Korban curahan adalah cairan atau biji-bijian, misalnya beras, yang dicurahkan secara khidmat dalam suatu upacara sebagai persembahan kepada dewata atau makhluk halus, atau untuk mengenang orang yang sudah wafat. Persembahan korban curahan merupakan amalan lumrah di dalam agama-agama purba, bahkan masih diamalkan berbagai kelompok budaya dewasa ini.

Relief upacara persembahan korban curahan kepada dewi tumbuh-tumbuhan (sekitar tahun 2500 SM) ditemukan di situs Girsu, koleksi Museum Louvre
Imam Romawi berkudung toga memegang patera dengan sikap tubuh seakan-akan sedang mempersembahkan korban curahan, patung perunggu mini dari kurun waktu abad ke-2 sampai abad ke-3 M
Buryat shaman performing a libation.

Korban curahan dapat berwujud berbagai macam benda, yang paling lazim adalah anggur atau minuman beralkohol jenis lain, minyak zaitun, madu, dan minyak samin di India. Wadah-wadah yang dipakai dalam upacara persembahan korban curahan, antara lain patera, sering kali dibuat lebih istimewa bentuknya, sehingga terbedakan dari wadah-wadah biasa untuk keperluan sehari-hari. Korban curahan dapat dituangkan ke atas benda yang memiliki signifikansi keagamaan, misalnya mezbah, dan dapat pula ditumpahkan ke tanah.

Di Asia Timur, pencurahan sesaji beras ke atas air mengalir melambangkan pelepasan dari karma dan kekuatan jahat.

Amalan agama

Sejarah

Sumer Kuno

Bagi bangsa Sumer, akhirat adalah relung gelap dan suram nan jauh di dasar bumi.[1][2] Alam gersang ini disebut Kur.[1][3]:114[4]:184 Hanya debu yang menjadi santapan arwah-arwah di dalamnya.[3]:58 Oleh karena itu sanak keluarga yang masih hidup perlu mempersembahkan korban curahan ke dalam kubur si mati melalui sebatang pipa lempung, agar si mati dapat melepas dahaga.[3]:58

Mesir Kuno

Persembahan korban curahan adalah amalan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Mesir Kuno. Bangsa Mesir Kuno mempersembahkan sesaji minuman untuk memuliakan dan menenteramkan dewa-dewi, leluhur, sesama manusia yang hadir maupun yang jauh, dan lingkungan hidup mereka. Amalan korban curahan diduga mula-mula muncul di daerah hulu Lembah Sungai Nil, kemudian menyebar ke tempat-tempat lain di Afrika maupun ke seluruh dunia.[5][6] Menurut Ayi Kwei Armah, “legenda ini menjelaskan kemunculan adat penenteraman yang dijumpai di seluruh pelosok benua Afrika, maksudnya korban curahan, yakni pencurahan alkohol atau minuman-minuman jenis lain sebagai persembahan kepada arwah nenek moyang dan dewa-dewi.”[7]

Israel Kuno

Korban curahan merupakan salah satu unsur agama Yahudi kuno dan disebutkankan di dalam Alkitab:[8]

Kemudian Yakub mendirikan tugu di tempat itu, yakni tugu batu; ia mempersembahkan korban curahan dan menuangkan minyak di atasnya.

Di dalam Kitab Yesaya (Yesaya 53:12), korban curahan digunakan untuk mengiaskan akhir hayat hamba Allah yang menderita, yang dikatakan "mencurahkan nyawanya ke dalam maut".

Korban curahan untuk berhala ditabukan, selaras dengan larangan Taurat terhadap tindakan menyembah dan berkorban kepada berhala secara umum.

Kristen Purba

Di dalam agama Kristen, korban curahan disebutkan di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru dan diamalkan Yesus maupun tokoh-tokoh Alkitab lainnya.[9]

Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: ”Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.

Ayat Injil Lukas ini merujuk penumpahan darah Yesus sebagai korban curahan Perjanjian Baru.

Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian.

