Kritik teks adalah cabang ilmu penelitian teks, filologi, dan kritik sastra yang mempelajari identifikasi varian teks atau macam-macam versi naskah tulis-tangan maupun buku cetak. Kritik teks menelaah teks dari berbagai zaman, mulai dari karya tulis purba dalam aksara baji yang ditorehkan pada loh lempung sampai dengan versi-versi karya tulis yang tidak diterbitkan dari seorang penulis abad ke-21. Para katib zaman purba yang diupah untuk menyalin dokumen mungkin saja memiliki kemahiran baca-tulis, tetapi banyak yang cuma sekadar menyalin, yakni meniru bentuk-bentuk aksara tanpa paham maknanya. Ini berarti perubahan-perubahan teks lumrah terjadi tanpa disengaja dalam proses penyalinan naskah.[1] Perubahan teks dapat pula terjadi karena disengaja, misalnya tindakan penyensoran karya tulis cetak dengan alasan-alasan politik, keagamaan, maupun kebudayaan.

Tujuan kegiatan kritik teks adalah menyajikan pemahaman yang lebih baik mengenai penciptaan dan riwayat transmisi suatu teks maupun varian-variannya. Pemahaman yang lebih baik memungkinkan pembuatan "edisi kritis" berisi teks yang terkelola secara ilmiah. Jika seorang ilmuwan memiliki beberapa versi dari sebuah naskah yang tidak diketahui teks aslinya, maka metode-metode baku kritik teks dapat digunakan untuk merekonstruksi teks aslinya semirip mungkin. Metode-metode yang sama dapat digunakan untuk merekonstruksi versi-versi langsung, atau resensi-resensi, dari riwayat transkripsi sebuah dokumen, bergantung kepada jumlah dan mutu teks yang tersedia.[2]

Di lain pihak, satu teks asli yang diteorikan ada oleh seorang ilmuwan disebut urteks (dalam konteks pendalaman Alkitab), purwarupa, maupun autograf. Meskipun demikian, bukan berarti harus ada satu teks asli untuk setiap kelompok teks. Sebagai contoh, jika sebuah cerita disebarluaskan melalui tradisi lisan dan baru kemudian hari dituangkan ke dalam bentuk tulisan oleh berbagai pihak di berbagai tempat, maka akan ada lebih dari satu teks asli yang mungkin saja sangat berlainan satu sama lain.

Ada banyak pendekatan atau metode yang digunakan dalam kegiatan kritik teks, teristimewa eklektisisme, stematika, dan sunting teks-dasar. Teknik-teknik kuantitatif juga digunakan untuk menentukan keterkaitan di antara saksi-saksi keberadaan sebuah teks, dalam hal ini metode-metode ilmu biologi evolusioner (filogenetika) tampaknya efektif diterapkan pada serentang tradisi.[3]

Sejumlah bidang, misalnya bidang penyuntingan teks keagamaan dan klasik, mengenal istilah "kritik rendah" yang dimaknai sebagai kritik teks, dan istilah "kritik tinggi" yang dimaknai sebagai usaha untuk memastikan jati diri penulis, waktu penulisan, dan tempat penulisan teks asli.

Sejarah

Sebagai salah satu cabang ilmu filologi, kritik teks sudah dipraktikkan selama lebih dari dua ribu tahun.[4] Para kritikus teks terdahulu, khususnya para pustakawan Aleksandria Helenistis pada dua abad terakhir SM, memusatkan perhatiannya pada pelestarian karya-karya tulis Abad Kuno. Sikap semacam ini bertahan sepanjang Abad Pertengahan sampai ke awal zaman modern dan masa reka cipta mesin cetak. Kritik teks merupakan salah satu aspek penting dari kiprah banyak humanis Renaisans, misalnya Desiderius Erasmus, yang menyunting Perjanjian Baru Yunani dan menghasilkan Textus Receptus. Para Ilmuwan di Italia, semisal Petrarca dan Poggio Bracciolini, mengumpulkan dan menyunting banyak naskah Latin, manakala suatu semangat baru untuk menelaah secara kritis digelorakan oleh perhatian terhadap status teks, misalnya analisis Lorenzo Valla terhadap keaslian teks Hibah Konstantinus.

Banyak karya tulis peninggalan Abad Kuno, misalnya Alkitab dan tragedi-tragedi Yunani, sintas dalam jumlah ratusan salinan, dan keterkaitan tiap-tiap salinan dengan teks aslinya mungkin saja tidak jelas. Para ilmuwan teks sudah berabad-abad memperdebatkan sumber mana yang paling dekat dengan teks aslinya, dan dengan demikian memperdebatkan bacaan mana di dalam sumber-sumber tersebut yang tepat. Jika teks-teks seperti lakon-lakon Yunani patut diduga memiliki satu sumber asli, maka persoalan apakah beberapa kitab di dalam Alkitab semisal injil-injil hanya memiliki satu sumber asli, justru menjadi pokok pembahasan.[5] Minat untuk menerapkan kritik teks terhadap Qur'an juga sudah berkembang sesudah naskah San'a ditemukan pada tahun 1972, yang mungkin saja berasal dari rentang waktu abad ke-7 sampai abad ke-8.

Di bidang sastra Inggris, karya-karya tulis William Shakespeare sudah menjadi lahan garapan yang sangat subur bagi kritik teks, baik karena teks-teks tersebut seiring transmisinya mengandung cukup banyak variasi, maupun karena jerih payah dan biaya yang dicurahkan untuk menghasilkan edisi-edisi bermutu tinggi dari karya-karya tulisnya senantiasa secara luas dianggap sepadan dengan hasilnya.[6] Meskipun mula-mula dikembangkan dan disempurnakan untuk kepentingan telaah karya-karya tulis Abad Kuno dan Alkitab, dan secara khusus di bidang sunting teks-dasar Amerika-Inggris untuk kepentingan telaah karya-karya tulis Shakespeare,[7] asas-asas kritik teks telah diterapkan pada banyak karya tulis, mulai dari teks-teks kontemporer sampai dengan dokumen-dokumen tertua yang sudah diketahui. Kritik teks menelaah berbagai macam teks dari rentang waktu sekitar lima ribu tahun, mulai dari zaman Mesopotamia dan Mesir Kuno sampai abad ke-20.

Gagasan dan tujuan dasar

Persoalan mendasar, sebagaimana dikemukakan Paul Maas, adalah sebagai berikut:

Kita tidak punya naskah-naskah autograf (karya tulis-tangan penulis asli) para pujangga Yunani dan Romawi klasik, dan tidak satu pun naskah salinan yang pernah diperbandingkan dengan aslinya. Naskah-naskah yang kita punyai diturunkan dari naskah-naskah asli melalui salinan-salinan langsung yang tidak diketahui jumlahnya, dan oleh karena itu keandalannya patut dipertanyakan. Urusan kritik teks adalah menghasilkan sebuah teks yang semirip mungkin dengan aslinya (constitutio textus).[8]

Maas mengemukakan pula bahwa "naskah hasil pengimlaan yang direvisi penulisnya harus dianggap setara dengan sebuah naskah autograf". Ketiadaan naskah autograf juga merupakan kenyataan yang didapati di dalam banyak peradaban selain Yunani dan Romawi. Dalam situasi semacam ini, yang menjadi tujuan utama adalah identifikasi eksemplar pertama sebelum timbul penyimpangan apa pun dalam tradisi penulisan. Eksemplar tersebut dikenal sebagai purwarupa atau arketipe. "Jika kita berhasil menetapkan teks purwarupanya, maka constitutio-nya (rekonstruksi teks aslinya) lumayan mengalami kemajuan.[9]

Tujuan akhir yang hendak dicapai kritikus teks adalah menghasilkan sebuah "edisi kritis", berisi teks yang ditetapkan penulis sebagai teks yang paling mendekati perkiraan teks asli, disertai apparatus criticus atau aparatus kritis. Aparatus kritis menyajikan hasil penelitian penulis dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah daftar atau penjabaran bukti yang digunakan penyunting (nama naskah-naskah, atau singkatan-singkatannya yang disebut siglum). Bagian kedua adalah analisis penyunting atas bukti-bukti tersebut (kadang-kadang berupa penggolongan sederhana berdasarkan taraf kemiripan). Bagian ketiga adalah keterangan tentang varian-varian dari teks tersebut yang ditolak penulis (sering kali dalam urutan preferensi).[10]

Proses

 
Folio Papirus 46, berisi teks 2 Korintus 11:33–12:9

Sebelum penemuan mesin cetak, karya-karya sastra diperbanyak melalui penyalinan tulis-tangan, dan ada banyak variasi yang dimunculkan para penyalin. Penemuan mesin cetak membuat profesi katib efektif tidak dibutuhkan lagi. Kendati tidak rentan mengalami perbanyakan variasi seperti yang terjadi selama transmisi tulis-tangan,edisi-edisi cetak tetap saja tidak kebal terhadap kemunculan variasi-variasi dari sebuah autograf. Bukan lagi katib yang keliru menyalin sumber acuannya, melainkan perangkai cetakan huruf atau bengkel cetak yang mungkin saja membaca atau merangkai cetakan huruf dengan cara yang berbeda dari autograf.[11] Karena setiap katib atau percetakan memunculkan kekeliruan-kekeliruan yang berbeda, usaha rekonstruksi teks asli yang sudah hilang sering kali dibantu segelintir bacaan pilihan yang diambil dari banyak sumber. Sebuah teks tersunting yang diturunkan dari berbagai sumber disifatkan eklektis. Kontras dengan pendekatan ini, sejumlah kritikus teks lebih suka mengidentifikasi satu teks terbaik di antara teks-teks yang sintas, alih-alih memadukan bacaan-bacaan dari berbagai sumber.[12]

