Undang-Undang Pornografi

Pornografi
Revisi sejak 9 Februari 2009 05.26 oleh Ndrasen (bicara | kontrib)

Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008[1].

RUU APP menyulut kontroversi

Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat[2]. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini[3]. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia[4]. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi[5].

Definisi dan Rancangan

Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR.[6] Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.

Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".

Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".

Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.[7]

Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi. [8]

Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini [9][10][11].

Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.[12]


RUU APP RUU Pornografi KBBI
Pornografi Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Pornoaksi Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum (definisi pornoaksi dihilangkan) (tidak ada kata pornoaksi dalam KBBI)

Panitia khusus DPR

Panitia khusus DPR untuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat dan wakil ketua Yoyoh Yusron dari Partai Keadilan Sejahtera, serta Ali Mochtar Ngabalin dari Partai Bulan Bintang sebagai jurubicara Pansus.

Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk membahas. RUU APP ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 sebagai RUU usul inisiatif DPR tanggal 23 September tahun 2003. Polemik keras dan aksi-aksi di masyarakat yang menyulut kekerasan antara pihak yang menolak dan menerima membuat DPR memutuskan untuk menarik dan menyusun kembali draf RUU APP.

DPR periode 2005-2009 memasukkan RUU itu ke dalam Prioritas Prolegnas. RUU ini dibahas secara cepat. Pada tanggal 27 September 2005 terbentuk Panitia Khusus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Pada Maret 2006, 10 anggota Pansus RUU Antipornografi menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus RUU, Balkan Kaplale karena telah melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa yang membuat masyarakat bingung. [1] [2] [3]

8 Juni 2006, Latifah Iskandar dari fraksi PAN, seorang anggota pansus, mengatakan bahwa DPR saat ini belum pernah merevisi draft RUU APP yang lama. RUU tersebut saat ini baru ditangani oleh tim perumus yang tugasnya antara lain memberi perhatian dan melakukan koreksi atas redaksional RUU ini. Setelah Tim Perumus selesai melakukan tugasnya, baru kemudian RUU itu bisa dibahas subtansinya kembali oleh Pansus. Jadi Pansuslah yang berhak memotong, menambah atau mengganti pasal-pasal yang ada dalam RUU itu.

Tim Perumus merampungkan Naskah Akademik dan RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007.

Panja RUU tentang Pornografi dibentuk pada akhir Masa Persidangan IV Tahun Persidangan 2007-2008, tepatnya pada tanggal 29 Mei 2008. Panja RUU tentang Pornografi bersama Pemerintah secara efektif baru melaksanakan tugasnya pada Awal Masa Persidangan I Tahun Persidangan 2008-2009. Panja telah melaksanakan Rapat pada tanggal 4 September 2008, 18 September 2008, 23 September 2008, 24 September 2008, 8 Oktober 2008, 16 Oktober 2008, 17 Oktober 2008, 22 Oktober 2008, 23 Oktober 2008, 27 Oktober 2008, dan 28 Oktober 2008.

Jadwal Pembahasan RUU Pornografi

Ketentuan tentang pornoaksi kemudian dihilangkan dan RUU diganti menjadi RUU Pornografi. Panitia Khusus mengesahkannya pada tanggal 4 Juli 2007. Masa kerja Panitia Khusus berlaku hingga pertengahan (15-24) Oktober.

Surat Presiden diajukan ke DPR pada tanggal 20 September 2007 dan rapat dengar pendapat pertama dengan pemerintah dilakukan pada 8 November 2007.

Tanggal 23 September merupakan laporan tim teknis DPR dan pemerintah kepada Panitia Kerja (Panja).

Daftar inventarisasi masalah (DIM) sandingan Pemerintah dan DPR tak dibahas dalam Pansus, terutama untuk pasal- pasal berbeda. Pembahasannya dilimpahkan ke Panitia Kerja (Panja) yang sifatnya tertutup dan berlangsung selama kurang lebih satu bulan (Juni 2008). Banyak rapat tidak memenuhi kuorum, artinya hanya diikuti kurang dari 50 persen anggota Pansus maupun panja.[13]

Tanggal 24 September hingga 8 Oktober 2008 adalah masa dimana Panja melaporkan hasil kerja kepada Pansus, serta penandatanganan draft RUU Pornografi antara DPR dan Pemerintah.

