti ada di dalam pikiran manusia. Manusia tidak menciptakan kemampuan bagi pikiran untuk mengetahui keberadaan ide.[14]

Dalam rasionalisme, pengetahuan tidak diperoleh dari pengalaman dan pancaindra manusia. Setiap ide yang muncul harus dapat dinilai secara kuantitas khususnya menggunakan matematika. Rasionalisme juga menerima setiap wujud pikiran dan wujud fisik yang berkaitan dengan mekanika dan hukum. Dalam rasionalisme, segala sesuatu yang dirasakan oleh pancaindra bersifat tidak dapat diandalkan. Kemandirian pikiran juga tidak dianggap memperoleh pengaruh dari hukum alam. Rasionalisme juga menerima keberadaan manusia, tetapi menolak persepsi dan perasaan yang timbul darinya.[15]

Aspek

Penalaran

Pada rasionalisme, penalaran merupakan salah satu metode untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan akal. Pemakaian penalaran didasarkan pada gagasan bahwa kebenaran yang sejati hanya dapat diperoleh menggunakan akal tanpa memerlukan pengalaman. Aspek pengalaman hanya menjadi pendukung bagi akal. Suatu pengetahuan dianggap benar ketika gagasan dan ide yang disampaikan telah sesuai dengan kenyataan. Penalaran dalam rasionalisme dilakukan dengan pembuktian melalui deduksi. Pemakaian penalaran di dalam rasionalisme dirintis oleh René Descartes.[16] Kebenaran-kebenaran apriori diperoleh melalui metode deduksi terhadap setiap pengetahuan. Sementara itu, akal menjadi asal dari kebenaran apriori tersebut. Sedangkan kebenaran dari setiap jenis pengalaman dianggap tidak dapat dipercaya karena keadannya yang berubah-ubah.[17]

Teori

Pilihan rasional

Pilihan rasional merupakan salah satu teori rasionalisme yang menggunakan metode ilmiah dengan pendekatan positivisme. Pendekatan ini merupakan salah penyumbang dalam produksi pengetahuan. Pilihan rasional dibangun menggunakan metode deduksi. Sifatnya berbeda dengan positivisme klasik yang menggunakan metode induksi. Kebenaran dan hukum universal yang dihasilkan oleh pilihan rasional tetap memanfaatkan kegiatan pengamatan dan pengukuran. Sementara itu, suatu pernyataan dibuktikan kesalahannya menggunakan pengujian hipotesis terhadap teori yang dikemukakan lebih awal.[18]

Mazhab pemikiran

Rasionalisme kritis

Rasionalisme kritis merupakan salah satu mazhab pemikiran rasionalisme yang menghubungkan antara rasionalisme dan empirisme. Salah satu tokoh pemikir rasionalisme kritis adalah Karl Popper. Ia meyakini bahwa teori-teori yang berisi pengetahuan-pengetahuan merupakan hasil buatan manusia yang diperoleh melalui penemuan-penemuan. Popper memandang bahwa rasionalisme yang bersifat apriori dapat saja memberikan gambaran mengenai dunia tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Karenanya kegiatan intelektual (rasionalisme) juga memerlukan pengamatan dan percobaan (empirisme).[19]

Rasionalisme Islam

Rasionalisme Islam berkembang dari prinsip Islam yang tidak menolak pemakaian akal, persepsi pancaindra, dan penalaran terhadap teks. Metafisika Islam dibangun melalui integrasi epistemologi dengan rasionalisme yang bersifat transenden. Islam memandang puncak pencapaian kebenaran melalui akal hanya terdapat pada wahyu. Dalam pandangan Islam, keberadaan wahyu ini tidak berasal dari alam. Fungsi alam hanya sebagai perantara menuju kebenaran wahyu.[20]

Rasionalisme psikologis

Rasionalisme psikologi merupakan pandangan bahwa rasionalisme merupakan sarana yang dibutuhkan dalam psikologi perkembangan manusia. Dalam pandangan ini, rasionalitas merupakan sifat bawaan manusia yang keberadaannya berbentuk penalaran. Rasionalis psikologi memandang perkembangan moral sebagai tujuan akhir dari perkembangan manusia. Pencapaiannya memerlukan pengalaman individu dalam melakukan hubungan sosial dengan individu lainnya.[21]

Tokoh pemikir

René Descartes

 
René Descartes, filsuf Prancis yang merintis rasionalisme modern di dunia Barat.