Bilamana membandingkan dokumen-dokumen atau "saksi-saksi" berlainan dari satu teks asli, perbedaan-perbedaan yang teramati disebut varian bacaan, atau cukup varian atau bacaan saja. Tidak selamanya jelas varian mana yang merupakan karya tulis asli penulis. Proses kritik teks berusaha untuk menjelaskan bagaimana tiap-tiap varian dapat masuk ke dalam teks, baik yang tidak disengaja (penggandaan atau penghapusan) maupun yang disengaja (penyelarasan atau penyensoran), sewaktu para katib atau penyelia mentransmisi teks penulis asli dengan cara menyalinnya. Oleh karena itu tugas kritikus teks adalah memilah varian-varian, mengeleminasi varian yang sepertinya tidak asli, dan dengan demikian menyusun sebuah "teks kritis" atau edisi kritis, yang dimaksudkan menjadi teks yang kira-kira paling mirip dengan aslinya. Pada saat yang sama, teks kritis harus mendokumentasi varian bacaan, supaya keterkaitan saksi-saksi yang ada dengan rekonstruksi teks asli terpampang jelas di mata seorang pembaca edisi kritis. Dalam penyusunan teks kritis, kritikus teks mempertimbangkan bukti "eksternal" (umur, tempat dan waktu penulisan, serta afiliasi tiap saksi) maupun bukti "internal" atau bukti "fisik" (hal-hal yang agaknya sudah dilakukan penulis dan katib atau percetakan).[5]

Hasil perbandingan semua varian yang diketahui dari sebuah teks disebut variorum, yakni hasil kerja kritik teks berisi semua variasi dan emendasi yang ditata bersebelahan satu sama lain sehingga seorang pembaca dapat menelusuri bagaimana keputusan-keputusan tektual diambil dalam mempersiapkan sebuah teks untuk diterbitkan.[13] Alkitab dan karya-karya tulis William Shakespeare kerap dijadikan subjek edisi-edisi variorum, kendati teknik-teknik yang sama telah diterapkan dengan tingkat kekerapan yang lebih rendah atas banyak karya tulis lain, misalnya kumpulan puisi Leaves of Grass karangan Walt Whitman[14] dan kumpulan prosa Edward Fitzgerald.[15]

Eklektisisme

Eklektisisme adalah sebutan untuk praktik mempertimbangkan banyak dan beragam saksi keberadaan teks asli tertentu. Praktik ini dilansasi asas bahwa semakin mandiri riwayat-riwayat transmisi, semakin kecil pula kemungkinan riwayat-riwayat transmisi tersebut menghasilkan kekeliruan-kekeliruan yang sama. Apa yang ditiadakan satu riwayat transmisi, mungkin saja dipertahankan riwayat transmisi lain. Apa yang ditambahkan satu riwayat transmisi, mungkin saja tidak ditambahkan tiwayat transmisi lain. Eklektisisme memungkinkan penarikan kesimpulan-kesimpulan mengenai teks asli berdasarkan bukti ketidaksamaan antar saksi.

Bacaan eklektis juga lazim mengisyaratkan jumlah saksi masing-masing bacaan yang tersedia. Sekalipun sebuah bacaan yang didukung mayoritas saksi kerap lebih diutamakan, tidak selamanya demikian. Sebagai contoh, sebuah edisi kedua dari naskah sandiwara Shakespeare dapat saja memuat tambahan yang menyinggung sebuah kejadian pada selang waktu di antara edisi pertama dan edisi kedua. Meskipun hampir semua naskah salinan selanjutnya mungkin saja memuat tambahan tersebut, para kritikus teks dapat saja merekonstruksi teks asli tanpa tambahan.

Proses semacam ini menghasilkan sebuah teks dengan bacaan-bacaan yang diambil dari banyak saksi. Teks ini bukanlah salinan dari naskah tertentu, dan dapat saja menyimpang dari mayoritas naskah yang ada. Dalam pendekatan yang murni eklektis, tidak satu pun saksi yang diutamakan menurut teori. Justru kritikus membentuk opini-opini tentang saksi-saksi satu demi satu, dengan mengandalkan bukti eksternal maupun internal.[16]

Sejak pertengahan abad ke-19, eklektisme, yang tidak memberi ruang bagi prasangka a priori terhadap satu naskah tunggal, telah menjadi metode yang dominan digunakan dalam penyuntingan teks Yunani Perjanjian Baru (baru-baru ini, United Bible Society edisi ke-5 dan Nestle-Aland edisi ke-28). Meskipun demikian, naskah-naskah tertua, yakni naskah-naskah bercorak-teks Aleksandria, merupakan naskah-naskah yang paling diutamakan, dan naskah kritis bercorak-teks Aleksandria.[17]

Bukti eksternal

Bukti eksternal adlah bukti tiap saksi fisik, pertanggalannya, sumbernya, dan keterkaitannya dengan saksi lain yang diketahui. Para kritikus sering kali akan mengutamakan bacaan-bacaan yang didukung saksi-saksi tertua. Karena kekeliruan-kekeliruan cenderung terakumulasi, semestinya naskah-naskah yang lebih tua mengandung lebih sedikit kekeliruan. Bacaan-bacaan yang didukung mayoritas saksi juga lumrah diutamakan, karena lebih kecil kemungkinan bacaan-bacaan tersebut mencerminkan kekeliruan yang tidak disengaja maupun prasangka perorangan. Untuk alasan yang sama, sebagian besar saksi yang berbeda secara geografis lebih diutamakan. Beberapa naskah memperlihatkan bukti bahwa perhatian khusus telah dicurahkan dalam penyusunannya, misalnya pencantuman bacaan-bacaan alternatif pada tepi halaman yang menunjukkan bahwa ada lebih dari satu salinan (eksemplar) terdahulu yang dirujuk dalam penyusunannya. Dengan asumsi faktor-faktor lain tidak berubah, naskah-naskah semacam ini adalah saksi-saksi terbaik. Peran kritikus teks diperlukan bilamana segala kriteria dasar tersebut bertentangan satu sama lain. Misalnya saja, lazimnya akan ada lebih sedikit salinan terdahulu dan lebih banyak salinan terkemudian. Kritikus teks akan mencoba menyeimbangkan segala kriteria tersebut dalam rangka menentukan teks asli.

Ada banyak pertimbangan lain yang lebih canggih. Sebagai contoh, bacaan-bacaan yang menyimpang dari praktik lazim yang sudah diketahui dari seorang katib atau dari kurun waktu tertentu dapat saja dianggap lebih andal, karena agaknya mustahil seorang katib atas inisiatif sendiri menyimpang dari praktik lazim.[18]

Bukti internal

Bukti internal adalah bukti yang berasal dari teks itu sendiri, terlepas dari karakteristik fisik dokumen tersebut. Berbagai pertimbangan dapat digunakan untuk memutuskan bacaan mana yang paling mendekati aslinya. Kadang-kadang berbagai pertimbangan tersebut bisa saja saling bertentangan.[18]

Dua pertimbangan umum memiliki sebutan Latin, yakni lectio brevior (bacaan yang lebih ringkas) dan lectio difficilior (bacaan yang lebih ruwet). Pertimbangan yang pertama, lectio brevior, merupakan hasil pengamatan umum bahwasanya para katib cenderung menambahkan kata-kata untuk memperjelas maksud teks maupun sekadar karena terbiasa melakukannya, lebih sering daripada menghilangkan kata-kata. Pertimbangan yang kedua, lectio difficilior potior (bacaan yang lebih ruwet adalah bacaan yang lebih kuat), mengakui adanya kecenderungan untuk melakukan penyelarasan, yakni menanggulangi berbagai ketidakselarasan yang tampak pada teks. Penerapan asas-asas ini berbuntut pada pemilihan bacaan yang lebih ruwet (yang tidak diselaraskan) sebagai bacaan yang lebih mungkin merupakan bacaan asli. Kasus-kasus semacam ini juga mencakup tindakan para katib untuk menyederhanakan dan mempermulus teks yang tidak sepenuhnya mereka pahami.[19]

Kekeliruan lain yang cenderung dilakukan katib adalah homoioteleuton, artinya "berakhiran sama". Homoioteleuton timbul bilamana ada dua kata/frasa/kalimat diakhiri dengan urutan aksara yang sama. Sesudah menuliskan kata/frasa/kalimat yang pertama, katib langsung meloncat ke yang kata/frasa/kalimat kedua, sehingga menghilangkan semua kata yang tercantum di antara keduanya. Homeoarki adalah sebutan untuk silap-mata yang terjadi bilamana ada dua kalimat memiliki permulaan yang sama.[20]

Kritikus dapat pula menguji karya-karya tulis lain dari penulis yang sama untuk menentukan kata-kata dan konstruksi-konstruksi gramatikal mana saja yang cocok dengan gaya penulisannya. Evaluasi bukti internal juga memberi kritikus informasi yang membantunya mengevaluasi keandalan naskah-naskah satu demi satu. Dengan demikian pertimbangan bukti internal berkaitan dengan pertimbangan bukti eksternal.