Laporan Pansus kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR Tanggal dijadwalkan pada 9 Oktober 2008. Dalam Bamus ini kemudian akan ditetapkan tanggal Rapat Paripurna untuk mengesahkan UU Pornografi.[14]

Disahkan menjadi Undang-undang

Pada 28 Oktober 2008 RUU Pornografi disepakati 8 fraksi di DPR. Sekitar pukul 23.00 WIB, Mereka menandatangani naskah draft, yang tinggal menunggu pengesahannya di rapat paripurna. Delapan fraksi tersebut adalah FPKS, FPAN, FPD, FPG, FPBR, FPPP, dan FKB. Sedang 2 fraksi yakni FPDIP dan FPDS melakukan aksi 'walk out'. Sebelumnya, masing-masing fraksi menyampaikan pandangan akhirnya. Hingga kemudian, mayoritas fraksi mencapai kesepakatan. "Kami dari pemerintah mewakili presiden menyambut baik diselesaikannya pembahasan RUU Pornografi," ujar Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja pansus RUU Pornografi, di Gedung DPR, Senayan.[15]

Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan. Pengesahan UU tersebut disahkan minus dua Fraksi yang sebelumnya menyatakan 'walk out', yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju atas pengesahan RUU Pornografi ini[16]. Pengesahan UU Pornografi ini juga diwarnai aksi 'walk out' dua orang dari Fraksi Partai Golkar (FPG) yang menyatakan walk out secara perseorangan. Keduanya merupakan anggota DPR dari FPG yang berasal dari Bali, yakni Nyoman Tisnawati Karna dan Gde Sumanjaya Linggih [17]

Kontroversi

Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum [4]. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.

Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.

Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.

Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. [18][19]

Penyeragaman budaya

RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.

Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37).

Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.

Menyudutkan perempuan

RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual.

Menurut logika patriarkis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral.

Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang ini dianggap sebagai tindakan preventif yang tidak berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum di masyarakat.

Bentuk Totalitarianisme Negara

RUU Pornografi dianggap sebagai bentuk intervensi negara dalam mengontrol persoalan moralitas kehidupan personal warga negara, sehingga dapat menjebak negara untuk mempraktikkan politik totalitarianisme. RUU Pornografi melihat perempuan dan anak-anak sebagai pelaku tindakan pornografi yang dapat terkena jeratan hukum, dan menghilangkan konteks persoalan yang sebenarnya menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban dari obyek eksploitasi. RUU pornografi akan menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban yang kedua kalinya. Mereka menjadi korban dari praktik pemerasan sistem kapitalisme sekaligus korban tindakan represi negara.

Selain mendiskreditkan perempuan dan anak-anak, RUU pornografi secara sistematik juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori seksualitas dan pornografi.

Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri. Seharusnya persoalan yang diatur RUU ini adalah masalah yang benar-benar mengancam kepentingan publik, seperti komersialisasi dan eksploitasi seks pada perempuan dan anak, penyalahgunaan materi pornografi yang tak bertanggung jawab, atau penggunaan materi seksualitas di ruang publik. Selain tidak adanya batas antara ruang hukum publik dan privat, RUU Pornografi bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Pasal 1 angka 1 mengungkapkan ...membangkitkan hasrat seksual. Isi pasal ini bertentangan dengan asas lex certa dimana hukum haruslah bersifat tegas.

Proses penyusunan RUU Pornografi dinilai mengabaikan unsur-unsur sosiologis. Hal ini terlihat dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat. RUU pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang secara plural di masyarakat. [20]

 
Aksi Budaya tolak RUU APP

Peristiwa

Gelar seribu tayub

Pada 15 Maret 2006, ribuan seniman di Kota Solo, menggelar pentas seni kolosal di pelataran Taman Budaya Jawa Tengah bertajuk "Gelar 1.000 Tayub Seniman Solo Menolak RUU APP", sekaligus mendeklarasikan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Aksi ini melibatkan seniman dari berbagai disiplin seperti teaterawan, musisi, penari, koreografer, dalang, pelukis, sastrawan, teater-teater kampus, dan sanggar-sanggar serta penari-penari tradisional. Aksi ini diikuti oleh tokoh seni seperti Garin Nugroho, Didik Nini Thowok, dalang wayang "suket" Slamet Gundono. [5] [6]

Karnaval budaya

Pada 22 April 2006, ribuan masyarakat bergabung dalam karnaval budaya "Bhinneka Tunggal Ika" untuk menolak RUU ini. Peserta berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari aktivis perempuan, seniman, artis, masyarakat adat, budayawan, rohaniwan, mahasiswa, hingga komunitas jamu gendong dan komunitas waria. Peserta berkumpul di Monumen Nasional (Monas) untuk kemudian berpawai sepanjang jalan Thamrin hingga jalan Sudirman, kemudian berputar menuju Bundaran HI.

Ribuan peserta aksi melakukan pawai iring-iringan yang dimulai oleh kelompok pengendara sepeda onthel, delman, dilanjutkan dengan aksi-aksi tarian dan musik-musik daerah seperti tanjidor, gamelan, barongsai, tarian Bali, tarian adat Papua, tayub, reog, dan ondel-ondel. Banyak peserta tampak mengenakan pakaian tradisi Jawa, Tionghoa, Badui, Papua, Bali, Madura, Aceh, NTT dan lain-lain. Mulai dari kebaya hingga koteka dan berbagai baju daerah dari seantero Indonesia yang banyak mempertunjukkan area-area terbuka dari tubuh.