René Descartes (1596–1650) merupakan filsuf Prancis yang awalnya belajar di kolase rohaniawan Yesuit. Pada awalnya, pandangannya dipengaruhi oleh para tokoh gereja, tokoh agama dan filsuf. Tetapi ia kemudian mulai meragukan segala pemikiran yang diketahuinya. Ia kemudian mengemukakan bahwa manusia ada karena manusia berpikir. Gagasan inilah yang kemudian melandasi rasionalisme modern.[22] Metode pencarian kebenaran oleh Descartes menggunakan perenungan yang menghilangkan semua keraguan dengan pembuktian melalui deduksi.[23] Descartes mencari kebenaran mutlak dengan menolak segala jenis keraguan dalam suatu hal dan menerima segala hal yang tidak memiliki keraguan.[24]

Descartes mengemukakan pemikiran-pemikiran rasionalismenya ke dalam karya tulis ilmiah. Ia menerbitka buku buatannya pada tahun 1637 yang berjudul Discourse de la Methode (Diskursus tentang Metode). Buku ini meyakinkan para pembacanya tentang kenicayaan adanya akal pikiran menggunakan skeptisisme untuk menemukan kebenaran.[25] Pemikiran-pemikiran rasionalisme Descartes banyak digunakan pada filsafat hukum abad ke-19 Masehi.[26] Filsafat hukum memanfaatkan rasionalisme Descartes yang mendukung pembenaran dengan bukti empiris. Rasionalisme Descartes ini khususnya digunakan pada hukum legal dengan pendekatan positivisme dan realisme.[27]

Baruch de Spinoza

Rasionalisme yang dikembangkan oleh Baruch de Spinoza memiliki kemiripan dengan sistem alat ukur. Ia berpandangan bahwa kebanaran pada dalil-dali ilmu ukur sudah tidak perlu dibuktikan lagi. Suatu gagasan akan diterima sebagai kebenaran mutlak ketika individu mampu memahami makna dari gagasan tersebut. Spinoza menganggap bahwa suatu pernyataan yang bersifat aksioma sudah niscaya merupakan suatu kebenaran. Pernyataan yang aksioma ini tidak lagi memerlukan bukti empiris.[28]

Gottfried Leibniz

Gottfried Leibniz adalah salah satu pemikir rasionalisme yang pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran René Descartes. Leibniz mengenal ilmu yuridis dan filsafat dari ayahnya yaitu Friedrich Leibniz selama hidup di kota Leipzig. Filsafat rasionalisme yang dikembangkan oleh Leibniz berdasarkan kepada kecukupan akal yang dapat dirumuskan secara sederhana. Leibniz meyakini rasionalisme yang memerlukan alasan terhadap segala hal karena sesuatu itu terjadi karena adanya suatu tujuan. Pemikiran Leibniz ini sampai ke ranah metafisika khususnya pemikiran mengenai Tuhan. Ia meyakini bahwa segala ciptaan Tuhan mempunyai alasan di balik penciptaannya.[29]

Christian Wolff

Christian Wolff (1679−1704) mengembangkan rasionalisme yang asas-asasnya terbentuk setelah masa Descartes. Pemikiran Wolff dibentuk dengan menyadur pemikiran Gottfried Leibniz. Pengaruh pemikiran Wolff tersebar di kalangan borjuis pada universitas-universitas Jerman yang pada masanya sedang bertentangan dengan teologi gereja Lutheran yang menganut Pietisme.[30]

Sudut pandang

Rasionalisme muncul di dunia Barat dan dunia Islam dengan sudut pandang yeng berbeda. Para rasionalis di dunia Barat bersumber dari pandangan yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan segala hal. Sementara rasionalis di dunia Islam menganggap bahwa akal mempunyai keterbatasan.[31] Dunia Islam mengenal rasionalisme sebagai salah satu gagasan pemikiran yang mencegah pembaruan gagasan keagamaan.[32] Rasionalisme di dalam dunia Islam lebih tertuju kepada rasionalitas yang membenarkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran melalui akal.[33]