Sesudah mempertimbangkan semua faktor yang relevan, kritikus teks mencari bacaan yang paling mampu menjelaskan bagaimana bacaan-bacaan lain terbentuk. Dengan demikian bacaan tersebut adalah bacaan yang paling layak dicalonkan sebagai bacaan asli.

Kanon-kanon kritik teks

 
Teks Lukas 11:2 di dalam Kodeks Sinai

Berbagai ilmuwan teks telah menetapkan pokok-pokok pedoman atau kanon-kanon kritik teks untuk memandu kritikus saat melakukan penilaian dalam rangka menentukan bacaan terbaik sebuah teks. Salah seorang penetap kanon kritik teks terdahulu adalah Johann Albrecht Bengel (1687–1752), yang menghasilkan salah satu edisi Perjanjian Baru Yunani pada tahun 1734. Di dalam ulasannya, ia menetapkan kaidah Proclivi scriptioni praestat ardua (utamakan bacaan yang lebih ruwet).[21]

Johann Jakob Griesbach (1745–1812) menerbitkan beberapa edisi Perjanjian Baru. Di dalam edisinya yang terbit tahun 1796,[22] ia menetapkan lima belas kaidah kritis. Salah satu di antaranya mirip dengan kaidah Bengel, yaitu Lectio difficilior potior (semakin ruwet bacaan semakin baik pula bacaan itu). Kaidah lainnya adalah Lectio brevior praeferenda (utamakan bacaan yang lebih ringkas), yang didasarkan atas gagasan bahwa para katib lebih cenderung menambah ketimbang menghilangkan isi teks.[23] Kaidah ini tidak dapat diterapkan secara tidak kritis, karena para katib dapat saja menghilangkan isi teks tanpa sengaja.

Brooke Foss Westcott (1825–1901) dan Fenton Hort (1828–1892) menerbitkan sebuah edisi Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani pada tahun 1881. Mereka mengemukakan sembilan kaidah kritis. Salah satu di antaranya mirip dengan kaidah Bengel, yaitu "Bacaan yang menampakkan kecenderungan untuk melempengkan keruwetan, kecil kemungkinannya merupakan bacaan yang asli." Mereka mengemukakan pula bahwa "bacaan-bacaan disetujui atau ditolak atas dasar mutu, bukan jumlah, dari saksi-saksi pendukungnya", dan bahwasanya "bacaan yang harus diutamakan adalah bacaan yang paling mampu menjelaskan asal-usul keberadaan bacaan-bacaan lain."[24]

Kendati mula-mula dikembangkan untuk kepentingan kritik teks Alkitab, banyak di antara kaidah-kaidah ini yang dapat secara luas diterapkan atas teks apa saja yang rentan terhadap kekeliruan-kekeliruan transmisi.

Batasan-batasan eklektisisme

Karena sangat bergantung kepada tafsir, bahkan adakalanya bertentangan satu sama lain, kanon-kanon kritik teks dapat saja disalahgunakan untuk membenarkan hasil yang cocok dengan selera estetis atau agenda teologi kritikus. Semenjak abad ke-19, para ilmuwan teks berusaha mencari metode-metode yang lebih tegas untuk menuntun penilaian penyunting. Stematika dan sunting teks-dasar, kendati keduanya bersifat eklektis dari segi mengizinkan penyunting untuk memilih bacaan-bacaan dari beragam sumber, berusaha mengurangi subjektifitas dengan cara menetapkan satu atau segelintir saksi yang diasumsikan layak diutamakan berdasarkan kriteria "objektif". Pengutipan sumber-sumber yang dipakai, dan bacaan-bacaan alternatif, serta penggunaan teks-teks dan gambar-gambar asli membantu sidang pembaca maupun kritikus lain untuk mengetahui seberapa dalam penelitian kritikus, dan untuk memastikan kebenaran karya tulis mereka secara mandiri.

Stematika

Selayang pandang

 
Skema turunan naskah karya tulis Pseudo-Apuleius Herbarius yang disusun Henry E. Sigerist (1927)

Stematika atau stematologi adalah pendekatan yang tegas terhadap kritik teks. Karl Lachmann (1793–1851) adalah tokoh yang sangat berjasa membuat metode ini terkenal, kendati bukan penciptanya.[25] Nama metode ini diambil dari kata stema. Kata Yunani Kuno στέμματα[26] yang diserap ke dalam bahasa Latin Klasik menjadi stemmata[26][27][28] bisa berarti "pohon silsilah". Di bidang kritik teks, stema, dalam arti khusus "pohon silsilah", adalah penjabaran keterkaitan saksi-saksi (naskah-naskah yang menyiratkan keberadaan teks asli) yang sintas (contoh pertama yang diketahui dari stema semacam ini, kendati tidak disebut stema, berasal dari tahun 1827).[29] Pohon silsilah semacam ini juga disebut kladogram.[30] Metode ini bertolak dari asas "kesamaan kekeliruan menyiratkan kesamaan asal usul," maksudnya, jika dua saksi mengandung sejumlah kekeliruan yang sama, maka patut diduga bahwa keduanya diturunkan dari satu sumber-antara yang sama, yang disebut upapurwarupa atau hiparketipe. Keterkaitan antara sumber-sumber antara yang sudah hilang ditentukan dengan proses yang sama, dengan menata semua naskah yang ada selaku turunan dari satu purwarupa tunggal sehingga membentuk sebuah pohon silsilah atau stemma codicum. Proses menata stema disebut resensi atau recensio.[31]

Sesudah menata stema, kritikus beranjak ke tahap selanjutnya yang disebut pemilihan atau selectio, yakni penentuan purwarupa dengan cara menguji varian-varian dari upapurwarupa yang terdekat dengan purwarupa dan memilih varian terbaik. Jika satu bacaan lebih kerap muncul dibanding bacaan lain yang setingkat dengannya pada pohon silsilah, maka bacaan dominan itulah yang dipilih. Jika ada dua bacaan sama-sama kerap muncul, maka penyuntinglah yang menilai mana bacaan yang benar.[32]

Sesudah tahap selectio, teks yang dipilih masih mungkin mengandung berbagai kekeliruan, karena mungkin saja ada bagian-bagian yang bacaan benarnya tidak terlestarikan di dalam satu sumber pun. Tahap pengujian atau examinatio dimanfaatkan untuk menemukan penyelewengan atau kerusakan. Bagian-bagian yang menurut editor merupakan penyelewengan atau kerusakan teks dikoreksi melalui proses yang disebut "emendasi" atau emendatio (kadang-kadang disebut pula divinatio). Emendasi-emendasi yang tidak didukung satu sumber mana pun yang diketahui kadang-kadang disebut emendasi-emendasi konjektural.[33]

Proses selectio tampak mirip dengan kritik teks eklektis, tetapi diterapkan terhadap serangkaian upapurwarupa hipotetis terbatas. Tahap examinatio dan emendatio tampak mirip dengan sunting teks-dasar. Pada kenyataannya, teknik-teknik lain dapat dipandang sebagai kasus-kasus istimewa stematika, yakni bilamana sebuah riwayat kekerabatan yang tegas dari teks tidak dapat dipastikan, dan hanya dapat dikira-kira saja. Jika satu naskah tampak merupakan teks terbaik, maka teknik sunting teks-dasarlah yang cocok dipakai, dan jika sekelompok naskah terlihat baik, maka eklektisisme terhadap kelompok naskah itulah cocok diterapkan.[34]

Perjanjian Baru Yunani edisi Hodges–Farstad berusaha menggunakan stematika untuk beberapa bagian.[35]

Filogenetika

 
Aneka Cerita Canterbury, ukiran kayu dari tahun 1484

Filogenetika adalah teknik pinjaman dari bidang biologi, yang mula-mula di bidang tersebut diberi nama sistematika filogenetis oleh Willi Hennig. Di bidang biologi, teknik ini digunakan untuk menentukan hubungan evolusioner antarspesies.[36] Dalam penerapannya di bidang kritik teks, teks dari sejumlah saksi berbeda dapat diinput ke dalam komputer yang merekam semua perbedaan antarnaskah, atau diturunkan dari aparatus yang sudah ada. Naskah-naskah tersebut kemudian dikelompokkan menurut kesamaan karakteristik. Filogenetika berbeda dari bentuk-bentuk analisis statistik yang lebih tradisional, karena alih-alih sekadar menata naskah-naskah dengan cara pengelompokan kasar berdasarkan kemiripan secara keseluruhan, filogenetika mengasumsikan bahwa naskah-naskah tersebut adalah bagian dari satu pohon silsilah yang bercabang banyak dan menggunakan asumsi tersebut untuk menentukan keterkaitan naskah-naskah tersebut satu sama lain. Hal ini menjadikannya lebih tampak seperti suatu pendekatan terotomasi terhadap stematika. Meskipun demikian, bilamana terdapat perbedaan antarnaskah, komputer tidak berusaha memutuskan mana bacaan yang lebih mendekati teks asli, dan dengan demikian tidak menunjukkan cabang mana dari pohon silsilah tersebut yang merupakan "pangkal", maksudnya, tradisi naskah mana yang paling mendekati teks asli. Untuk mencapai tujuan semacam itu, jenis-jenis bukti lain dipakai.

