Ekspedisi Pamalayu

Revisi sejak 22 Januari 2022 13.30 oleh Negitota (bicara | kontrib) (→‎Sasaran ekspedisi: Fixed wrong)

Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui hadiah dan pernikahan[1] yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 12751286kepada Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatra untuk beraliansi, setelah Raja kertanagara membunuh utusan mongol di era kubilai khan

Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Latar belakang

Kertanagara menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya yang berkuasa di daerah tumapel kertanegara memindahkan daerah kekuasaanya ke daerah singasari.

Nagarakretagama[2] mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu adalah untuk beraliansi dengan kerajaan melayu. Hal ini di buktikan dengan kertanegara menikahi 2 orang putri melayu yaitu Dara petak dan Dara jingga serta Kertanegara menghadiahkan arca amoghapasa kepada Raja melayu Tribhuwanaraja.

Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk beraliansi melawan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Juga untuk Kertanagara melegetimasi dirinya menjadi Raja besar di pulau jawa karena berdasarkan tradisi kerajaan-kerajaan besar di pulau jawa sebelumnya setiap kerajaan besar di pulau jawa seperti kerajaan mataram kuno dan kerajaan kahuripan para Rajanya pasti menikah dan berkuasa dengan ratu yang berdarah melayu dari kerajaan sriwijaya. Kertanegara beranggapan bahwa kerajaan dharmasraya atau bhumi melayu merupakan pewaris kerajaan sriwijaya yang telah runtuh di tanah sumatera.

Sasaran ekspedisi

Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk melakukan aliansi pernikahan dengan kerajaan Melayu yang merupakan kerajaan terbesar di pulau sumatera setelah runtuhnya kerajaan sriwijayaNagarakretagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.

 
sketsa dari kapal zaman era Majapahit.lihat: Kidung Sunda[3]

Sedangkan menurut sumber berbeda yaitu sumber sejarah melayu yaitu malay annals atau hikayat melayu. Perjumpaan antara raja melayu dengan kertanegara terjadi pada saat raja melayu tribhuwanaraja atau di dalam malay annals dijuluki sebagai raja sang sapurba melakukan ekspedisi ke daerah-daerah bekas kekuasaan kerajaan sriwijaya yaitu Palembang, Tanjungpura sampai ke Lingga dan Bintan, lalu masuk Batang Kuantan sampai ke Minangkabau. Menurut malay annals Perjumpaan antara raja melayu dan Raja kertanegara di sebutkan terjadi pada saat raja Tribhuwanaraja berada di daerah tanjungpura di jawa barat di mana raja melayu menikahkan putrinya kepada raja tanjungpura dan raja jawa kertanegara. Masih terjadi perdebatan apakah penguasa tanjungpura ini adalah penguasa tanjungpura di jawabarat atau penguasa kerajaan sunda. Karena nama tanjungpura adalah sebutan zaman dulu orang melayu untuk kerajaan tarumanegara yang adai di jawa barat. Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya.

 
Sebuah model kapal zaman era tahun 800-an Masehi.
(berdasarkan relief yang terdapat pada candi Borobudur)

Dharmasraya penganti Sriwijaya

Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang melawan Malayu” [butuh rujukan] atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak melepaskan Malayu".[Note 1] Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut pada Prasasti Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 Dan kemudian munculnya Dharmasraya mengantikan peran Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, di mana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.

Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Grahi tahun 1183.[4]

Pengiriman Arca Amoghapasa

 
Arca Amoghapasa,
Koleksi Musium Nasional di Jakarta

Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya.[5] Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singhasari telah menjadi atasan Dharmasraya.

Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatra dengan diiringgi beberapa pejabat penting Singhasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.

Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.

Kembali ke Jawa

Pararaton[6] menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294.[7]

Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.

Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293.

Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Di mana dari Dara Petak lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden Wijaya.

Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman,[8] yang kemudian hari menjadi raja di Malayapura. Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk kepada jabatan ini.

Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang mengatakan bahwa anak dari Dara Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.

Sisa pasukan Pamalayu

Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap di Sumatra dan menolak kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari. Mungkin, Indrawarman bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya. Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Nama Indrawarman inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak.[7]

Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara. Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299. Indrawarman takut apabila kerajaan Majapahit datang untuk meminta pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini.

Catatan

  1. ^ dalam Kidung Panji Wijayakrama diseebutkan bahwa nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang yang mempunyai arti ialah “kerbau yang menyeberang”

Referensi

  1. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157. 
  2. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 979-25-5254-5.
  3. ^ C.C. (1927) Kidung Sunda.">Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. ‘s Grav., BKI.
  4. ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 979-8451-62-7.
  5. ^ Andaya, Leonard Y. (2001). "The Search for the 'Origins' of Melayu". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 315–330. doi:10.1017/S0022463401000169. 
  6. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton, Jilid 2, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  7. ^ a b Muljana, Slamet, (2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.
  8. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.