Pandangan dunia Barat

Modernisme

Rasionalisme dunia Barat berkembang pada abad ke-18 Masehi dan merupakan salah satu aliran filsafat yang memunculkan modernisme.[34] Lingkup modernisme mencakup segala segi kehidupan dan tindakan sosial manusia. Dalam modernisme, akal pikiran menjadi landasan pemikiran yang mandiri dan berpisah dari pemikiran metafisika dan transenden. Modernisme ini merupakan akibat dari penyelesaian pengalaman yang bersifat partikuler. Rasionalisme pada modernisme berpandangan bahwa akan dapat menghasilkan kebenaran mutlak yang dapat berlaku secara universal tanpa terikat oleh keberadaan waktu.[35]

Ateisme

Pada abad ke-18, pemikiran rasionalisme yang dikembangkan oleh Pierre Bayle dan diteruskan oleh Denis Diderot dan Voltaire memiliki sifat destruktif. Para pemikir ini berpendapat bahwa agam dan gagasan mengenai keagamaan merupakan sesuatu yang hanya berupa prasangka sehingga tidak memiliki dasar ilmiah. Pemikir-pemikir tersebut hidup di negara Prancis, sehingga mereka juga memberikan gagasan mengenai tindakan sosial yang mesti dilakukan oleh masyarakat yang menganut agama di Prancis. Munculnya atesime di Prancis oleh para pemikiranya merupakan akibat dari perang agama yang terjadi antara Katolik dan Protestan di wilayah Prancis yang menganut sistem kerajaan mutlak dan ketaatan beragama yang tinggi pada masa itu.[36]

Pandangan dunia Islam

Mazhab Muktazilah dan Asy'ariyah

Rasionalisme dalam pemikiran Islam dianut oleh mazhab Muktazilah dan Asy'ariyah. Kedua mazhab ini meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah akal pikiran.[37] Para penganutnya menggunakan argumen rasional yang dapat digunakan untuk menjelaskan kepercayaan terhadap wahyu. Pada aliran Muktazilah, tindakan mereka dikategorikan sebagai ekstrem karena mereka menafsirkan teks agama dengan menggunakan akal ketika konteks dari teks wahyu bertentangan dengan akal pikiran. Perbedaan antara mazhab Muktazilah dan mazhab Asy'ariyah juga terdapat pada sumber hukum. Aliran Asy'ariyah tetap menggunakan syariat Islam sebagai landasan hukum, sementara mazhab Muktazilah hanya menggunakan akal sebagai sumber hukum.[38]

Ilmu mantik

Ilmu mantik atau logika berkembang dari paham rasionalisme yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Aristoteles. Perkembangan pemikirannya di dunia Islam terutama di wilayah Andalusia. Pengembangan ilmu mantik di kawasan ini telah memunculkan beberapa ilmuwan dan filsuf berpaham rasionalisme. Rasionalisme yang dikembang berkaitan dengan ilmu alam. Hukum kausalitas dan prinsip universalisme menjadi kajian utamanya.[39]

Peran

Sumber pengetahuan

Rasionalisme merupakan salah satu sumber pengetahuan. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan rasionalisme adalah melalui pembelajaran dan pengkajian karya tulis ilmiah melalui lembaga pendidikan. Dalam perannya sebagai sumber pengetahuan, rasionalisme tetap memerlukan pancaindra meskipun hanya sebagai perantara antara akal dan kebenaran pengetahuan.[40]

Pendukung globalisasi

Rasionalisme menjadi salah satu penyebab terjadinya globalisasi. Globalisasi yang dibentuk oleh rasionalisme diawali oleh kerangka pikir yang dominan mengenai rasionalisme. Fungsi rasionalisme yang mempercepat globalisasi meliputi fungsi sekularisasi, antroposentrisme, penelitian ilmiah dan alat pemecahan masalah. Fungsi sekularasi dari rasionalisme berupa pemahaman bahwa realitas dunia hanya yang dapat terlihat secara fisik, bukan yang bersifat transenden maupun teologi. Fungsi antroposentrisme berarti bahwa rasionalisme membentuk realitas dunia untuk digunakan kepentingan dan kegiatan manusia, serta tidak terlalu memperdulikan kondisi lingkungan. Fungsi penelitian ilmiah dari rasionalisme berarti tiap pemikiran yang dikemukakan harus merupakan fenomena yang kebenarannya telah terbukti melalui penelitian yang bersifat objektif. Sementara fungsi rasionalisme sebagai alat berarti setiap permasalahan dapat diselesaikan secara rasional.[41]