Filogenetika menghadapi permasalahan yang sama dengan kritik teks, yakni tampilan karakteristik-karakteristik pada turunan-turunan dari satu leluhur yang bukan hasil duplikasi (atau duplikasi-menyimpang) langsung dari leluhur tersebut, contohnya apabila seorang katib menggabungkan bacaan-bacaan dari dua atau lebih naskah berlainan ("kontaminasi"). Fenomena yang sama sering didapati pada berbagai jenis makhluk hidup sebagai akibat dari transfer gen horizontal (atau tansfer gen lateral) dan rekombinasi gen, khususnya pada bakteri. Penjajakan lebih lanjut atas daya terap metode-metode berlainan dalam rangka menanggulangi permasalahan tersebut pada makhluk hidup maupun tradisi teks merupakan bidang kajian yang berpeluang maju dan berkembang.[37]

Perangkat lunak yang dikembangkan untuk digunakan di bidang biologi sudah berhasil pula diterapkan pada kritik teks, contohnya adalah pemanfaatannya dalam Proyek Aneka Cerita Canterbury[38] untuk menentukan keterkaitan 84 naskah yang sintas dan 4 edisi cetak terdahulu dari Aneka Cerita Canterbury. Commedia Dante edisi Shaw menggunakan filogenetika bersama-sama dengan metode-metode tradisional dalam penjajakan komprehensif atas keterkaitan tujuh saksi terdahulu dari teks Dante.[39]

Batasan dan kritik

Stematika mengasumsikan bahwa tiap-tiap saksi diturunkan hanya dari semata-mata satu leluhur. Jika seorang katib merujuk lebih dari satu sumber saat membuat salinannya, maka salinan baru tersebut tidak dapat ditentukan tempatnya secara jelas pada satu cabang pohon silsilah teks. Dalam metode stematika, sebuah naskah yang diturunkan lebih dari satu sumber disifatkan sebagai naskah yang terkontaminasi.

Stematika juga mengasumsikan bahwa katib-katib hanya menghasilkan kekeliruan-kekeliruan baru, tidak berusaha mengoreksi kekeliruan-kekeliruan para pendahulu mereka. Bilamana sebuah teks diperbaiki katib, teks tersebut disifatkan canggih, tetapi "kecanggihan" melemahkan stematika karena mengaburkan keterkaitan sebuah dokumen dengan saksi-saksi lain, dan mempersulit penempatan naskah secara tepat pada stema.

Stematika mewajibkan kritikus teks untuk mengelompokkan naskah-naskah menurut kesamaan kekeliruan, dan oleh karena itu mewajibkan kritikus memiliki kemampuan untuk membedakan bacaan-bacaan yang keliru dari bacaan-bacaan yang benar. Asumsi ini sudah berulang kali diserang. W. W. Greg mengemukakan bahwa "gagasan bahwasanya jika seorang katib menghasilkan suatu kesalahan maka tidak pelak lagi ia akan menghasilkan omong kosong adalah gagasan yang tidak dapat dijelaskan secara gamblang dan sama sekali tidak dapat dibenarkan."[40]

Franz Anton Knittel membela sudut pandang tradisional di dalam teologi dan menentang kritik teks modern. Ia membela keaslian teks Pericopa Adulterae (Yohanes 7:53–8:11), Comma Iohanneum (1 Yohanes 5:7), dan Testimonium Flavianum. Menurutnya, Erasmus tidak memasukkan teks Comma Iohanneum dari Codex Montfortianus ke dalam Novum Instrumentum omne karena perbedaan-perbedaan ketatabahasaan, tetapi menggunakan Alkitab Poliglot Complutensis. Menurutnya pula, Tertulianus mengenal Comma Iohanneum.[41]

Tahap akhir metode stematika adalah emendatio, yang kadang-kadang disebut "emendasi praduga", padahal nyatanya kritikus menggunakan praduga di dalam setiap tahap dari proses kritik teks. Beberapa kaidah metode stematika yang dirancang untuk mengurangi penggunaan penilaian penyunting tidak serta-merta bakal membuahkan hasil yang benar. Sebagai contoh, jika ada lebih dari dua saksi pada tingkatan yang sama pada pohon silsilah, maka biasanya kritikus akan memilih bacaan yang dominan. Meskipun demikian, mungkin saja tidak lebih dari sekadar suatu kebetulan bahwa ada lebih banyak saksi sintas yang memuat satu bacaan tertentu. Meskipun demikian, bacaan yang baik tetapi kurang kerap muncul mungkin saja adalah bacaan yang benar.[42]

Yang terakhir, metode stematika mengasumsikan bahwa tiap-tiap saksi yang sintas adalah turunan, kendati jauh jaraknya, dari satu sumber tunggal. Stematika tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa penulis asli mungkin saja pernah merevisi karya tulisnya, dan kemungkinan bahwa teks tersebut dapat saja eksis pada beberapa masa berbeda di dalam lebih dari satu versi otoritatif.

Sunting teks-terbaik

Kritikus Joseph Bédier (1864–1938), yang pernah menggunakan stematika, menyerang metode tersebut pada tahun 1928. Ia menelaah edisi-edisi kritis tek-teks Prancis Abad Pertengahan yang dihasilkan melalui metode stematika dan mendapati bahwa rata-rata para kritikus teks cenderung menghasilkan pohon-pohon silsilah bifid, yaitu pohon silsilah yang hanya bercabang dua. Ia menyimpulkan bahwa hasil semacam ini mustahil muncul tanpa sengaja, dan oleh karena itu metode stematika cenderung menghasilkan stema-stema bercabang dua tanpa pandang riwayat aktual saksi-saksi. Ia curiga kalau para penyunting cenderung menyukai pohon-pohon silsilah bercabang dua, lantaran pohon-pohon slsilah semacam itu memberi ruang yang luas bagi penilaian penyunting (karena tidak ada cabang ketiga yang dapat "memutuskan hubungan" apabila saksi-saksi tidak bersesuaian satu sama lain). Ia juga mengungkap bahwa untuk banyak karya tulis, dapat diajukan lebih dari satu stema yang masuk akal, sehingga metode stematika terkesan tidaklah setegas atau seilmiah yang didengung-dengungkan para penganjurnya.

Keraguan Bédier terhadap metode stematika mendorongnya untuk mempertimbangkan dapat tidaknya metode itu sepenuhnya ditinggalkan. Sebagai alternatif pengganti stematika, Bédier mengusulkan metode sunting teks-terbaik. Dalam penerapan metode ini, satu saksi teks tunggal yang dinilai bestatus 'baik' oleh penyunting diemendasi seringan mungkin guna menyingkap kesalahan-kesalahan transmisi, tetapi dibiarkan tidak berubah. Cara kerja semacam ini membuat hasil sunting teks-terbaik pada hakikatnya merupakan sebuah edisi dokumenter. Salah satu contoh edisi semacam ini adalah edisi kritis Eugene Vinaver dari naskah Winchester yang berjudul Le Morte D'Arthur karangan Thomas Malory

Sunting teks-dasar

 
Halaman Codex Vaticanus Graecus 1209 yang memuat kalimat "tolol dan curang, biarkan bacaan lama apa adanya, jangan diubah-ubah", yakni catatan kritik seorang katib Abad Pertengahan (catatan pinggir di antara kolom satu dan dua) terhadap katib pendahulunya lantaran mengubah teks[43]

Dalam penyuntingan teks-dasar, kritikus memperbaiki kekeliruan-kekeliruan pada sebuah teks yang dijadikan dasar penyuntingan, sering kali dibantu saksi-saksi lain. Teks yang dijadikan dasar kerap dipilih dari naskah tertua teks tersebut, tetapi pada masa-masa awal pemanfaatan mesin cetak, teks dasar sering kali adalah naskah yang tersedia di tangan.

Dengan menggunakan metode sunting teks-dasar, kritikus menguji teks yang dijadikan dasar dan membuat koreksi-koreksi (disebut emendasi) pada bagian-bagian teks yang tampak salah di mata kritikus. Kesalahan dapat ditemukan dengan cara menelaah bagian-bagian teks dasar yang tidak masuk akal, atau dengan cara menelaah teks saksi-saksi lain untuk mencari bacaan terbaik. Keputusan-keputusan yang diambil apabila tidak ada jalan lain biasanya memihak teks dasar.