Persembahan korban curahan biasanya dijiwai semangat perdamaian. Istilah Yunani untuk korban curahan, σπονδή (sponde), menjadi sinonim dengan "perjanjian damai".[10]

Yunani Kuno

 
Dewa Apolon menuangkan korban curahan dari dalam fiale ke atas omfalos disaksikan Dewi Artemis

Korban curahan (bahasa Yunani: σπονδή, spondȇ) adalah unsur pokok dan penting dari agama Yunani Kuno, dan merupakan salah satu bentuk amalan agama yang paling sederhana dan paling umum.[11] Di kalangan masyarakat Yunani Kuno, korban curahan adalah salah satu laku keagamaan dasar yang memperlihatkan ketakwaan seseorang. Persembahan korban curahan sudah diamalkan sejak zaman Perunggu bahkan sejak zaman Prasejarah Yunani.[12] Korban curahan menjadi bagian dari keseharian masyarakat, dan orang-orang Yunani yang bertakwa mempersembahkannya setiap hari pada waktu pagi dan senja, maupun sebelum bersantap.[13] Sarana persembahan seringkali berwujud anggur yang dicampur air, tetapi dapat pula berwujud anggur murni, madu, minyak, air, maupun susu.[14]

Bangsa Yunani Kuno lazimnya mempersembahkan kurban curahan melalui upacara penumpahan anggur secara khidmat dari dalam sebuah tempayan atau mangkuk yang dipegang dengan tangan. Upacara yang paling lazim adalah menuangkan cairan dari oinokhoe (tempayan anggur) ke dalam fiale, sejenis mangkuk datar yang dibuat khusus untuk upacara ini. Sesudah anggur dicurahkan dari fiale, sisa isi oinokhoe diminum pemimpin upacara.[15] Korban curahan dipersembahkan kapan saja orang hendak minum anggur. Amalan semacam ini sudah tercatat pada masa penulisan wiracarita-wiracarita Homeros. Tata krama simposion mewajibkan pelaksanaan upacara korban curahan kepada Zeus beserta dewa-dewi Olimpos saat krater anggur pertama disajikan, kepada para pahlawan saat krater kedua disajikan, dan kepada Zeus yang menyempurnakan (bahasa Yunani Kuno: Ζεύς Tέλειος, Zeús Téleyos) sewaktu menyajikan krater ketiga, yang biasanya adalah krater terakhir. Alternatifnya adalah mempersembahkan korban curahan dari krater pertama kepada agatodaimon (roh baik) dan dari krater ketiga kepada Hermes. Para hadirin simposion juga boleh secara pribadi menyeru dan mempersembahkan korban curahan kepada dewa tertentu sekehendak hatinya.

Korban curahan pada umumnya dipersembahkan sambil melisankan doa.[16] Sikap tubuh bangsa Yunani ketika berdoa adalah berdiri, baik sambil mengangkat kedua belah tangan maupun sambil menuangkan korban curahan dari fiale dengan tangan kanan yang direntangkan.[17]

Bilamana mempersembahkan korban sembelihan, anggur akan dituangkan ke atas hewan kurban sebagai bagian dari upacara penyembelihan dan pengolahannya, kemudian juga ke atas abu dan nyala api pembakarannya.[18] Penggambaran tindak-tanduk upacara semacam ini sudah lazim dijumpai pada karya-karya seni rupa Yunani, yang sering kali juga menampilkan gambar orang yang mempersembahkan korban atau dewa-dewi memegang fiale.[19]

 
Gambar upacara persembahan karya Pelukis Potos, korban curahan dituangkan dari tempayan, krater sosok-merah Atika, 430–420 SM)

Kata kerja Yunani σπένδω (spéndō), yang berarti "menuangkan korban curahan", dan dapat pula berarti "mencapai mufakat", berasal dari akar kata bahasa India-Eropa *spend-, yang berarti "mempersembahkan, melaksanakan upacara, atau melibatkan diri lewat suatu upacara". Kata bendanya adalah spondȇ (jamak: spondaí), artinya "korban curahan." Di dalam bentuk kalimat madya (berbeda dari bentuk kalimat aktif maupun pasif), kata kerjanya bermakna "masuk ke dalam suatu perjanjian", maksudnya para dewata diseru untuk menjamin suatu tindakan.[20] Jika upacara persembahan darah dilaksanakan untuk mengawali perang, maka spondaí menandai berakhirnya permusuhan, dan oleh karena itu istilah spondaí sering kali digunakan dengan makna "gencatan senjata, atau perjanjian damai." Kalimat "kami, polis, telah mempersembahkan korban curahan" adalah pemakluman damai atau "Masa Damai Allah", yang juga dilakukan bilaman negara-negara kota berkumpul dalam penyelenggaraan kejuaraan-kejuaraan Se-Yunani, kejuaraan Olimpia, atau upacara-upacara pemujaan rahasia di Eleusis. Dalam hal ini, wujud korban curahan disifatkan "tidak berdarah, lemah lembut, tak terbatalkan, dan tidak dapat diganggu gugat".[19]