Literasi media

Rasionalisme merupakan salah satu aspek penting di dalam kegiatan yang berkaitan dengan literasi media. Peran rasionalisme di dalam literasi media adalah menjadikan individu sebagai pusat perhatian yang memiliki kemampuan untuk berkembang secara mandiri. Kebenaran di dalam literasi media dibuat hanya dimiliki oleh individu yang menjadi pengakses dan pemakna konten media. Sementara sekelompok individu atau komunitas tidak menjadi fokus utama.[42]

Keterbatasan

Rasionalisme memiliki keterbatasan dalam membentuk suatu pengetahuan. Prinsip keindahan, kebenaran dan keadilan yang menjadi landasan rasionalisme memiliki sifat mutlak bagi setiap individu manusia, tetapi memiliki tingkat penilaian yang berbeda-beda oleh individu. Kebenaran dari suatu pengetahuan hanya dapat dibenarkan oleh suatu individu karena tidak adanya pertimbangan akan pengalaman. Pada keadaan ini, kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu dapat ditolak oleh individu yang lainnya. Kebenaran terhadap suatu ide juga dapat berubah seiring dengan perubahan waktu.[43]

Pengembangan ideologi

Liberalisme

Liberalisme merupakan ideologi yang muncul dari gabungan antara rasionalisme dengan materialisme, empirisme dan individualisme. Segala kebenaran di dalam liberalisme harus bersifat rasional. Liberalisme menjadikan rasionalitas sebagai sumber pengetahuan yang tertinggi. Nilai pengetahuan tertingginya adalah materi (materialisme) dan pembuktian kebenarannya melalui bukti empiris yang dapat diketahui oleh pancaindra (empirisme). Sementara itu, nilai tertinggi di dalam masyarakat dan negara liberal berada pada kebebasan individu (individualisme).[44]

Pertentangan pemikiran

Fideisme

Fideisme merupakan aliran pemikiran yang meyakini bahwa pemahaman sejati tentang Tuhan tidak dapat dicapai sepenuhnya oleh akal. Rasionalisme memberikan pertentangan yang berlebihan terhadap fideisme. Pada rasionalisme, alat yang digunakan untuk memahami teologi dan spiritual hanya akal saja. Para rasionalis menempatkan akal sebagai sumber pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan iman dan wahyu. Dalam rasionalisme, segala keraguan yang timbul akibat sifat adikodrati dan misteri keimanan dihilangkan termasuk kekuasaan Tuhan dalam pewahyuan.[45]

Empirisme

Rasionalisme yang disampaikan oleh René Descartes bertentangan dengan empirisme yang dikemukakan oleh John Locke (1632−1704).[46] Descartes tetap menghargai penyelidikan dengan bukti empiris pada suatu tataran tertentu. Sementara Locke menganggap pengetahuan nyata yang menjadi tujuan rasionalisme merupakan sebuah intuisi akal. Pertentangan juga terjadi antara rasionalisme yang dikemukakan oleh Gottfried Leibniz dan Baruch de Spinoza terhadap empirisme yang dikemukakan oleh George Berkeley dan David Hume.Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme semakin berkurang melalui pemikiran-pemikiran Immanuel Kant. Namun, pertentangan antara keduanya kembali muncul melalui pemikiran-pemikiran Noam Chomsky mengenai struktur bahasa dan cara berpikir.[47]