Terbitan pertama edisi cetak Perjanjian Baru Yunani dihasilkan dengan metode ini. Erasmus, sang penyunting, memilih salah satu naskah dari biara Dominikan di Basel dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang tampak jelas pada isi naskah tersebut dengan merujuk naskah-naskah lain yang ada di Bael. Teks Westcott dan Hort, yang dijadikan dasar pembuatan Alkitab bahasa Inggris Versi Revisi, juga dihasilkan melalui penerapan metode sunting teks-dasar, dengan menggunakan Codex Vaticanus sebagai teks dasar.[44]

Konsep teks-dasar dari McKerrow

Bibliograf Ronald B. McKerrow memperkenalkan istilah teks-dasar (bahasa Inggris: copy-text) di dalam edisi kritis karya tulis Thomas Nashe yang terbit tahun 1904. Ia mendefinisikan teks-dasar sebagai "teks yang dipakai dalam setiap kasus tertentu sebagai sumber dasar." McKerrow menyadari keterbatasan-keterbatasan metode stematika, dan yakin bahwa cara yang lebih bijak adalah memilih satu teks tertentu yang diduga andal, kemudian melakukan emendasi hanya pada bagian-bagian dari teks tersebut yang jelas-jelas tampak menyeleweng. Joseph Bédier, kritikus asal Prancis, juga merasa tidak puas dengan metode stematika, dan menyimpulkan bahwa seharusnya penyunting memilih teks terbaik yang tersedia, kemudian mengemendasinya sesedikit mungkin.

Dalam metode McKerrow, sebagaimana mula-mula diperkenalkan, teks-dasar tidak harus merupakan teks tertua. Dalam kasus-kasus tertentu, McKerrow justru memilih saksi yang dibuat lebih belakangan. Ia mengemukakan bahwa "jika seorang penyunting memiliki alasan untuk menduga bahwa sebuah teks tertentu mengandung lebih banyak koreksi dibanding teks-teks lain, dan pada saat yang sama tidak memiliki dasar untuk meragukan kalau koreksi-koreksi tersebut, atau paling tidak beberapa di antaranya, dibuat oleh penulis, maka ia tidak punya pilihan selain menjadikan teks tersebut sebagai dasar bagi edisi cetak ulang yang ia susun."[45]

Pada tahun 1939, di dalam Prolegomena for the Oxford Shakespeare yang ia susun, McKerrow berubah pikiran terkait pendekatan ini, lantaran ia khawatir sebuah edisi yang dibuat lebih belakangan, sekalipun mengandung koreksi-koreksi yang dibuat penulis, bakal "lebih jauh menyimpang daripada cetakan tertua naskah asli penulis." Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa prosedur yang benar adalah "menghasilkannya dengan menggunakan cetakan "baik" terawal sebagai teks-dasar, dan memasukkan ke dalamnya, dari edisi pertama yang memuatnya, koreksi-koreksi yang kita anggap berasal dari sang penulis." Lantaran mengkhawatirkan penilaian yang dilakukan sesuka hati penyunting, McKerrow menegaskan bahwa sesudah berkesimpulan kalau sebuah edisi yang dibuat lebih kemudian mengandung revisi-revisi substantif yang berasal dari penulis, "kita harus menerima seluruh perubahan dari edisi tersebut, kecuali perubahan-perubahan yang jelas-jelas tampak sebagai kekeliruan atau salah cetak."[46]

Penjelasan teks-dasar dari W. W. Greg

Kritik teks Amerika-Inggris pada separuh akhir abad ke-20 didominasi sebuah esai penting berjudul "The Rationale of Copy-Text", yang ditulis Sir Walter W. Greg pada tahun 1950. Greg mengemukakan bahwa:

Kita perlu membedakan bacaan-bacaan teks yang signifikan, atau yang saya sebut "substantif", yakni unsur-unsur yang memengaruhi maksud atau inti ungkapan penulis, dari unsur-unsur lain, yang pada umumnya berupa ejaan, tanda baca, pemisahan kata, dan sejenisnya, yang lebih memengaruhi penyajian formal teks tersebut, yakni unsur-unsur yang dapat dianggap sebagai kekhilafan-kekhilafan tak disengaja, atau yang saya sebut "kecelakaan".[47]

Berdasarkan hasil pengamatannya, Greg mengemukakan bahwa para penyusun huruf di bengkel-bengkel cetak cenderung setia mengikuti bacaan-bacaan "substantif" dari salinan yang mereka hasilkan, kecuali bilamana mereka melakukan penyimpangan tanpa sengaja; tetapi lantaran "cuma kecelakaan, normalnya mereka akan kembali kepada kebiasaan-biasaan atau kecenderungan mereka sendiri, kendati mereka mungkin saja, untuk berbagai alasan dan sampai berbagai taraf, dipengaruhi salinan yang mereka hasilkan."[48]

Ia menyimpulkan bahwa:

Menurut hemat saya, teori yang sesungguhnya adalah, bahwasanya teks-dasar harus dijadikan patokan (secara umum) dalam soal kecelakaan-kecelakaan, tetapi pilihan dari antara bacaan-bacaan substantif termasuk di dalam teori umum kritik teks dan secara keseluruhan berada di luar dari asas sempit teks-dasar. Dengan demikian mungkin saja terjadi di dalam sebuah edisi kritis bahwasanya teks yang secara tepat dipilih sebagai dasar sama sekali bukanlah teks yang menyajikan bacaan-bacaan tersubstantif dalam kasus-kasus variasi. Kegagalan dalam membedakan dan menerapkan asas ini secara alamiah telah bermuara kepada ketergantungan yang terlalu dekat dan terlalu umum terhadap teks yang dipilih sebagai dasar sebuah edisi, dan sudah timbul apa yang dapat disebut sebagai tirani teks-dasar, suatu tirani yang menurut saya menurunkan mutu sebagian besar hasil kerja penyuntingan terbaik dari generasi terdahulu.[49]

-->

Singkatnya, pandangan Greg adalah bahwasanya "teks-dasar tidak dapat dibenarkan mengampu otoritas untuk melangkahi atau bahkan diistimewakan sejauh menyangkut bacaan-bacaan substantif." Perihal pilihan dari antara bacaan-bacaan yang sama-sama masuk akal, menurut:

Akan ditentukan be determined partly by the opinion the editor may form respecting the nature of the copy from which each substantive edition was printed, which is a matter of external authority; partly by the intrinsic authority of the several texts as judged by the relative frequency of manifest errors therein; and partly by the editor's judgment of the intrinsic claims of individual readings to originality—in other words their intrinsic merit, so long as by 'merit' we mean the likelihood of their being what the author wrote rather than their appeal to the individual taste of the editor.[50]

Although Greg argued that an editor should be free to use his judgment to choose between competing substantive readings, he suggested that an editor should defer to the copy-text when "the claims of two readings ... appear to be exactly balanced. ... In such a case, while there can be no logical reason for giving preference to the copy-text, in practice, if there is no reason for altering its reading, the obvious thing seems to be to let it stand."[51] The "exactly balanced" variants are said to be indifferent.

Editors who follow Greg's rationale produce eclectic editions, in that the authority for the "accidentals" is derived from one particular source (usually the earliest one) that the editor considers to be authoritative, but the authority for the "substantives" is determined in each individual case according to the editor's judgment. The resulting text, except for the accidentals, is constructed without relying predominantly on any one witness.

Greg–Bowers–Tanselle

W. W. Greg did not live long enough to apply his rationale of copy-text to any actual editions of works. His rationale was adopted and significantly expanded by Fredson Bowers (1905–1991). Starting in the 1970s, G. Thomas Tanselle vigorously took up the method's defense and added significant contributions of his own. Greg's rationale as practiced by Bowers and Tanselle has come to be known as the "Greg–Bowers" or the "Greg–Bowers–Tanselle" method.

Application to works of all periods

 
William Shakespeare, A Midsummer Night's Dream (First Folio)

In his 1964 essay, "Some Principles for Scholarly Editions of Nineteenth-Century American Authors", Bowers said that "the theory of copy-text proposed by Sir Walter Greg rules supreme".[52] Bowers's assertion of "supremacy" was in contrast to Greg's more modest claim that "My desire is rather to provoke discussion than to lay down the law".[53]

Whereas Greg had limited his illustrative examples to English Renaissance drama, where his expertise lay, Bowers argued that the rationale was "the most workable editorial principle yet contrived to produce a critical text that is authoritative in the maximum of its details whether the author be Shakespeare, Dryden, Fielding, Nathaniel Hawthorne, or Stephen Crane. The principle is sound without regard for the literary period."[54] For works where an author's manuscript survived—a case Greg had not considered—Bowers concluded that the manuscript should generally serve as copy-text. Citing the example of Nathaniel Hawthorne, he noted:

When an author's manuscript is preserved, this has paramount authority, of course. Yet the fallacy is still maintained that since the first edition was proofread by the author, it must represent his final intentions and hence should be chosen as copy-text. Practical experience shows the contrary. When one collates the manuscript of The House of the Seven Gables against the first printed edition, one finds an average of ten to fifteen differences per page between the manuscript and the print, many of them consistent alterations from the manuscript system of punctuation, capitalization, spelling, and word-division. It would be ridiculous to argue that Hawthorne made approximately three to four thousand small changes in proof, and then wrote the manuscript of The Blithedale Romance according to the same system as the manuscript of the Seven Gables, a system that he had rejected in proof.[55]