Banyak tokoh ikut serta dalam aksi demonstrasi ini, diantaranya mantan Ibu Negara Shinta N Wahid, GKR Hemas dari Keraton Yogyakarta, Inul Daratista, Gadis Arivia, Rima Melati, Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Butet Kertaradjasa, Garin Nugroho, Goenawan Moehammad, Sarwono Kusumaatmadja, Dawam Rahardjo, Ayu Utami, Rieke Diah Pitaloka, Becky Tumewu, Ria Irawan, Jajang C Noer, Lia Waroka, Olga Lidya, Nia Dinata, Yeni Rosa Damayanti, Sukmawati Soekarnoputri, Putri Indonesia Artika Sari Devi dan Nadine Candrawinata, dll. [7] [8]

Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika

Pada 13 Mei 2006 di Komunitas Utan Kayu dilakukan deklarasi "Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika". Deklarasi ditandatangani oleh tokoh-tokoh seperti WS Rendra, Lily Chadidjah Wahid, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Shahnaz Haque, Jajang C Noer, Hariman Siregar, Budiman Sudjatmiko, Ayu Utami, Rahman Tolleng, Muslim Abdurachman, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Garin Nugroho, Butet Kertaradjasa, Franky Sahilatua, Dian Sastro, Sujiwo Tedjo, Ade Rostina, BJD Gayatri, La Ode Ronald Firman, dan lain-lain. Acara dibuka dengan pembacaan puisi Setelah Rambutmu Tergerai oleh Rendra.

Pernyataan ini dibuat berdasarkan keprihatinan pada RUU APP, sejumlah rancangan undang-undang dan peraturan daerah yang memaksakan spirit moralitas, nilai-nilai dan norma-norma agama tertentu. Kesewenangan ini disebutkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. [9]

Aksi sejuta umat

Pada tanggal 21 Mei 2006, umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP, memberantas pornografi-pornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Aksi dimulai dengan longmarch dari bundaran HI ke gedung DPR RI.

Tampak hadir di tengah-tengah kerumunan massa sejumlah artis, tokoh dan ulama'. Di antaranya, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, Dra Hj. Tuty Alawiyah AS, Ustadz Hari Moekti, Inneke Koesherawati, Astri Ivo, Henki Tornado, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, KH Husein Umar, Habib Rizieq Shihab (FPI), H. Muhammad Ismail Yusanto (HTI), H. Mashhadi (FUI), KH Zainuddin MZ (PBR), H. Rhoma Irama (PAMMI), Hj. Nurdiati Akma (Aisyiyah), Habib Abdurrahman Assegaf, KH Luthfi Bashori (DIN) dan lain-lain. Dari jajaran pimpinan DPR RI, Agung Laksono (Ketua DPR), Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR) dan Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU-APP).

Fatwa MUI

MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.

Fadholy El Muhir diadukan ke polisi

Pada 1 Juni 2006, Ny Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid didampingi Tim Pembela Perempuan Bhinneka Tunggal Ika mengadukan Ketua Forum Betawi Rempug Fadholy El Muhir ke Polda Metro Jaya. Ny Shinta mengadukan pernyataan Fadholy dalam acara dialog di Metro TV pada 21 Mei pukul 22.30 telah melecehkan dan menghina pribadi dan integritasnya sebagai peserta pawai Bhinneka Tunggal Ika untuk menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi. Dalam dialog itu, Fadholy menyatakan, "Peserta pawai budaya adalah perempuan-perempuan bejat berwatak iblis yang merusak moral bangsa Indonesia." Pernyataan-pernyataan Fadholy diikuti penyerangan-penyerangan dan ancaman-ancaman untuk menutup tempat usaha para peserta pawai budaya lainnya. Ny Shinta sebelumnya juga sudah melayangkan somasi. Setelah karnaval budaya, FBR sempat mengancam terbuka di TV bahwa akan melakukan sweeping terhadap peserta pawai, bahkan Inul diancam akan diusir dari Jakarta dan bisnis karaokenya akan dirusak.[10] [11] [12]

Pancasila Rumah Kita

Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (BTI) kembali menggelar karnaval budaya pada 3 Juni yang mengetengahkan berbagai pentas seni di Bundaran HI dan karnaval sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman. Selain melakukan pawai budaya, Aliansi BTI bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dirjen Kesbangpol Depdagri juga mengadakan acara "Curhat Budaya" pada 1 dan 2 Juni di Hotel Nikko. Karnaval dan curhat budaya ini diberi judul: Pancasila Rumah Kita. Beberapa tokoh yang terlibat dalam aksi tersebut antara lain Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Prof. Dr. Syafii Maarif, A. Mustofa Bisri, Prof. Edy Sedyawati, Ratna Sarumpaet, Siswono Yudhohusodo, I Gde Ardika, Franky Sahilatua, Prof. Melani Budianta, Moeslim Abdurahman, Mohammad Sobary, Mudji Sutrisno, Kamala Chandra Kirana, Prof. Dr. Toety Heraty, Jamal D. Rahman, Nurul Arifin, Mirta Kartohadiprodjo, Gugun Gondrong. Organisasi yang terlibat diantaranya Banteng Muda Indonesia, Arus Pelangi, Garda Bangsa, Repdem, GMKI. [13]

Rujukan

Pranala luar