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Kristiawan, Muhammad (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice Is Yours. Sleman: Penerbit Valia Pustaka Jogjakarta. hlm. 241. ISBN 978-602-71540-8-7. 
  2. ^ Wahana, Paulus (2016). FIlsafat Ilmu Pengetahuan (PDF). Yogyakarta: Pustaka Diamond. hlm. 31. ISBN 978-979-1953-917. 
  3. ^ Asmadi, Ns. (2008). Mardella, Ns. Eka Anisa, ed. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC. hlm. 88. ISBN 978-979-448-914-7. 
  4. ^ Yusufian, Hasan (2014). Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama. Jakarta Selatan: Sadra Press. hlm. 256. ISBN 978-602-9261-47-9. 
  5. ^ Suaedi (2016). Januarini, Nia, ed. Pengantar Filsafat Ilmu (PDF). Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 97. ISBN 978-979-493-888-1. 
  6. ^ Turnbull, Neil (2005). Purba, Daniel P., ed. Bengkel Ilmu FIlsafat. Diterjemahkan oleh Alfatih Geusan, Pananjung A. Jakarta: Penerbit Erlangga. hlm. 128–129. 
  7. ^ Wahid, Masykur (2021). Filsafat Umum: Dari Filsafat Yunani Kuno ke Filsafat Modern. Serang: Penerbit A-Empat. hlm. 85. ISBN 978-623-6289-136. 
  8. ^ Sudiarja, A., dkk. (2006). Karya Lengkap Driyakara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 19. ISBN 979-22-2329-0. 
  9. ^ Muliadi (2020). Busro, ed. Filsafat Umum. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 71. ISBN 978-623-7166-42-9. 
  10. ^ Aminah, S., dan Roikan (2019). Pengantar Metode Penelitian Kualitatif Ilmu Politik. Jakarta Timur: Prenadamedia Group. hlm. 49. ISBN 978-602-422-751-7. 
  11. ^ Wibowo, Naufal Syahrin (2020). Epistemologi Inkār As-Sunnah: Studi Kritis Pemikiran Rashad Khalifa, Edip Yuksel dan Sam Gerrans. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. hlm. 157. ISBN 978-623-227-385-6. 
  12. ^ Grant, R. M., dan Tracy, D. (2000). Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab. Diterjemahkan oleh Maleakhi, Agustinus. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. hlm. 111. ISBN 979-415-756-2. 
  13. ^ Widi, Restu Kartiko (2018). Menggelorakan Penelitian: Pengenalan dan Penuntun Pelaksanaan Penelitian (PDF). Sleman: Deepublish. hlm. 3. ISBN 978-602-475-527-0. 
  14. ^ Jumadi (2017). Perkembangan Filsafat Abad Modern. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. hlm. 24. 
  15. ^ Marzuki, I. (2021). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar: Fakultas Teknik Universitas Fajar. hlm. 118. ISBN 978-602-51509-8-2. 
  16. ^ Azwar, W., dan Muliono (2019). Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana. hlm. 119–120. ISBN 978-602-422-705-0. 
  17. ^ Adian, D. G., dan Lubis, A. Y. (2011). Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Penerbit Koekoesan. hlm. 41. ISBN 978-979-144-241-1. 
  18. ^ Bakry, Umar Suryadi (2017). Dasar-Dasar Hubungan Internasional. Jakarta: Kencana. hlm. 264. ISBN 978-602-422-214-7. 
  19. ^ Ibda, Hamidulloh (2018). Filsafat Umum Zaman Now. Pati: CV. Kataba Group. hlm. 138. ISBN 978-602-50213-3-6. 
  20. ^ Alimuddin dan Ruslan, M. (2016). Ideologi Akuntansi Islam. Depok: Rajawali Pers. hlm. 83. ISBN 978-979-769-925-3. 
  21. ^ Haidt, Jonathan (2020). The Righteous Mind. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 7. ISBN 978-602-481-481-5 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  22. ^ Waston (2019). Filsafat Ilmu dan Logika. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. hlm. 111–112. ISBN 978-602-361-236-9. 
  23. ^ Mursid, Mansur Chadi (2020). Filsafat Iman dan Filsafat Ilmu Manajemen. Magelang: Penerbit Pustaka Rumah C1nta. hlm. 211. ISBN 978-623-7961-06-2. 
  24. ^ Suriasumantri, Jujun S. (2001). Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 100. ISBN 979-461-281-2. 