Following Greg, the editor would then replace any of the manuscript readings with substantives from printed editions that could be reliably attributed to the author: "Obviously, an editor cannot simply reprint the manuscript, and he must substitute for its readings any words that he believes Hawthorne changed in proof."[55]

Uninfluenced final authorial intention

McKerrow had articulated textual criticism's goal in terms of "our ideal of an author's fair copy of his work in its final state".[56] Bowers asserted that editions founded on Greg's method would "represent the nearest approximation in every respect of the author's final intentions."[57] Bowers stated similarly that the editor's task is to "approximate as nearly as possible an inferential authorial fair copy."[58] Tanselle notes that, "Textual criticism ... has generally been undertaken with a view to reconstructing, as accurately as possible, the text finally intended by the author".[59]

Bowers and Tanselle argue for rejecting textual variants that an author inserted at the suggestion of others. Bowers said that his edition of Stephen Crane's first novel, Maggie, presented "the author's final and uninfluenced artistic intentions."[60] In his writings, Tanselle refers to "unconstrained authorial intention" or "an author's uninfluenced intentions."[61] This marks a departure from Greg, who had merely suggested that the editor inquire whether a later reading "is one that the author can reasonably be supposed to have substituted for the former",[62] not implying any further inquiry as to why the author had made the change.

Tanselle discusses the example of Herman Melville's Typee. After the novel's initial publication, Melville's publisher asked him to soften the novel's criticisms of missionaries in the South Seas. Although Melville pronounced the changes an improvement, Tanselle rejected them in his edition, concluding that "there is no evidence, internal or external, to suggest that they are the kinds of changes Melville would have made without pressure from someone else."[63]

Bowers confronted a similar problem in his edition of Maggie. Crane originally printed the novel privately in 1893. To secure commercial publication in 1896, Crane agreed to remove profanity, but he also made stylistic revisions. Bowers's approach was to preserve the stylistic and literary changes of 1896, but to revert to the 1893 readings where he believed that Crane was fulfilling the publisher's intention rather than his own. There were, however, intermediate cases that could reasonably have been attributed to either intention, and some of Bowers's choices came under fire—both as to his judgment, and as to the wisdom of conflating readings from the two different versions of Maggie.[64]

Hans Zeller argued that it is impossible to tease apart the changes Crane made for literary reasons and those made at the publisher's insistence:

Firstly, in anticipation of the character of the expected censorship, Crane could be led to undertake alterations which also had literary value in the context of the new version. Secondly, because of the systematic character of the work, purely censorial alterations sparked off further alterations, determined at this stage by literary considerations. Again in consequence of the systemic character of the work, the contamination of the two historical versions in the edited text gives rise to a third version. Though the editor may indeed give a rational account of his decision at each point on the basis of the documents, nevertheless to aim to produce the ideal text which Crane would have produced in 1896 if the publisher had left him complete freedom is to my mind just as unhistorical as the question of how the first World War or the history of the United States would have developed if Germany had not caused the USA to enter the war in 1917 by unlimited submarine combat. The nonspecific form of censorship described above is one of the historical conditions under which Crane wrote the second version of Maggie and made it function. From the text which arose in this way it is not possible to subtract these forces and influences, in order to obtain a text of the author's own. Indeed I regard the "uninfluenced artistic intentions" of the author as something which exists only in terms of aesthetic abstraction. Between influences on the author and influences on the text are all manner of transitions.[65]

Bowers and Tanselle recognize that texts often exist in more than one authoritative version. Tanselle argues that:

[T]wo types of revision must be distinguished: that which aims at altering the purpose, direction, or character of a work, thus attempting to make a different sort of work out of it; and that which aims at intensifying, refining, or improving the work as then conceived (whether or not it succeeds in doing so), thus altering the work in degree but not in kind. If one may think of a work in terms of a spatial metaphor, the first might be labeled "vertical revision," because it moves the work to a different plane, and the second "horizontal revision," because it involves alterations within the same plane. Both produce local changes in active intention; but revisions of the first type appear to be in fulfillment of an altered programmatic intention or to reflect an altered active intention in the work as a whole, whereas those of the second do not.[66]

He suggests that where a revision is "horizontal" (i.e., aimed at improving the work as originally conceived), then the editor should adopt the author's later version. But where a revision is "vertical" (i.e., fundamentally altering the work's intention as a whole), then the revision should be treated as a new work, and edited separately on its own terms.

Format for apparatus

Bowers was also influential in defining the form of critical apparatus that should accompany a scholarly edition. In addition to the content of the apparatus, Bowers led a movement to relegate editorial matter to appendices, leaving the critically established text "in the clear", that is, free of any signs of editorial intervention. Tanselle explained the rationale for this approach:

In the first place, an editor's primary responsibility is to establish a text; whether his goal is to reconstruct that form of the text which represents the author's final intention or some other form of the text, his essential task is to produce a reliable text according to some set of principles. Relegating all editorial matter to an appendix and allowing the text to stand by itself serves to emphasize the primacy of the text and permits the reader to confront the literary work without the distraction of editorial comment and to read the work with ease. A second advantage of a clear text is that it is easier to quote from or to reprint. Although no device can insure accuracy of quotation, the insertion of symbols (or even footnote numbers) into a text places additional difficulties in the way of the quoter. Furthermore, most quotations appear in contexts where symbols are inappropriate; thus when it is necessary to quote from a text which has not been kept clear of apparatus, the burden of producing a clear text of the passage is placed on the quoter. Even footnotes at the bottom of the text pages are open to the same objection, when the question of a photographic reprint arises.[67]

Some critics believe that a clear-text edition gives the edited text too great a prominence, relegating textual variants to appendices that are difficult to use, and suggesting a greater sense of certainty about the established text than it deserves. As Shillingsburg notes, "English scholarly editions have tended to use notes at the foot of the text page, indicating, tacitly, a greater modesty about the "established" text and drawing attention more forcibly to at least some of the alternative forms of the text".[68]

The MLA's CEAA and CSE

In 1963, the Modern Language Association of America (MLA) established the Center for Editions of American Authors (CEAA). The CEAA's Statement of Editorial Principles and Procedures, first published in 1967, adopted the Greg–Bowers rationale in full. A CEAA examiner would inspect each edition, and only those meeting the requirements would receive a seal denoting "An Approved Text."

Between 1966 and 1975, the Center allocated more than $1.5 million in funding from the National Endowment for the Humanities to various scholarly editing projects, which were required to follow the guidelines (including the structure of editorial apparatus) as Bowers had defined them.[69] According to Davis, the funds coordinated by the CEAA over the same period were more than $6 million, counting funding from universities, university presses, and other bodies.[70]

The Center for Scholarly Editions (CSE) replaced the CEAA in 1976. The change of name indicated the shift to a broader agenda than just American authors. The Center also ceased its role in the allocation of funds. The Center's latest guidelines (2003) no longer prescribe a particular editorial procedure.[71] -->

Penerapan pada dokumen keagamaan

Semua teks dapat menjadi subjek penelitian dan kritisisme sistematik di mana dokumen aslinya tidak dapat diverifikasi atau tidak tersedia. Para penganut agama sering kali enggan untuk melakukan penelitian kritik teks yang mendalam terhadap kitab-kitab sucinya karena mereka meyakini kitab-kitab itu sebagai ilham ilahi. Sebaliknya para lawan atau kelompok berpolemik condong untuk mencari-cari kesalahan dalam suatu teks keagamaan dengan cara apapun. Akibatnya, kritik teks yang sah sering ditentang baik oleh penganut kepercayaan itu maupun oleh para skeptik.

Alkitab Ibrani

 
Naskah Alkitab Ibrani dengan Targum dari abad ke-11
 
Satu halaman memuat Kitab Ulangan dari Aleppo Codex.