Korban curahan yang ditumpahkan ke tanah ditujukan kepada arwah-arwah dan dewa-dewa pratala. Di dalam wiracarita Odiseya, parwa Kitab Kematian, Odiseus dikisahkan menggali sebuah lubang, kemudian menuangkan madu, anggur, dan air di sekeliling lubang itu.

Referensi

Pranala luar

  1. ^ a b Choksi, M. (2014), "Ancient Mesopotamian Beliefs in the Afterlife", World History Encyclopedia 
  2. ^ Barret, C. E. (2007). "Was dust their food and clay their bread?: Grave goods, the Mesopotamian afterlife, and the liminal role of Inana/Ištar". Journal of Ancient Near Eastern Religions. Leiden, The Netherlands: Brill. 7 (1): 7–65. doi:10.1163/156921207781375123. ISSN 1569-2116. 
  3. ^ a b c Black, Jeremy; Green, Anthony (1992), Gods, Demons and Symbols of Ancient Mesopotamia: An Illustrated Dictionary, The British Museum Press, ISBN 0-7141-1705-6 
  4. ^ Nemet-Nejat, Karen Rhea (1998), Daily Life in Ancient Mesopotamia , Daily Life, Greenwood, ISBN 978-0313294976 
  5. ^ Delia, 1992, hlmn. 181-190
  6. ^ James, George G. M. (1954) Stolen Legacy, New York: Philosophical Library
  7. ^ Armah, Ayi Kwei (2006) The Eloquence of the Scribes: a memoir on the sources and resources of African literature. Popenguine, Senegal: Per Ankh, hlm. 207
  8. ^ Bar, Shaul (2016). A Nation Is Born: The Jacob Story (dalam bahasa Inggris). Wipf and Stock Publishers. hlm. 53. ISBN 978-1-4982-3935-6. Diakses tanggal 5 May 2020. 
  9. ^ Matius 26:7, Matius 26:28, Markus 14:24, Lukas 22:20, Kisah Para Rasul 2:33, Kisah Para Rasul 10:45, Roma 5:5, Filipi 2:7, Filipi 2:17
  10. ^ "The Cup of God's Wrath: Libation and Early Christian Meal Practice in Revelation". 
  11. ^ Louise Bruit Zaidman dan Pauline Schmitt Pantel, Religion in the Ancient Greek City, diterjemahkan oleh Paul Cartledge (Cambridge University Press, 1992, 2002, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Prancis pada tahun 1989), hlm. 28.
  12. ^ Walter Burkert, Greek Religion (Harvard University Press, 1985, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1977), hlmn. 70, 73.
  13. ^ Hesiod, Works and Days 724–726; Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 39.
  14. ^ Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 40; Burkert, Greek Religion, hlmn. 72–73.
  15. ^ Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 40.
  16. ^ Burkert, Greek Religion, hlmn. 70–71.
  17. ^ William D. Furley, "Prayers and Hymns," dalam A Companion to Greek Religion (Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 127; Jan N. Bremmer, "Greek Normative Animal Sacrifice," hlm. 138 dalam jilid yang sama.
  18. ^ Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 36; Burkert, Greek Religion, hlm. 71.
  19. ^ a b Burkert, Greek Religion, hlm. 71.
  20. ^ D.Q. Adams dan J.P. Mallory, lema "Libation," dalam Encyclopedia of Indo-European Culture (Taylor & Francis, 1997), hlm. 351. Dari akar kata yang sama diturunkan kata kerja Latin spondeo, yang berarti "janji, kaul."