  25. ^ Husodo, Purwo (2021). Sejarah Pemikiran Barat. Yogyakarta: AG Publishing. hlm. 80. ISBN 978-602-396-166-5. 
  26. ^ Rahardjo, Satjipto (2010). Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 46. ISBN 978-979-709-515-4. 
  27. ^ Samekto, FX. Adji (2020). Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju Post-Modernisme. Penerbit PT Citra Aditya Bakti. hlm. 27. ISBN 978-979-491-181-5. 
  28. ^ Praja, Juhaya S. (2020). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana. hlm. 27. ISBN 978-979-3465-22-7. 
  29. ^ Adhim, Fauzan (2018). Filsafat Islam: Sebuah Wacana Kefilsafatan Klasik Hingga Kontemporer. Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi. hlm. 71. ISBN 978-602-52540-5-5. 
  30. ^ Hardiman, F. Budi (2007). FIlsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 122–123. ISBN 979-22-1043-1. 
  31. ^ Soelaiman, Darwis A. (2019). Putra, Rahmad Syah, ed. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Perspektif Barat dan Islam (PDF). Banda Aceh: Penerbit Bandar Publishing. hlm. 125. ISBN 978-623-7499-37-4. 
  32. ^ Sarjito (2020). Engineering dalam Peradaban Islam (PDF). Surakarta: Muhammadiyah University Press. hlm. 13. ISBN 978--602-361-281-9. 
  33. ^ Madjid, Nurcholis (2008). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan. hlm. 193. ISBN 978-979-433-502-4. 
  34. ^ Suharto, Toto (2017). Pendidikan Berbasis Masyarakat: Relasi Negara dan Masyarakat dalam Pendidikan. Bandul: LKiS. hlm. 14–15. ISBN 978-602-74505-9-2. 
  35. ^ Usuluddin, Win (2013). Serpihan-Serpihan FIlsafat (PDF). Jember: STAIN Jember Press. hlm. 217. ISBN 978-602-8716-66-6. 
  36. ^ Daftary, Farhad, ed. (2001). Tradisi-tradisi Intelektual Islam. Diterjemahkan oleh Jabali, F., dan Tholib, U. Jakarta: Penerbit Erlangga. hlm. 67. 
  37. ^ Shubhi, Ahmad Mahmud (2001). Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Institusionalis Islam. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 42. 
  38. ^ Khasanah, Faizatun (2018). Etika Gus Dur: Religius - Rasional (PDF). Tangerang Selatan: Cinta Buku Media. hlm. 56. ISBN 978-602-6747-58-7. 
  39. ^ Baso, Ahmad (2006). Mahdi, Sayed, ed. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-LIberal. Jakarta: Penerbit Erlangga. hlm. 260. 
  40. ^ Noer, Z., dan Dayana, I. (2021). Buku Sains Dasar. Guepedia. hlm. 69. ISBN 978-623-5525-21-1. 
  41. ^ Rivai, V., dan Usman, A. N. (2012). Islam Economic and Finance: Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 131. ISBN 978-979-22-8003-6. 
  42. ^ Kurnia, N., dkk. (2019). Literasi Digital Keluarga: Teori dan Praktik Pendampingan Orangtua Terhadap Anak dalam Berinternet. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 55. ISBN 978-602-386-294-8. 
  43. ^ Kriyantono, Rachmat (2019). Pengantar Lengkap Ilmu Komunikasi: Filsafat dan Etika Ilmunya Serta Perspektif Islam. Jakarta: Prenadamedia Group. hlm. 46–47. ISBN 978-602-422-262-8. 
  44. ^ Sulaiman (2016). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi (PDF). Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh. hlm. 22. ISBN 978-602-1620-46-5. 
  45. ^ Riyanto, Armada (2019). Berteologi Baru untuk Indonesia. Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 39. ISBN 978-979-21-6315-5. 
  46. ^ Alizamar dan Couto, N. (2016). Psikologi Persepsi dan Desain Informasi: Sebuah Kajian Psikologi Persepsi dan Prinsip Kognitif untuk Kependidikan dan Desain Komunikasi Visual (PDF). Yogyakarta: Media Akademi. hlm. 24. ISBN 978-602-74482-5-4. 
  47. ^ Ramin, Maghfur M. (2019). Dasar-Dasar Memahami Mazhab Filsafat. Anak Hebat Indonesia. hlm. 45. ISBN 978-623-984-340-3.