Kritisisme tekstual Alkitab Ibrani membandingkan versi naskah Alkitab dari berbagai sumber (tarikh berdasarkan naskah tertua yang terlestarikan dari setiap keluarga/famili tekstual)

Sebagaimana dalam naskah-naskah Perjanjian Baru, munculnya perubahan, korupsi dan penghapusan, terutama dalam teks-teks Masoret, disebabkan oleh para juru tulis (soferim; scribes) kuno yang tidak menangani kesalahan penyalinan secermat di waktu-waktu kemudian.[72]

Ada tiga edisi baru terpisah untuk Alkitab Ibrani yang sekarang dalam pengembangan: Biblia Hebraica Quinta, Hebrew University Bible, dan Oxford Hebrew Bible. Biblia Hebraica Quinta adalah edisi diplomatik berdasarkan Leningrad Codex. Hebrew University Bible juga diplomatik, tetapi berdasarkan Aleppo Codex. Oxford Hebrew Bible adalah edisi eklektis.[73]

Alkitab Ibrani sebagai Perjanjian Lama

Dalam melihat Alkitab Ibrani sebagai Perjanjian Lama, hampir semua varian tekstual tidak bernilai penting dan tidak mempengaruhi doktrin kepercayaan. Professor Douglas Stuart menyatakan: "Secara jujur dapat dikatakan bahwa ayat-ayat, pasal-pasal, dan kitab-kitab dalam Alkitab akan terbaca umumnya sama, dan memberikan kesan yang sama kepada para pembaca, meskipun orang memasukkan semua bacaan alternatif yang ada ke dalam teks yang menjadi dasar terjemahan [bahasa Inggris] saat ini."[74]

Perjanjian Baru

Teks kuno Perjanjian Baru meliputi lebih dari 5.800 naskah bahasa Yunani manuscripts, 10.000 naskah bahasa Latin dan 9.300 naskah dalam bahasa-bahasa kuno lain (termasuk bahasa Suryani, bahasa Slavia, bahasa Etiopia dan bahasa Armenia). Naskah-naskah itu memuat sekitar 300.000 varian tekstual, sebagian besar meliputi pertukaran urutan kata dan perbedaan penulisan yang trivial.[75][76] Jadi selama lebih dari 250 tahun dilakukan kritis teks mendalam, para sarjana Perjanjian Baru dapat menyatakan tidak ada varian tekstual yang mempengaruhi doktrin apapun. Profesor D. A. Carson menyatakan: "tidak ada dari apa yang kita percayai secara doktrinal benar, dan tidak ada dari apa yang diperintahkan kepada kita untuk dilakukan, yang diubah oleh varian-varian itu. Ini benar untuk tradisi tekstual manapun. Penafsiran perikop-perikop individual dapat saja dipertanyakan; tetapi tidak pernah ada doktrin yang terdampak."[75][77]

Perangkat lunak

Sejumlah program dan standar komputer sudah ada untuk mendukung para penyunting edisi-edisi kritis. Ini termasuk:

  • Text Encoding Initiative. The Guidelines of the TEI provide much detailed analysis of the procedures of critical editing, including recommendations about how to mark up a computer file containing a text with critical apparatus. See especially the following chapters of the Guidelines: 10. Manuscript Description, 11. Representation of Primary Sources, and 12. Critical Apparatus.
  • Juxta is an open-source tool for comparing and collating multiple witnesses to a single textual work. It was designed to aid scholars and editors examine the history of a text from manuscript to print versions. Juxta provides collation for multiple versions of texts that are marked up in plain text or TEI/XML format.
  • The EDMAC macro package for Plain TeX is a set of macros originally developed by John Lavagnino and Dominik Wujastyk for typesetting critical editions. "EDMAC" stands for "EDition" "MACros." EDMAC is in maintenance mode.
  • The ledmac package is a development of EDMAC by Peter R. Wilson for typesetting critical editions with LaTeX. ledmac is in maintenance mode.[78]
  • The eledmac package is a further development of ledmac by Maïeul Rouquette that adds more sophisticated features and solves more advanced problems. eledmac was forked from ledmac when it became clear that it needed to develop in ways that would compromise backward-compatibility. eledmac is maintenance mode.
  • The reledmac package is a further development of eledmac by Maïeul Rouquette that rewrittes many part of the code in order to allow more robust developments in the future. In 2015, it is in active development.
  • ednotes, written by Christian Tapp and Uwe Lück is another package for typesetting critical editions using LaTeX.
  • Classical Text Editor Diarsipkan 2014-05-26 di Wayback Machine. is a word-processor for critical editions, commentaries and parallel texts written by Stefan Hagel. CTE is designed for use on the Windows operating system, but has been successfully run on Linux and OS/X using Wine. CTE can export files in TEI format. CTE is currently (2014) in active development.
  • Critical Edition Typesetter by Bernt Karasch is a system for typesetting critical editions starting from input into a word-processor, and ending up with typesetting with TeX and EDMAC. Development opf CET seems to have stopped in 2004.

Lihat pula

Topik

Edisi kritis

Kitab Mormon
  • Book of Mormon Critical Text – FARMS 2nd edition
Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama
Perjanjian Baru
Critical Translations
  • The Comprehensive New Testament – standardized Nestle-Aland 27 edition[81]
  • The Dead Sea Scrolls Bible – dengan peta tektual kepada varian-varian Teks Masoret, Dead Sea Scrolls, and Septuaginta
  • New English Translation of the Septuagint, suatu terjemahan kritis dari bagian-bagian yang lengkap dari "Göttingen Septuagint", sisanya dari "Rahlf's manual edition"

Daftar

Referensi

  1. ^ Ehrman 2005, hlm. 46.
  2. ^ Vincent. A History of the Textual Criticism of the New Testament
    "... proses dari usahanya untuk menentukan teks asli sebuah dokumen atau sekumpulan dokumen, dan untuk menyajikannya, lepas dari semua kekeliruan, penyelewengan, dan berbagai variasi yang mungkin sudah terakumulasi melalui rentetan penyalinan yang dilakukan dalam rentang waktu transkripsinya."
  3. ^ TY  - JOUR AU  - Howe, Christopher AU  - Connolly, Ruth AU  - Windram, Heather PY  - 2012/12/01 SP  - 51 EP  - 67 T1  - Responding to Criticisms of Phylogenetic Methods in Stemmatology VL  - 52 DO  - 10.2307/41349051 JO  - Sel Studies in English Literature 1500-1900 ER  -
  4. ^ Saussure, Ferdinand de (1916). Course de Linguistique General. Lausanne: Charles Bally in Payot C. hlm. 1–3. ISBN 9782228500647. 
  5. ^ a b Tanselle, (1989) A Rationale of Textual Criticism.
  6. ^ Jarvis 1995, hlmn. 1–17
  7. ^ Montgomery 1997
  8. ^ Maas P. 1958. Textual criticism. Oxford. hlm. 1
  9. ^ Maas 1958, hlm. 2–3.
  10. ^ "Apparatus criticus dicantumkan di bawah teks sekadar mengikuti kaidah pembuatan buku cetak, khususnya format buku modern. Kebiasaan memanfaatkan sisi luar margin teks sebagai tempat mencantumkan apparatus criticus pada naskah-naskah Abad Kuno dan Abad Pertengahan dilakukan dengan maksud supaya lebih jelas terbaca." Maas 1958, hlmn. 22–23.
  11. ^ Gaskell, 1978.
  12. ^ Greetham 1999, hlm. 40.
    "Dengan demikian Tanselle memadukan praktike Aristotelian, yakni penilaian saksama atas fenomenologi teks, dengan kecurigaan Platonis yang mendalam terhadap fenomenologi tersebut, dan terhadap alam pengalaman yang maujud (lihat ' Materiality' saya untuk pembahasan lebih lanjut). Bagi dia—dan saya rasa bagi penyuntingan idealis atau 'eklektis' yang kerap diidentikkan dengan dia dan Greg-Bowers, yang dengannya 'teks-nan-tak-pernah-wujud' idealis dimunculkan dari status korup dokumen-dokumen yang sintas—ontologi hanya imanen, sudah barang tentu tidak pernah wujud di dalam teks terkhususkan dan historis, karena hanya dapat digapai pada tingkatan yang tak tergapai dari nous (akal budi) alih-alih fenomenon (cerapan). Dengan demikian, sasaran-sasaran muluk penyuntingan eklestis (atau yang kadang-kadang disebut 'kritis') sekalipun dapat dipermasalahkan, karena status fenomenologis yang tidak pasti dari dokumenter dan historis."
  13. ^ McGann 1992, hlm. xviiii
  14. ^ Bradley 1990
  15. ^ Bentham, Gosse 1902
  16. ^ Comfort, Comfort 2005, hlm. 383
  17. ^ Aland, B. 1994, hlm. 138
  18. ^ a b Hartin, Petzer, Mannig 2001, hlmn. 47–53
  19. ^ Aland K., Aland, B. 1987, hlm. 276
  20. ^ "Manuscript Studies: Textual analysis (Scribal error)". www.ualberta.ca. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2016. Diakses tanggal 2 Mei 2018. 
  21. ^ "Critical Rules of Johann Albrecht Bengel". Bible-researcher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Februari 2010. Diakses tanggal 2008-05-24. 
  22. ^ J.J. Griesbach, Novum Testamentum Graece
  23. ^ "Critical Rules of Johann Albrecht Bengel". Bible-researcher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-13. Diakses tanggal 2008-05-24. 
    "Brevior lectio, nisi testium vetustorum et gravium auctoritate penitus destituatur, praeferenda est verbosiori. Librarii enim multo proniores ad addendum fuerunt, quam ad omittendum."
  24. ^ "Theories of Westcott and Hort". Bible-researcher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-13. Diakses tanggal 2008-05-24. 
    "Bacaan yang harus diutamakan adalah bacaan yang paling masuk akal, maksudnya, yang paling sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa dan yang paling selaras dengan maksud keseluruhan kalimat serta konteks yang lebih luas." (2.20)
  25. ^ Sebastian Timpanaro, The Genesis of Lachmann's Method, disunting dan diterjemahkan oleh Glenn W. Most (Chicago: University of Chicago Press, 2005) [diterjemahkan dari Genesi del metodo del Lachmann (Liviana Editrice, 1981)].
  26. ^ a b Liddell, H.G. & Scott, R. (1940). A Greek-English Lexicon. revised and augmented throughout by Sir Henry Stuart Jones. with the assistance of. Roderick McKenzie. Oxford: Clarendon Press.
  27. ^ Lewis, C.T. & Short, C. (1879). A Latin dictionary founded on Andrews' edition of Freund's Latin dictionary. Oxford: Clarendon Press.
  28. ^ Saalfeld, G.A.E.A. (1884). Tensaurus Italograecus. Ausführliches historisch-kritisches Wörterbuch der Griechischen Lehn- und Fremdwörter im Lateinischen. Wien: Druck und Verlag von Carl Gerold's Sohn, Buchhändler der Kaiserl. Akademie der Wissenschaften.
  29. ^ Collín, H. S. and C. J. Schlyter (eds), Corpus iuris Sueo-Gotorum antiqui: Samling af Sweriges gamla lagar, på Kongl. Maj:ts. nådigste befallning, 13 jilid (Stockholm: Haeggström, 1827–77), jld. 1, tabel 3; jilid ini tersedia di [1] tetapi sayang sekali pemindaiannya menghilangkan stema. William Robins, `Editing and Evolution', Literature Compass 4 (2007): 89–120, di hlmn. 93–94, {{doi|10.1111/j.1741-4113.2006.00391.x.
  30. ^ Mulken & van Pieter 1996, hlm. 84
  31. ^ Wilson dan Reynolds 1974, hlm. 186
  32. ^ Roseman 1999, hlm. 73
  33. ^ McCarter 1986, hlm. 62
  34. ^ "The Greek Vorlage of the Syra Harclensis". rosetta.reltech.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Maret 2016. Diakses tanggal 2 Mei 2018. 
  35. ^ Edisi-Edisi Kritis Perjanjian Baru Diarsipkan 2009-04-14 di Wayback Machine. di Encyclopaedia of Textual Criticism
  36. ^ Schuh 2000, hlm. 7
  37. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Agustus 2017. Diakses tanggal 2017-05-16.  Wendy J. Phillips-Rodriguez*, Christopher J. Howe, Heather F. Windram "Chi-Squares and the Phenomenon of 'Change of Exemplar' in the Dyutaparvan", Sanskrit Computational Linguistics, Simposium Internasional I & II Rocquencourt, Prancis, 29–31 Oktober 2007, Providence, Rhode Island, Amerika Serikat, 15–17 Mei 2008 Makalah-makalah undangan dan pilihan yang sudah direvisi; Windram, H. F., Howe, C. J., Spencer M.: "The identification of exemplar change in the Wife of Bath's Prologue using the maximum chi-squared method". Literary and Linguistic Computing 20, 189–-204 (2005).
  38. ^ Canterbury Tales Project Diarsipkan 2016-10-30 di Wayback Machine., Official Website
  39. ^ Commedia Diarsipkan 2017-05-31 di Wayback Machine. edisi Shaw, 2010
  40. ^ Greg 1950, hlm. 20
  41. ^ Knittel, Neue Kritiken über den berühmten Sprych: Drey sind, die da zeugen im Himmel, der Vater, das Wort, und der heilige Geist, und diese drei sind eins Braunschweig 1785
  42. ^ Tov 2001, hlmn. 351–68
  43. ^ Ehrman 2005, hlm. 44.[2] Diarsipkan 2018-05-02 di Wayback Machine. Lih. pula [3] Diarsipkan 2018-05-02 di Wayback Machine..
  44. ^ Aland, Kurt; Barbara Aland (1995). The Text of the New Testament: An Introduction to the Critical Editions and to the Theory and Practice of Modern Textual Criticism. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company. hlm. 236. ISBN 0-8028-4098-1. 
  45. ^ Quoted in Greg 1950, hlmn. 23–24
  46. ^ McKerrow 1939. hlmn. 17–18, dikutip di dalam Greg 1950, hlm. 25
  47. ^ Greg 1950, hlm. 21
  48. ^ Greg 1950, hlm. 22
  49. ^ Greg 1950, hlm. 26
  50. ^ Greg 1950, p. 29
  51. ^ Greg 1950, p. 31
  52. ^ Bowers 1964, p. 224
  53. ^ Greg 1950, p. 36
  54. ^ Bowers 1973, p. 86
  55. ^ a b Bowers 1964, p. 226
  56. ^ McKerrow 1939, pp. 17–8, quoted in Bowers 1974, p. 82, n. 4
  57. ^ Bowers 1964, p. 227
  58. ^ quoted in Tanselle 1976, p. 168
  59. ^ Tanselle 1995, p. 16
  60. ^ quoted in Zeller 1975, p. 247
  61. ^ Tanselle 1986, p. 19
  62. ^ Greg 1950, p. 32
  63. ^ Tanselle 1976, p. 194
  64. ^ Davis 1977, pp. 2–3
  65. ^ Zeller 1975, pp. 247–248
  66. ^ Tanselle 1976, p. 193
  67. ^ Tanselle 1972, pp. 45–6
  68. ^ Shillingsburg 1989, p. 56, n. 8
  69. ^ Tanselle 1975, pp. 167–8
  70. ^ Davis 1977, p. 61
  71. ^ "Aims and Services of the Committee on Scholarly Editions". The Committee on Scholarly Editions, Indiana University Purdue University Indianapolis. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-23. Diakses tanggal 2008-05-24. 
    "The editorial standards that form the criteria for the award of the CSE "Approved Edition" emblem can be stated here in only the most general terms, since the range of editorial work that comes within the committee's purview makes it impossible to set forth a detailed, step-by-step editorial procedure."
  72. ^ Tov 2001, p. 9
  73. ^ Hendel, R., "The Oxford Hebrew Bible: Prologue to a New Critical Edition", Vetus Testamentum, vol. 58, no. 3 (2008). pp. 325–326
  74. ^ Kaiser, Walter (2001). The Old Testament Documents: Are They Reliable & Relevant?. InterVarsity Press. hlm. 48. ISBN 9780830819751. 
  75. ^ a b Wallace, Daniel. "The Majority Text and the Original Text: Are They Identical?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 December 2013. Diakses tanggal 23 November 2013. 
  76. ^ Westcott and Hort (1896). The New Testament in The Original Greek: Introduction Appendix. Diakses tanggal 23 November 2013. 
  77. ^ Beacham, Roy E.; Bauder, Kevin T. One Bible Only?: Examining Exclusive Claims for the King James Bible (dalam bahasa Inggris). Kregel Publications. ISBN 9780825497032. 
  78. ^ See further the useful guidelines offered by Dekker, D-J. "Typesetting Critical Editions with LaTeX: ledmac, ledpar and ledarab". Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2014. Diakses tanggal 14 May 2014. 
  79. ^ Novum Testamentum Graece, German Bible Society "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-02. Diakses tanggal 2013-10-31. 
  80. ^ UBS Greek New Testament, German Bible Society "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-02. Diakses tanggal 2013-10-31. 
  81. ^ http://www.bookreviews.org/pdf/6583_7128.pdf

Pustaka

Pustaka tambahan

  • Dabney, Robert L. (1871). "The Doctrinal Various Readings of the New Testament Greek", Southern Presbyterian Review, April 1871, p. 350-390.
  • Epp, Eldon J., The Eclectic Method in New Testament Textual Criticism: Solution or Symptom?, The Harvard Theological Review, Vol. 69, No. 3/4 (July–October 1976), pp. 211–257
  • Hagen, Kenneth, The Bible in the Churches: How Various Christians Interpret the Scriptures, Marquette Studies in Theology, Vol 4; Marquette University Press, 1998, ISBN 0-87462-628-5
  • Hodges, Zane C. and Farstad, Arthur L. The Greek New Testament According to the Majority Text with Apparatus, Thomas Nelson; 2nd ed edition (January 1, 1985), ISBN 0-8407-4963-5
  • Housman, A. E. (1922). "The Application of Thought to Textual Criticism". Proceedings of the Classical Association. 18: 67–84. Diakses tanggal 2008-03-08. 
  • Love, Harold (1993). "section III". Scribal Publication in Seventeenth-Century England. Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-811219-X. 
  • Kittel, F. A. (1785). Neue Kritiken über den berühmten Sprych: Drey sind, die da zeugen in Himmel, der Vater, das Wort, und der heilge Geist, und diese drein sind eins. Eine synodalische Vorlesung. Braunschweig, Deutschland: John. Chr. Meyer.
  • Komoszewski, Sawyer and Wallace, (2006), Reinventing Jesus, Kregel Publications, 2006, ISBN 978-0-8254-2982-8
  • Metzger & Bart Ehrman, (2005), The Text of the New Testament, OUP, ISBN 978-0-19-516122-9
  • Schiffman, Lawrence H., Reclaiming the Dead Sea Scrolls: The History of Judaism, the Background of Christianity, the Lost Library of Qumran; Jewish Publication Society, 1st ed. 1994, ISBN 0-8276-0530-7
  • Soulen, Richard N. and Soulen, R. Kendall, Handbook of Biblical Criticism; Westminster John Knox Press; 3 edition (October 2001), ISBN 0-664-22314-1

Pranala luar

Umum

Alkitab